Everything for You

2150 Words
Jalanan yang aku tapaki terasa begitu kering, mungkin karena sudah memasuki musim kemarau. Perjalanan pulang kerumah rasanya bertambah panjang dengan setiap langkah lelah dan menyeret. Aku berpetualang terlalu jauh, hingga melelahkan seluruh sendi dan tubuhku rasanya remuk meskipun aku bisa mendapatkan sebuah kepuasan dari pengalaman tersebut. Terimakasih pada Orion yang telah membantuku meringankan seluruh rasa hampa dan kesepian yang aku rasakan. Hari menuju deadline telah mendekat. Tapi aku sama sekali belum menemukan gairahku kembali pada titik semula. Adrien sudah membantuku tapi aku merasa itu belum cukup. Apa yang kurang? Jika saja bukan karena Anfisa yang tiba-tiba mengabari untuk berkunjung ke apartment Orion. Kurasa hingga saat ini aku masih menghabiskan waktuku bersamanya. tapi aku cukup tahu diri meskipun aku tahu bahwa bagaimanapun kondisinya aku tetap tidak bisa dibilang murni bersih. Aku tetap seorang p*****r sialan yang menikmati hubunganku dengan Orion dibelakang Anfisa. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak bisa menghentikannya sebab terkadang aku membutuhkannya. Aku butuh dia untuk mengisi bagian yang hampa dalam diriku. Sedangkan Orion sendiri? Entahlah aku tidak tahu motif apa yang dia gunakan ketika menjalani hubungan terlarang ini bersamaku. Tapi jika itu berkaitan dengan perasaan. Aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak ingin berkaitan dengan seseorang terlebih karena sesuatu yang emosional. Menurutku hal itu terlalu merepotkan untuk hidupku yang sudah cukup berantakan. Panas terik yang aku rasakan mengurangi antusiasme untuk melanjutkan hidupku. kehidupan disekitarku masih berjalan apa adanya. Berotasi sebagaimana mestinya. Riuh gema dari sebuah bisikan dan konversasi macam-macam yang aku dengar di sepanjang jalan meski bernada rendah tapi cukup untuk sekadar memenuhi telinga. Dan ketika aku mulai memasuki jalan dimana studio dan juga kediamanku berada terjadi sebuah pengurangan kebisingan secara umum yang lumayan berperan penting untuk melegakan sarafku. Aku selalu lebih menyukai ketenangan dibanding keramaian. Mataku yang awalnya mencicit karena terbuai oleh panas terik dan tidak kutemukan tempat untuk menghalau sinarnya sekarang berangsur membaik lantaran aku sudah mulai memasuki gang kecil yang lumayan padat. Ada beberapa orang yang berjalan didepanku. Seorang pemuda yang berjalan dengan tangan terjepit diantara belakang lehernya dan seorang lagi yang berjalan dengan sesuatu yang lebih menonjolkan kegagahan. Dilihat dari cara mereka berjalan saja aku bisa menebak bagaimana kepribadian mereka. bertolak belakang. Tapi melihat mereka bisa bersama sepertinya perbedaan itu memenuhi apa yang kosong diantara mereka. hubungan yang membuatku cemburu. Sebab aku selalu terjebak dalam sebuah metafora, bahwa suatu saat aku dapat menemukan seseorang yang selaras dan dapat memenuhiku seutuhnya. Selamanya. Tanpa jangka waktu. Orion hanyalah selingan. Dia belum memenuhi kualifikasi itu, tapi dia yang bisa membuatku nyaman menjadi alasan mengapa hubunganku yang sempat terjeda bisa kembali pada titik ini lagi. Rekonsiliasi yang semestinya tidak boleh terjadi. Ini mengerikan. Aku selalu bertanya bagaimana rasanya bila aku terlahir dengan cara berbeda. Memiliki sebuah pengalaman hidup yang berbeda. Anggap saja seperti kebanyakan gadis pada umumnya. Membayangkan berjalan dengan seorang pria kemudian bersikap dengan pembawaan yang penuh keanggunan dengan langkah yang ditempatkan secara hati-hati tanpa suara. Tangan yang bisa saja saling bersinggungan ketika melangkah, lalu kemudian memergoki diriku memandang pada pria itu dan kemudian tersipu malu. Berpura-pura menjadi wanita yang lemah, dan terlihat manis dihadapannya hanya untuk memastikan apakah ada pria yang memperhatikanku secara utuh? Hanya untuk mengetahui apakah pembawaan seperti itu membuat seorang pria bertekuk lutut dan menginginkanku. Namun, apakah pengalaman seperti itu akan hadir dalam hidupku? ataukah tidak sama sekali? Kurasa jawabannya adalah yang kedua. Membayangkannya tidak bisa kulakukan. Merealisasikannya apalagi. Tapi khayalku, fantasiku, tidak pernah bisa stagnan pada satu titik. Selalu bisa melanglang buana sebab itulah caraku memproses diriku yang sekarang. sebab seni adalah caraku untuk mengekspresikan apa yang aku rasakan. Pikiran soal hal lucu itu bahkan memicu sesuatu yang lumayan menarik dikepalaku. Sesuatu yang tidak bisa kulepaskan bahkan harus aku ingat hingga diperjalanan pulang sampai aku menyentuh kuas dan memandang kanvas. Terlepas dari argument batinku yang berkata bahwa itu terlalu bodoh untuk aku gambarkan melalui kedua tanganku. Melalui goresan dari pada kuas cat dan perpaduan warnanya nanti. lagipula aku bukan orang yang cocok untuk berpikir secara normal dan seperti umumnya manusia diluaran sana. aku bukanlah tipikal perempuan yang didalam cangkang ini tersembunyi sesuatu yang tidak begitu bagus. Aku bukan tipikal wanita yang baik. aku harus mengakui bahwa mungkin itu lah masalahnya. Itulah penyebabnya. Aku berhenti merenungkan pemikiran itu ketika kedua kakiku telah menuntunku sampai dikediamanku. Dan disana aku menemukan seorang pria yang telah berdiri, mengambil satu buah poin lagi bila saja dia adalah karakter pria didalam game yang sedang aku mainkan. Dia membuatku keluar dari jangkauan pemikiran yang menghantuiku selama perjalanan pulang. Dia meredakan seluruh hal bernama paranoid. Ketika dia tersenyum sumringah dengan caranya yang khas, aku seperti disambut pulang kerumah. Aku tersadar bahwa interaksiku dengan pria ini memang tidak normal (interaksiku dengan oranglain memang tidak pernah normal sebetulnya). Namun aku selalu mendapatkan sedikit pembelajaran dari setiap konversasi yang terjadi diantara kami. Aku mengurangi hal yang buruk. Bukan karena dia, tapi dia seolah menuntunku untuk memiliki keinginan untuk berubah. Ini lucu. Aku tidak mengira efek kebersamaan kami yang hanya seorang model dan pelukis bisa mempengaruhi kondisi mental dan juga kepribadianku. Terlebih ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama dia menghilang untuk sebuah alasan yang bahkan aku tidak ketahui. Aku memang tidak berhak tau, sebab kami tidak punya hubungan sebagai seorang kawan disini. Pria itu mengenakan celana yang agak sedikit ketat hari ini. letak celananya bahkan sedikit lebih rendah tepat di tulang panggulnya. Bagian atasnya dia mengenakan sebuah kaos hitam ketat crop top. Dia benar-benar berpakaian seperti sedang bercosplay. Dia mengingatkanku pada seorang tokoh anime bernama Sai meskipun hanya dari pakaiannya saja. Meski dia terbilang berani berkeliaran dengan pakaian jenis itu. Justru itulah yang membuatku jadi terpesona padanya. Jangan salah paham soal itu. aku tidak tertarik padanya dari segi rasa semacam emosional seperti cinta dan antek-antek. Itu terlalu jauh untuk masuk kedalam kepalaku. Tapi dia membuatku tertarik secara seksual, dan bagaimana dia bisa terlihat begitu seksi dan sensual tapi kharismanya sebagai mahluk maskulin tidak memudar. Aku jadi ingin menggambarnya lagi. Rupanya berpakaian malah terlihat menggoda ketimbang telanjang bulat. Atau mungkin aku sudah terlalu bosan melihatnya polos begitu saja? Aku tidak tahu. “Hai,” sapanya ketika aku mengambil kunci apartmentku dari saku dan kemudian bergerak untuk memutarnya. Mengabaikan dia sementara sebelum akhirnya membuka pintu lebar untuk mempersilahkan dia masuk. “Tidak usah basa basi.” Kataku. “Aku ingin menggambarmu,” ujarku to the point. Dia mengekor masuk kedalam ruangan. Kemudian ketika aku berbalik pria itu hendak menanggalkan pakaian atasnya. “Apa yang kau lakukan?” “Melepas pakaianku,” “Kenakan saja. aku bosan melihatmu telanjang,” “Maaf?” “Jangan membuang waktuku. dan lakukan apa yang aku perintahkan,” Dia yang terdiam sekarang seperti sedang membuka kamus untuk menafsirkan arti daripada kata-kataku. “Apa kau suka yang seperti ini?” tanyanya. Dia kembali mengenakan pakaian atasnya lagi seperti semula. Aku menatapnya lekat-lekat saat dia mengenakan lagi pakaian itu. pertanyaan itu jelas retoris. Melihatku yang menatapnya penuh minat sekarang tentu saja dia sudah memiliki jawabannya sekarang. “Terus terang saja itu tidak buruk,” jawabku pendek. Pria itu tersenyum. “Seleramu benar-benar luar biasa,” “Ya,” aku tidak lagi berfokus pada hal-hal yang melibatkan percakapan lebih mendalam. Justru yang aku fokuskan saat ini adalah alat-alat lukisku dan kemudian memposisikan kanvasku agar memperoleh posisi sempurna dimana aku bisa mendapatkan sebuah pemandangan yang dapat aku lihat secara utuh yang bisa menghasilkan sudut pandang yang menakjubkan dan indah sebagai hasil akhirnya. Ketika posisinya telah kudapatkan. Dan aku telah berada diposisiku dengan nyaman. Tatapku mengarah pada Adrien. “Berpose!” perintahku. Pria itu kemudian secara professional mulai melangkah menuju sofa butut yang ada diruangan ini. kemudian memposisikan dirinya berbaring menyamping dengan sebelah tangan menahan kepalanya. Ini pose yang menggoda dan sempurna. Aku suka. “Cukup,” jelasku dan dia kemudian diam diposisinya untuk beberapa waktu. Keheningan mendominasi, entah berapa lama waktu telah berjalan. Tanganku sibuk membuat sketsa. Sesekali menatapnya kemudian kembali pada kanvas yang sekarang sudah mulai dipenuhi oleh coretan-coretan. Ini bagus. Aku tidak pernah semenggebu ini ketika sedang melukis.   “Maukah kau pergi bersamaku nanti ditempat yang terbuka di pinggir kota? Itupun jika kau tidak keberatan,” katanya setelah berdiam diri cukup lama. Suaranya rendah, dan sedikit manis. Ini aneh. Tapi dia sepertinya sudah mulai hafal gerak-gerikku. Aku sudah sepenuhnya melepas pandangku dari dia itu artinya dia bisa bebas dan aku sibuk dengan pekerjaanku. Pria itu bangkit dari posisinya. Berputar untuk melihat apa yang aku gambarkan. Aku tidak mengindahkan perkataannya. Mulutku terkunci rapat saat ini dan aku sedang tidak berminat untuk bicara. Pria itu tidak menuntut. Sebaliknya malah berdiri dibelakangku. kepalanya tiba-tiba sudah bertumpu pada bahu sebelah kiriku. Menghembuskan napasnya disana. Membuat bulu romaku berdiri dan konsentrasiku pecah. Namun aku sudah terbiasa dengan gerak-geriknya yang seperti ini. aku tidak ingin bermain. Aku lebih tertarik menyelesaikan pekerjaanku ketimbang melayani pria ini lagi. “Seperti biasa, aku selalu kagum dengan sudut pandangmu Zelda,” ujarnya lagi. Dia sepertinya berupaya penuh untuk menarik perhatianku. Tapi suaranya kali ini lebih keras. terdengar seperti Adrien yang biasanya. Seperti dia diawal kami berjumpa dengan senyuman bodoh yang selalu ada di air mukanya. “Katakan saja bila saat ini kau menginginkanku,” aku menjawabnya secara to the point. Dia tergelak dalam tawa yang terdengar begitu nyaring seraya renyah. Sepertinya pernyataanku terlalu blak blakan hingga mungkin dia kaget atau barangkali malah terhibur karena dia tidak perlu susah payah merayuku untuk mendapatkan tubuhku. “Kau tahu… terkadang aku lupa bahwa kau berbeda,” “Sejak awal memang begitu. kau lupa karena kau terlalu banyak mencicipi perempuan diluar sana,” dia tidak menjawab. Dibanding menggangguku, dia malah memilih untuk duduk di sofa tempat dia berpose tadi. Pria itu tiba-tiba saja kembali bertingkah lagi. Kali ini pose yang dia buat tertangkap oleh mataku. Dan itu brilliant. “Tetap begitu!” aku mengambil kertas putih polos terdekat kemudian segera menggambar apa yang aku lihat dengan cepat. dia gila. Tapi aku suka. Posenya cukup menantang, aku pikir bila aku adalah perempuan biasa aku tidak akan bertahan dengan godaan yang tengah dia pamerkan didepan mata. tapi karena ini profesiku aku terbiasa dengan asupan seperti ini. “Aku tahu kau menyukainya,” “Kau memang patner yang pengertian,” “Tapi kau belum menjawab pertanyaanku,” “Itu bukan pertanyaan,” “Aku mengajakmu keluar kau ingat?” “Tapi kau bilang bila aku tidak keberatan bukan,” “Memangnya kau keberatan?” “Aku akan melihat jadwalku sebelum memutuskannya,” “Aku rasa kau hanya sedang mencoba untuk so jual mahal denganku,” “Kau pikir aku tertarik padamu? kurasa kau harus bangun dari mimpimu. Hanya karena kita berdua pernah melakukan seks bukan berarti aku cinta padamu,” kataku tegas. Adrien malah tertawa terpingkal-pingkal. “Ya, aku tahu. Karena itu aku ingin memberikanku sebuah persepektif baru,” “Jika kau memiliki niatan untuk melakukan pendekatan dan semacamnya. Aku tidak tertarik,” “Jadi kau lebih suka memberikan tubuhmu pada pacar oranglain?” kini tanganku berhenti bergerak. Aku benci ketika aku diingatkan akan dosa itu. aku benci seseorang bicara soal pilihanku. Aku tahu itu salah. Tapi aku tidak suka bila hal itu tersu diungkit. “Oh… apa aku baru saja menyinggumu?” “Adrien...” ini adalah kali pertama setelah kami tidak berjumpa aku menyebut namanya. Mendengarku memanggilnya Netra pria itu terlihat berbinar, seolah memang mendamba. Atau sengaja memancingku untuk terlihat emosional. “Ya?” “Kurasa aku bisa memberimu jawaban.” Aku masih menatap sketsa yang ada ditanganku. Sudah cukup jelas. Tinggal sedikit penyempurnaan disana sini agar lebih indah nantinya. “Soal apa?” dia terdengar penasaran atas statement yang aku ujarkan. “Apa yang aku lihat darimu sekarang,” aku jadi teringat apa yang pernah dia katakan dulu sekali. “Apa?” “Kau pria bermulut besar.” Ini adalah sebuah kejujuran. Karena itu aku menatap matanya ketika berkata demikian. “Kau benci itu?” bukannya tersinggung, dia malah memamerkan sebuah seringai yang terlihat menyebalkan. “Aku tidak benci, dan juga tidak suka. Tapi sekarang kau sedang menjadi siapa?” kali ini tatapku lebih menajam. Dia malah semakin terlihat menyukainya. “Entahlah… kurasa aku Adrien,” dia memamerkan senyum lebar khasnya seperti saat kami bertemu pandang didepan pintu depan beberapa saat yang lalu. “…” aku tidak yakin apa yang harus aku komentari dari dia. “Jadi?” “?” aku menatapnya lagi. Dia benar-benar pria bermulut besar. Seolah keheningan adalah musuh terbesarnya. “Ajakanku masih berlaku. Aku ingin dengar jawabanmu sekarang,” alih-alih menyerah atas perkataan yang menurutku lebih mirip kotoran itu. Pria itu malah berbalik menatapku. “Matahari terbenam?” ujarku. Aku seketika melihat perubahan mimik wajahnya secara signifikan. Dia berteriak tak terkendali hanya karena apa yang aku katakan. Meskipun itu tidak berarti bahwa aku menyetujui apa yang dia katakan. “Sure, I will give you everything you want,” suara terdengar lebih lembut. aneh sekali melihat dia jadi jauh lebih kalem daripada sikapnya beberapa detik lalu. “Who are you?” perubahan itu secara tidak sadar membuatku tergerak untuk bertanya lagi. “I think iam Ares. Nice to meet you,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD