Adrien duduk dengan tenang dibawah sinar mentari yang mulai melemah, anggap saja demikian sebab teriknya tidak lagi membuat sebuah rasa yang dinamakan panas menyengat kekulit. Pria itu berbaring santai pada rerumputan hijau seolah menikmati keheningan yang begitu tenang tatkala mentari benar-benar terbenam hari itu. Ada banyak hal yang terjadi, termasuk sisi lainnya lagi. Memang alasan utama mengapa dia mendekati Zelda adalah menginginkan cara pandang perempuan itu. bahkan setelah pertemuan mereka yang kebeberapa kali, hingga mereka sempat menyatu. Baik dirinya ataupun perempuan itu nampaknya masih tidak bisa sejalan dan sepaham. Meskipun mulanya dia tertarik sebab perempuan itu memiliki sebuah daya tarik yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Cara perempuan itu memandangnya saat dia berkata bahwa dirinya adalah Ares. Ya, dia tidak bisa melupakannya. Sebuah senyuman kecil tersungging disana. Dia membawa langkahnya untuk pulang. Dia sudah cukup menjadi Adrien, ketika dia pulang itu artinya dia harus kembali menjadi Ares sesuai dengan yang orang lain ketahui. Kediamannya selalu seperti itu. sepi, tak berpenghuni. Ketika berada di ruang pribadi, Adrien menatap keluar jendela menuju satu tempat terbuka yang merupakan bagian dari tempat tinggalnya. Kolam renang yang airnya telah keruh dibawah sana tiba-tiba menarik perhatiannya lebih banyak. Anehnya melihat betapa kotornya air di kolam renang malah mengundangnya untuk merasakan kelegaan yang tidak dapat mudah untuk didefinisikan. Sepertinya akan cukup baik menggunakan air itu membasahi tubuhnya. Paling tidak dengan hal itu dia bisa meringankan sebuah rasa kegerahan meskipun udara yang ada disekelilingnya sudah mendingin. Secillia sudah tidur, akhir-akhir ini dia memang sudah nampak tenang meskipun harus selalu di barengi dengan obat. Beberapa pelayannya juga sudah pergi meninggalkan rumah.
Tiba-tiba saja dia merasa ingin kembali menjadi Adrien. Karena itulah dia turun ke lantai bawah. Lalu melepas seluruh pakaiannya kecuali bagian pakaian dalam dan menceburkan diri seperti orang gila dimalam hari yang melakukan hal ekstrim menceburkan diri ke kolam keruh. Dia membaringkan tubuhnya. Mengambang diatas permukaan air untuk melihat kanvas langit yang telah menghitam dihiasi beberapa kerlip bintang. Indah. Aroma angin malam yang berembus menyerang hidungnya. Dia merasa bayangannya jatuh entah kemana. Seperti hilang ditelan sesuatu. Menyeruakan dirinya yang asli. Sulit sekali untuk dapat bersikap tenang di rumah ini. meskipun pembawaannya selalu tenang, terkadang dia merasa lelah dan kehilangan jati dirinya sebagai Adrien bila berlama-lama dirumah ini. waktu santai adalah hal langka terlebih Secillia selalu terlihat lebih needy diwaktu waktu tertentu. Dan yang harus dia lakukan adalah bersabar dan memastikan bahwa perempuan itu tetap nyaman dan aman. Meskipun dia sendiri tidak tahu harus sampai kapan dia melakukan tindakan ini lebih lama lagi.
Dan kemudian dia teringat lagi dengan sosok perempuan itu.
Zelda dan kuas ajaibnya. Terdengar lucu, tapi dia memang terkadang selalu muncul disaat -saat yang random. Bila saja dia memiliki ponsel, mungkin akan mudah mengatakan sesuatu padanya tanpa perlu mendatangi kediamannya. Tidak perlu mengerahkan tenaga hanya untuk sai hai ria sebab yang dia ingini memang sebatas memandang wajahnya saja.
Ekspresi muka perempuan itu selalu dingin dan datar, hal menarik yang dia dapati daripadanya hanyalah fakta bahwa air mukanya bisa berubah saat bercinta. Itu menyenangkan. Adrien tidak munafik untuk menginginkan sebuah repitisi terhadap pengalaman itu. namun sayang sekali, itu tidak akan terjadi bila sang wanita tidak mengingini. Adalah sebuah keberuntungan baginya ketika itu. Dan untuk mengulanginya rasanya dia perlu menempuh banyak rintangan lagi.
Hubungan mereka juga bukan teman, sahabat apalagi. Kenalan ? bisa saja. tapi terkadang Zelda juga tidak pernah terlihat ingin terlibat bersamanya. Dia hanya bisa menerima bila Adrien datang ke studionya. Bertelanjang bulat untuknya. Lalu melakukan pose sesuai arahannya. Barulah perempuan itu mau mendenagrkan sedikit daripada omong kosongnya. Atau bertanya soal hal-hal yang random pada perempuan itu. meskipun caranya membalas juga tidak terlalu memuaskan. Sejak awal hubungan mereka sudah seaneh itu. tapi Adrien selalu penasaran. dia menginginkan perempuan itu. dia tergoda untuk mencari tahu seluk beluknya lebih jauh. apalagi terhadap benda yang dia temukan di studionya. Pria yang mengaku sebagai sepupunya, dosen yang memintanya untuk membuat sebuah lukisan sebagai penilaian akhir, dan bahkan pada pria yang sering kali kedapatan keluar bersamanya padahal orang itu adalah pacar sahabatnya sendiri. Kehidupan perempuan itu diluar dugaan. Dia terlalu menarik dan penuh kejutan.
Tapi yang membuatnya ingin terus mendekat adalah… mereka mirip.
Secara tidak sengaja Adrien merasa mereka memiliki kemiripan yang membuatnya bisa begitu nyaman meskipun tidak memiliki sebuah tali yang menyatukan.
Perempuan macam itu, bagaimana dia memandang dunia dengan kedua matanya yang selalu meredup tiap waktu? bagaimana dia menjalani hidupnya seperti sebuah kehidupan yang normal padahal isinya penuh dengan ketidak wajaran? Sama seperti dirinya yang memilih hidup menjadi orang lain sebagai penebusan rasa bersalah. Memilih untuk menganggap dirinya mati ketimbang menjadi diri sendiri. Dia pengecut. Tapi wanita itu tidak.
Dia selalu merasa bahwa semestinya dia muak. Semestinya dia lebih memikirkan hidupnya sendiri ketimbang tertarik dengan urusan oranglain. Atau penasaran tentang cara perempuan itu menjalani hidup. Dia muak dengan gambaran perasaan manusia yang bisa tersenyum padahal sedang terluka. Dia muak dengan tatapan menyayangkan tapi sesungguhnya bersyukur atas keadaan, tangis yang pecah diluar tapi berbahagia didalam. Apakah manusia memiliki sebuah topeng yang diciptakan dan digunakan? Adrien muak menghadapi mereka yang seperti itu. tidak. lebih tepatnya di sedih lantaran mereka tidak terlihat tulus dan tidak berduka sama sekali ketika dia memutuskan untuk mengganti identitasnya sebagai Ares. Kebanyakan dari keluarga mungkin lebih senang mendapati fakta bahwa anak berandal yang mati.
Ini sulit.
Terkadang dia sendiri bahkan sulit untuk mengalahkan dirinya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak berhak untuk menjudge manusia lain yang bertopeng sedangkan dirinya sendiri tidak jauh berbeda dari mereka. bahkan lebih tepatnya justru lebih parah sebab berpura-pura menjadi orang yang sudah mati hanya untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.
Adrien menarik napasnya dalam-dalam. Membuka mulutnya selebar mungkin sebab barangkali dia akan mendapatkan oksigen yang maksimal untuk memenuhi paru-parunya.
***
“Jadi apa yang kau inginkan dari ajakan konyol ini?” Aku bertanya pelan di samping telinganya, napasku berbisik sedikit membuat pria itu bergidik mungkin karena terterpa oleh napasku yang sama sekali tidak aku maksudkan untuk menggodanya. Tapi sedikit lucu untukku melihat dia menggigil hanya karena aku bertanya padanya dalam jarak dekat.
Pria itu memutar malas kepalanya kearahku. terkejut menatapku seolah aku tidak boleh berada disitu. Atau paling tidak membuat jarak sebelum dia benar-benar menolehkan kepalanya. Tapi sepertinya ini adalah salah satu daripada harapannya. Kurasa. Terlebih aku juga mengabulkan inginnya untuk keluar bersamaku. Tapi di moment ini entah mengapa aku merasakan sebuah ketegangan dan ketidakpastian. Aku harap moment ini segera mencair. Sekali lagi siapa yang sedang berdiri dihadapanku sekarang? Ares kah? Adrien kah? Seperti orang bodoh, aku selalu mengikuti permainannya. Aku bisa mengimbangi diriku dengannya padahal mungkin untuk sebagian orang tidak mudah bergaul dan berkomunikasi dengan orang yang tidak jelas kepribadiannya ini. Bahkan dia dengan mudahnya berkata memiliki dirinya yang lain didalam satu raga. Adrien dan Ares. Tidak pasti apakah dia sungguhan, atau pura-pura. Tapi yang pasti aku membutuhkan dia sehingga tanpa sadar aku membuat pria itu nyaman didekatku sebab aku tidak bereaksi berlebih meskipun awalnya sulit. Atau bisa jadi aku juga adalah orang yang tidak normal karena bisa dengan mudah beradaptasi terhadap hal-hal seperti ini.
“Aku ingin bertanya apakah kau bisa membuatkanku sebuah gambar yang special… sebuah lukisan yang tentunya istimewa,” dia dengan tegas menyatakan maunya.
Aku tahu bahwa ini adalah sosok daripada dia yang kukenal sebagai Adrien. Maka kuberi dia sebuah pengharapan kosong berupa tatap malas. Dan balasanku ini mungkin sudah dapat dia tebak. Meski begitu dia tidak menyerah dan malah menatapku lekat-lekat. Mengangkat tangannya sendiri sehingga kaos yang dia kenakan naik keatas. Memamerkan otot perutnya yang sedikit mengintip dari celah pakaian yang dia kenakan. Seperti sedang mencoba untuk menunjukan padaku sebauh kilatan tepi untuk menggodaku.
Dia pandai membuat ekspresi dan aku suka itu.
“Aku ingin kau menggambarkan aku tato,” sekali lagi dia menyatakan sesuatu. Tapi kali ini dia tidak lagi berulah seolah menunggu untuk melihat reaksi seperti apa yang akan aku reaksikan terhadap permintaan yang tidak biasa ini. aku memang orang yang suka menggambar dan sudah menjalani kegiatan ini hampir separuh hidupku. tapi tato? Aku tidak pernah memikirkan itu. apalagi mencoba untuk melakukannya. Tentu saja ini adalah sesuatu yang baru untukku, terlebih ini adalah sebauh permintaan baru yang tidak setiap orang akan tujukan padaku. Dan tiba-tiba saja aku jadi merasa tertantang untuk mengatakan sesuatu seolah aku sudah mengambil sebuah keputusan atas jawabanku. Aku menatapnya balik tanpa ragu.
“Sorry but, I am not about to put some third rate piece of wall trash on your ass just so you can giggle and show it off to your friends when you are feeling naughty. Unlike some people I take my art seriously,” aku mendengus dan hendak berbalik pergi.
Adrien memberiku sebuah senyuman. Dia sepertinya tidak betul-betul memikirkan perkataan dirinya sebelum berujar. “Aku tidak punya contoh mengenai apa yang harus kau gambarkan. Tapi faktanya aku bahkan tidak memikirkan sebelumnya dimana aku akan meletakan tato itu bagian tubuhku yang mana. Just I want you to decide that,” sekali lagi kata-katanya berhasil untuk menarik perhatianku lebih lagi.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” dia berbalik untuk diam-diam dibanding menatapku langsung seperti tadi. Dia seperti sedang mencoba untuk menyembunyikan sedikit kesulitan yang terjadi didalam kepalanya untuk mengemukakan apa yang dia inginkan. Aku sendiri pun sama kesulitannya untuk memahami apa yang dia coba utarakan. Meskipun aku punya clue untuk itu.
“Aku menginginkan dirimu,” kata-kata itu seolah menjawab diriku yang telah lebih dulu berpikir kearah sana. baru saja aku hendak mengatakan sesuatu untuk membalasnya. Pria itu tiba-tiba saja kembali membuka mulutnya. “Untuk memberiku sebuah tato,” dia menunjuk tubuhnya sendiri. “Aku ingin kau memilih apa yang harus kau gambar dan dimana itu ditempatkan. Seperti yang kau tahu aku suka caramu menatap diriku. Setelah menjadi model untukmu. Aku merasa aku kini ingin menjadi kanvasmu. Dan aku tidak akan ikut campur terhadap apapun pilihanmu,” pria itu seolah memaksaku kembali pada moment dimana aku pernah menggambar diatas tubuhnya dengan cat ungu. Sebuah kilas balik yang tidak kukira akan terbesit dalam moment seperti ini. tapi memikirkannya membuatku meneguk ludahku sendiri. Penawarannya tidak buruk dan aku juga ingin sekali keluar daripada zona nyamanku dan menggugah kembali apa hilang dari diriku. Passionkah? Semangatkah? Aku masih mencari hal itu.
“Kenapa harus aku?” itu adalah satu-satunya pertanyaan yang membuatku tergerak untuk buka suara. Pikiran soal ini benar-benar menyambangi pikiranku secara penuh. Ini adalah seperti sebuah kewajiban bagiku untuk menyatakannya.
“Karena kupikir kau adalah orang yang tepat. Kau punya sudut pandang yang berbeda. Selain itu aku ingin memastikan bahwa aku bisa mendapatkan sesuatu yang aku cari dari ini. aku membiarkanmu untuk menangani semuanya sebab entah kenapa aku merasa akan puas bila kau yang melakukannya.” Dia menyatakannya dengan nada suara yang terbilang tenang. Seperti sesuatu yang dipenuhi dengan seluruh ketulusan. Aku benci itu. sebab aku selalu tak dapat menolak apa itu ketulusan.
Aku tidak menjawabnya. Kubiarkan dia berfantasi dengan apapun yang ada dikepalanya. Kubiarkan dia untuk memanduku ketempat yang dia inginkan. Dan ternyata itu hanyalah sebuah tempat sederhana yang jauh dari hiruk pikuk kota. Sebuah tempat terpencil yang masih asri dimana rerumputan hijau dan sebuah sungai jernih. Lalu kemudian kami duduk disana begitu saja. angin yang datang menyambut lebih pada angin semilir yang memanjakan. Berembus sejuk. Moment sederhana tapi cukup untuk memikatku. Kupikir beberapa saat yang lalu kita tidak akan berada ditempat sesederhana ini. pria ini lumayan dapat membuatku berpikir.
Selain itu aku juga masih mempertimbangkan jawaban yang akan aku berikan dari tanyanya beberapa saat lalu. bahkan caranya yang membiarkanku sibuk atas diriku sendiri seolah memberikanku waktu yang cukup untuk memikirkan ulang segalanya. Dia menungguku mengambil keputusan tanpa ada dorongan dan paksaan. Itu keren. Tapi dibalik sikapnya aku bisa merasakan bahwa aku juga mendapati tekanan entah darimana seperti aku ingin mencobanya, hingga sampai aku harus melakukannya. Dorongan hati? Intuisi sang seniman? Entahlah… tapi jika aku tidak melakukannya aku merasa akan menyesal dan mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir kali. Setidaknya aku ingin membuat sebuah pengalaman baru.
“Apa yang aku dapatkan dari inginmu itu?”
Adrien tiba-tiba saja tersenyum seolah dia telah menduga bahwa aku akan mengatakan iya pada ujarannya. Tapi dia pasti sudah menduga bahwa aku tentu tidak akan membuat segalanya mudah atau bahkan memberikan jasaku secara cuma cuma. “Aku bisa jadi kanvas hidup milikmu. Kurasa itu akan menjadi daya pikat tersendiri bagi setiap seniman manapun,”
“Ya, kau memang benar. Tapi itu tidak akan bertahan selamanya sebab kanvas hidup memiliki akhir. Kau akan menua, dan lebih jelek seiring berjalannya waktu,” aku menyatakan sudut pandangku secara realistis. Terlalu ringan. Tapi pria disampingku malah tertawa. “Kurasa aku tidak sedang mengatakan ujaran lucu untuk membuatmu tertawa,”
“Memang… tapi caramu memandang dunia benar-benar tidak biasa. Kau tau. Aku bahkan tidak memperkirakan kau akan memberiku jenis jawaban yang seperti itu. Tapi terus terang aku sedikit tersinggung ketika kau bilang aku akan menua dan tampil lebih jelek. Pria itu seperti sebotol wine. Semakin berumur justru semakin enak dan hot.” Dia berkata, terdengar percaya diri dan tidak masuk akal seperti dirinya yang aku kenal. Sepertinya dia membenci gagasan yang aku kemukakan dengan jujur beberapa saat yang lalu.
“Tapi intinya adalah kau percaya padaku?”
“Kurasa,”
“Kau akan menerimanya meskipun aku melakukan apa saja?” aku bertanya lagi. Membuatnya seakan kami sedang bernegosiasi untuk sebuah persetujuan akhir. Tapi karena aku tidak berpengalaman dengan tato. Kurasa aku juga harus mempertimbangkan kemungkinan terburuk dari ulah jari jemariku. “Kau mungkin akan mendapati kemungkinan terburuk ketika aku melakukan sesuatu. Kau juga mungkin akan mendapati sebuah hal yang tidak kau sukai nantinya. Aku tidak menjanjikan kenyamanan. Tapi begitu kita mulai. Kau tidak punya hak untuk mengatakan berhenti dan berpikir ulang soal ini. kau harus menyetujui itu sekarang juga atau aku akan menolak untuk melakukannya,” Aku menyeringai padanya. berpikir bahwa ini cukup sepadan.
“Aku setuju soal itu. karena aku yang memintamu,” itu sangat mudah. Siapa yang mengira akan jadi semudah ini. “ Itu sajakah? Apa kau tidak ingin sesuatu yang lain?” aku tidak mengira bahwa pria itu sekali lagi mencoba untuk menantangku.
“Apa kau menawarkan dirimu sendiri untuk tidur denganku?”
“Apa keinginanku terlalu terlihat segamblang itu?”
“Itu tidak ada hubungannya dengan yang aku butuhkan. Jika kau memang ingin tidur denganku jelas kau melakukannya karena kau menginginkannya untuk dirimu sendiri. Apa yang aku inginkan hanyalah menggambarmu,” aku menjawabnya dengan tegas.
Keheningan panjang membentang diantara kami saat dia terlihat merenungkan kembali. “Well… oke, tapi aku tetap memberikan penawaran itu padamu saat kau menginginkannya,”
“I hope not,”