Mencari Perhatian

2246 Words
Sepertinya mereka berdua tidak sadar bahwa tatapan elang sang pemuda diam-diam memperhatikan gelagat Luther yang mengaku sepupu terhadap Zelda. Adrien tahu sesuatu, sebuah perkara yang tentunya terlalu menarik untuk dilewatkan. Dia penasaran untuk menggali lebih dalam. Memberikan sebuah pembuktian terhadap kejelian matanya dalam mengobservasi seseorang. Adrien tertantang untuk bermain, sekaligus barangkali menarik pertunjukan heboh didepan mata. pancaran mata dari si lelaki gondrong berkilat. Ia sudah memutuskan mangsanya sekarang. “Kau pikir siapa dirimu sampai mengatakan omong kosong macam itu?!” teriakan Luther kali ini terlihat seperti upaya payah yang dilakukannya agar dapat menyembunyikan sesuatu. Tapi hal itu tidak mempan pada Adrien. “Ah.. jadi Cuma omong kosong ya?” Adrien berkata lalu mendekati Zelda yang sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan situasi yang ada disekitarnya. “Kalau begitu, tidak apa-apa kan kalau dia jadi milikku?” ucapnya sembari menarik bahu Zelda. Ikrar itu terucap lancar tanpa sedikitpun ada keraguan. Penutupnya Adrien bahkan membubuhkan sebuah tanda kepemilikan. Tanpa perlu aba aba dia mencium Zelda dihadapan sepupunya. Dan dibalik ciuman itu terselip seringai Adrien yang menajam. Luther tercenung menyaksikan adegan itu terjadi didepan matanya. Waktu terasa benar-benar berhenti berputar untuk dirinya. Adrien sendiri bahkan tidak sungkan untuk bermain lebih lama dengan bibir pasangannya, bahkan sesekali menggoda Zelda dengan sesapan maut miliknya. Ia melakukan aktivitas panas ini dengan bekal insting yang bagaimanapun juga dipengaruhi kinerja daripada hormone biologisnya dengan cara yang merajai. Ia tidak ingin memuaskan dirinya dengan egois. Pemuda itu sangat peduli terhadap objek yang sedang memuaskannya detik ini. Adrien membuka sedikit dari kelopak matanya untuk mengintip wajah sang korban. Pemuda itu menyeringai puas ketika bisa melumpuhkan targetnya. Dan kondisi Zelda yang ada dibawah dominasinya tidak melakukan perlawanan sedikitpun, justru gadis itu hanya membelalakan matanya tak mampu menghindar saat sebelah tangan Adrien sudah stagnan di rahang miliknya untuk mencengkram. Hampir setengah mencekik, jika saja Zelda tidak menginjak kakinya saat Adrien pikir telah berhasil menguasai keadaan. Belum sempat Adrien melepas ciuman nya yang tiba-tiba itu sebuah tangan besar menepuk bahunya dengan kencang sembari mendorong tubuh Adrien untuk menjauh hampir terjengkang bila saja dia tidak sigap. “Kau benar-benar lancang!” geram Luther seolah hendak mencabik-cabik dirinya sekarang juga. Tapi ekspresi muka Zelda tidak banyak berubah, gadis itu hanya bereaksi dengan mengusap bibirnya dengan punggung tangan meski sedikit kasar dan berdiri menatap Adrien tanpa kejelasan dari air mukanya sendiri. Terlebih saat sang sepupu sudah merangkulnya dengan cara yang terlalu posesif untuk ukuran hanya saudara. Sudut mata Luther menajam, siap untuk menghakimi sang tersangka yang kini begitu santai memperbaiki posisinya berdiri seperti semula. “Ups sepertinya aku berlebihan ya?” ujar Adrien terlihat sangat tenang malah. Pria itu bukannya tegang, sebaliknya dia nyaris terbahak lantang. Ia tidak ragu sama sekali untuk membalas tatapan Luther. “Benar-benar lezat,” tambah Adrien kembali memanasi situasi dengan mengelap bibirnya dengan jari jempolnya sambil melirik Luther dengan pandangan remeh. Sangat mudah ditebak bagi Adrien. Orang yang mengaku sebagai sepupu Zelda itu saat ini sepertinya sedang menghadapi pergolakan batin didalam dirinya sendiri. Dia tengah membendung emosinya yang meluap-luap. Salahkan pada situasinya yang terlahir sebagai saudara gadis itu. mungkin saja bila Zelda tidak ada ditempat dia sudah memukulnya K.O ditempat. “Ini sangat menarik loh,” ujar Adrien lagi sembari menjilat bibitnya sekali. Adrien tertawa dengan cara yang samar setelah mendapatkan buah daripada kinerjanya yang gemilang. Setelah itu si pemuda mengangkat tangannya seolah-olah dirinya ada untuk menyerah. Namun tetap, ekspresi mukanya tak menunjukan adanya raut penyesalan sedikitpun. “Baiklah Bung… aku minta maaf, oke?” Adrien menatap Luther sekali lagi dengan cara yang naif. “Aku hanya terlalu rindu pada Zelda, jadi aku memberi salam pada pelukisku. Lagipula hal semacam ini bukanlah sesuatu yang aneh di lingkungan pertemanan bukan?” Alasan picik melibatkan pergaulan sebagai dalih untuk mencium Zelda didepannya benar-benar membuat Luther muak. Lagipula Luther bukanlah tipikal pria yang hidup berhari-hari hanya didalam ruangan. Dia dibesarkan dengan baik, dan yang lebih penting dia bukanlah seorang pria bodoh yang tidak tahu menahu soal bagaimana informasi mengenai sosok Adrien dari sumber paling terpecaya. Tentu lelaki bermasalah yang ada dihadapannya ini terlalu kontroversial sebab latar belakang masa lalunya cukup buruk untuk dapat dia biarkan berlama-lama menempel pada sepupu favoritnya. Luther mencegah tangannya terkepal, sekali lagi menahan Hasrat untuk mencekik leher pria gondrong yang seolah memang sengaja tengah mengibarkan bendera perang terhadapnya. Kali ini kedua pria itu mendengar sebuah hela napas dari objek yang sejatinya sedang diperebutkan. Zelda melirik malas pada keduanya, tapi khusus kepada sepupunya dia menepuk pelan bahunya sebagai gesture yang diupayakan sebagai caranya menenangkan Luther. “Sudahlah Luther, jangan memperkeruh keadaan. Adrien memang seperti itu jadi jangan kau pikirkan. Dan Adrien kuharap kedepannya kau tidak membuat masalah lagi dengan Luther. Jangan menambah bebanku dengan cara pertikaian kalian yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku,” diberi kata pengantar demikian oleh Zelda, Luther semakin muak sebab perlindungan yang dia lakukan terhadap sang sepupu rasanya tidak ditanggapi dengan cara yang benar. Zelda seolah-olah lebih membela teman urakannya ketimbang dirinya yang adalah sepupunya sendiri. Kedua tangan Luther sekali lagi mengepal, rasa ingin menonjok pemuda itu meningkat dua kali lipat. Namun hingga akhir dia masih sadar diri. Sebagai seorang pria terhormat baginya tinju bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah dan bidang itu juga bukan daripada bidang yang dapat dia cakup dengan hasil yang menawan. Dia tidak memenuhi ekspektasi dalam bidang kekerasan specialisasi adu jotos. Karena itu dia memilih untuk menghela napas dan menyerah setidaknya untuk kali ini. niatnya untuk menghajar Adrien akan dia lakukan dibelakang Zelda sepertinya. “Kalau dia melakukan sesuatu padamu, maka aku yang akan menghajarnya lebih dulu,” suara Luther terdengar lebih dalam. Dia mengusap pelan rambut Zelda didepan matanya. Adrien yang secara terpaksa menonton drama yang menurutnya rendahan itu Cuma bisa mendegus malas. Terlalu mengiritasi kedua matanya dan tidak cocok untuk dikonsumsi olehnya secara pribadi seperti ini. pemuda itu pada akhirnya memutuskan untuk beranjak pergi. Tahu diri akan situasi, untuk tidak membuat suasana makin tidak enak. Sesungguhnya dia muak. Terlampau muak pada orang-orang yang bersembunyi dibalik moralitas dan juga kebaikan. Orang-orang seperti Luther atau Orion, mereka hanyalah para pria busuk yang menginginkan sesuatu dari Zelda dengan cara menjilat. Memanipulasi pandangan setiap orang dengan menjelma layaknya si protagonist tanpa dosa. *** “Baiklah tampan kau boleh bergabung!” Fleur berkata dengan nada yang mendefinisikan manja yang sesungguhnya. Dokter yang menangani diriku sebagai salah satu dari studi kasusnya itu sepertinya memiliki ketertarikan pada seorang pemuda yang akhir-akhir ini menjadi orang yang paling sering menginjak apartmentku. Aku baru tahu bahwa kami jadi lebih sering bertemu oleh terlalu banyak hal yang bisa dibilang kebetulan atau sebelumnya aku memang tidak peka akan kehadiran dirinya? Entahlah aku tidak pernah mau ambil pusing. Belum luntur ketertarikan Fleur Adrien justru malah melenggang dengan sedikit jengah, mengangkat dagu sembari mengunyah permen karet didepan sana. Wajahnya mencerminkan rasa tak nyaman dengan mata yang jelalatan kesana kemari seperti mencari seseorang. Aku harap bukan aku yang dia cari. Dan, hey… kenapa pula aku harus peduli dia mencariku atau tidak? spekulasi semacam ini bukanlah jenis hal yang cocok untuk pribadiku. Riuh bisik-bisik para gadis disekitarku menggema. Cukup wajar, sebab pemuda itu memang mencolok. Aku sendiri sangat aneh saat dia berkata mau menjadi modelku dengan bayaran yang tidak masuk akal dengan kontribusi yang dia berikan. “Bukankah dia cukup tampan dan menarik, Miss Zelda? Bagaimana menurutmu hm?” tanya tersebut terujar dari Anfisa. Gadis yang biasa sering kali tutup mulut kembali berujar lantaran sebab Adrien seorang. Seorang gadis yang cukup lama menempel padaku dan kami memang sudah menjalin hubungan pertemanan ini sejak kali. Agak aneh saat aku merasa dia melirik kearahku yang saat ini memang memposisikan diri di sampingnya. Suka tidak suka. Aku hanya diam, bagiku sketsa butut yang sedang kubuat lebih indah ketimbang memandangi wajah Adrien ataupun meladeni si mulut ember Fleur. Aku tidak tertarik dengan hal-hal lain diluar seni dan lukisan. “Hei kalian tenanglah sedikit!” seseorang menimpali gema yang terjadi lantaran kehadiran Adrien ke dalam circle pergaulanku pagi ini. Aku bahkan tidak mengerti mengapa semua orang harus heboh separah ini hanya karena kehadirannya. Brak! Kali ini ada lagi yang berpartisipasi, aku melirik dengan ekor mataku memastikan siapa yang membuat keributan susulan pada perkumpulanku ini. kerusuhan ini benar-benar membuatku tidak nyaman. “Berhentilah! Memangnya dia siapa sampai kalian perlu seheboh itu!” aku menyetujui perkataan Orion sebetulnya, hanya saja penyampaian pria yang biasa sangat sabar itu sedikit tidak biasa. Apa memang Orion seagresif ini? namun jauh dari sana, Adrien tidak bereaksi. Pria yang menjadi tamu yang menghebohkan itu justru terlihat setia memandangi mangsanya. Pandangannya yang tajam itu bukanlah terarah padaku? “Hai Nona!” sapanya tiba-tiba saat aku hendak kabur dari situasi yang tidak menyenangkan ini. tapi terlambat sebab kini perhatian semua orang teralih padaku gara-gara Adrien. “Hei, Nona Zelda aku memanggilmu loh! Kenapa pura-pura tidak melihat? Kenapa pura-pura tidak dengar?” sekali lagi dia berkata dan makin membuatku terhimpit dalam situasi yang tidak menyenangkan. Sebenarnya sejak kapan dia jadi mahluk semenyebalkan ini? aku bukanlah tipikal orang yang nyaman dengan perhatian berlebihan. Aku adalah orang yang dikenal sebagai seorang penyendiri paling ulung. Sebetulnya karena aku sendiri yang membuat jarak dengan kebanyakan orang, aku tidak ingin sembarangan menerima orang asing dihidupku. “Apa maumu?” Orion bertanya tanpa diminta, ia seperti sedang melontarkan tantangan pada Adrien. Aku melirik kearah Anfisa yang merupakan kekasih pria itu yang sejak tadi sepertinya memperlihatkan gelagat kurang menyenangkan. Situasi ini, kenapa pula dia berlagak dimuka umum seperti ini? Adrien mengerutkan alis, “Apa ? kau ini anjing penjaganya ya?” cemooh Adrien sembari berjalan mendekati kursi milikku. matanya terlihat tajam pada Orion. “Aku tidak punya urusan denganmu,” lanjutnya lagi dan kini posisi Adrien sudah berdiri tepat di samping tempat dudukku. “Ada urusan apa kau mendatangiku?” ujarku kalem, nyaris ketus. Menampakan kepribadianku yang dikenal oleh kebanyakan orang di kampus. Dingin. “Hebat!” Adrien tersenyum miring, nyaris bertepuk tangan bila hal itu diperlukan dan dapat menyemarakan suasana yang ada. “Kau sangat pandai bersandiwara, Nona,” lanjutnya kemudian duduk seenaknya menggeser tempatku. Dia bahkan dengan santainya merentangkan tangan pada sandaran kursi seperti hendak memenjarakanku dalam kekangannya. “Apa kau sedang menutupi dosamu karena saat ini sahabatmu ada didekat kita?” Kata-kata yang tak jelas, dia membisikan kalimat yang menimbulkan tanda tanya besar dalam benakku. Tapi bukan aku namanya bila aku tidak bisa mengendalikan ekspresiku. Aku menarik diriku secara refleks ketika Adrien kembali berulah dengan menyambar bibirku seperti kejadian tempo hari di apartment. “Kenapa kau mengatakan itu?” Aku menatap mata Adrien tak percaya. Tapi belum pula aku bereaksi atas kata-katanya barusan, pemuda itu menarik tubuhnya dan kembali berdiri tegap sembari merendahkan dagunya. Memandang kedua mataku yang kini melotot padanya. Bukannya takut pria itu justru terlihat sangat puas atas gelagat yang kubuat sebagai respon daripada kekurangan ajarannya. Aku dan dia memang pernah tidur bersama, tapi tidak kusangka kepribadiannya benar-benar sekacau ini. Begitu selesai dan puas atas sebuah situasi yang dia buat tanpa rasa malu dihadapan semua orang. Pria itu melonggarkan kemeja yang dia kenakan dengan melepas kancing bajunya sendiri. Lalu mengatakan sesuatu tanpa suara. Meski tidak terdengar tapi aku tau pasti aka napa yang dia katakan, kontan mataku melebar menangkap apa yang dia ingin sampaikan lewat isyarat itu. Tak sampai disitu dia bahkan menjilat bibirnya sendiri dan melangkah menjauh dari bangku yang aku duduki. Lalu melangkah santai kearah Fleur yang awalnya menyapa dirinya sampai hanya bisa diam menonton setiap adegan yang Adrien buat padaku. “Maaf cantik tapi urusan pentingku sudah selesai. Mungkin lain kali bila aku punya waktu luang aku akan mengikuti kelasmu. Terimakasih telah mengizinkan aku bergabung dan menuntaskan urusanku,” Adrien lenyap dari pandangan kami semua tanpa menghiraukan seluruh atensi yang tertumbuk pada dirinya. Fleur sendiri hanya bisa melongi, semua hal terjadi terlampau cepat untuk dapat dia cerna. Ia dipermainkan oleh seorang pria, yang tiba-tiba saja lenyap tanpa bekas setelah membuat kehebohan kecil dengan berbisik-bisik ria dengan salah satu sahabat favoritnya. “Apa yang dia katakan?” “Hanya bualan,” ujarku malas.   *** Alunan dari musik yang berdentum keras tak lagi jadi persoalan. Aku tertunduk dalam diam dengan beberapa gelas vodka yang entah yang keberapa. Aku berharap bisa mabuk malam ini, setidaknya untuk sedikit mengurangi daripada segala hal yang terjadi padaku akhir-akhir ini. padahal baru beberapa hari aku mengenal Adrien tapi hidupku rasanya dipenuhi banyak goncangan yang seperti tiada akhir. Aku benar-benar hancur sekarang. Tapi menangis pun rasanya tidak akan bisa sedikitpun mengusir daripada apa yang sedang aku alami sekarang ini. Aku seorang antagonist jadi buat apa aku perlu merasa frustasi sendiri? Kutenggak lagi dan lagi cairan itu hingga rasanya kepalaku pening bukan kepalang. Semua hal rasanya berputar-putar. Kakiku tidak lagi memijak tanah. Yang aku rasakan hanyalah sebuah perasaan melayang. Ya, inilah yang aku butuhkan. Aku butuh untuk tidak sadar. “Zelda!” suara itu membuatku tersentak. Entah siapa, aku tidak tahu. Tapi caranya memperlakukanku sangat lembut. Caranya memanggilku, aku seperti mengenal dia. “Orion?” suaraku serak dan lemah. Malah lebih pada lirih ketika kupanggil nama itu dalam kondisi sadar tak sadarku. Tangan itu sekali lagi berupaya untuk menyadarkanku. Tapi gagal, aku tidak bisa menggunakan sisa kesadaranku dengan baik. “Aku takut, bagaimana ini ? apa yang harus aku lakukan?” ujarku, kini aku terisak sambil memeluknya. Aku tidak peduli apakah dia benar Orion atau tidak. Aku merasa sangat sedih dan berdosa. Aku takut untuk menghadapi hari esok. Aku seperti tidak punya muka berhadapan dengan Anfisa yang merupakan teman pertamaku. “Jangan cemas, aku ada disini untukmu.” Katanya sambil membalas pelukku dan mengelus puncak kepalaku. Ya, ketenangan ini hanya bisa aku rasakan dari dia. hanya dia yang sanggup membuatku melemah.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD