Luther menendang satu persatu kerikil yang dia tidak sengaja injak dengan sepatunya. Menuntun kakinya sendiri menuju kediamannya setelah memastikan sepupunya pulang dalam keadaan selamat tanpa kurang satu apapun. keputusannya untuk mengikuti Zelda setelah Fleur menghubunginya langsung karena Zelda pulang lebih awal dari perkumpulan membuat sebagian dari hatinya kemudian memutuskan untuk mencarinya. Tapi setelah menemukan keberadaan Zelda malam itu dia tidak mendekat, dirinya justru memilih duduk pada bangku kosong yang tidak jauh dari tempat Zelda menghabiskan waktunya. Meneliti, mengamati dari jauh. mungkin ia harus bersabar menunggu beberapa menit agar kedatangannya lebih natural, bukan seperti seorang penguntit meskipun apa yang dia lakukan memang sudah mencerminkan hal itu.
Tapi dia tidak bisa menahan dirinya, dia selalu ingin terlibat, ingin tahu banyak hal tentang Zelda. Ingin selalu dekat dengannya. Sebab keberadaan sepupu favoritnya itu cukup terbatas untuk selalu berada disisinya, sebab karena mereka memang berbeda fakultas dan memilih jalan yang berbeda. Dia adalah seorang gadis yang selalu sibuk menghabiskan waktunya bercinta dengan hasil karyanya seharian, separuh waktunya kerap Zelda habiskan dengan seni. Cukup menyebalkan sebab Luther sejatinya membutuhkan perhatian yang tidak sedikit. Paling tidak menerima sebuah sapa atau tanya tentang kegiatan sehari-harinya. Atau berbicara satu sama lain untuk berbagi banyak hal. Tapi sampai titik ini Luther sadar bahwa Zelda bukan tipikal gadis seperti itu. dia berbeda, dan perbedaan itulah yang membuatnya dirinya tertarik.
Keegoisan untuk selalu berada disisi Zelda membuat Luther sedikit banyak merasa terganggu, pasalnya dia selalu dihantui oleh rasa iri dan cemburu oleh siapapun yang mencuri keberadaan Zelda dari sisinya. Luther tahu bahwa ini merupakan hal yang tidak wajar untuk dapat dia rasakan. Tapi apa boleh buat, dia tersadar bahwa ini bukan sekadar rasa saat dirinya mencoba mengencani gadis lain. Ya, dia membandingkan apa yang dia rasakan pada Zelda dengan gadis yang dia kencani. Namun hasilnya dia tersadarkan bahwa apa yang dia miliki untuk sepupunya itu adalah sebuah rasa cinta. Dia mengakui bahwa dirinya mengenal adanya cinta karena gadis itu. Hanya Zelda yang membuat hatinya dibuat tidak menentu. Dan malam ini gadis itu melakukannya lagi. Menyebut nama pria lain saat berada disisinya.
“Kau terlihat marah. Ada sesuatu yang mengganggumu?”
Suara itu, nada licik itu. Luther mengenal betul sosok itu tanpa perlu repot-repot berpaling muka untuk dapat memastikan. Saat ini suasana hatinya sedang buruk, dan kesialan semakin bertambah lantaran Luther mau tidak mau harus menghadapi cecunguk kecil yang membuat dirinya semakin terpuruk.
“Kenapa aku harus bertemu denganmu?” ujar Luther.
“Wah… sebuah kejutan ternyata kau mengenalku meski dari suara saja. Jangan berkata seolah-olah aku sedang menguntiti disini. tapi ya, jujur saja aku sendiri tidak menduga akan bertemu denganmu disini,”
Berkat perkataan orang itu kontan Luther langsung menoleh padanya. Dan sosok yang dia duga memang sepertinya sedang menanti untuk disambut.
Sungguh sial, dengan cepat Luther berusaha untuk menganggap bahwa tidak ada konversasi apapun diantara mereka. Dan berkat gelagat tersebut, Adrien malah tersenyum tipis. Jangan panggil dirinya Adrien bila dirinya akan membiarkan begitu saja mangsa yang telah dia tandai kabur dengan mudah.
“Kenapa buru-buru? Sedang berusaha mengabaikanku? Tenang saja bung. Aku tidak melihat apa-apa, selain wajahmu yang terlihat kecewa karena tuan putri malah menyebut nama pria lain alih-alih menyebut namamu,”
Kali ini Luther dibuat benar-benar merinding bukan kepalang.
“Apa yang kau inginkan?”
“Ayolah jangan melihatku dengan tatapan itu. kau membuatku takut,”
“Justru tingkahmulah yang menakutkan,”
“Begitukah?”
“Dengar aku harap kau berhenti mengurus sesuatu yang bukan urusanmu.”
“Memangnya kenapa? Bukankah kau tidak berhak untuk menentukan apa yang perlu aku lakukan dan tidak?”
“Asal kau tahu kalau tingkahmu itu tidak normal!”
“Apa maksudmu ini tentang aku dan Zelda?”
“Apa yang—”
“Aku tahu kau memiliki perasaan padanya, tapi bukankah dengan statement ini kau juga sadar bahwa bukan aku saja satu-satunya yang tidak normal?”
Tubuh Luther bergetar, dilanda tremor begini bukanlah apa yang biasa dia rasakan.
“Apa perkataanku tepat sasaran?” kali ini Adrien justru terlihat makin berani. Pandangan pemuda itu terlihat berkilat.
“Kau sudah gila!”
“Kau pikir kau tidak?”
Luther tahu bahwa kondisi ini tidak memungkinkan untuknya. Oleh sebab itu dia memilih untuk berlalu daripada meladeni orang seperti dia lebih lama. Ya, Luther tahu mungkin sesi kali ini dia kalah tapi tidak berarti bahwa dikesempatan lain akan sama.
“Enyah dari sekitarku,”
“Off course, silahkan lanjutkan perjalananmu. Dan hati-hatilah di jalan,”
***
Aku terbangun dalam keadaan kacau. Kepalaku rasanya mau pecah lantaran terlalu banyak mengkonsumsi alcohol. Sadar betapa buruknya kebiasaanku yang satu itu, aku lantas menanggalkan selimut yang membungkus tubuhku. ketika berhasil lepas disaat itulah aku sadar bahwa pakaianku sudah tidak utuh, mengabaikan tubuhku yang hanya ditutupi oleh pakaian dalam, aku lantas memilih untuk beringsut keluar dari kamarku dan sedikit tidak awas lantaran aku mendapati ada Luther disana. Pria itu langsung berbalik ketika melihat aku keluar dari kamar dengan penampilan setengah telanjang dihadapannya.
“Tidakkah kau terlalu santai ?” ujarnya sedikit dibumbui nada marah disana. Tapi aku tidak peduli soal ujarannya dan memilih mengambil hoody yang tergantung dan memakaianya sebagai penutup tubuhku.
“Kau sudah selesai menutupi tubuhmu?” ujarnya lagi. Terlihat kaku dari belakang tubuhnya.
“Sudah,” timpalku pendek. Pria itu melirik dan kali ini dia justru terbatuk sendiri. Aku hanya menatapnya heran.
“Kenapa kau memakai hoody milikku?” semburat merah terlukis diwajahnya begitu saja.
“Ini adalah pakaian terdekat yang bisa langsung aku kenakan.”
“Ahh… sudahlah.. Oh iya aku sudah membuat sup penyegar untukmu yang pengar diatas meja. Makan dulu itu,” titahnya. Aku menurut tanpa banyak berkomentar.
“kau ingin makan sesuatu? Aku akan membuatkannya untukmu.” Tanyanya lagi saat aku masih berkutat dengan sup yang dia buat khusus untukku.
“Tidak,” kataku samar. “Aku tidak lapar,”
Kali ini pria itu terdiam, dia menatapku tanpa berkedip seolah sedang mencari sesuatu dari dalam diriku. Menangkap keganjilan dariku yang mungkin menurutnya tidak wajar untuk aku perlihatkan padanya. Lalu sebagai ganti dari waktu yang berlalu tanpa sedikitpun kata diantara kami, aku bisa menangkap kini pandangan Luther terhadapku dipenuhi oleh sebuah kasih.
“Kau tidak perlu mencemaskan apapun,” ujarnya tenang. “Aku tahu kau punya alasan untuk hal apapun yang kau lakukan.”
Kata-kata yang Luther utarakan begitu hangat, merasuk dalam sukmaku hingga mencipta sebuah getaran aneh pada rongga dadaku. Sebuah gelombang yang membuat sejenak kecemasan dalam diriku sedikit meluntur meski tidak seluruhnya.
“Luther,” panggilku halus. “Bisakah kau menyisihkan waktu untukku malam nanti?” aku tahu bahwa pertanyaan itu terlalu frontal. Aku tahu bahwa aku gila sebab meminta pria itu menemaniku.
Aku tidak peduli bagaimana dia mengartikan itu. ajakan bercinta? Bisa saja pikiran itu sampai padanya. Lagipula Luther bukanlah seorang pecundang yang tidak pernah bercinta dengan wanita. Dia juga bukanlah seorang pria bodoh yang tidak bisa menafsirkan nada bicara dan pancaran mata yang aku buat barusan. Ia adalah seorang pria sehat dan muda yang mengerti seluk beluk soal seorang mantan gadis yang menginginkan sebuah kesenangan ekstrim diwaktu-waktu sulitnya. Disaat ada sesuatu yang terlalu mengganggu otaknya. Dan ya, aku memang sedang mengalami keduanya.
Luther kemudian mendekatiku yang duduk menatapnya dari belakang. Pria itu tanpa kuduga meraih pipiku dan mengelusnya dengan teramat lembut. “Tentu saja, aku akan memberikan seluruh waktuku bila perlu,”
Kurasa aku masih berada dalam pengaruh alcohol, sebab aku bisa merasakan adanya perubahan suhu tubuhku. entah merona karena sentuhannya, atau tersipu lantaran kata-katanya begitu rendah dan lembut seolah suaranya itu hanya ditunjukan untukku saja. dan setelah mendapatkan sesuatu seperti itu dariku aku bisa melihat pemuda itu tersenyum dengan otak yang mungkin sudah dipenuhi oleh berbagai fantasi gila soal percintaan diatas ranjang. Ia tahu, bahwa aku mungkin sedang berada dalam sebuah situasi yang candu oleh hal-hal seperti itu. Dan dari sudut pandang Luther sepertinya dia sedang menimbang bagaimana caranya untuk dapat memuaskanku.
“Hey, Luther-boy!” seseorang bersurai panjang berhasil memutus kontak mata antara aku dan juga sepupuku.
“Oh, Nesrin?” ketika Luther menyebut nama itu, aku lantas melirik kearah wanita yang beberapa waktu lalu menghina hasil karyaku dengan mudah. Wanita itu masuk kedalam apartmentku dengan santai. Mengabaikan tatakrama, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan attitude seorang manusia. Melengang indah masuk kedalam kediamanku lalu mencomot makanan yang tersaji diatas meja.
“Apa kedatanganku mengganggu?” ujar Nesrin yang kusebut sebagai bentuk daripada ketidaktahu dirian yang terlampau mendarah daging.
“Seperti yang kau lihat sendiri,” ujarku malas, pandangan mata Nesrin sedikit berkelit lalu arah pandangannya bertumbuk pada apa yang aku kenakan dan juga pada Luther. Sepertinya aku memahami kemana arah pemikiran wanita itu pada situasi kami pagi ini.
“Begitu ya, aku kemari ingin mendiskusikan soal perkembangan proyekmu. Sudah hampir satu pekan dan aku belum mendengar apapun.”
“Belum ada yang bisa kuberikan padamu. Karena itu aku belum bicara padamu,”
“Oh, jadi apa pada akhirnya kau memikirkan saranku baik-baik?”
“Mungkin saja,” sekali lagi pandangannya terarah pada Luther. Aku bisa melihat ada senyum yang berbeda saat mata mereka bertemu pandang.
“Oh iya Luther sudah lama kita tidak bertemu. Bisa kau meluangkan waktumu sebentar untukku? Kurasa ini pembicaraan menarik yang tidak akan bisa kau tolak,” ajak Nesrin sembari menepuk bahu Luther dengan sangat santai. Luther terlihat hanya menganggukan kepalanya, lalu pandangannya melirik kearahku yang masih menyaksikan mereka dari tempatku duduk.
“Kurasa aku akan pulang saja, karena pembicaraan kami akan lebih lama daripada yang bisa aku bayangkan. Dia mungkin akan menahanku, cukup lama untuk tidak berada disampingmu,”
“Don’t mind. Lebih baik kau urus dulu masalahmu, aku akan baik-baik saja karena kurasa pembicaraan yang akan kalian lakukan sangat penting.”
“Kau yakin?”
Aku mendesah, Luther seperti memintaku untuk menahannya, dia jadi terlihat seperti pria menyebalkan yang ingin diperebutkan oleh dua orang wanita.
“Aku sangat yakin. Harus bagaimana aku bersikap agar kau segera menyelesaikan urusanmu?”
Nesrin nampak mengulas senyum lebarnya. Dia lantas mengambil alih keadaan dengan merangkul tangan Luther tanpa izinnya lalu bersikap seolah hendak menculik sepupuku.
“Kalau begitu aku pinjam dia dulu sebelum aku kembali dan berdiskusi soal studimu,” ujar Nesrin. Aku mengangguk mempersilahkan keduanya untuk keluar dari ruanganku dan memberikanku privasi yang cukup untuk menikmati pagi yang damai. Persetan soal apa yang menjadi urusan mereka sebab aku sendiri tidak peduli.
***
“Sungguh menyakitkan. Dia jadi semakin mirip dengan Bibimu,” Luther hanya memejamkan matanya tidak berkomentar apapun saat justru kata-kata itulah yang terlontar dari bibir Nesrin alih-alih bertanya soal kabar atau hal-hal lainnya. “Kurasa kau jadinya malah tersiksa sebab kau berada disamping muridku itu. apakah statmentku benar?”
Luther meraih tangan Nesrin yang merangkul tangannya. Melepaskan jeratan itu dengan cara yang sedikit kasar. Dia tahu bahwa sahabat dekat dari mendiang Bibinya itu memahami apa yang sudah terjadi. Dan sialnya yang tahu kini bukan hanya dia seorang melainkan seorang pemuda yang selalu dekat-dekat dengan sepupunya.
“Ya, kau tidak salah. Aku memang berdosa,” kalimat dari pria itu lebih mengambang.
“Kau mengatakan sesuatu?” Nesrin bertanya lantaran pria itu tidak menjawab tegas daripada apa yang dia katakan. Dan Luther hanya buang muka sebagai respon terbaik yang bisa dia berikan. Sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti dengan hatinya. Dia sendiri merasa telah melukai kekukuhan hatinya pada sang mendiang istri. Ia malah ingin memiliki Zelda untuk dirinya sendiri meskipun mereka tidak bisa sejauh itu. ia terperangkap oleh rasa yang semestinya tidak ada disana.
“Tidak. aku tidak mengatakan apapun, hanya saja sepertinya keputusanmu untuk mengangkat Zelda sebagai keluargamu. Dengan cara ini kau membuatku terbatas untuk menghubunginya. Karena bagaimanapun juga dia adalah titipan dari Bibi,”
Dalam hati Luther benar-benar ingin mengutuk ucapannya sendiri. Benar-benar picik dan so suci. Padahal dalam lubuk hati terdalamnya dia teramat ingin menguasai Zelda untuk dirinya sendiri, dan benci pada Nesrin karena dia membawa sepupunya jauh dari keluarga mereka oleh karena prahara keluarga. Dia tahu pasti bahwa dia berhasil melewati fase depresi beratnya saat kehilangan sang istri.
Atau mungkin tepatnya, Zelda dia gunakan sebagai obat yang mampu menenangkannya disaat-saat tertentu.
“Tapi aku merasa tidak membesarkannya dengan baik. Kau tahu bahwa aku sesusiamu. Dan aku tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk mendidik seorang bocah. Dia adalah gadis yang mengagumkan. Dibanding sebagai seorang ibu, aku malah lebih terlihat seperti orang payah yang so jagoan membawa dia dalam lingkup hidupku yang juga tidak benar-benar stabil.”
“Tapi berkatmu dia bisa tumbuh.”
Nesrin mengangguk mantap. “Tentu saja. tapi pagi ini aku melihat ada yang tidak beres diantara kalian. Aku tidak mengira bahwa kau memiliki jenis ketertarikan dengan gadis itu. maksudku, aku memang sempat menduganya tapi pagi ini kau malah membuktikan semuanya. Aku tidak mengerti dengan cara berpikir keluargamu Luther. Pernikahan sedarah yang kalian lakukan benar-benar diluar nalar kau tahu?” Nesrin tertawa sejenak. Namun tak lama dia menyadari sesuatu yang sangat amat penting dari pembicaraan ini. “Tunggu, apa selama ini kau memiliki ketertarikan padanya?”
Luther kini benar-benar gelisah. Pertanyaan itu membuat telinganya tiba-tiba terasa sakit. namun dia tidak memiliki hak yang cukup untuk menyembunyikan perihal masalah itu dari Nesrin. Dia tahu benar bahwa wanita itu cukup berbahaya. Serapat apapun dia menyembunyikan rahasia wanita itu pasti mampu mengoreknya hingga keakar.
“Ya, aku tahu aku adalah seorang b*****h,”
“Oh s**t!”
“Kau boleh menghakimiku sekarang,”
“Dulu saat kau masih bocah kau terlihat tertarik pada bibimu sendiri, dan sekarang setelah dia meninggal kau menggeser rasamu itu pada sepupumu. Kau benar-benar tidak normal Luther!” lanjut Nesrin cepat. namun Luther tidak menghiraukan soal itu.
Tidak normal? Luther muak untuk mendengarnya.