Kalimat itu selaksa sebuah pematik, pematik yang sukses membakar jutaan sensasi yang mengaliri tubuhku sendiri. Aku sedikit gemetar ketika pria sedikit menggodaku menggunakan napasnya yang panas. Merinding. Membangkitkan sesuatu dalam relung diriku yang terdalam. Aku rasa dia sudah berada pada titik puncak kesabaran yang bisa dia terima. Mungkin baginya sia-sia untuk menahan diri tatkala sesuatu didalam sana menggedor memaksa untuk keluar. Pria egois. Pria tidak peka. Haruskah aku jujur padanya bahwa aku merasakan hal yang sama? Ini sedikit memalukan asal dia tahu. Menganggukan kepalaku tanpa sadar, aku malah terbuai makin jauh atas permohonannya. Aku menjumput kembali liquid cat yang ada, melumurinya pada jari jemari sebelum tanganku bergerak untuk memandikan pemuda itu dalam kubangan warna hitam. Warna yang entah darimana dia tahu bahwa itu adalah warna favoritku pula.
Warna-ku, katanya.
Adrien dalam balutan warnaku, rasanya tidak buruk. Seolah aku sendiri telah meletakan kepemilikan terhadap pemuda itu secara utuh. Melihat Adrien yang berlumur hitam membuatku seleraku tergugah, terpana hingga beberapa detik lamanya. Awalnya aku sempat berpikir bahwa hitam bukanlah kombinasi yang bagus untuk dirinya. Hitam justru mungkin akan mengubur sinar yang ada dalam dirinya. Tapi ketika kau melihatnya sendiri sepertinya aku melakukan kesalahan dengan seluruh stigma yang aku punya. Cahaya miliknya tidak mati. meredup saja tidak.
Apa aku terlalu berlebihan? Aku tidak pernah khawatir akan apapun. peduli pun tidak padanya. Pemuda inilah yang memaksakan diriya untuk ada dalam hidupku. Tanpa persetujuan dariku, dia merangsek masuk sendiri. Hingga aku jadi terbiasa dengan dirinya. Kelancangan yang justru malah jadi bagian dari dalam hidupku yang sedikit tak terstruktur lantaran dia ada. Layaknya sebuah parasite. Parasite yang tidak akan pernah aku benci.
Ia membuat hitam menjadi sesuatu yang nampak sangat majestic. Hitam yang menguburnya, malah memukau ditubuh pria itu. seperti hitam memang adalah apa yang ada didalam dirinya. Harusnya aku tahu bahwa apapun dalam diri Adrien memang akan memberikan hasil akhir yang bernilai estetik. Itulah sebabnya pula aku setuju dia menjadi modelku dalam upaya pencarian yang aku lakukan hingga hari ini. Adrien memang pemuda yang seperti itu. pemuda dengan semesta keindahan yang dia bawa dalam dirinya. Keindahan yang rasa-rasanya tidak akan pernah lekang untuk menggugah naluriku.
Aku berkedip tatkala tangan pria itu ikut berpartisipasi. Dia meraih cat yang ada didekatnya lalu melumuri tubuhku yang polos dengan berbagai macam spektrum warna. Seperti apa yang telah dia lakukan terhadap diriku setelah kami bersua dan melakukan konversasi sederhana -memberiku warna kehidupan yang tidak lagi stuck dan membosankan.
Tangan kami yang terlumur cat malah menggila, saling berlomba untuk merasakan setiap inchi kulit yang bisa kami jangkau sejauh yang kami bisa. Membelai, menjamah, hingga mencumbu. Aku tidak yakin lagi dengan apa yang sedang kami lakukan sekarang. Saat tangan-tangan kami yang bebas bergerak berani dan penuh urgensi. Cumbu makin masuk dalam level kecup panas yang seolah tak ingin lepas. Hasrat yang makin sulit untuk dibendung, kabut birahi yang membuatkan akal logis. Kini yang aku cari bukan lagi sebatas pada keindahan. Yang kucari justru kepuasan. Kepuasaan yang kurasa tidak akan pernah bisa aku dapatkan jika bukan dari dia.
Titik sensitive miliknya mulai kujamah, aku bisa merasakan ada rasa tak sabaran dari dirinya ketika aku berhasil menyentuh miliknya. Dia mendesak. Dan semuanya terjadi begitu saja, memposisikan diriku pada destinasi yang tepat untuk mengantar kami menuju sebuah kenikmatan duniawi. Memulainya dengan sedikit penyesuaian yang tidak mudah. Perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit. Aku bisa melihat dari bawah sana pria itu mengamati diriku dengan pandangan khawatir, saat wajahku menunjukan ekspresi sejati. Kernyitan yang cukup dalam ketika aku memasuki proses ini.
Dan ketika aku berhasil, kami melengguh cukup keras dan bersamaan. Aku berhasil melingukupi Adrien seutuhnya.
Sensasi yang aku dapatkan bukan dalam kategori biasa. Ini terlampau memabukan sampai aku tidak yakin bisa bergerak, terlebih ketika dinding berkontraksi. Memberikan jepitan erat, membuat pemuda dibawah sana kehilangan akal sehat.
Sementara tubuhku sedikit terdorong kedepan, kedua tanganku secara refleks langsung menjadikan bahu pemuda itu sebagai pegangan agar aku bisa bertahan dalam posisi ini. Rasa nyeri dan juga nikmat ini terlalu menyiksa hingga aku tidak bisa memikirkan mana yang lebih dominan diantara keduanya. Kuku milikku yang menancap pada bahunya kurasa akan menimbulkan luka. Tapi persetan soal itu, aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sedang pria itu menutup kedua matanya, kedua tangannya yang bermandikan cat mengepal erat hingga urat-uratnya terlihat menyembul keluar. Pria itu seperti sedang berusaha untuk mencari pertahanan diri. Mencari pegangan namun tidak ada yang bisa dia pegang, menyentuhku mungkin menjadi pilihan terakhir baginya. Rasanya lucu ketika dia berusaha mengambil waktu. berusaha sebisa mungkin untuk menyesuaikan tubuhnya di bawah sana. Apa rasa yang kuberikan padanya seluar biasa itu?
Aku sedikit terbantu lantara upaya pemuda itu mendistraksi, tangannya yang sudah mulai tenang menelusuri pingganggku dan sisi tubuhku dengan telapak tangannya yang besar dan tegas. Memanjakan diriku pada dua titik yang secara tidak sengaja malah seperti kusuguhkan padanya cuma cuma tanpa perlu bersusah payah meraihnya. Usapan kecil, yang berlanjut pada sesi sapuan lidahnya yang usil kemudian menggigitnya kecil itu cukup membuat tubuhku lantas melengkung, tapi berkat usahanya aku sedikit dapat melupakan rasa sakit dibawah sana. Dia menggantinya dengan sebuah kenikmatan yang memang aku nantikan. Ini gila.. aku tidak habis pikir aku sedang bercinta dengan modelku semudah ini.
Saat aku menjerit karena ulahnya, Adrien menyadari bahwa sepertinya dia menemukan sebuah titik yang tepat untuk memberikanku lebih daripada yang dia bisa berikan. Ia mencengkram pinggangku dan sekali lagi membuatku gelisah parah lantaran dia berhasil menumbuk titik lemahku didalam sana. Lagi, dan lagi, entahlah.. aku tidak yakin berapa kali karena aku tidak bisa berhitung lagi dalam situasi kami saat ini.
Resonasi antara jerit, erang, dan napas bersahut-sahutan. Kurasa aku memang sudah gila karena berpikir bahwa hanya ada kami didunia ini. dia membantuku menghapus realita dalam kehidupan. Aku menemukan diriku takluk akan keperkasaan pria ini. membuatku perlu untuk memohon padahal aku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Ini diluar batas dari apa yang bisa kuterima. Semakin cepat semakin keras. Sialan!
Kurasa kami menikmati ini, berbagi rasa lewat tautan bibir diatas sini dan tubuh kami yang saling memenuhi dibawah sana. Kombinasi yang indah. Aku menyukainya, dan aku menikmati moment gila ini lebih dari apapun juga. Ini seperti sebuah simfoni seni yang indah. Sangat estetik.
Ketika gerakan Adrien mulai melemah, aku menambahkan sedikit apa yang kubisa dengan jepitan yang mengerat. Saat itulah pria itu menyadari bahwa puncak kenikmatan itu akan segera teraih. Kecupan demi kecupan kami bagi satu sama lain dengan desah napas yang mengiringi. Satu tumbukan yang keras, sekali lagi pemuda ini mengirimku pada nirwana yang entah keberapa. Sampai dititik ini aku bahkan tidak sadar memeluk tubuhnya kuat-kuat, tak sengaja pula mengigit bahu pria itu keras agar dapat meredam jeritan yang kurasa terlalu gila untuk disuarakan di tengah hiruk pikuk manusia disekitar kami. Puncak yang berhasil aku raih.
Adrien balas memeluk tubuhku, mendekapku teramat erat. Suara geramannya terdengar lebih dalam ketika dia membiarkan dirinya limbung untuk mencapai klimaks setelah membuatku tak berdaya berkali-kali. Aku sedikit lega sebab kali ini aku tak sendiri sebab pria itu juga mengalaminya. Ia segera melepaskan jalinan tubuh kami, lalu mengelus diriku dengan penuh kelembutan saat tubuhku ambruk dalam pelukannya.
Aku tidak bisa melihat apapun. semua dikepalaku hanya berputar akan satu warna saja.
Semuanya diliputi oleh putih.
Putih seperti aku baru saja dihempaskan dari atas sana menuju permukaan awan yang selembut kapas ketika kelegaan ini menyapa. Putih seperti permukaan kanvas yang biasa aku gunakan untuk melukis, dan warna putih yang kini juga menghiasi tubuhku dari pemuda itu.
Netra kami bersitatap sekali lagi, tenggelam dalam jerat pesona. Mengatur napas kelelahan.
Kupikir Adrien akan melepaskanku, tapi sekali lagi dia tidak mudah k****a sekarang. Dia malah menangkupkan kedua telapak tangannya ke kepalaku. Membawa dahiku yang dipenuhi oleh butiran peluh mendekat padanya. Seperti enggan menjauh dariku, membawaku untuk sama sama menetralkan napas kami yang masih memburu dan membetulkan akal sehat kami. Tak lagi menaruh peduli pada apapun termasuk betapa kotornya mereka. Tubuh yang dipenuhi oleh cairan yang bercampur, peluh, cat, bahkan essence yang dikeluarkan pemuda itu barusan.
“Kau…” bisik Adrien di sela napasnya yang belum betul, masih belum stabil. Tapi melihatnya memaksakan diri untuk bicara membuatku menantikan apa yang akan dia katakan padaku, “…sungguh sangat menakjubkan,”
Aku tidak berkomentar lebih. Aku hanya memberi pemuda itu sebuah seringaian. Debaran ini, bagaimana hati mengartikan ini. akan aku kesampingkan. Sebab urusan perasaan bukan yang aku inginkan untuk sekarang.
“Kita harus segera membersihkan diri setelah ini,” suaraku sedikit serak, aku tidak mengira bahwa apa yang kami lakukan bisa ikut mengubah suaraku pula. “Kita sangat kotor,”
“Kau benar,” sahut Adrien. Ia sedikit mengangkat tubuhnya untuk kemudian malah mencumbui tulang selangkaku yang tidak ternoda oleh cat sama sekali. Kedua sudut bibirnya lalu terangkat. Sekali lagi tatapan nakal kudapati dari kedua matanya.
“Mau melakukannya bersama?” aku menangkap sorot penuh arti dari pemuda ini. Apa yang harus aku lakukan? Menolaknya mungkin adalah sebuah hal paling logis yang bisa kuberikan sebagai jawaban pada dia. aku tidak mau terjebak lebih lama dengan pria asing ini.
“Kenapa tidak?” tapi kenapa ucapan yang nilainya seperti sebuah tantangan lah yang justru meluncur lancar dari bibirku?
***
Adrien mendongakan kepala, bola matanya menatap lurus lurus kedepan. Pandangannya tidak lepas dari satu lukisan baru yang terpajang pada studio milik si gadis.
Ini adalah kunjungan pertamanya setelah mereka sempat bersatu satu pekan lalu. dia tidak mengira bahwa kunjungannya kali ini akan dihiasi oleh sebuah lukisan bergambar dirinya yang telah terpajang apik diruang tengah si gadis. Dan mungkin ini bisa jadi merupakan kunjungan tanpa izin lagi, sebab dia mendapati apartment gadis itu berada dalam kosong melompong.
Sejak pertama kali menawarkan dirinya, Adrien memang sudah sangat tertarik pada Zelda. Sudut pandang gadis itu dalam mengekspresikan karya selalu menjadi hal unik. Magnet yang membiusnya semakin dalam kedalam karya gadis itu. Hal yang sama berlaku untuk seluruh lukisan si gadis, meskipun Zelda sendiri selalu bersikap seolah tidak puas atas seluruh karya miliknya. Entah karena alasan apa.
Tapi untuk lukisan ini, Adrien benar-benar terkesima. Dia tidak mengira bahwa Zelda memandangnya dengan cara seperti ini ketika dia memandang dirinya hari itu. sangat bernilai, memukau, kharismatik. Adrien bahkan ragu saat melihatnya. Apa benar model didalam lukisan itu adalah dirinya? Rasanya cara Zelda memberikan detail terlalu rumit, membuatnya bahkan minder sendiri. Apakah memang dirinya yang rusak ini terlihat indah dimata orang lain?
Padahal ini bukanlah lukisan yang masuk dalam katagori selesai. Sebab mereka berdua terlanjur terdistraksi.
Kepingan memori itu kembali seketika menyapa sang pemuda, mengingatkannya bagaimana moment lukisan itu terbentuk dimulai dari sketsa, kejar-kejaran mereka, si gadis yang melukis di tubuhnya. Sampai kemudian mereka menyatu. Fragmen memori yang membubuhkan sebuah kurva indah terlukis pada wajahnya. Penuh nostalgia, dan Adrien memiliki sedikit pengharapan bahwa moment itu bisa dia ulang. Saking adiktifnya rasa dari gadis itu. tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Adrien sepertinya sudah memutuskan untuk mengambil lukisan yang mana sebagai imbalannya nanti.
Apa dia akan keberatan?
Entahlah.. Adrien hanya ingin selalu memandanginya, memonopoli lukisan itu untuk dia abadikan di kamarnya. Dia nikmati sepanjang waktu sekaligus mengenang proses terbentuknya lukisan itu setiap kali dia membutuhkan kenangan indah untuk mengobati luka dihatinya.
Atau karena diam-diam Adrien merasa hatinya yang gelap ini memutuskan menambatkan hatinya? Ketika sebuah obesesi semata yang menuntunya malah menjebak pemuda itu menjadikan Zelda sebagai gadis yang mengisi relung hatinya? Satu-satunya? Apa dia sedang bercanda? Cinta bukanlah kombinasi yang bagus untuk sosoknya. Cinta tidak cocok untuk seorang penipu ulung sepertinya.
Clek!
“Selamat datang,” ujar Adrien spontan ketika dia melihat siapa yang memasuki apartment si gadis dengan senyuman yang lebar. Namun senyuman itu, mendadak lumpuh sebab kedatangan Zelda tidak secara harfiah seperti dia biasanya. Ada seorang pria disisinya. Pria yang kini menatapnya dengan sangat arogan seolah Adrien adalah hama yang sudah sepantasnya di berantas.
“Siapa kau?” sergahnya setengah berteriak emosi. Pemuda itu mungkin akan melayangkan tinjunya bila saja Zelda tidak menahan laju pergerakannya dengan spontan pula.
“Kau seharusnya sudah tidak asing dengan wajahnya. Dia adalah model lukisanku,” ujar Zelda ringan. Dia terlihat dingin dan cuek bahkan enggan terlalu banyak menjelaskanku pada orang disisinya. “Masuklah, katanya kau mau membuatkanku makan malam,” sambungnya pula setelah melepaskan sepatunya dan masuk hingga dirinya dan Adrien berada dalam satu garis yang sama. Tatapan pemuda yang dibawa Zelda tidak menyiratkan apapun. kecuali percikan penuh kebencian yang harus Adrien terima. Pria terlihat enggan masuk dan memilih berdiri di pintu dengan memegang kantong belanjaan penuh makanan.
“Apa-apaan reaksimu itu Zelda? Ada orang asing di rumahmu tapi kau sesantai itu?!” kata si pria sekali lagi. Adrien sendiri sedikit sangsi. Dia sempat berpikir akan mendapati wajah yang malu-malu atau paling tidak canggung dari Zelda. Tapi yang dia dapati gadis itu terlalu santai setelah apa yang terjadi diantara mereka pekan lalu. Adrien merasa bodoh sendiri setelah pikirannya kesana kemari merancang sebuah situasi dan kemungkinan yang akan terjadi untuk pertemuan mereka. Adrien lupa bahwa Zelda bukan tipikal gadis biasa.
“Dia kan tidak berniat membunuhku. Bagiku itu sudah cukup,”
“Zelda! Kau ini—”
“Dia siapa?” tanya Adrien sedikit penasaran. Dia tidak pernah seingin tahu ini terhadap hubungan seseorang. Setelah sebelumnya dia tahu hubungan antara Orion dengan Zelda. Namun dengan orang ini, rasanya ada sesuatu yang lebih erat dibanding itu. dan pertanyaan itu cukup membuat alis pemuda itu berkedut tak suka.
“Ah, dia sepupuku namanya Luther, dia seorang dokter.” Kata Zelda bersedia menjelaskannya. Kali ini alis Adrien yang berkerut. Dia merasakan ada yang tidak beres. Memang dari sudut pandanganya Zelda tidak aneh. Tapi cara pemuda itu menatap Zelda lah yang aneh.
“Ah, begitu. Kupikir barusan aku melihat seorang pria yang cemburu gara-gara ada laki-laki lain di apartement kekasihnya,” ujar Adrien memancing. Dan dugaannya tidak sepenuhnya salah. Gesture itu, semuanya menerangkan. Ah… kenapa sih, gadis ini laksana magnet yang menarik orang-orang bermasalah dalam hidupnya?