Teka Teki

2228 Words
“Terima saja dan jangan keras kepala. Kau hanya perlu melakukan apa yang orang inginkan darimu. Jangan hanya karena Miss Nesrin mengkritikmu habis-habisan kau jadi stress begitu,” ocehan Luther terdengar lagi setelah kami berdua menandaskan mie kuah yang dia buat dan sajikan beberapa menit yang lalu setelah kami berdua terlibat dalam keheningan yang canggung. Puntung rokok terakhir milikku kumatikan di asbak yang setengah tak berbentuk lantaran kerap terjatuh dari tempatnya yang bahkan tempatnya berada pun tidak pernah sama. “Sebenarnya apa yang kau cari? Apa yang kau inginkan dari semua karyamu? Apa bedanya sih dengan manusia-manusia lain yang berlalu Lalang didepanmu pada umumnya? Kalau kau memang butuh model. Aku rela menjadi model untukmu secara cuma cuma. Apa aku tidak sesuai dengan kriteriamu? Zelda ayolah. Berhenti bersikap seolah kau akan membakar studiomu sendiri karena hal konyol macam itu!” sekali lagi dia kembali berceloteh ria, seakan belum puas merecoki diriku yang memang sejak tadi belum buka suara sama sekali. Aku lantas mendudukan diriku pada satu-satunya sofa panjang yang aku miliki di tempat ini. Tempat favorit dimana aku kerap melepas penat jika sedang ingin rehat sejenak dari kegiatan sehari-hari yang memuakan. Diluruskanlah kedua kakiku hingga tidak menyediakan tempat kosong pada sofa ini. dan hal itu cukup menghapus harapan Luther untuk ikut duduk disebelahku. “Zelda!” sekali lagi dia memanggil namaku. “Berhentilah mengoceh sesukamu, kau tidak akan mengerti sebab ini tidak sesederhana yang kau pikirkan. Aku bukannya tidak bisa membuat satu karya masterpiece. Hanya saja dunia ini tidak menyediakan apa yang memang aku butuhkan,” “Memangnya apa sih yang kau butuhkan? Hm? Pacar? Kalau yang seperti itu memang kau ingin yang seperti apa?” ujarnya balas menyahutiku dengan cara yang menurutku lebih masuk kedalam ranah menyebalkan dibanding apapun. “Luther saat ini aku tidak sedang bercanda,” ujarku sarkastik. “Dan kau pikir aku juga sedang bercanda? Aku ini sepupumu, dan aku tidak mau kau menjadi pasiennya Fleur karena kurasa sebentar lagi kau akan masuk kedalam tahap depresi.” Aku mencoba mencelos dari pembicaraan sekarang dengan memejamkan kedua mataku. Menyandarkan kepalaku hingga terbenam pada pinggiran sofa yang bahkan sudah tidak lagi seempuk dahulu. “Aku ingin sesuatu yang menurutku semputan, yang ketika aku melihatnya aku merasakan sebuah sensasi yang menggelitik dan tak biasa. Yang bisa membuatku berpikir bahwa ketika aku menatapnya berlama-lama dia bisa menatapku dengan beragam arti murni tanpa kedustaan apapun. Aku membutuhkan sebuah figure yang dapat membawaku masuk kedalam dunia lain yang tidak kuketahui. Tidak membuatku jenuh, dan akan membuatku terus ingin menatapnya hingga lupa waktu. aku butuh itu. Dan jelas kau bukan sosok yang tepat untuk itu. Kau bukan orang yang aku cari. Dan jika setelah ini kau masih bertanya, kurasa aku perlu untuk melaporkan dirimu agar usahamu mendirikan klinik ditutup paksa. Lantaran kau terlalu lambat menganalisa,” Luther sejenak terdiam ketika aku menegaskan apa yang memang ingin aku katakan. Sampai kemudian dia lantas tertawa terbahak-bahak setelah kubuat bungkam dalam ketercengangannya yang selalu berlebihan. Sederhananya aku seperti seorang yang jatuh cinta terhadap sesuatu yang abstrak, dan untuk merealisasikan itu aku perlu sebuah objek yang tepat. Masih dalam kondisi tertawa, Luther lantas menggeser kursi plastic yang posisinya tidak terlalu jauh dari sofa milikku. dia lalu meletakan benda itu tepat dihadapan mataku sehingga posisi kami kini saling berhadapan satu sama lain. “Masalahnya yang psikiater itu Fleur. Aku hanya seorang dokter umum Nona. Dan saat kau menjelaskan padaku sesuai dengan bahasamu kurasa masalah yang kau miliki tidak begitu rumit sebenarnya. Jika dipikir lagi, umurmu sudah termasuk dalam kategori bunga yang siap dipetik. Kau cantik, meski tidak kaya. Ya, walau kau itu terkadang memiliki sisi yang tidak bisa dimengerti tapi tetap saja dimataku kau sekeren itu,” Kedua kelopak mataku yang tertutup dipaksa terbuka lantaran ocehan Luther yang menurutku sudah masuk dalam fase menyebalkan season dua. Maka dengan seluruh sisa tenaga yang aku miliki kuberikan dia tatapan tajam khasku yang luruh mengarah pada Luther. Pria itu berdehem karena sepertinya tatapan milikku cukup untuk melukai. “Jangan marah dulu, maksudku adalah mungkin sudah saatnya bagimu untuk istirahat sejenak dan mencari pendamping. Kurasa itu yang kau butuhkan. Bukan hanya sekedar sesuatu yang abstrak. Tapi kau butuh realitanya,” Aku terdiam cukup lama, kutatap Luther sedikit lebih kama daripada biasanya. Memikirkan kesimpulan konyol dari sepupuku ini hingga pada satu titik dimana aku justru malah membenarkannya. Benarkah? “Lagipula sudah berapa lama tepatnya kau menghancurkan galerimu sendiri yang bahkan belum sempat kau sempurnakan. Lama-lama kalau tidak kuselamatkan dari sekarang kau hanya akan jadi seorang gadis yang depresi, Nona. Eh, kapan terakhir kali kau membuat lukisan sebenarnya?” “Tidak tahu. Dan aku tidak peduli,” “Nah, aku tahu kalau kau memang selalu tidak pernah peduli pada apapun. Tapi setidaknya mulailah dengan menata hidupmu sendiri,” Sekali lagi aku menutup kedua mataku, menyembunyikan sesuatu yang memang tidak ingin aku bagi dengan siapapun didunia ini. tak terkeculai pada Luther meskipun dia adalah sepupuku. “Tidak ada yang sempurna didunia ini Luther, tidak akan pernah ada yang sempurna.” “Lalu kapan menurutmu kau bisa menciptakan sebuah kesempurnaan?” Tidak ada jawaban yang berarti. Sebab aku sendiri memang tidak tahu jawabannya. Luther hanya menghela napas pelan sebelum kemudian menyerah meladeni. “Kapan-kapan pulanglah, ibu sering bertanya soal kondisimu. Jangan terus seperti ini Zelda,” katanya sebelum benar-benar pergi meninggalkanku yang mungkin dimatanya sedang tidur. Padahal tidak. nyatanya aku hanya memejamkan mataku saja. Bukan tidur. Ada setumpuk kanvas yang berada disudut kamarnya, masih putih belum tersentuh barang kali oleh bercak-bercak warna hasil sapuan kuas miliknya yang nyatanya juga masih tergeletak sedikit berantakan di ujung sana. Aku memandangi benda-benda itu dari tempat tidur dimana aku merebahkan diriku. Ibu masih berada didapur, berkutat dengan segala macam hal yang orang bilang adalah makanan. Aku enggan menambah beban, maka benda-benda itu kututup dengan baik menggunakan sehelai kain. Lalu meletakan buku-buku yang kerap dijejalkan padaku. Menyembunyikannya dari ibu. ‘Melukis itu tidak akan menghasilkan apapun’ Baiklah, itu memang cukup menyebalkan ketika apa yang dikatakan oleh sang ibu bergema didalam pikiranku semakin sering. Meresahkan sebenarnya, tapi sejauh ini apa yang beliau katakan memang kenyataan. Aku suka melukis sejak kecil, bahkan sebelum aku sendiri mampu mengingat kapan tepatnya aku lebih memilih kuas ketimbang alat-alat kedokteran. Tapi yang pasti sejauh apapun jalan hidup yang aku lalui, aku tidak sanggup untuk melupakan betapa menyenangkannya sensasi yang aku dapati ketika jemariku menari indah diatas kanvas, berduet dengan sebuah kuas. Menciptakan sesuatu yang entah apa, tapi rasanya begitu memuaskan. Seniman terkenal masih menjadi tujuan utama dalam hidup, cita-citaku. Sekalipun ibu menentangnya, sekalipun Luther kerap mengejek kesukaanku lantaran berbeda dari anggota keluarga lainnya. Tapi anehnya aku justru ingin berada dalam jalurku sendiri, aku malah merasa tertantang untuk mengarunginya. Bagaimana ketika imajinasi milikku dapat dengan mudahnya tervisualisasi melalui bantuan pekatnya campuran warna-warna dari cat minyak yang harganya lumayan untuk ukuran bocah cilik yang pas pasan. Bagaimana ketika warna-warna itu mengotori kanvas pucat dan menjadikan benda itu malah terlihat lebih hidup, lebih mempesona. Bagimana ketika hasil karyaku masih belum mendapatkan pengakuan dari orang-orang terdekat. Padahal dalam hatiku, aku tahu betul hal itu. aku mengakui diriku sendiri. Aku bukan termasuk dalam kategori pelukis yang buruk, bukan golongan yang perfecto pula. sejak bertemu dengan Nesrin itulah aku semakin percaya diri akan potensi yang aku miliki. Dia bilang bahwa aku adalah seorang pelukis muda yang hebat. Aku sendiri tidak mengerti mengapa Ibu terlampau menentang kesukaanku, padahal aku mewarisi bakat lukis dari ayah. Sekalipun aku belum pernah melihat bagaimana rupa ayah yang sebenarnya. “Zelda?” Bola mataku melebar, satu panggilan saja hampir membuatku terjungkal dari tempat tidur bila aku tidak waspada. Cepat-cepat mengalihkan pandangan menuju pintu yang sedikit terbuka dan mendapati Luther disana. Menyembul tanpa izinku lagi seperti biasa. “Tidak bisa ya mengetuk pintu dulu?” Aku bangkit dari tempat tidur. Kaki ku menapak pada lantai dan melangkah mendekat ke pintu untuk membukanya lebih lebar lagi. “Sudah kuhitung kok. Sepuluh kali ketukan dan tidak ada satupun jawaban darimu,” kata bocah itu. membuatku sedikit merasa berdosa. “Ah—maaf Luther,” “Tidak masalah, tapi hei, Zelda kau baik-baik saja kan?” aku mengangguk dua kali sebagai jawaban. “Mau main denganku?” Luther menarik tangaku begitu saja, membawanya keluar kamar. Tapi belum sampai lima langkah kami berdua menajuh. Aku menghentikan langkah terburu-buru Luther dan menarik pergelangan tanganku sendiri dari cengkraman bocah itu. “Tunggu dulu, Luther,” “Apa sih?” Aku berbalik, aku hendak melangkah menuju kamarku sebelum Luther lagi-lagi meraih lenganku. Kali ini bahkan lebih keras dengan matanya yang terlihat tidak suka. “Kau—jangan bilang kau ingin melukis—” Aku maju selangkah tanpa menghiraukannya. Telapak tanganku mendorong tengkuk bocah cerewet itu hingga wajah kami berdua begitu dekat satu sama lain. Aku hanya sedang berupaya sebisaku untuk membekap mulut bocah laki-laki itu dengan tanganku. Menyabotase ujarannya yang akan menjadi buah dari omelan panjang Ibu kedepannya. “Pelankan suaramu. Luther. Ibuku bisa dengar tahu. Aku ingin semua lukisanku dibakar dia?” Luther memaksa melepas bekapanku lalu mendorong tubuhku menjauh. Mukanya terlihat sekilas memerah entah karena apa. “Itu jauh lebih baik ketimbang kau berdiam diri sendiri seolah hanya ada kau disana. Kau terlalu banyak menghabiskan waktumu untuk membuat sesuatu yang bahkan seorang pun tidak ada yang menginginkannya!” “Luther!” Ah.. untung saja, aku ingat Luther adalah sepupuku. Dan hanya dia satu-satunya diantara saudara ayah yang kerap mau menemaniku dan mengajakku bermain. Jika tidak, kurasa kepalan tanganku sudah akan menghantam wajahnya tanpa ampun. Aku menghela napas panjang, berusaha menekan amarah di titik turun jauh dari kepalaku yang jujur terasa sangat panas. Kami berdiam diri satu sama lain, lalu dia yang terlihat bersalah lantas mengambil langkah lebih dulu dariku. Setengah hendak meninggalkanku. “Ambil barang-barangmu, Zelda. Aku akan menuggumu didepan. Ibumu saat ini sedang ada dikamar, dia tidak akan tahu kalau kau berhati-hati membawa benda-benda itu,” Detik itu juga Luther pergi meninggalkan aku yang masih dalam posisi mengatur emosiku sendiri sambil melangkah masuk ke kamar. Mengambil kanvas, kuas, dan juga cat. Entah apa yang akan aku lukis hari ini, ketika perasaanku sedang kacau balau sebab sekali lagi Luther mempermasalahkan apa yang aku suka. Perdebatan yang selalu terjadi. Sekarang memang masih tidak berguna, tapi aku memutuskan untuk tetap kukuh pada impian itu. Tak peduli apapun itu. meskipun masa depanku aku dicap sebagai anggota keluarga yang paling i***t sekalipun. Mimpi. Entah aku harus sedih atau tertawa dengan masa lalu yang menyambangi dan menyapa kembali lewat bunga tidur. Padahal aku sudah memutuskan untuk melupakan masa itu dan fokus pada hidupku yang sekarang. Luther sudah pulang, itu artinya aku punya waktu untuk diriku sendiri. Kuambil pil-pil yang selalu tersedia di tas butut milikku. Luther benar soal kata-katanya. Tapi dia sedikit terlambat sebab aku sudah menjadi salah satu dari pasien psikiater dan masih berobat jalan hingga detik ini. Aku memang bermasalah, ya. Keinginanku yang berbeda adalah masalah, sikapku yang terlalu dingin adalah sumber masalah, aku yang tidak bisa menyatu dengan anggota keluarga lain minimal dengan berpura-pura telah menjadi sebuah permasalahan yang mulai merujuk pada hidupku sebagai sesuatu yang rusak. Sesuatu yang memang pantas dibuang. Dan ya, sebelum aku dibuang aku sendiri memilih untuk tahu diri dan menjauh. Hal-hal yang membuatku sakit kutinggalkan satu persatu. Dan setelahnya hanya ada Luther yang kerap berkunjung sesekali. “Kepalaku sakit,” rasanya berdenyut nyeri lagi. Luther memang adalah objek ampuh yang mengundang mimpi buruk kedalam ketenangan hidupku. *** Adrien menutup daun pintu dengan punggungnya hingga membuat suara klik pelan tapi sedikit menggema untuk ukuran dirinya. Tubuhnya telah sempurna masuk kedalam ruangan, lukisan setengah jadi yang berjajar tak rapi dan beberapa bekas cas kembali menjadi suguhan bagi kedua kelopak matanya setelah sekian lama tidak mengunjungi si gadis minim kata. Ruangan yang bukan miliknya ini malah terasa familiar bagi Adrien berkat seringnya ia melakukan kunjungan secara izin maupun tanpa sengaja seperti insiden kebaikan hati dimana dia sempat membersihkan tempat ini untuk membunuh waktu. Pandangannya kini terantuk pada sosok seorang gadi syang tengah menghadap arah jendela, duduk disebuah kursi yang pendek dengan sebuah canvas yang tersangga easel dihadapannya. Sosoknya duduk membelakangi dengan punggungnya yang kokoh namun kesan rapuh tetap berada disana. Lengah bajunya di gulung sampai siku. Satu tangannya menggenggam kuas, sementara satunya lagi menyangga pallete kayu. Seulas senyum lembut membayang, menyambut pemandangan familiar dimata yang entah sejak kapan bergeser jadi istimewa. Dia memang hampir tidak pernah absen satu hari saja dari kegiatannya melukis di studio yang merangkap apartment pribadinya ini. dan Dia jugalah yang sedari tadi Adrien cari keberadaannya. Senyum lembut yang tersungging berubah menjadi sesuatu yang lain. Bibirnya menukik dan sorot matanya berkilau menjadi Sesuatu yang jahil. Adrien mulai berjalan mendekat, sembari mengkalkulasi suara gesekan yang mungkin dia timbulkan. Sembari mendekat Adrien semakin bisa lebih leluasa untuk memandangi postur tubuh gadis itu dengan lebih jelas lagi. Bagaimana tangannya dengan lugas menari diatas kanvas. Bagaimana ia dengan telaten membubuhkan warna demi warna di setiap ruang. Bagaimana terkadang kepalanya ikut dimiringkan hanya untuk mengamati detail-detail dalam lukisannya. Dia benar-benar gadis yang semenarik itu. Begitu Adrien benar-benar tepat berada di belakang punggung gadis itu. kedua lengannya lantas terjulur merambat untuk menutup kedua matanya dari belakang. “Ayo tebak siapa?” ujar Adrien riang. Gadis itu seketika menghentikan gerakan tangannya. Satu tangannya yang lain yang menggenggam kuas pun dijatuhkan. “Hmmm…” suara gumaman rendah itu meluncur. “Siapa kau?” gadis itu terdengar tidak bersahabat. Atau mungkin sengaja ingin terlihat gahar dalam mengikuti alur permainan yang Adrien buat meskipun nada dan ekspresinya masih datar seperti biasa. Tentu saja Zelda hanya bersandiwara. Adrien yakin itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD