“Sepertinya dia juga gadis yang bermasalah…” Adrien membolak-balik sebuah kartu pos yang telah dibuka dengan kondisi yang sudah lagi tidak bagus lagi. Sang pemuda membawa kartu pos yang sejatinya ditujukan kepada Zelda itu keatas pembaringan di kamar yang katanya milik ‘Ares’. Entah karena untuk alasan apa, ia merasa seperti baru saja menemukan harta karun. Semua penerangan telah dimatikan, kecuali lampu baca yang dipasang di atas kepala tempat tidur.
Benda pos itu dia temukan oleh Adrien di apartment Zelda saat ia merapikan sedikit barang-barang wanita muda itu. entah karena sebuah kesengajaan atau tidak, kartu pos itu dia temukan dalam kondisi telah teremas -jenis remasan geram sepertinya- dan lokasi ditemukannya pun berada di bawah rak buku bersamaan dengan kertas-kertas bekas hasil corat-coret gadis itu yang dikepal-kepal layaknya bola-bola kertas. Seperti disembunyikan pula sebetulnya. Cap posnya sendiri menunjukan bahwa benda itu telah berada disana sekitar empat bulan yang lalu dibawah sana. Mulanya Adrien berpikir untuk membuangnya ketika pemuda itu menemukan gunungan sampah-sampah itu. Tapi bukan Adrien namanya bila dia melewatkan hal yang menarik didepan matanya begitu saja. apalagi bila harus membuangnya. Mana mungkin!
Adrien lantas menyelipkan kartu pos itu diantara halaman-halaman yang biasa dibaca oleh ‘Ares’ lalu menaruhnya di atas sisi tempat tidur seperti biasanya. Pemuda tampan itu lalu tersenyum kala menutup kedua kelopak matanya, sepertinya dia akan sedikit bisa bermimpi indah mala mini. Walau mungkin bagi Zelda tidak akan seperi itu. kartu pos berbingkai hitam bukanlah jenis benda pertanda baik. Ya, kecuali bila orang tersebut berada dalam golongan orang-orang yang tidak punya hati.
***
Satu lagi goresan cat kusapukan pada kanvas yang memang telah terjejal oleh warna-warna lain. Aku mendengus pelan atas hasil yang aku dapati gara-gara ini. Ini adalah lukisan yang entah keberapa yang dia berhasil untuk selesaikan. Tapi sejak mendapatkan kritik pedas dari Nesrin aku tidak lagi mendapatkan kepuasan. Aku senang padahal, malah bisa dibilang jatuh cinta pada kegiatan melukis. Tapi lukisan yang aku miliki kurasa tidak pernah sempurna tanpa ada satu kalimat yang menunjukan bahwa karyaku bisa dibilang sebagai sesuatu yang ‘berharga’.
Aku sejatinya putus asa.
Aku mencintai lukisannya, tapi tidak menemukan ‘harga’ yang sepadan untuk semua karya yang telah aku hasilkan.
“Zelda kau melukis lagi?” rambut yang serupa langit malam milikku bergerak lantaran sedikit mendengar suara yang teramat familiar menyambangi telingaku. Sedikit mendongakan wajah kulemparkan pandanganku pada sosok pemuda berwajah ramah dengan satu kantong plastic belanjaan yang dipenuhi oleh camilan.
“Luther?” suara gaduh terdengar. Pemuda itu meletakan kantong belanjaannya yang sepertinya lebih banyak diisi oleh minuman kaleng karena suaranya yang berdentang tatkala mengenai lantai. Pria itu lalu melemparkan satu minuman dingin bersoda itu pada pangkuanku. Dia seakan tidak peduli mau kutangkap atau tidak. setelah kudapatkan pemberian darinya aku memasang wajah yang kurasa dipenuhi kebingungan dan pemuda itu seketika bisa menangkap apa yang ada dikepalaku dengan mudah.
“Melukis tidak akan memperbaiki nasibmu, Zelda,” suara tegukan terdengar saat pria itu menyeruput lebih dulu minuman kaleng miliknya. Dia tidak pernah sekejam ini sebelumnya, malah pria itu selalu mendukungku. Tapi sepertinya dia ikut frustasi lantaran aku belum juga bisa keluar dari zona stuck milik ku hingga aku tanpa sadar membuat orang-orang yang peduli padaku sedikit jengah karena minimnya peningkatan. Tapi memang benar sih, apa yang dikatakan oleh Luther memang tidak sepenuhnya salah. Lukisan apapun yang berhasil aku selesaikan tidak pernah ada harganya. Tidak ada yang mau membelinya. Tidak di tempat pelelangan ataupun dipameran yang pengunjungnya tak mengerti nilai dari sebuah keindahan. Kumpulan orang awam yang tidak mungkin mau mengeluarkan sepeserpun uang untuk sebuah corat-coret tak berguna yang kusebut sebagai seni indah. Tapi mana bisa aku berhenti begitu saja meskipun aku tahu bahwa karyaku ini tidak memenuhi standart itu?
“Jika kau ingin melihatku menyerah. Patahkanlah lenganku atau paling tidak remukan jariku saja Luther,” ujarku sarkas pada sepupuku. Pria itu tidak berkomentar lagi, malah dia berjongkok didepanku. Lalu memukul pelan kepalaku. Meski menurutku masih tergolong keras, sebab setidaknya pukulan darinya cukup untuk membuatku mengaduh dan mengusap bekasnya berulang-ulang. Pria itu lalu kembali memunguti beberapa belanjaannya yang ada didalam kantong dan membawanya menuju konter dapur. Dengan cekatan tangan pria itu mulai bergerak, sepertinya mengolah sesuatu sebagai hidangan makan malam. Tidak buruk juga.
“Kalau kupatahkan tanganmu, siapa lagi yang akan membantuku saat aku kesulitan dalam menggambar detail dari tugasku hah? kantongku cukup tipis untuk membayar orang lain melakukannya meskipun memang pekerjaan itu tidak begitu berat sebetulnya.
Aku hanya tersenyum simpul, lalu tanganku bergerak membuka tutup kaleng minuman yang aku dapatkan dari Luther.
“Luther,”
Pemuda itu hanya menjawabku dengan tatapan matanya saja.
“Bisa kau bantu aku mencari pekerjaan sambilan baru?”
Pria itu berhenti sejenak dari kegiatannya memotong sesuatu, lalu bergerak menuju lukisan yang baru saja aku selesaikan. Kerutan didahi pemuda itu muncul secara tiba-tiba. Satu tangannya meraba permukaan kanvas yang dipenuhi oleh goresan warna-warni yang didominasi oleh kegelapan. Membentuk siluet seorang pria yang akhir-akhir ini sering sekali menginjakan kakinya di apartment milikku. pemuda yang seenaknya menghilang seenak jidat setelah meninggalkanku tertidur sendirian di malam hujan kala itu. Dalam lukisan yang kubuat tersebut, pria itu duduk disebuah kursi dengan ekspresi datar yang tidak bisa aku lupakan. Dia duduk disebuah ruangan yang mirip sebuah aula, nampak memunggungi penikmat lukisan yang menikmatinya. Sosok itu digambarkan sendirian disana, tidak ada yang bersamanya. Dan tidak ada yang tahu pula apa yang sedang dilakukannya. Benar-benar lukisan yang ambigu.
Pengamatan sepupuku selesai lebih cepat daripada yang aku perkirakan. Dia melempar kanvas yang dia pegang barusan begitu saja.
“Luther?”
“Kalau kau melukis diriku, dengan senang hati aku akan membantumu,”
Tanganku yang hendak memegang kuas ditarik begitu saja oleh Luther hingga aku sedikit kepayahan untuk mengumpulkan keseimbangan saat beranjak dari posisi dudukku dilantai. Hingga beberapa pallete cat yang ada dipangkuanku menyentuh lantai dan membuatnya jadi berantakan.
“Kenapa?” tanyaku tak mengerti mengapa pria itu memandangku dengan cara yang tidak biasa dan tidak bisa kumengerti. Dia tak lekas menjawab dan malah berlama-lama berstagnasi dalam kondisi ini untuk beberapa saat. Genggaman tangannya sama sekali tidak mengendur. Seperti sedang merajuk padaku untuk sesuatu yang sepele. Kesimpulannya, aku merasa bila kemampuan melukisku, jiwa seni milikku, sepertinya mungkin akan terbuang sia-sia lantaran aku tidak juga menemukan sesuatu yang cukup pesat untuk membuatku tergugah.
“Sudahi dulu melukisnya, diam di sana dan buang lukisan terakhirmu. Sangat jelek dimataku.”
“Kau marah hanya karena lukisanku?”
“Aku lapar, dan kau harus makan malam bersamaku.” Sekali lagi aku tidak mengerti jalan pikiran sepupuku yang mengunjungiku malam ini.
***
Sore yang tenang mendominasi di ruangan khusus yang disebut Adrien sebagai bengkel miliknya. Tidak ada aktivitas familiar yang dia lakukan seperti biasa. Ruangan itu sepi dan juga menjadi pemandangan yang agak jarang belakangan ini. Aroma tanah mentah yang telah diolah sedang tidak tercium baunya sama sekali. Kecuali bau dari pewangi favorit si pria gondrong saja. aroma segar dari pinus. Hanya itu yang ada didalam ruangan ini, sementara ini atau bisa jadi lebih lama lagi dari waktunya dia memutuskan untuk hiatus. Jejeran patung tanpa kepala tersusun rapi di bagian belakang bengkel, seolah memang ditata secara permanen disana dan memang tidak akan berpindah tempat dalam waktu dekat.
Masa bodoh!
Asap tebal terkepul ke udara saat si pemuda menghembuskan napas dari sebatang rokok yang terselip dibibirnya. Tangan kirinya dimasukan kedalam saku celana tanggung yang dia kenakan, masih dengan tatapan yang sama ke sebuah objek yang tidak begitu penting yang jaraknya mungkin beberapa meter dari tempat dia berdiri saat ini.
Sehari, seminggu, entah hitungan yang keberapa dia bahkan tidak ingat. Sejak hal yang dia gilai makin tidak bernilai sama sekali, malah hambar. Tidak ada lagi Hasrat dan gairah serupa yang dia temukan tatkala mencuri dengar aktivitas orion dengan si perempuan yang entah siapa beberapa waktu lalu di kampus. Padahal kemampuannya masih ada, Adrien masih cukup handal untuk membentuk, memoles, mengukir, dan hal apapun yang ada dihadapannya menjadi sebuah wujud yang dia mau tanpa perlu kesulitan. Mengesampingkan pujian berlebihan yang dahulu sempat mampir ke hidupnya. Nyatanya sampai sekarang Adrien masih belum mampu menciptakan sesuatu yang utuh. Lantas dimana sisi jenius yang digembor-gemborkan orang-orang itu padanya dimasa lalu?
Ada satu tarikan napas yang sedikit lebih kuat, mengantarkan jutaan racun dari tembakau kesukaannya menuju saluran pernapasannya. Untuk lebih dalam dia rasakan. Manik hitam kelabu miliknya yang sejak lama tidak menunjukan minta pada apapun semakin suram tatkala hasratnya semakin meredup. Ada yang hilang, ada yang dia butuhkan, dan ada hal yang teramat dia dambakan hingga titik begitu menginginkan dan memilikinya.
Persetan dengan segala macam hal duniawi. Ia tidak ingin kecintaannya pada dunia seni rupa ternoda saat ia hanya menggerakan tangannya tanpa dorongan gairah. Tidak saat hatinya kini mengalami kekosongan.
“Apa yang terjadi padamu Ares? Kau kerap melamun akhir-akhir ini,” Adrien melirik kearah seseorang yang mendekat padanya. Wanita itu bahkan sampai memeluk belakang tubuhnya tanpa izin dengan begitu ringan. Ya, Sicilia memang sudah mendapatkan izin darinya sejak Ares yang dicintainya telah hilang ditelan kematian. Akibat shock wanita itu kerap menganggap dirinya sebagai Ares. Dan Adrien tentu saja dengan senang hati memerankan Ares pada Sicilia sebagai bentuk dari penebusan dosa dimasa lalunya.
“Tidak apa-apa. Kau sudah mudah minum obatmu?” ujar Adrien dengan sangat halus. Pria itu mengelus lembut jemari yang memeluknya erat dari belakang.
“Kenapa harus minum obat? Aku baik-baik saja Ares,” ujarnya. Adrien tidak menjawab pria itu memilih untuk diam. Jika sudah seperti ini maka detik-detik berikutnya akan diisi oleh celotehan sang kakak ipar padanya. Dan bila sudah seperti itu apa yang bisa Adrien lakukan hanyalah menemaninya sampai dia kelelahan dan tertidur pulas. Puntung rokok yang sedang dia hisap dia jatuhkan dan injak hingga bentuknya tak lagi beraturan dibawah sana. Selanjutnya pemuda itu membawa masuk Sicilia kedalam ruangan rumah yang lebih hangat kondisinya ketimbang dibengkel pribadinya saat dahulu dia berperan menjadi Ares.
Adrien lalu mendudukan sang wanita disebuah sofa panjang berbulu halus begitu mereka tiba diruang tengah. Tempat dimana dahulu mereka sering kali melepaskan penat bertiga dari seluruh kegiatannya. Dia lalu duduk disebelah Sicilia.
“Ares,” panggilnya lembut ketika Adrien tidak juga buka suara setelah Sicilia bercerita panjang lebar padanya.
“Ah.. maaf, kita sudahi dulu ya bicaranya, hari ini aku sedang tidak begitu berada dalam kondisi yang baik untuk mendengarkanmu seperti biasanya. Aku takut malah kau jadi salah mengira bahwa aku tidak senang bersamamu,”
“Kau sakit?” tanyanya sambil menempelkan telapak tangannya didahi Adrien. Kedua matanya berkedip dengan cepat. sangat polos.
“Tidak, aku tidak sakit.”
“Lalu kenapa?”
Adrien mencelos kemudian memejamkan mata, disandarkannya kepala miliknya hingga terbenam di pinggiran sofa. Sudah entah berapa tahun dia berusaha menyembunyikan kenyataan yang ada. Sepertinya Adrien mulai merasa berada pada titik lelahnya. Ia perlu waktu untuk meraih sesuatu yang hampa dalam hidupnya. Dan baru-baru ini sialnya dia menemukan sebuah tempat yang menyediakan kenyamanan dan ketenangan baginya.
“Aku hanya tidak ingin kau terlalu bersemangat dan kelelahan hingga tidak bisa jauh dari kasurmu,”
“Oh ya, akhir-akhir ini aku tidak pernah melihat kau menyentuh tanah liat.” Ah topik ini… Adrien ingin menghindarinya sebisa mungkin. Sebab sejak tadi, ketika dia berpikir bisa mencipta lagi dia justru terdistraksi oleh hal lain.
“Ya, aku sedang tidak cukup baik,” ujarnya ringan. Sebisa mungkin menutupi apa yang ada dikepala. Terutama dihatinya.
“Aku harap kau segera membaik,” ujar Sicilia. Perempuan itu nampak benar-benar cemas. Tapi Adrien memutuskan untuk tidak membuat dirinya semakin mencurigakan.
“Ya, aku harap begitu,”
Tidak ada lagi suara yang tercipta diantara mereka berdua. Sampai seorang suster datang untuk membawa Sicillia kembali ketempatnya lagi. Ketika Sicillia telah berpindah tangan, Adrien kembali menghela napas panjang sebelum beranjak dari tempatnya sekarang. Kembali dia mengingat hal yang aneh yang kerap kali menjumpai dirinya lewat bunga tidur.
Sebuah pematang yang luas dimana disana tercium bau rumput yang segar dan masih berada dalam kondisi lembab sebab embun berada pada setiap helainya. Disekelilingnya ada kabut tipis yang berpendar, dilengkapi oleh atmosfer yang masuk dalam kategori dingin. Langit yang dia jumpai diwaktu-waktu kebelakang belum pernah seterang itu dalam penglihatan Adrien, dia sudah lama tidak merasakan perasaan yang mendebarkan itu setelah sekian lama. Lalu perlahan namun pasti, dikejauhan dia mendapati sosok yang berdiri memunggunginya. Berdiri kaku. Hanya seperti itu saja tapi sosok itu seperti memiliki magnet yang membuatnya tertarik untuk mendekat. Meski begitu tenang, dalam posisinya berdiri orang itu terlihat menikmati sekali apa yang tersaji dihadapan matanya dengan Cuma Cuma khusus untuknya. Yang Adrien pahami saat itu hanyalah satu hal. Kesimpulan yang dia tarik sendiri setelah jeda waktu tak bertemu yang entah masuk hitungan berapa lama. Sosok itu… seorang gadis. Ya, seorang gadis yang sedang menunggu, menantikan dirinya di suatu tempat.
Menanti untuk dijemput.