Pendekatan

2310 Words
Adrien hanya terkekeh merdu, kedua tangannya dia lepas, lantas menggeser tubuhnya untuk kemudian hadir pada peripheral Zelda. “Hai,” Sapanya dengan ceria diikuti oleh sebuah senyuman yang terkembang begitu lebar di wajahnya yang tampan. Kepala gadis itu tertorh ke arahnya secara otomatis. Dan entah hanya sebuah imajinasinya belaka atau memang betulan terjadi, Adrien sekilas melihat bahwa sudut bibir gadis itu berkedut sempat melengkungkan sebuah senyum. “Melukis lagi?” Adrien justru lebih gatal untuk memecah suasana lantara sapannya tak kunjung dibalas sesuai dengan seluruh imajinasi yang berada dalam benaknya. “Ya,” sahutnya pendek seolah ingin mempersingkat segalanya. Ia kembali mengangkat kuas yang tadi sempat dia abaikan meski sesaat. Kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda, menyapukan kembali kuas yang setengah keringnya ke atas kanvas. Adrien melirik kesana kemari, kemudian irisnya tertarik pada sebuah kursi yang tak terpakai. Kursi itu kurang lebih memiliki tinggi yang sama dengan kursi yang sedang diduduki oleh Zelda saat ini. maka atas dasar itulah, Adrien tertarik untuk menarik kursi untuk mendekat dan mendudukan dirinya berhadapan dengan Zelda. Sengaja agar dirinya bisa lebih leluasa memandangi si gadis perangai dingin sesuka hatinya. Salah satu hal yang disukainya dan menjadi favoritnya adalah ketika gadis itu melihat kepadanya dan meniliti dirinya. Tapi hari ini kertas miliknya tidak terisi sosok dirinya, membuat dirinya dibakar api cemburu, dan keinginan lebih untuk membuat perhatian Zelda tersita padanya seperti biasanya. Sejak kapan dirinya jadi seegois ini? entahlah dimatanya Zelda membawa pengaruh yang cukup luar biasa. Namun meski perhatian gadis itu tidak padanya, Adrien tetap masih cukup puas dengan moment ini. setidaknya dia bisa menemani -mengganggu- Zelda yang sedang fokus. Atau apa saja yang bisa dia lakukan. Kedua kakinya disilangkan, dan Adrien meletakan sikunya disana untuk dapat menyangga kepalanya sendiri dengan satu tangan. Desah napas meluncur bebas dari bibirnya, terlepas seirama dengan isi hatinya. Adrien sekali lagi terkesima. Melihat bagaimana lihainya jari-jari kurus gadis itu bergerak. Kedua alisnya berkerut serius, matanya menatap lurus., sementara jari-jarinya kali ini lebih bebas meliuk kesana kemari tanpa ragu. Tidak seperti dirinya beberapa waktu lalu. apa setelah Adrien absen beberapa saat lantas gadis itu sudah mulai menemukan apa yang di acari? “Untuk apa kau kemari?” suara dingin gadis itu mengudara. Meskipun matanya masih tetap berfokus pada kanvas miliknya, tapi Adrien takjub sebab gadis itu diam-diam memperhatikan segala gerak gerik yang dia buat. Sekilas ujaran darinya memang terdengar kejam, tapi Adrien mengesampingkan arti dari perkataan itu dan menyimpulkannya seenak jidat sebagai obrolan riang bersama teman. “Karena kupikir kau akan merindukan modelmu yang tampan ini,” kekehnya mencairkan suasana. Nampak santai, dan jawaban itu hanya mendapatkan respon napas lelah dari Zelda. “Itu tidak menjawab apa yang aku tanyakan,” Adrien tersenyum kemudian. “Ah ya memang tidak sesuai. Aku sengaja membuatnya begitu. Supaya kita berdua bisa berbincang-bincang. Lagipula aku suka melihatmu, mengamatimu saat kau sedang melukis. Menurutku itu memuaskan,” “Seperti biasa kau memang gila,” “Hanya berlaku bila aku disisimu, oh iya… yang sekarang kau buat. Apa judulnya?” Adrien berkata sembari kini mengedikan dagunya kearah kanvas yang masih berada dalam proses penyelesaian. Dan berkat perkataan Adrien, Zelda langsung menghentikan gerakan tangannya. Lehernya bergerak untuk dapat bersitatap dengan si pemuda yang telah seenaknya masuk kedalam apartmentnya. “Tidak tahu,” akunya tenang. Terlampau netral seperti memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Kontradiktif sekali dengan coretan warna warni yang dia buat di kanvasnya. Kepribadiannya terlalu bertolak belakang dengan karyanya sendiri. “Tidak tahu? Kok bisa tidak tahu?” Kening pemuda itu mengernyit, dia pun sampai perlu mencondongkan tubuhnya mengamati lukisan yang gadis itu buat dengan seksama. “Setahuku ya, pelukis biasanya memberikan judul untuk setiap lukisan yang dibuat oleh mereka, setiap karya kan pasti memiliki nama,” sambungnya lagi. “Ya, tapi untukku aku memang tidak punya nama,” air muka gadis itu sedikit agak bingung atas argumentasi yang Adrien bawa kepadanya. Alisnya bahkan sampai mengernyit dalam menyiratkan betapa tidak memahaminya dia. “Lukisan ku tidak pernah memiliki nama, sama seperti beberapa disana yang terbengkalai,” “Benarkah? Menarik sekali,” “…” kali ini Zelda merasa tidak perlu menanggapi lebih jauh apa yang dikatakan oleh si pemuda. “Tapi kenapa?” sekali lagi Adrien memecah keheningan. Rasanya lidahnya hendak meledak bila dibiarkan tidak bergerak menghasilkan kata. “Maksudku, memangnya kau tidak merasakan apapun ketika kau melukis?” “Aku merasakannya,” tutur Zelda menatap lurus pemuda itu. meyakinkannya betapa jujurnya ia dalam berkata. “Nah!” Adrien menjentikan jarinya yang lentik didepan wajah gadis itu. “Itu dia maksudku, kenapa kau tidak memberi karyamu sebuah nama dari apapun yang kau rasakan ketika melukisnya? Atau barangkali dari apa yang kau gambar, objeknya?” ia melirik sekilas kepada Zelda yang sepertinya tidak tertarik terhadap sesuatu yang sedang dia bicarakan. Berkat hal itu Adrien mengambil waktu beberapa saat untuk dapat melanjutkan. “Kalau begitu apa yang kau rasakan saat menggambar lukisan ini?” Hening. Kali ini Zelda melirik kearahnya penuh. Bahkan tubuhnya sejajar lurus. Tajam. “Kau jadi lebih cerewet dari hari terakhir kita bertemu,” ujarnya dingin menusuk. Dia lalu menutup kedua matanya sebelum kembali menatap Adrien sekali lagi. Kali ini terlihat sangat arogan. Marah. “Buka pakaianmu dan beposelah!” serunya sekali lagi kali ini emosinya benar-benar terlihat. “Woah Nona, kau sangat tidak sabaran. Oke baiklah aku akan melakukannya.” Satu persatu pemuda itu melepaskan pakaian yang melekat ditubuhnya. Menampakan bagian atas tubuhnya yang terukir sempurna. Zelda disana masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Terlihat gahar seolah ingin menyantapnya. Tapi justru itulah yang Adrien suka. Cara gadis itu menatapnya selalu berbeda. Lalu kali ini dia ingin memperlihatkan siapa? Entahlah.. bibirnya melengkungkan sebuah senyuman indah. “Kali ini kau akan kupertemukan dengan Adrien, Nona Zelda,” katanya. Lalu berpose seeksotis mungkin. Sementara itu Zelda membuang seluruh kuas yang ada disisinya. Tatapannya berubah ketika Adrien telah memberinya sebuah pose untuk dilukis. “Tetap begitu, jangan bergerak sebelum aku selesai,” kali ini Adrien membiarkan keheningan mendominasi berkepanjangan diantara mereka berdua. Memang sedikit mengherankan saat menemukan dirinya yang biasanya selalu ceria dan terkenal cerewet diam membisu untuk waktu yang lama seperti sekarang. Ia biasanya menemukan jenis ‘ketenangan’ versinya melalui berbagai macam konversasi memanjang dan koping stressnya dengan bercengkrama bersama orang-orang yang entah siapa. Ia tidak suka keheningan. Namun bila untuk situasi yang kini dia alami detik ini. tentu saja berbeda. Anehnya, dia merasa justru teramat sangat nyaman dengan situasi yang berada dibawah kendali gadis itu. walau mereka berdua tidak menyambung kata apalagi bertukar pikiran melalui cuap cuap mendalam tentang kehidupan. Walau mereka tidak merajut cerita apapun satu sama lainnya. Membiarkan sunyi datang dan melingkupi, sesekali ditemani oleh suara konstan dari gesekan yang gadis itu buat dengan kedua tangannya. Dan Adrien menemukan ketenangan dari sana. Detik, memasuki menit, semakin lama hingga satuan jam. “Usai,” ujarnya. Adrien tersadar bahwa kontribusinya sudah tidak dibutuhkan. Tubuhnya sedikit kaku lantaran berada dalam posisi yang sama untuk beberapa jam. Zelda memang pelukis yang kejam. Tapi Adrien menyukai apa yang terjadi diantara mereka. Adrien memungut celananya dan mengenakannya kembali. Khusus untuk atasan dia biarkan terkulai dilantai. Bertelanjang d**a adalah pilihan yang dia buat selama berada di apartment gadis itu. sembari menunggu, dia kini memilih berkeliling dan langkahnya berstagnasi dibelakang si gadis. Memperhatikan cara gadis itu melukis detik ini. tehniknya tidak seperti biasanya. Dia menggunakan jarinya sendiri untuk memoleskan warna. Jari jemarinya digesek langsung keatas kanvas. Anehnya seluruh gerakan yang kasual tersebut diartikan tidak seperti itu oleh mata Adrien. Rasanya dua ratus kali lipat anggun dimata Adrien. Lama-kelamaan goresan itu mulai memperlihatkan objek dengan lebih jelas. Tubuhnya sedikit merinding ketika gadis itu membentuk setiap lekuk tubuhnya yang tertangkap tak berbusana diatas kanvas. Ini gila. Mungkin merasa terganggu akan keberadaannya dibelakang tubuh si gadis. Zelda lantas melirik, mengangkat wajahnya sendiri. Memandang si pemuda dengan sorot tak terbaca, teramat lurus. Obisidian bertemu abu kelabu. Obisidian yang mengunci abu kelabunya terlampau lekat, memakunya ditempat. Sorot mata gadis itu terlampau intens hingga membuat Adrien merasa sedikit lebih… gerah? Perasaannya saja atau mungkin sesuatu yang mengada-ngada dari alam bawah sadarnya saja. tapi Adrien rasa ruangan ini terasa lebih… panas? Suhu ruangan mendadak melonjak naik tanpa aba-aba. Sorot mata si gadis pelukis terlalu kompleks untu dibaca. Dan Adrien kini terlalu takut bila ia justru salah menerjemahkan sorot matanya. Sebelum Adrien terbawa makin jauh kedalam asumsinya sendiri yang semakin menjadi-jadi, pemuda itu memutuskan untuk berdehem. Setidaknya dengan itu otaknya yang liar bisa sedikit lebih jinak untuk sesaat. Memanggil kembali sisi rasionalitasnya untuk mendekat. “Jadi kali ini kau tidak menggunakan koas sama sekali untuk mewarnai diriku?” Adrien mencoba sebisa mungkin untuk tidak terdengar aneh sekarang. Dan dia sedikit berharap gadis itu kembali tidak peka seperti biasanya. Tapi yang terjadi malah tidak sesuai dengan apa yang Adrien harapkan. Pria itu sedikit susah payah menelan liquid tawar yang dihasilkan oleh kelenjar didalam mulutnya. Rasanya mulutnya dilanda kekeringan secara tiba-tiba. Tatap matanya berubah mengkritisi, sulit untuk bisa berkonsentrasi saat kedua mata cantik itu menatapnya seolah hendak menelanjangi. Tapi bukankah pengertian secara harfiah menelanjangi saja sudah sering dia lalui bersama gadis ini? “Apa caraku melukis menjadi urusanmu sekarang?” tanya gadis itu. dengan nada bicara nya yang biasa. Akhirnya dia buka suara juga. Adrien sedikit lega. Sebab bila saja Zelda tidak membuka suaranya sedikitpun Adrien akan bingung sendiri sebab pikirannya telah berkelana seenak jidat ketempat antah berantah namun cukup indah untuk berlama-lama dia pelihara. “Tidak juga sih, bagiku setiap hasil karyamu selalu indah,” ujar Adrien tulus. Dia tanpa sadar memposisikan dirinya bersisian dengan si dara jelita. Terlampau dekat hingga bahu mereka bersentuhan ketika bergerak. Sekon demi sekon berlalu, atensi Zelda mendadak bergeser kesamping. Sepertinya dia sudah mulai menyadari bahwa dirinya berada dalam sedikit masalah lantaran Adrien yang terlampau dekat dengan tubuhnya. Ya, sekali lagi Adrien harus menahan diri dari tatapan mengobservasi yang gadis itu lemparkan padanya. Sialnya, tatapan gadis itu mempan sekali untuk membuat dirinya dilanda kegugupan. “Ehemm… bisa tidak tatapan matamu kau kondisikan. Rasanya jantungku hampir meledak karena kau tatap dengan cara demikian,” ujar Adrien setelah ketidakberdayaan mengalahkan dirinya sendiri hingga pada titik tidak dapat ditolong lagi. “Kalau begitu bisa buat jarak denganku?” “Ah… maaf,” Adrien membuat jarak, jujur saja sepertinya dia terlihat sangat bodoh sekarang karena terlalu banyak berhayal yang tidak tidak. Dia lalu memposisikan dirinya untuk mengamati dari belakang samping. Bukan mengamati lukisan yang sedang berada dalam proses penyempurnaan. Tapi matanya justru memaku pandang pada Zelda yang cantik jika dilihat dari sisi ini. Zelda terlihat begitu menawan walau hanya dilihat dari samping. Meski sejak dulu Adrien tahu bahwa si nona ini memiliki sesuatu yang seperti ini. tidak mengherankan bila dia tertarik membuang-buang waktu berada di studio kecil gadis ini dan menjadi model yang bayarannya bahkan tidak sepadan dengan pengorbanan yang dia lakukan. Telanjang didepan seorang perempuan. memalukan. Tapi dia sukarela melakukannya entah karena apa. Alasan klise yang pernah dia buat rasanya mengada-ngada belaka. Sekali lagi dia terpaku, alis si gadis yang menekuk dan sorot matanya yang terpaut. Kulitnya yang eksotis tanpa cela. Bibir bagian bawahnya yang sesekali digigit tanpa sadar, membuatnya gemas. Dan semakin lama dirinya menatap sebuah ide jahil sekelebat muncul di otak. Ia melirik Zelda sekali lalu melirik pula pada pallete kayu yang diletakan tak jauh dari jangkauannya. Adrien sedang menimbang-nimbang. Dan tiba pada satu tekad yang bulat, Adrien memantapkan niat. Ia menjumput cat berwarna ungu dari sana, sengaja mengambilnya sedikit lebih banyak. Sambil menahan kedutan senyum jahil di pipinya sendiri. Adrien secepat kilat mengusapkan tiga jemari miliknya pada pipi Zelda. Sebelum gadis itu sempat menghindar. Zelda sontak melirik kearahnya, Adrien terkikik geli sekarang karena ulahnya sendiri yang menodai pipi mulus si gadis dengan cat ungu, membentuk tiga goresan asal disana. Zelda yang masih diliputi oleh kekagetan hanya bisa mematung ditempat, untuk sebuah kesempatan langka Adrien menikmati sekali tatkala kedua mata si gadis berkedip-kedip lugu, menatap dirinya yang terlampau terhibur. Dan setelah seluruh kesadarannya pulih, kerut-kerut samar hadir di keningnya. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya pada Adrien. Meminta konfirmasi atas kelakuan bocah yang baru saja dia lakukan pada Zelda. Alih-alih menjawab pertanyaan si gadis, Adrien malah semakin keranjingan. Sekali lagi dia melakukan hal yang sama pada pipi Zelda yang masih bersih. Kini gadis itu terlihat seperti seekor kucing. Kucing liar tentu saja karena saat ini dia terlihat makin marah karena tingkah konyolnya. Melihat Adrien yang berseri dan bersemangat dengan kejahilan yang dibuatnya. Zelda tanpa sadar tergelitik untuk berpartisipasi. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, sebab detik berikutnya Adrien mengedipkan mata tiba-tiba saja pipinya sudah dibubuhi oleh cat warna. Adrien terperangah untuk beberapa saat, kepalanya tertoreh kearah Zelda. Sungguh dia sama sekali tidak mengantisipasi akan adanya serangan balasan dari si gadis. Sekali lihat Zelda memang terlihat biasa saja. bahkan dia terlihat ragu terhadap percobaannya yang sukses dengan mudah. Ia benar-benar melakukannya. Air muka gadis itu masih senetral biasanya, bahkan nampak acuh tak acuh. Namun Adrien bukan tipikal orang yang mudah dikelabui sebab dia lebih pandai menipu dibanding siapapun. Apalagi ketika dirinya menangkap adanya senyum samar pada gadis itu. begitu pula dengan binar-binar matanya yang berkilau-kilau jahil. Serupa. Maka Adrien berupaya lebih dengan mengultimatum dalam hati. Menutut balas atas apa yang gadis itu perbuat. Entah karena memiliki insting yang tajam, belum terealisasi aksi balas dendamnya. Zelda justru buru-buru pergi. Dia melarikan diri. Detik berikutnya dua insan itu malah justru sibuk saling kejar-kejaran. Balas membalas mengotori entah itu wajah, atau rambut, dan apapun yang bisa mereka dapatkan dari masing-masing untuk dikotori. Sesekali suara tawa dan pekikan terdengar mengisi sudut ruang yang biasanya selalu sepi. Satu lagi pekikan tak pelak meluncur bebas dari bibir Zelda ketika Adrien akhirnya berhasil menangkap gadis itu layaknya mangsa. Terlebih tatkala kedua tangannya merantai erat tubuh gadis itu didalam peluknya. Melingkarinya, membatasi geraknya. Zelda secara perlahan membalik badan, meskipun tubuhnya masih berada sepenuhnya didalam kungkungan lengan si pemuda. Zelda meletakan keningnya pada kening Adrien yang memang sedang tertunduk. Menikmati proksimitas antara keheningan yang sekali lagi merajai diantara keduanya. Disela-sela napas yang berhembus memburu. Sepersekian detik mereka habiskan dalam bisu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD