Menjelang tengah hari Adrien datang kembali ke kediaman Zelda seperti biasa. Itu adalah satu pekan sejak pertemuan mereka. Dia berdiri diluar apartmenr wanita itu lagi sambil menarik napasnya dalam-dalam sebelum dia kemudian memikirkan masak-masak apapun yang ada dibenaknya. Aneh sekali mendapati dirinya berpikir sebelum bertindak. Apakah dia sedang menjadi Ares sekarang? jika sebagai Adrien dia dengan mudah keluar masuk kediaman Zelda menganggap tempat ini adalah miliknya kenapa dia merasa memiliki jarak sekarang? terlebih dia melakukan tindakan bodoh sebelum benar-benar datang ketempat ini. yakni berputar berkeliling kompleks hingga berkeringat banyak. Mencetak tubuhnya dengan mudah membiarkannya tembus pandang karena kaos yang di kenakan sekarang berwarna putih lagi polos. Dia menarik napas terakhir, sebelum akhirnya memutar pintu dan melangkah masuk kedalam sana. Ketika langkah pertama dibuat dia melihat Zelda. Perempuan itu berkeliaran dengan hanya kaos polos ada tetes air yang turun dari rambutnya yang masih setengah kering. Dia menatap kehadiran Adrien dengan ekspresi tak berarti. Tapi justru sambutan macam itulah yang membuat Adrien perlu meneguk air liurnya sendiri lantaran menebak-nebak apakah Zelda mengenakan celana atau tidak sebab dia tidak bisa melihatnya sama sekali. Sebab kaos oblong yang perempuan itu kenakan ukurannya sedikit lebih besar daripada tubuh aslinya.
Dia kemudian berdiri sambil bersandar. Menghentikan aktivitasnya yang sedang mengeringkan rambut beberapa saat yang lalu. Menatap sang tamu dengan ekspresi gelap khasnya. Seolah menyerap cahaya darinya. penuh intimidasi.
“Apa yang sedang kau lihat? Apa kau berpikir aku tidak mengenakan celana dibalik bajuku? Dasar m***m sialan!” umpatnya tiba-tiba membuat Adrien bergidik. Tapi sedetik kemudian pria itu justru malah menampakan ekspresi jahil.
“Ya begitulah. Bukan salahku berpikir begitu.” Zelda memutar matanya kemudian dia menarik keatas dengan santai pakaiannya membuat Adrien melotot tapi kemudian kecewa untuk sebuah alasan. Zelda mengenakan celana hotpants berwarna hitam dibalik kaosnya. Tidak mengherankan. Tapi cara perempuan itu memberitahunya membuat dia perlu menahan napas kaget.
“Sayang sekali tapi aku mengenakan celana, maaf karena tidak sesuai ekpektasi dari pikiran kotormu. Kau ingin aku mengenakan G-string dibawah sini?” katanya dengan nada mengejek sambil menunjuk kearah celana yang sedang dia kenakan. Adrien tertawa renyah.
“Aku yakin kau tidak punya yang seperti itu,”
“Ya,”
“Bagaimana pendapatmu tentangku? Apa keringat alami membuat aku kelihatan seksi?” pancing Adrien. Zelda menatapnya ogah.
“Kau selalu sama seperti dirimu yang biasanya. Oh.. dan kau datang lebih awal,” komentarnya. Tapi kemudian Adrien membawa kedua kelopak matanya untuk berkeliling ruangan lebih awal. Ada sebuah tirai venesia besar yang terasa sedikit asing disana menutupi tepian jendela dengan dindingnya yang dipenuhi oleh berbagai lukisan dan juga sketas. Yang sebagian besar adalah lukisan potret dirinya yang belum dipoles sempurna. Melihat hasil lukisan itu dia terkesima oleh keindahannya. Tidak mengira bahwa dialah yang menjadi sosok pengisi daripada maha karya yang wanita itu buat dengan kuasa tangannya. Apakah itu sudut pandangnya saat dia sibuk menggambar dirinya selama ini? tapi sekarang keberadaannya disini bukan untuk hal itu. melainkan untuk sesuatu yang lain. wahyu yang menyenangkan.
“Jadi kita akan melakukannya dimana?” ruang tengah sedikit berantakan. Adrien rasa perempuan itu tidak punya inisiatif untuk membereskannya sama sekali setelah kemarin mereka memakainya. Dia benar-benar membutuhkan seorang asisten yang bertanggung jawab membersihkan apartmentnya secara berkala. Padahal dia seorang perempuan tapi sisi yang menitikberatkan naluri perempuannya sama sekali nol besar.
“Kita akan melakukannya di kamar tidur. Disana adad cahaya alami terbaik dan aku baru menyadarinya pagi ini. semua peralatannya juga sudah aku siapkan disana,” ujar Zelda santai. Tapi sekali lagi pernyataan tak terduga dari wanita itu membuatnya diliputi banyak pikiran liar dan kotor. Sepertinya itu wajar bagi pria normal sepertinya. Meski begitu Adrien berupaya untuk menginterpretasi perkataan itu lebih pada ‘dia hanya malas untuk membereskan ruang tengah dan tidak ingin membuang waktu untuk melakukan pembersihan mandiri’ setidaknya itu bisa membuatnya sedikit cooling down dibawah sana.
“Oke,” meski merasa sedikit agak aneh awalnya. Tapi Adrien sadar sejak awal pertemuan mereka dan bahkan setelah mereka berdua menjalin relasi dia dan Zelda memang tidak pernah melakukan hal yang normal. Lagipula dia juga sudah terlampau banyak menghabiskan waktunya bersama perempuan itu. jika hanya berbeda tempat kerja, itu tidak akan berarti bahwa mereka akan bercinta seperti waktu itu. moment langka itu sulit untuk di ciptakan jika Zelda tidak menginginkannya. Meski dia serampangan tapi sial sekali baginya sebab Zelda tipikal perempuan yang memiliki rasionalitas yang lebih baik dibanding perempuan yang dia kenal.
Wanita itu lalu menuntunnya menuju ke tempat yang hampir tidak bisa disebut kamar tidur. Sebab disana banyak sekali perlengkapan seni. Adrien berpikir tempat ini akan jauh lebih bersih. Padahal nyatanya sama saja dengan yang dia temukan di ruang depan yang menyambutnya. Beberapa hasil coretan yang sebenarnya bernilai justru terbengkalai disana sini. Di dinding yang jauh terdapat jendela besar lainnya dengan tirai yang ditarik, membiarkan cahaya matahari bisa masuk secara bebas kedalam. Bersamaan dengan ditemukannya sebuah pemandangan taman yang terdapat di sisi bangunan. Tetapi tidak ada hal lain yang layak untuk dijadikan sebagai pemandangan. Tapi perkataan Zelda benar soal pencahayaan terbaik. Sudah seperti itu, sepertinya ini adalah hari yang cukup terbaik dari segi cuaca. Sangat cerah. Cahaya ini menghangatkan, mungkin tempat berantakan yang dia sebut sebagai kamar ini adalah salah satu dari sekian banyak alasan mengapa dia memilih tempat ini sebagai kediaman. Selera seorang seniman memang berbeda.
“Berdiri di tengah lantai dan bukan semua pakaianmu,” dia seperti biasa selalu memerintah. Tapi kali ini entah kenapa terdengar lebih kasar.
“Belum apa-apa kau sudah bernafsu saja menelanjangiku,” ujar Adrien bergurau. Setengahnya sebetulnya dia lakukan untuk menutupi sedikit kegugupannya dari awal.
“Kau terlihat seperti oranglain. Apa kau sedang malu padaku?” pria itu bersiul.
“Secara teknis apa kau akan mengusirku bila aku tidak mau melakukannya?” pria itu lalu melepas T-shirt nya yang basah oleh keringatnya sendiri. Kemudian melemparkannya secara asal kesembarang tempat. Ya, paling tidak akan hinggap di sudut ruangan. Itu tidak terlalu buruk. “Kau suka aroma tubuhku?” tanyanya lagi dengan penuh kepercayaan diri. Sementara Zelda hanya menyaksikannya tanpa memberikan ekspresi berarti sama sekali. Membuat Adrien terkekeh sendiri. Hobby nya memang senang menggoda Zelda. Itu tidak akan berubah setidaknya untuk beberapa kali pertemuan lagi sampai wanita ini usai dengan deadlinenya. Tapi untuk yang sekarang, Adrien menemukan sesuatu yang baru. Cara wanita itu memandangnya membuat kulitnya merinding. Apalagi ketika tangan lembut wanita itu menggores bagian d**a hingga perutnya. Membuat gerakan pelan disana. Seperti sedang memberikan penilaian terhadap lahan yang akan dia gunakan sebagai kanvas hidupnya.
“Aku tidak peduli dengan aroma tubuhmu. Yang aku pedulikan adalah kanvas hidupku yang utuh. Lepaskan celanamu juga,” katanya malas. Tapi kemudian berhenti menyentuh dirinya. pria itu lalu memutar tubuhnya kebelakang. Melepaskan apa yang wanita itu minta secara sukarela. Toh, dia memang sudah tidak aneh dengan hal-hal seperti ini. bukan hal yang istimewa mengingat dipertemuan pertama saja Zelda sudah melihat tubuhnya secara utuh. Tidak ada bedanya dengan yang sekarang. ketika dirinya telah polos. Wanita itu berjalan memutari tubuhnya.
“Jangan tutupi apapun, letakan tanganmu disisi tubuh,” katanya kemudian. Ketika Zelda memerintah dengan suaranya yang dingin dan ketika wanita itu menyibukan diri dengan mengelilinginya seperti ini demi melihat lebih intim kedalam dirinya untuk mendapatkan detail dari setiap inchi tubuhnya. Adrien merasa sedikit ada letupan yang aneh didalam dirinya. dia bahkan tersentak kaget ketika tangan wanita itu bergerak di punggungnya. Menggores sebuah garis vertical dimulai dari leher hingga ke ujung tulang ekornya. Membuat sebuah getaran. Tubuhnya bergertar hebat. setidaknya Adrien bisa bernapas sedikit lebih lega lantaran itu tidak terlalu lama Zelda lakukan. Sebelum kemudian memutar tubuhnya menghadap sinar matahari. Sekali lagi wanita itu berhenti berputar. Kali ini mereka berdua berada dalam posisi berhadapan. Sekali lagi dia menggunakan jarinya untuk menyentuh permukaan kulit miliknya. Dimulai dari garis pelipis turun kebawah dan berhenti di puncak miliknya. Menyentuhnya sekilas tanpa minat mempermainkan sama sekali menyebabkan efek sedikit mengencang disana. Tapi wanita itu mengabaikannya seolah tidak melihat perubahan jelas tersebut.
Adrien tidak menemukan apa yang wanita itu inginkan daripada aktivitas yang dia lakukan sejak tadi. Tetapi yang dia rasakan sejauh ini adalah Zelda yang memiliki sinar liar dimatanya. Meskipun itu bukan jenis pandangan yang diliputi oleh birahi ataupun gairah. Tidak ada hubungannya kearah sana, tapi lebih pada seperti hasratnya yang tergugah. Mata wanita itu berkilat tajam. Justru anehnya malah dia yang merasakannya. Padahal wanita itu tidak menempelkan tangannya dengan maksud tertentu untuk membangkitkan nafsunya. Untuk sekarang dia bahkan tidak menyentuhnya, tapi lebih pada mengamati saja untuk mendapatkan sebuah bentuk yang dia inginkan demi mendapatkan sebuah hasil akhir sempurna berdasarkan kanvas yang adalah tubuhnya untuk dia gunakan sebagai tempat bagi wanita itu menuangkan kreasinya. Dia terlihat cukup berambisi sekarang apalagi ketika dirinya nampak sedang menyelaraskan setiap bagian sampai tampak cukup sempurna paling tidak menurut sudut pandangnya. Ketika dia merasa cukup dengan apa yang dia lakukan. Wanita itu melangkah mundur untuk memberikan sebuah penghargaan atas sebuah pemandangan elok yang telah dia ciptakan dengan tangannya untuk dirinya sendiri. Tubuh Adrien dibuat membelakangi matahari sekarang tapi kepalanya dia buat untuk menoleh kerahnya melewati bahu, rambutnya yang telah di acak-acak oleh kedua tangan wanita itu menciptakan sebuah esensi daripada estetika. Adrien bisa melihat wanita itu cukup puas. seluruh tubuhnya dijamah ramah. Mulai dari ujung kepala hingga kaki. Meninggalkan sesuatu layaknya obsesi dalam bayangan.
Alih-alih menggambarnya wanita itu justru malah duduk diatas ranjang miliknya. Menatapnya untuk waktu yang lama. sebelum kemudian dia meraih sebuah kertas dan mulai memoles disana. Membuat sebuah sketsa anatomi tubuh manusia dengan begitu sempurna secara cepat melalui contoh dari posisinya yang berdiri. Dia nampak tidak terlalu menekankan soal proporsi dan detail kecil seperti biasanya. Hanya sebuah sketsa kilat. Tapi Adrien puas mengamati bagaimana jari-jari wanita itu bergumul dengan pensil dengan sangat gesit untuk menggambar bentuk. Tetapi dari posisinya Adrien sayangnya tidak bisa melihat apapun. waktu seperti berhenti. Yang bisa menyadarkan bahwa waktu masih berputar sebagaimana mestinya adalah dari suara yang dihasilkan wanita itu ketika menggambarnya. Goresan pensil diatas kertas terdengar keras ditelinga sebab suasana ditempat ini begitu sunyi. Dia tidak berani melakukan pergerakan apapun meskipun sekujur tubuhnya mulai dilanda kram ringan karena berada dalam posisi yang sama cukup lama. bahkan dalam kesempatan ini Adrien sama sekali tidak mengeluh apalagi mengajaknya bicara seperti biasa. Seperti dia tahu diri atas kondisi bahwa tubuhnya sekarang bukan miliknya. Ini aneh. Apa karena ruangan yang mereka gunakan tidak seperti biasanya?
***
Aku tidak mengerti terhadap suasana yang terjadi diantara kami sekarang. tapi aku merasa Adrien terlihat sedikit berbeda dan dia lebih penurut dibanding terakhir kali. Dia juga tidak banyak bicara seperti seeorang badut. Dia malah seperti benar-benar layaknya patung dan memberiku ruang untuk berkonsentrasi penuh terhadap kegiatan ini. terus terang ini adalah hal yang baru dan aku sedikit berdebar untuk melalui detik demi detiknya. Setelah aku selesai merekam apa yang aku butuhkan. Kemudian aku membuang buku sketsa yang aku gunakan untuk mengabadikan moment ini begitu saja ke sembarang arah. Aku sudah berkeputusan dan ya, itu adalah jenis daripada sesuatu yang aku ciptakan dengan tegas. Aku kemudian menarik koper yang aku sembunyikan di balik Kasur. Lalu kemudian mengeluarkan beberapa alat yang berhasil aku dapatkan dengan sedikit usaha tepat setelah kami membuat perjanjian konyol itu di bawah matahari terbenam satu pekan sebelumnya. Ketika aku memandangi jarum yang akan menjadi medianya aku merasa tergugah, debaran asing ini menantangku. Aku hanya mempelajarinya selama satu hari soal seni tato ini. Tapi untuk memperaktekannya pada mahluk hidup seperti sekarang, aku tidak yakin bisa berhasil dalam sekali coba. Aku tidak tahu apa aku cukup mumpuni dalam seni baru ini.
Bahkan sebelum hari ini aku telah menghabiskan malamku dengan membaca tentang bagaimana sebenarnya membuat tato. Aku juga telah menciptakan beberapa desainnya diatas kertas, dan bahkan pada diriku sendiri. Tetapi untuk menciptakan sebuah tato pada kanvas yang sebesar ini. jelas itu sebuah tantangan baru dan juga memberikan sebuah kesegeran di pikiranku. Aku ingin memastikan diriku terlebih dahulu bahwa aku tidak akan mengacaukan pengalaman pertamaku. Atau potensi kecil yang barangkali akan memberikan kegagalan sebagai gantinya. Ini jelas akan menjadi sebuah mahakarya yang luar biasa dan terbesar daripada sejarah hidupku. sebuah seni yang akan abadi dan menempel pada tubuh seseorang. Dan sekarang aku memiliki orang gila yang tepat untuk aku jadikan sebagai kelinci percobaanku. Seseorang yang memiliki sebuah kepercayaan tidak masuk akal padaku dan membiarkan aku melakukan apapun yang aku suka padanya. dia segila itu ?
“Kita akan memulainya sekarang. jelas ini akan menjadi sesuatu yang baru. Setidaknya aku merasa perlu memastikan agar kau merasa nyaman. Tapi yang pasti ada resiko infeksi darah dan itu jelas presentasenya tinggi. aku bukanlah seorang pentato handal yang bersertifikat. Aku juga tidak yakin dengan tinta yang akan aku gunakan. Aku dengar beberapa orang memiliki alergi terhadap jenis tinta. Juga proses ini akan memakan waktu yang lama, kau mungkin tidak akan merasa nyaman selama prosesnya,” aku mengatakan semua kebenarannya. Dan juga beberapa hal seperti peringatan awal padanya.
Pria itu menatap kearahku dengan sorot mata yang tidak bisa aku artikan. Dan yang membuatku semakin tidak mengerti adalah dia yang tidak berkata sepatah katapun. Aku tidak memiliki kemampuan untuk menebak urusan pikiran apalagi hati oranglain. Menerka itu adalah salah satu daripada kelemahanku. Aku tidak terlalu peka untuk persoalan yang satu itu.
“You can move now if you want,” aku akhirnya kembali menyeruakan apa yang ada dipikiranku. Bermaksud untuk melepaskannya. Entah mengapa nuraniku bekerja lebih banyak hari ini.
“Apa kau sedang mengkhawatirkanku?” dia justru balik bertanya padaku. dan lagi pertanyaan tidak penting macam apa yang sedang dia coba utarakan padaku? dan senyum yang dia buat di wajahnya. Untuk apa dia membuatnya didepan mukaku?