Nightmare

2279 Words
“Terimakasih atas pengertiannya, maaf merepotkan. Saya akan kembali bekerja esok hari!” tutupku lalu kembali menyimpan gagang telepon umum tersebut ke tempatnya. Aku kemudian keluar dari sana lalu berdiri disisi kotak itu untuk menghitung sisa uang receh setelah aku gunakan untuk berkomunikasi didalam sana. Setelah memastikan jumlahnya secara keseluruhan kepingan koin itu kembali menghungi saku jaket bututku seperti sedia kala. “Haaahhh….” Menghela napas panjang begini membuatku merasa sedikit lebih hidup. Dan beban di pundakku sedikit ringan meskipun tidak terlepas secara keseluruhan. Sebenarnya aku tidak sedang sakit seperti apa yang aku katakan barusan di telepon pada bos toko tempat aku bekerja sambilan. Hanya saja aku sedang butuh istirahat penuh setelah seluruh isi kepalaku rasanya penuh oleh hal-hal yang aku sendiri tak mengerti mengapa jadinya malah memenuhi. Sekelebat bayangan masa lalu yang hinggap sebelum quiz dilakukan terlalu mendistraksi banyak hal dalam hidupku hari ini. Sampai aku dengan bodohnya meninggalkan sepedaku di pelataran kampus karena lupa membawanya. Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah pulang dengan bekal kedua kakiku saja. berjalan santai, kontras dengan orang-orang disekitarku yang berjalan dengan laju cepat sebab diburu waktu. Duniaku dan dunia miliki mereka berbeda. Kontradiktif. Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati apartement sekaligus studio pribadiku tidak berada dalam kondisi terkunci seperti yang kuingat. Meskipun aku tidak memiliki barang berharga untuk dicuri didalam sana, tapi tetap saja aku tidak suka saat seseorang merangsek masuk kedalam territorial hidupku tanpa izin seperti ini. Menyesuaikan dengan kondisi, aku tidak gegabah dengan serta merta langsung mengambil tindakan membuka pintu dan masuk kedalam sana. Tidak. Aku masih menggunakan sedikit otakku untuk mengambil pipa tak terpakai yang terbengkalai atau mungkin disembunyikan oleh pihak keamanan sebagai pengganti kapak untuk memecahkan kaca bila sewaktu-waktu terjadi kebakaran atau mungkin untuk sesuatu seperti sekarang? Mempersenjatai diriku menghadap perampok bodoh yang masuk kedalam apartement gadis miskin. “Oke, tuan penyusup! Bersiaplah masuk rumah sakit setelah ini!” Aku mendobrak pintuku sendiri lalu kemudian terdiam kaku ditempat setelah melihat kedalam. Tata letaknya barang-barangnya sudah berubah lebih beraturan dengan seorang pemuda yang tidur diatas sofa milikku. “Ah! Aku benci berlebihan begini,” aku menggerutu lalu kemudian meletakan pipa yang aku bawa tadi ketempat semula. Mengabaikan pikiran buruk yang sempat masuk kekepalaku. Lalu kemudian kembali ketitik awal dan mengamati perubahan besar-besaran yang terjadi diruangan pribadiku. “Kau pikir kau itu peri rumah, tuan?” bisikku mengamati sekeliling. Buku-buku yang biasa terantuk dimana saja sudah tertata pada rak yang telah lama berdebu tanpa sentuhan tanganku. Pemuda itu menyusunnya menjadi komposisi sempurna yang memanjakan warna berdasarkan warna dari sampul bukunya. Pakaian kotorku yang biasanya ikut menjadi pajangan ruangan sudah tidak ada ditempatnya. Jendela-jendela yang selalu kubiarkan tertutup setiap saat terbuka lebar membiarkan angin dingin masuk. Bukan angin dingin sih, lebih pada udara sejuk nan segar yang menggantikan pengapnya ruangan yang masih tersisa dari musim panas tahun lalu. peralatan makan yang semula memenuhi wastafel sudah tertata rapi sama seperti nasib seluruh bukuku. Sampah-sampah kaleng bir, dan mie instan dilantai juga sudah masuk kedalam polybag besar di ujung ruangan yang siap diangkut untuk dibuang keluar. Lantainya tidak berdebu dan kotor oleh bekas rokok. Lebih kesat dan berwarna cerah tanpa debu. Sepasang sandal rumah asing disiapkan pada rak sepatu. Jelas bukan miliknya karena aku tidak akrab dengan kerapihan macam ini. sepertinya pemuda yang sedang menumpang tidur di studioku telah usai melakukan pekerjaan besar hari ini. Aku mengabaikan eksistensinya begitu saja, lalu memilih menaruh tas ranselku di samping kaki sofa dan mengambil satu-satunya kursi yang tersisa untuk tidak menghalangi arah pandangku. Aku menempatkannya secara sembarangan ditempat lain, agar aku bisa duduk dilantai dengan leluasa dan bisa menatap pada mahakarya yang sudah disuguhkan pemuda itu untuk aku garap sebagai project selanjutnya. Aku mengambil buku sketsa gambarku lalu memperhatikan secara seksama pemandangan yang tersaji secara alami didepan mata. mengambil sudut pandang terbaik untuk kemudian kurekam didalam kertas milikku. Aku tidak memiliki niatan untuk mengubah posisi tidur pemuda didepanku. Bahkan untuk membetulkan posisi kakinya yang menjuntai karena sofa tidak memuat seluruh tubuhnya untuk tidur dalam posisi nyaman. Kurasa justru pemandangan natural seperti ini lebih menantang untuk aku abadikan. Segera dengan cepat, berlomba dengan waktu sebelum Adrien terbangun sehingga aku tidak kehilangan momentumnya. Mulailah kurangkai garis menjadi sebuah sketsa manis. Sebab sang model sedang tidur dengan posisi yang menurutku artistic. Usai dengan kerangka badannya, kali ini aku mulai berpindah ke bagian wajahnya. Untuk yang satu ini terus terang aku cukup berhati-hati karena ekspresi wajah adalah bagian yang paling krusial. Ditambah lagi ini adalah moment yang paling aku sukai sebab modelku tidak begerak, tidak berbicara, tidak mengeluh dan yang paling penting adalah bisa diajak kerja sama tanpa aku perlu mengintruksikan dirinya. Aku memandangi hasil karyaku barusan. Aku lumayan suka dengan finishing touchnya, kemungkinan besar sketsa ini akan bertahan paling lama dalam draftku dan setidaknya dia tidak akan menjadi robekan kecil dalam waktu dekat seperti yang sudah sudah. Aku mendecih tatkala mendengar suara uang logam milikku yang terjatuh ketika aku bangkit dari posisi dudukku. Aku lantas mengikuti kemana arah koin itu pergi, tas selempang pria itu kuletakan begitu saja sebab koinku mendekat padanya. Saat aku hendak memungut koin milikku, aku bisa melihat bahwa tas selempang itu terbuka. Sedikit curiga, dan juga kurasa ini jenis balas dendam yang sempurna maka aku tak akan kalah dalam hal pelanggaran privasi yang dilakukan oleh Adrien padaku sebelumnya. Karena itulah aku memeriksa tasnya, hanya memastikan apa yang dia bawa dalam tas kecil yang kerap dia bawa dibelakang punggungnya. ‘Heh’ aku mengamati apa yang aku temukan didalam tas tersebut. Ada sebotol obat tidur didalamnya. “Apa yang kau lakukan dengan tas milikku Nona Zelda? Membuka dan mengobrak-abrik tas seseorang jelas melanggar privasi dan lebih dari itu juga sangat tidak sopan.” Aku memang terkejut karena mendapati komentar dari orang yang jelas jelas beberapa saat yang lalu tertidur pulas. Tapi aku mencoba untuk beradaptasi sedemikian rupa dengan keadaan yang ada. “Masuk dan berbuat seenaknya di apartement oranglain tanpa isin juga bentuk dari pelanggaran privasi dan tidak sopan, Tuan Adrien. Siapa yang membiarkan kamu masuk kedalam apartmentku?” matanya berkedip menatap ekspresiku. Dia mungkin tidak menyangka bahwa aku akan menstik baling ujarannnya. Lalu bebrapa saat kemudian pemuda itu tersenyum lima jari kearahku. “Pengawas aparmentmu sendiri, Nona. Dia pikir aku adalah pacarmu. Jadi kumanfaatkan spekulasinya dan kuterima tawaran baiknnya. Kalau kutolak bukankah itu tidak sopan, hm?” “Cih,” aku selalu kesulitan menang argument dengan pemuda ini. Maka dari itu khusus hari ini aku tidak ingin berdebat lagi. “Kenapa tidak kau bangunkan aku saja daripada mengendap-endap seperti orang m***m didepan orang tidur?” tanyanya lagi. Adrien kali ini sudah berada dalam posisi berdiri lalu kedua tangannya mulai mencopoti bajunya sendiri. “Tadinya. Tapi tidak jadi. Ngomong-ngomong kau pengkonsumi obat? Ini milikmu?” tanyaku sekali lagi. Sengaja memperlihatkan apa yang aku temukan didalam tasnya. “Obat? Ohh… maksudmu itu? tidak, bukan milikku. Aku tidak sengaja ikut memasukannya kedalam tasku. Yah… walaupun memang beberapa kali aku pernah mencobanya, tapi ini tidak seperti aku ketergantungan atau apapun namanya. Lagipula itu jenis obat yang ringan. Seperti Pereda flu,” ‘pemobohong yang ulung’ aku tahu pasti bahwa apa yang aku temukan adalah jenis obat tidur. Dan obat ini bukanlah salah satu jenis dari obat tidur dengan dosis yang ringan. Terlebih obat keras seperti ini tidak akan mudah dibeli diapotek secara sembarangan tanpa resep dari dokter. “Hei,” panggil Adrien sekali lagi ketika aku tidak menjawab kata-katanya. “Hm?” “Mau dengar ceritaku?” tanya Adrien “Tergantung cerita yang akan kau bagi. Kalau sifatnya hanya gossip aku tidak peduli,” tuturku dingin. “Tidak. bukan yang seperti itu. ini ceritaku. Cerita soal ingatanku yang tersisa,” “…” aku mengambil kursi dan duduk dihadapan Adrien tanpa mengatakan apapun. Aku lebih suka mulai menyibukan diriku dengan menggambar ketibang melayani obrolan yang tidak jelas dari pemuda ini. pemuda itu berdiri disamping rak buku dalam kondisi bugil. “Ini cerita tentang ‘Ares’ dan ‘Adrien’” bukanya seperti seperti pembicara handal dalam acara story telling. “Aku tidak peduli, tapi kalau kau ingin cerita. Cerita saja,” “…cerita ini mungkin bermula dari aku yang tidak pernah tahu siapa orangtua kandungku. Kami berdua besar di panti asuhan, sampai usia kira-kira tujuh tahun sepertinya. Kau tahu kan kalau bayi lebih diminati untuk diadopsi ketimbang anak-anak? Saat itu aku sempat takut dan frustasi. Disatu sisi aku ingin kehidupan yang lain tapi aku juga tidak mau terpisah dari kakakku.” “…” coretan ditanganku bergerak seirama kisah yang dia ceritakan padaku. Mulai membentuk sebuah siluet manusia. Tanpa perlu kukomentari kisahnya karena menurutku itu tidak perlu. Pemuda ini hanya ingin didengar bukan untuk direcoki dengan berbagai komentar tak sedap. Aku tidak menampik bahwa ini bukan jenis cerita bahagia khas dongeng. Kami memiliki luka, tapi kami pandai menyembunyikannya. Itulah garis yang bisa kutarik dari semua ini. “lalu kami mulai berpura-pura menjadi pribadi yang lain. Menjadi anak laki-laki yang manis dan baik hati supaya bila ada tamu yang berkunjung mereka akan tertarik dan mengadopsi kami. Lalu kami berpisah dan sepuluh tahun kemudian kami baru kembali bertemu lagi. Hmmm.. dan setelah pertemuan itu, kami juga melakukan hal yang menyenangkan seperti bertukar tempat. Hal itu kami anggap sebagai sebuah permainan yang seru. Mengelabui oranglain dan melihat reaksi mereka bagiku itu cukup mengasyikan. Lalu setahun yang lalu, sesaat sebelum kecelakaan menimpa kami berdua. Kalau tidak salah kami hendak pergi kesebuah tempat pertemuan kami sebelum kami bertukar peran. Aku tidak ingat siapa yang menyetri dan siapa yang duduk dikursi penumpang.” Kali ini mata Adrien terlihat berkaca-kaca dan menerawang jauh. “…” “Mungkin sebelum kecelakaan kami sedang bertukar tempat dan kurasa—” “Dengan kata lain kalian berperan menjadi satu sama lain?” tanyaku memotong perkataan Adrien. “Iya, bagiku menjadi ‘Ares’ atau ‘Adrien’ tidaklah sulit sama sekali. Toh, selama diadopsi kami juga sudah terbiasa memerankan ‘Ares’ dan ‘Adrien’ tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali.” “Kalau begitu kutanya padamu, saat ini kau sedang berperan menjadi siapa?” “Entahlah, apa dimatamu aku sedang berperan?” “Aku tidak tahu karena aku tidak mengenalmu,” “Jawaban yang jujur tapi sangat lucu. Haha… oh ya, waktu itu kalau tidak salah aku pernah menjanjikanmu untuk memperlihatkan ‘Ares’ padamu ya?” “… Ya,” “Biar kutunjukan dan beri aku nilai” beberapa saat kemudian, sang model memperlihatkan padaku perubahan raut muka dan caranya memandang. Kali ini sosok yang ada dihadapanku bukan lagi sosok Adrein yang cerewet. Aku tidak mengenal dirinya sama sekali. Dia berubah menjadi seorang pria yang terlihat mature dan karismatik. Jelas sekali bila dia bukanlah modelku lagi. Mendapati hal ini aku membalik buku sketsaku dan mulai menggambar ‘Ares’ dikertas kosong yang baru. “…” “Tetap diam seperti itu sampai aku selesai!” perintahku tegas. “Baik,”   *** “Aku mencintaimu! Aku mencintaimu! Sungguh aku sangat mencintaimu!” Gelap dan dia datang lagi, dengan raut muka yang sama. Aku diam disana dan tidak bisa bergerak. Sulur-sulur dari mawar hitam melilit tubuhku. membatasi pergerakanku. Semakin lama jarak diantara kami berdua kian memendek. Pria dengan rambut hitam dengan wajahnya yang nyaris tidak terlihat itu kembali berteriak dan bahkan kali ini sambil menangis pula. “Katakan bahwa kau mencintaku juga!” tuntutnya sekali lagi padaku. Pria itu, dia datang dari masa laluku. “Aku tidak bisa…” “—Pembohong! Padahal aku selalu –mu! Kau! apa kah kau—? jika kau tidak ingin –tahu kenyataannya. Katakan padaku bahwa kau mencintai aku!” lalu pemuda itu mencekik leherku dengan sangat buas. “..ukh! tidak kumohon! Aku tidak bisa—” “…Pembunuh…” si pemuda mendekat lagi dan kali ini suaranya teramat lirih dan berbisik. “Tidak! A-aku bukanlah—” “PEMBUNUH!” teriak gadis lain yang entah siapa. Lalu aku mendapati pemuda yang mencekikku barusan sudah bersimbah darah dihadapanku. Sebuah pisau tergenggam ditanganku. Basah. Merah. Darah. “Tidak! demi Tuhan! Bukan aku!” “KAU PEMBUNUH!” sosok wanita datang mendekat, ia juga ikut meneriaki diriku. Memojokan aku. “Bukan!” aku mencoba sebisaku untuk membela diriku. Sebab aku memang tidak bersalah. “PEMBUNUH PANTAS MATI!” sosok pria lainnya muncul dan berdiri disamping wanita tadi dan kembali meneriaki aku. Aku mencoba untuk menutup telingaku, sialnya darah mengalir dari sana tanpa bisa kucegah. “HUKUMAN MATI!” teriak yang lain sambil memandang penuh kebencian dalam kegelapan. Kali ini darah mengalir dari mataku. “KAU HARUS MATI ZELDA!” Aku ditarik masuk dalam sebuah bayangan yang mirip dengan bayanganku sendiri. Tangan-tangan bermunculan dari dalam kegelapan dan mencekiknya. Menceraiberaikan tubuhku hingga rasanya mati rasa. Mimpi. Hal pertama kali yang aku lakukan kala membuka mataku adalah menatap langit-langit apartmentku. Dengan perlahan aku mencoba untuk mendudukan diriku dan menyeka keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Tangan kananku masih memegang kuas dan ujung kakiku tak sengaja menyepak pallete dibawah sana. Ah.. aku ingat sekarang. Rupanya aku tertidur sesaat setelah Adrien pulang. Suara rel gorden akhirnya tertangkap telingaku. Tirai mengembang dan mengempis ditiup oleh angin malam yang masuk tanpa halangan karena jendela yang masih berada dalam kondisi terbuka lebar. Aku merasakan adanya perubahan waktu disana. Memperkirakan seberapa lama waktu yang kuhabiskan untuk tidur. Sedikit malas akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dan menutup jendela kamarku. “Hujan…” Saat berbalik, tak sengaja aku melihat diriku sendiri dari pantulan cermin. Leherku dipenuhi ruam ruam merah. Aku mendekat pada cermin tersebut agar bisa lebih leluasa untuk sebuah kejelasan. Penasaran. Dilehernya terdapt bekas seperti cekikan oleh tangan yang besar. Aku menyentuhnya dengan jari-jari milikku memastikan ini nyata atau tidak. Dan yang tidak kuduga aku malah menemukan bekas membiru dari gigitan di leherku. Ah… noda itu bekas ciuman kasar dari Adrien.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD