Aku kehilangan konsentrasiku sekali lagi. Isi kepalaku sedang tidak bagus, mengisi otakku dengan buku didepan mataku bukan sebuah solusi terbaik. Oleh sebab itu aku memilih untuk menutupnya secara paksa daripada melanjutkan sesi belajar kilat sebelum quiz dimulai. Dengan geram, aku menoleh kearah mahasiswi yang sepertinya sangat sumringah bicara dengan seseorang dari sebrang sana melalui ponselnya. Beberapa yang lainnya juga bercokol dengan benda yang sama. Entah untuk sekedar chatting atau bahkan bermain game. Sungguh, aku benar-benar membenci benda itu karena itu membuka sebagian dari memori buruk yang aku tak ingin lihat.
Aku yang kala itu masih cukup belia berlari pulang dan melihat mobil ayah melaju dengan kencang. Aku masuk kedalam rumahku dengan tatapan bingung dan mencari tahu apa yang baru saja terjadi tanpa sepengetahuanku. Dan tepat saat itu aku hanya melihat ibu sedang bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Dia terlihat menangis tersedu, bersembunyi dibalik pintu. Entah apa yang dia bicarakan tapi suara ibu terlalu sengau dan serak seolah baru saja tersakiti oleh sesuatu.
“Eh… Zelda sayangku, kau sudah pulang ya? Maaf ibu tidak menyadarinya,” katanya berupaya menutupi kesedihan yang sudah terlihat jelas diwajahnya. Sebelah tangannya dia gunakan untuk menghapus air mata. sebelahnya lagi masih menggenggam ponsel ditangannya. Ada satu nama yang tercetak disana. Tapi aku tidak bisa membacanya.
“Kenapa Ibu menangis?”
“Kau kenapa lagi?” tanya Anfisa membuat seluruh ingatan masa lalu terceri berai. Dia tidak bertanya sambil melirik kearahku. Dia bertanya justru sambil sibuk dengan buku ditangannya. Menoleh saja tidak. Dia memang tipikal mahasiswi yang serius soal urusan akademik dan bercita-cita menjadi salah satu pemegang c*m claude abad ini. Saking rajinnya dia bahkan tidak sesibuk aku yang menghafal sebelum ujian. Dia membaca buku untuk hiburan. Betapa luar biasanya memang sahabatku yang satu itu.
“Bukan apa-apa,” responku singkat. Anfisa memutar bola matanya bosan.
“Ponsel?” dia memang selalu mudah menebaknya. Aku tidak bisa berdusta bila berhadapan dengannya. Tapi justru karena itu aku sedikit merasa aneh. Padahal aku dan Orion sempat menghabiskan satu malam bersama, aku sangsi dia tidak mengetahuinya. Apa dia sengaja menutup mulutnya soal itu dan memilih berpura-pura tidak tahu? Entahlah… aku tidak suka menebak-nebak begini. Jika saja dia tahu pun aku tidak tahu aku harus bagaimana menghadapinya.
“Kalau sudah tahu kenapa masih juga mau bertanya?” cibirku malas. Dia tergelak.
“Cuma konfirmasi ulang. Lagipula hal seperti itu bukan masalah kompleks kan?” kali ini aku memperhatikan apa yang dibaca si gadis kacamata. Sebuah buku filsafat, dan beberapa buku berbahasa asing yang dari judulnya saja sudah membuatku pusing tujuh keliling. Aku sama sekali tidak habis pikir mengapa Anfisa bisa begitu menikmati waktunya membaca rentetan tulisan didalam kertas berbau aneh itu dan teramat larut didalamnya tanpa peduli sekitar. Aku juga tidak mengerti mengapa dia perlu berepot-repot mencerna isi buku yang tidak ada kaitannya dengan mata kuliah yang dia ambil. Setahuku, dia tidak semaniak ini pada buku. Meskipun dulu dia memang kutu buku.
“Sekarang mau kemana ?” padahal aku hanya melakukan gerakan kecil, tapi dia seolah mengawasiku layaknya cctv. Dia terlampau peka saat aku lebih memilih memasukan buku-buku diatas meja kedalam ransel usang milikku.
“Pulang.” Jawabku cuek.
“Kuliah berikutnya?” tanya Anfisa. Kali ini dia melotot tak suka atas keputusan yang aku buat. Akhirnya dia mau bersitatap denganku.
“Titip salam pada dosennya.” Tuturku ringan tanpa beban sambil melambai padanya cuek. Lebih suka memandu langkah keluar dari kelas yang sudah mulai riuh dipenuhi oleh mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menunggu dosen masuk. Jika suasananya padat begini percuma juga aku mengikutinya. Toh, tidak akan ada yang masuk keotakku walaupun aku memaksakan diri. Lebih baik menghabiskan waktu distudio untuk menggali inspirasi atau barangkali tidur siang sejenak untuk melepaskan beban pikiran bukan? Ya. Kurasa itu ide yang bagus untuk sekarang.
***
Orion menahan Nesrin saat dosen wanitanya itu hendak meninggalkan kelas hanya dengan pandangan matanya. Rekan-rekannya satu persatu sudah meninggalkan kelas ketika wanita itu memutuskan menyudahi sesi mata kuliahnya. Dan Nesrin yang hanya mendapatkan tatapan mata itu seperti sudah menyepakati untuk menunggu keadaan lebih tenang dan memberi kesempatan pada mahasiswa prianya itu untuk bicara. Sambil menunggu, Orion juga menunggu kesempatan itu untuk sedikit mengirim pesan pada Anfisa mengenai jadwal kencan mereka yang tertunda sore ini. Sedangkan Nesrin dengan seluruh kasualitasnya menunggu dengan cara memeriksa kertas-kertas tugas yang telah dikumpulkan keatas mejanya dengan nyaman. Tidak terlalu terpengaruh, atau terlihat menantikan apa yang akan dia dapatkan dari mahasiswanya yang masih duduk dan bertahan sampai semua orang benar-benar pergi dari kelas. Setelahnya dia beranjak dari kursi miliknya dan menutup ruang kelas dengan santai. Lalu berdiri disana sambil menatap Nesrin lekat-lekat.
“Jadi, Orion. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku tidak punya urusan lagi dengan Zelda ?” buka sang dosen muda yang terlihat acuh tak acuh.
“Begitu menurut anda Bu dosen? Tapi dari apa yang saya lihat. Anda tidak benar-benar akan melepaskan Zelda.” Katanya lagi dengan nada yang sedikit menantang. Nesrin tersenyum simpul mendengar argumentasi yang diarahkan padanya barusan.
“Saat Zelda sudah kehilangan bakatnya. Buat apa aku perlu repot-repot meneruskannya, hm?” Nesrin kali ini menaruh tas tangannya diatas meja. Lalu mengeluarkan pouch yang berisi alat rias didepan Orion tanpa menatap pemuda itu sama sekalinya.
“Kalau anda tidak peduli lagi padanya seperti apa yang anda katakan, seharusnya anda katakan saja padaku apa yang Zelda sedang lakukan sekarang? Dan apa hubungan dia dengan anak dari kelas seni rupa?!” kali ini Nesrin tertawa.
“Kenapa kau tanya padaku? Bukankah kau cukup dekat dengan Zelda? Kenapa tidak kau katakan pertanyaan itu secara langsung padanya?” kali ini Nesrin membuka pouch miliknya dan mengeluarkan cermin beserta lipstick.
“Jika bisa, pasti sudah kutanyakan langsung padanya sejak awal dan aku juga tidak perlu repot-repot seperti ini pada anda,” balas Orion sedikit terbawa suasana dan emosinya sedikit naik karena perkataan Nesrin barusan padanya lebih terdengar menyindir.
“Aaahh… sungguh, aku heran sekali padamu Orion. Setahuku kau bukanlah pacarnya Zelda. Untuk apa kau bersusah payah dan kerepotan mengurusi kegiatan akademiknya seperti ini? Aku sarankan kau mengurus hidupmu sendiri dan temui dosen pembimbingmu,” Nesrin mengulum senyumnya lalu mulai mengenakan lipstick berwarna merah di bibirnya dengan santai.
“Kumohon katakan padaku Bu Dosen…”
“Proyek apapun yang sedang dia lakukan, itu urusannya. Aku tidak mau tahu apapun soal dia. Yang kupedulikan adalah pameran yang belum tentu dia akan terlibat didalamnya. Jadi sekarang kau sebaiknya—”
“Apa jika aku bersedia tidur denganmu. Anda akan bersedia memberitahuku?” potong Orion serius. Tawaran itu keluar begitu saja, Nesrin seketika tidak berkata apa-apa lagi ketika Orion mulai membuka kancing atas kemeja yang dia kenakan. Dosen muda tersebu sedikit meneguk ludahnya saat dia mendapati pahatan sempurna dibagian perut pemuda itu. cukup menggoda. Tawaran yang tidak terlalu buruk. Nesrin kemudian merapatkan bibirnya sendiri untuk meratakan warna merah di bibirnya agar lebih rapi. Lalu memasukan alat make up nya ketempat semula. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Anfisa ada dibalik pintu. Sungguh, ini bukanlah adegan yang siap untuk dia saksikan. Setelah mendapatkan pesan dari Orion bahwa kencan mereka akan ditunda. Anfisa lalu pergi menemui dosen pembimbingnya. Sampai kemudian langkah gadis itu kembali ke kelas sebab dia perlu berkonsultasi pada Nesrin atas saran dosen pembimbingnya sendiri. Dan dia tahu bahwa sang dosen belum beranjak dari kelas karena ruangannya kosong. Dan ketika dia tiba, seperti mendapatkan vonis hukuman dari hakim gadis berkacamata itu berbalik arah dan menyingkir jauh-jauh dari situ. Dalam saku coat yang dia kenakan terkepal sudah kelima jarinya menahan emosinya.
“Bu Dosen..” suara Orion memberat.
“Jika kau sebegitu terobsesinya dengan Zelda, kenapa tidak kau jadikan dia sebagai pacarmu saja Orion? Kau ini sedikit lucu dimataku. Trikmu yang satu itu mungkin mempan pada yang lain. Tapi sayang sekali tampan, hal-hal seperti ini tidak akan mempan padaku. Bagiku penawaran yang kau berikan padaku terlalu murah. Apa kau menyebut dirimu sendiri gigolo? Kupikir kau lebih menantang dari yang aku kira.” Pemuda itu terdiam. Dia membiarkan dadanya terbuka lebar didepan Nesrin begitu saja.
“…Apa Bu Dosen tidak tahu bahwa ada pepatah ‘Hari ini kertas mulia, besok jadi kertas toilet’?” tanyanya. Dia telah berdiri dibelakang Nesrin dan melingkarkan tangannya di pinggang sang dosen. Lalu kemudian bibirnya mulai bermain di tengkuk sang dosen. Menggodanya sedikit dengan jilatan yang terlampau hati-hati membuat tubuh sang dosen sedikit menggelinjang.
“Kau cukup nakal dan berani ya, baiklah kalau begitu.” Nesrin membalikan badannya kearah Orion. Menatap pemuda itu lekat-lekat lalu mengalungkan tangannya dileher. “Kenapa kau tidak menunggu sampai jadi kertas toilet saja sayangku? Yang Zelda lakukan sekarang bukan misi rahasia dari kekaisaran, kan?”
“…” Orion tidak menjawab. Pemuda itu merasakan napas Nesrin. Setelah lama berdiam di posisi itu. Nesrin melepaskan tangannya dari Orion lalu membawa langkahnya menjauh dari pemuda yang lapar itu secepat mungkin.
“Anak-anak jaman sekarang terlalu menggebu-gebu,” tuturnya sebelum benar-benar meninggalkan kelas. “Ah ya, jangan lupa bila kau sudah selesai dengan libido mu itu. bawakan kertas-kertasnya keruanganku.” Titahnya. Lalu sang dosen mud aitu menghilang dari balik pintu. Langkahnya terdengar menggema di lorong. Meninggalkan Orion begitu saja.
“Dasar perempuan lacur!” geramnya. Dia lalu membetulkan kembali penampilannya. Lalu membereskan kertas-kertas tersebut untuk kemudian akan dia titipkan pada orang lain untuk diberikan pada Nesrin.
Sementara itu Nesrin telah berada di ruangannya. Perempuan itu tersenyum. Sudah lama dia tidak mempermainkan oranglain sepuas hati begini. Baginya seorang Mahasiswa yang terobsesi pada sesuatu bukan hal yang baru. Dan cukup menyenangkan untuk dipermainkan.
Sosok Zelda. Ah, baginya mahasiswi kesayangannya itu tidak membuat masalah sedikitpun, dan dia sendiri juga tidak masalah dengan apapun yang gadis itu lakukan tanpa sepengetahuannya setelah dia cecar beberapa waktu lalu. yang ada dalam kepalanya adalah bagaimana nikmatnya sensasi tatkala mempermainkan gadis itu dibawah kendalinya seperti sekarang. Menurut pandangannya sebagai seorang dosen, gadis itu dan bakat alami yang dia miliki sangatlah menarik. Apapun akan Nesrin lakukan demi membuat sosok angsa dapat bertelur emas seperti cerita rakyat. Meski hal itu akan berimbas pada antipadi Zelda terhadapnya. Dia mengaku bahwa apa yang dia lakukan terhadap Zelda memang bisa dikatakan berlebihan. Namun dia sendiri juga tidak sabar mendapatkan kejutan dari apa yang sudah dia lakukan terhadap gadis itu. Nesrin menertawai sendiri tingkahnya yang kekanak-kanakan sekarang. Tapi bukankah burung elang tidak pernah meragu untuk menjatuhkan anaknya sendiri kedalam jurang terdalam supaya anaknya bisa terbang?
“Cinta kasih orangtua ya? Haah… aku tidak mengira bahwa aku sudah semakin menua.” Gumamnya.
***
Pembatas jalan yang dulu rusak parah, sudah diganti dengan yang baru bahkan lebih kuat dari pada yang sebelumnya. Ditikungan yang teramat sempit dan tajam itu juga sudah dipasangi cermin mungkin untuk sebuah antisipasi agar tidak terjadi kecelakaan yang sama ditempat ini. Adrien memarkirkan mobilnya ditempat yang dirasa cukup aman untuk itu lalu berjalan mendekat ke pinggir jurang dengan bantuan senter yang sengaja dia bawa untuk kegiatannya kali ini. Dini hari yang dingin dan sepi, hanya satu atau dua kendaraan saja yang melintas.
Jurang tempat direnggutnya saudara kandungnya beserta seluruh ingatannya itu masih segelap dahulu. Tidak ada yang berubah. Adrien berjongkok sembari menutup mata. doa terucap dari bibirnya beserta rasa sakit yang selalu datang apabila dia mendatangi tempat ini. Seikat bunga lily putih Adrien tempatkan didekat kakinya setelah kemudian dia kembali berdiri.
“Memangnya kita mau kemana Adrien?” tanya Ares yang sepertinya sedikit khawatir karena Adrien telalu cepat mengemudikan mobil yang mereka tumpangi.
“Lihat saja nanti, kakakku yang tampan kau akan mendapatkan kejutan,” sahut Adrien yang tertawa kecil laju mobil tidak terkontol.
“Dengar Adrien kalau kita dihentikan polisi bisa gawat loh!”
“Lah kenapa? Salah kakak sendiri minum terlalu banyak.”
“Loh. Yang mengajak duluan siapa ya? Kenapa menyalahkan padaku.” Mereka tertawa bersama sekali lagi mengabaikan fakta didepan mereka. Semuanya terjadi terlalu cepat. terputus. Gelap.
Adrien yang telah berdiri kini menginjak bunga yang semula dia letakan disana dan menendangnya hingga jatuh ke jurang. Detik-detik seperti ini menyesakan. Ingatan yang kembali meski hanya kepingan. Terputus dan membuatnya sakit kepala tidak tertahankan. Pria itu memutuskan untuk kembali kedalam mobil pribadinya. Mengeluarkan sebatang rokok dan pematik dari saku jaketnya. Menyesap dan menikmati nikotin itu dengan napasnya yang memberat dengan bulir keringat yang membasahi dahinya. Di atas dashboard sebuah surat yang telah dikeluarkan dari amplopnya, Adrien kembali membaca isinya lamat lamat. Itu adalah surat panggilan dari kepolisian, pria itu lalu meletakannya asal diatas kursi penumpang disampingnya tanpa berniat menyentuhnya lagi. Sabuk pengaman dia kenakan lagi, sembari menghidupkan mesin dari roda empatnya untuk kembali melaju membelah jalan yang memang sepi. Dengan teramat tenang pria itu mengatur napasnya sendiri dan melajukan mobilnya untuk masuk ke ibu kota yang ramai tempat dia menjalani kehidupannya lagi entah sebagai siapa.