Misterious

2176 Words
‘Great, sekarang apa ?’ Adrien sedikit menghela napas dari tempatnya pria itu lalu mengeluarkan permen karet dari saku celananya. Adegan live seperti ini tidak akan sering dia temui dimanapun. Jadi pria itu sedang memaksimlkan dirinya menjadi seorang penonton setia yang mulai disuguhi oleh desah dan geraman yang berdengung di dalam sana. Sebenarnya Adrien tidak sampai berpikir bahwa proses membuntuti kedua insan itu akan berbuntut menjadi sebuah adegan panas didalam sana. Dan makin lama semakin memanas oleh ekspresi kenikmatan yang merambat. Terus terang tangan Adrien mulai gatal untuk bertindak, tapi urung sejenak untuk mengusik mereka dalam waktu dekat.  Matanya mencari-cari objek yang bisa dijadikan penyaluran. Dia tidak pernah merasakan tergugah seperti ini dimanapun, karena itu ketika Hasrat menggebunya keluar begini dia perlu memanfaatkannya dengan baik. Adrien melirik kesana kemari mencari sesuatu yang bisa dia gunakan sebagai media penyaluran di kepalanya. Sampai matanya tertumbuk pada sebuah tong sampah terdekat. Pria itu lalu mengais apa yang kira-kira dapat dia gunakan, lalu mulai mengkreasikannya sebagai media.   *** “Kau memang penuh kejutan, sayang.  Topengmu itu benar-benar menipuku. Lain kali kita harus melakukan yang lebih panas lagi dari ini,” katanya. “Tentu saja sayangku. Kau akan menjadi daftar teratasku karena performamu luar biasa,” ujar Orion sekali lagi sambil menjilat bibir bawahnya. Perempuan yang dia puji hanya tertawa kecil sambil merapikan dirinya kembali. “Sebaiknya kau putus dengan si culun itu, aku tahu kau sangat tersiksa karena kau tidak bisa menyalurkan sisi liarmu,” “Sayang sekali, tapi permintaan itu terlalu sulit untukku. Aku tidak bisa memutuskan Anfisa sebab dia kekasih terbaikku. Kau sendiri bagaimana?” “Ah… Dion? Dia bukan pacarku dia Cuma patner seks yang sering bekerja sama denganku. Dia butuh penampilanku pada setiap karyanya.” “Oh.. benarkah? Tapi yang kudengar tidak begitu.” Komentar Orion. “Terserahlah. Hey… kapan kau akan menjadikan aku modelmu? Banyak yang menawariku untuk itu. hanya padamu kutawarkan diriku terlebih dahulu,” tanya perempuan itu lagi sambil meraba lengan dan juga d**a dari lawan mainnya barusan dari belakang. Tipikal perempuan murah penggoda yang bisa ditemui dimana saja. “Secepatnya pasti kau kugunakan. Untuk sekarang aku masih sibuk untuk—” “Ya, ya, ya… aku tahu kau selalu sibuk. Sudah ya, aku duluan. I love you Orion sayang,” perempuan itu pamit lebih dulu dan meninggalkan Orion sendirian di dalam studio. Pria itu lalu membetulkan kemejanya sendiri, mengancingkannya satu persatu karena sejak tadi dia memang membiarkan dadanya terbuka lebar sebagai santapan nikmat wanita barusan. Tak lupa pria itu merapikan rambutnya yang agak berantakan karena sempat dijambak si lawan main karena mungkin permainannya barusan lumayan menyenangkan. Pria itu acuh tak acuh membiarkan lukisan setengah jadi menjadi saksi dari perbuatan panas mereka berdua. Kemudian dengan percaya dirinya Orion keluar dari sana sampai kemudian matanya bertumbuk dengan pemuda lain yang terlihat enjoy sekali dengan balon dari permen karet dimulutnya dipadu dengan kedua tangan berada di saku celana. “Halo,” sapanya. Sapaan yang terlalu mengejutkan bagi Orion yang baru saja usai dari kegiatan panasnya. Ia langsung dengan mudah mengenali sosok yang pernah dia lihat bersama ‘Zelda’nya. Pemuda itu lalu memasang wajah sumringah yang kepalang ramah. “H-hai,” balasnya  canggung. “Lama sekali keluarnya, permainannya barusan asyik ya?” tanya Adrien begitu saja. “Kau menguping?” selidik pria itu terlihat tak nyaman dan juga tak suka. “Ya, mau tidak mau. Habis kalian mainnya berisik,” ujar pemuda itu acuh tak acuh sambil mengunyah sekali lagi permen karetnya. “Bukan urusanmu kan?” kata Orion. “Ya memang bukan urusanku. Sejak awal kita bahkan tidak saling mengenal jadi apapun yang kau lakukan jelas bukan urusanku. Kalian mau lakukan yang lebih daripada yang barusan juga apa kuasaku? Aku kan bukan malaikat pelindungmu,” “Kalau begitu urus urusan kita masing-masing. Jangan campuri hidupku.” Orion hendak beranjak dari tempatnya sesegera mungkin pergi dari hadapan Adrien. “Hei bung, kau serius pada perempuan barusan?” “…” Orion sekali lagi menghentikan langkahnya. Adrien mengambil kesempatan itu untuk mendekatinya dan membuat mereka kembali saling berhadapan satu sama lain. “Yang tadi pacarmu kan?” tanya Adrien sekali lagi, kali ini lebih usil. “Bukan. Kau suka dia?” “Tidak, dia bukan tipeku. Dan juga tidak sesuai dengan gambaran imajinasiku,” Adrien berkata dengan santai lalu menunjukan hasil karyanya yang dia buat karena mendengar pergulatan antara Orion dengan perempuan tadi. Hanya sebuah object yang terdiri dari beberapa puntung rokok, potongan kertas, dan benda-benda bekas yang direkatkan oleh permen karet. Orion tanpa sadar memperhatikan benda itu sedikit lebih lama. “Kau suka itu? aku baru saja selesai membuatnya,” celetuk Adrien saat Orion lebih fokus pada hasil karyanya ketibang dirinya yang berdiri didepan si pemuda. “…” Orion meraih benda itu lalu memperhatikannya mendetail. Mengamatinya lekat-lekat dari jarak dekat. Itu adalah perwujudan dirinya dan juga perempuan tadi yang berwujud dari gambaran suara yang pemuda itu tangkap. Manifesto mereka berdua. “Judulnya ‘Beautiful sins’ kalau suka ambil saja. Mau dibuang juga tak masalah,” “…” “Jadi, intinya yang barusan bukan pacarmu ya? Oh.. iya kudengar namamu ‘Orion’ kan? Teman kencanmu yang bilang padaku soal namamu, tidak perlu bertanya dari mana aku tahu.” “Apa maumu? Kau ingin memberitahu soal ini pada semua orang?” “Hei, Orion. Zelda buatku saja ya?” Kali ini rahang Orion sukses mengeras. Pemuda itu bungkam. Tapi Adrien sebaliknya, dia justru malah menebarkan senyumannya dan pergi meninggalkan object ciptaannya begitu saja di tangan Orion.   *** “Zelda!” aku melirik kearah suara lembut wanita itu. tidak biasanya Anfisa berteriak-teriak padaku apalagi dimuka umum. “Ya?” balasku. “Mana sepedamu? Aku tidak lihat ditempat biasa kau menyimpannya.” Ujar Anfisa setelah mendekatiku dan menetralisir napasnya sendiri. “Ah.. kalau itu kutinggal distasiun.” Ujarku pendek. Lalu mulai menyibukan diriku dengan buku catatan yang tadi sempat kupegang untuk kumasukan kedalam tas ransel bututku. Rekan-rekan yang lain juga mulai beranjak dari kampus karena memang kali ini sedang jam pulang. Jadi, tidak aneh bila beberapa mulai mengisi waktu luang dengan berkencan atau sekedar nongkrong bareng teman. Hal-hal yang tidak terlalu buruk dan malah biasa untuk kalangan anak muda. Sayang sekali aku tidak mengikuti kebiasaan itu karena aku memang tipikal mahasiswi yang membosankan. Dimana hidupku lebih banyak kuabdikan didalam studio pribadi ketimbang kesana kemari. Lagipula sahabatku ini juga selalu sibuk dengan berbagai macam pekerjaan sambilan. Dia memang pekerja keras. Aku kagum pada Anfisa, sebab dibalik segala kurangnya. Gadis itu tidak pernah menyerah dan malah memilih untuk bertarung menghadapi segala kesulitan yang menerpa dirinya tanpa mengeluh. Mungkin  itu sebabnya Orion enggan meninggalkan gadis baik hati bak malaikat ini. “Pantas,” komentarnya. “Lalu kenapa?” “Ada hubungan apa kau dengan Adrien dari jurusan seni rupa?” tanya Anfisa sekali lagi, sambil menyerahkan sesuatu yang dibungkus kertas ditangannya. Seperti sebuah surat. Memangnya ini sekolah dasar, berhubungan satu sama lain dengan surat? Apa dia sudah ketinggalan zaman atau memang dia orang aneh yang memang menikmati hal-hal tidak lazim? Sejak mengenal dia aku tahu bahwa dia memang orang aneh tapi aku tidak mengira bahwa dia memang segila itu. apalagi dia menyerahkan kertas yang aku yakin isinya tidak jelas itu kepada sahabatku Anfisa yang kenaifannya diatas seribu kali lipat gadis remaja di masa puber. “Dia modelku,” ujarku singkat padat dan jelas tidak kutambahkan intonasi yang berlebihan supaya Anfisa tidak merecokiku dengan sesuatu yang lebih menyebalkan dari ini. “Sungguh? Kau tidak sedang membohongiku?” katanya dengan wajah memelas. “Kau pikir aku bohong?” “Tidak sih, aku Cuma khawatir,” “Tentang?” “Kau tidak tahu kecelakaan itu?” “Hah?” *** Hai Zelda manis! Hari ini aku absen dulu ya. Aku tidak bisa datang, tapi pasti nanti kau akan aku pertemukan dengan Ares dan juga Adrien kok. Kita ketemu lagi minggu depan ya? Jangan rindu padaku. Adrien Sesampainya di apartment milikku aku lagi-lagi kembali membaca pesan yang Adrien kirimkan melalui Anfisa. Kepalaku mulai dipenuhi oleh informasi-informasi tak terduga yang aku dapatkan dari Anfisa katakan. Dan sialnya semua hal itu berputar-putar dikepalaku sekarang memenuhi seluruh isi otakku. Aku lantas meremasnya lalu melempar kertas itu sembarangan. Sempat menjatuhkan gelas dari atas meja, lantaran aku memang menyimpannya dalam posisi nyaris jatuh. Kenapa pula aku bisa terpengaruh oleh hal-hal seperti ini? Kenapa pula Anfisa bisa mengetahui sesuatu yang sejatinya tidak perlu aku ketahui seperti ini? Karenanya kepalaku jadi tidak bisa kuajak berkompromi lantaran serasa siap meledak kapanpun. Ah.. b******k! Kenapa jadi begini sih? Aku mengambil sebatang rokok dari saku jaket belelku lalu menyalakannya dengan pematik. Setelah aku menyesap nikotin itu dengan nikmat, satu persatu kuloloskan pakaian bagian atas dari tubuhku berikut juga dengan celana panjang levis yang warnanya sudah antah berantah lantaran kena cat disana sini. Lalu teringat sudah bahwa aku sudah kehabisan baju dan kaos bersih nan kering yang siap digunakan. Terpaksa mungkin dia akan setengah bugil di tempat ini. Tanpa menghiraukan angin yang masuk melalui jendela yang terbuka, atau barangkali ada seseorang yang iseng mencuri pandang aku lebih tertarik pada salah satu sketsa yang hampir rampung dibuat bersama dengan Adrien sebagai modelnya. Lalu aku mulai mencobanya kembali dengan mennggambar ulang diatas kertas. Belum selesai sepenuhnya, tangannya berhenti menggores dan matanya mulai mengevaluasi gambar yang setengah jadi itu hanya untuk kemudian kurobek secara kasar lantaran tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. “ah… b*****h sialan!” desisku.   *** “Sampai nanti, Ares.” “Selamat tidur, Sicilia.” Balas ‘Ares’ sambil melepas tunangannya dan masuk kembali ke dalam rumah. Ia mengintip dari balik jendela kamarnya untuk memastikan bahwa pria itu pulang dengan selamat. ‘Hati-hati Kakak’ Adrien kini melepas peran Ares yang dia perankan. Meski tidak begitu ingat, tapi Adrien yakin bahwa dulu caranya berperan lebih sempurana dan lebih baik dari sekarang. Tapi dibalik segala ingatan yang ada, pemuda itu ingat bahwa ia pernah memainkan ‘Adrien’ pula. Matanya menatap ke sekeliling ruangan yang kini dia berada didalamnya. Sejujurnya kamar milik Ares ini tidaklah asing untuknya. Tapi dia juga tahu bahwa kampus dimana dirinya sering menghabiskan waktu adalah sebuah tempat favoritnya ketika sedang menjadi ‘Adrien’. Kampus yang dimasuki oleh ‘Adrien’. Ia membuka kemeja formal yang dikenakannya dan kemudian mengacak rambutnya yang beberapa saat lalu dia semir rapi keatas. Berlama-lama menatap ke dalam cermin yang memantulkan bayangannya sekarang. Memperhatikan dirinya dengan begitu seksama. Tidak ada jawaban yang dia minta. Tidak ada pertolongan yang datang untuk mengangkatnya dari kebingungan ini. Atau setidaknya membuatnya memiliki keyakinan siapa dirinya. Sejujurnya diwaktu waktu yang lalu pemuda itu kehilangan sesuatu yang begitu berharga dan tidak dapat digantikan oleh apapun seumur hidupnya. Kecelakaan yang merenggut segalanya hingga titik membuat dirinya kembali dilanda mual dan ketegangan tak berujung bila dipaksa untuk mengingatnya dengan detail. Jika sudah begini tidak ada yang bisa dia lakukan lagi selain tidur. Pengetahuan yang dia miliki terbatas untuk bisa menembus batas realita dengan angkuh. Dan waktu yang dia miliki seolah habis dan terhenti dimana kecelakaan itu terjadi. Sisanya dia menjalani hidup dengan penuh kehampaan. Kesulitan tidur setiap malam. Halusinasi, delusi, seperti oase digurun pasir yang terkadang membuat moodnya naik keatas hingga senyum sumringah sepanjang hari atau bahkan menjatuhkannya hingga tak tertolong lagi. Dia tidak berdiam diri, tentu saja dia juga mengusahakan yang terbaik untuk Kesehatan mentalnya. Namun sepanjang dia melakukan terapi tidak ada kemajuan berarti selain dibayangi hantu dari masa lalu yang semakin membuat dirinya bingung mengenai siapa dirinya. Mengenai siapa yang mati dan siapa yang sedang hidup. Pusing dikepalanya tambah hebat. Adrien mengambil sesuatu dari lacinya. Meminumnya dengan tergesa kemudian melemparkan dirinya keatas ranjang sambil memejamkan mata. dia berharap bisa tertidur lelap malam ini. Tanpa mimpi. Hanya tidur dan istirahat saja.   *** “Kau betul-betul bicara soal kebenarannya kan, Adrien?” dia terlihat meragukan adiknya yang menurutnya terlalu berlebihan menceritakan sesuatu. “Mana mungkin aku berani berbohong padamu, Ares.” Dia kembali menguatkan argumentasinya dengan car aini. Hingga mau tak mau Ares tidak punya pilih selain mempercayainya. “Sial, kau membuatku iri saja!” dia mendecih, tapi bukan berarti membenci. Dia bahagia adiknya menemukan hidup yang lebih baik dari miliknya. “Kau juga Ares. Kau juga memiliki kehidupan yang membuatku iri,” ada sedikit yang terasa mengganjal ketika Adrien berkata demikian. “Lalu kau—” “Adrien—” suara seorang wanita yang nampak tertahan. Bukan, lebih pada tak jelas apa yang dia katakan karena terlalu riuh. Namun berkatnya Ares juga tidak bisa melanjutkan perkataannya. “…” dia terdiam. Terlihat terkesima oleh sesuatu. Ketika Adrien melirik rupanya sosok wanita cantik disanalah yang mendistraksi kakaknya. Adrien tersenyum simpul menyadari adanya korelasi yang menarik diantara mereka berdua. Pria itu lalu melambaikan tangannya setengah mengajak sang wanita untuk bergabung dengan mereka. “Kakak! Ah ya! Ares. Ini dia kakak perempuanku sekarang,” ujarnya seperti sedang memperkenalkan. Wanita itu menganggukan kepalanya sopan. “Se-selamat siang Nona,” dia terlihat gugup menyapa si wanita. Adrien jadi gemas. “Dan kak Sicilia, ini adalah orang yang sering kuceritakan. Dia Ares kakak kembarku,” “Oh? Senang bertemu denganmu, Ares.” Katanya dengan dibarengi senyuman manis. “…” “Loh. Ares kau kenapa ?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD