Shadow

2294 Words
  Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu bersama pria ini di sisiku. Aku menyalakan sebatang rokok milikku, sambil memeriksa beberapa sketsa yang berhasil aku buat bersama Adrien di studio bututku. Sedangkan pria itu sendiri sibuk membenahi dirinya. Lebih tepatnya kembali berpakaian utuh setelah aku telanjangi dia hampir berjam-jam lamanya. Aku melirik dia dari tempatku, pria itu kini telah berdiri didepan cermin sambil merapikan rambutnya yang gondrong. Lalu mengikatnya asal kebelakang. Ketika kupikir dia menyadari arah tatapanku, aku kembali lagi pada kesibukanku. Aku terlalu seksama sekarang. Sesekali mataku menyipit pula. Akhir-akhir ini aku jadi mulai mempercayai kata-kata busuk si Nisrin saat dia menghina lukisanku. Dan ya, hasilnya memang tidak begitu memuaskan. Membuatku frustasi atas keterbelakangan yang sedang aku alami saat ini. Aku menjentikan abu rokok di asbak, kemudian sekali lagi mengambil sketsa yang lain untuk aku bandingkan satu sama lain. “Untuk hari ini sampai disini, apa lusa kau bisa?” tanyaku tanpa perlu melirik kearahnya. Meski begitu aku tahu apa yang sedang dia lakukan sebab aku mendengar suara sepatu yang diketuk-ketuk. Sepertinya dia sudah usai dengan urusannya. “Bisa,” jawabnya spontan dan sangat bersemangat. Sejujurnya aku tidak tahu harus menghadapi jenis kata yang penuh dengan notasi nada seriang itu. “…” dan bungkam adalah jawaban yang aku pilih atas situasi canggung ini. “Terimakasih ya Nona, aku merasa sangat senang dan terhibur hari ini. Aku akan hati-hati dijalan kok jangan cemaskan aku. Dan sampai jumpa,” Adrien lantas pamit padanya dan membuka pintu. “Kenapa?” Meski aku yakin suaraku tidak begitu lantang aku bisa merasakan arah pandang pria itu lagi padaku. Terlampau tajam dan fokus. “Ya?” “Kenapa kau setuju? Apa yang sebenarnya kau dapatkan dari menjadi modelku?” kali ini aku balas menatapnya serius. Apa aku pernah mengatakan pertanyaan yang sama? Entahlah aku lupa. Tapi setiap kali aku bersamanya aku selalu merasa ingin mengetahui jawabannya. Bahkan saat ini. Didetik ini saja rasa penasaranku begitu menggebu untuk itu. Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya pria itu malah memberiku sebuah senyuman misterius miliknya. “…Aku ingin tahu, apa aku ini ‘Adrien’ atau ‘Ares’ dengan ‘sudut pandang’mu sebagai seorang seniman. Aku ingin kau menilai pria dihadapanmu ini adalah ‘Adrien’ atau ‘Ares’ seperti kebanyakan orang bilang padaku…” pintu lantas tertutup sempurna. Jawaban itu tidak memuaskanku malah sebaliknya membuatku bertanya-tanya sebenarnya siapa pria bernama Adrien ini?   ***   “Sungguh tidak ingin ikut?” sekali lagi Orion kembali mempertanyakan keputusanku untuk absen dalam setiap pertemuan kami. “Ya, lain kali saja,” tolakku tegas. Aku berharap dia mau mengerti mengapa aku berbuat demikian. Sebab sejatinya aku tidak ingin terjebak dalam sebuah situasi yang pelik dan memuakan. Setidaknya tidak untuk hari ini karena ada urusan yang perlu aku bereskan. “Kalau begitu, sampai nanti,” aku tahu pria itu kecewa karena sekali lagi aku menolak untuk pergi bersamaku. Tapi untuk sebuah alasan entah mengapa aku merasa bahwa pria itu merasa cukup meski obrolan kami tidak lah terlalu serius maupun panjang. Hanya sebatas bertegur sapa. Tidak lebih. “Hm…” aku menatap kepergiannya, sedikit lebih lama daripada kebiasaanku. Dia memutar-mutar kunci motor ditangannya, sesekali bersiul ringan. Ia berjalan menuju area parkir. Lalu ketika pria itu membawa pergi kuda besinya dari pelataran kampus. Aku mendesah. Selalu, aku selalu merasa bahwa atmosfer yang ada akan selalu berat bila pemuda itu ada didekatku lebih lama lagi. Akan menjadi sebuah dusta yang memuakan bila aku bilang bahwa aku tidak tertarik terhadap dia. Pria itu terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. meski tidak tertarik terhadap kepribadiannya maupun sifatnya aku masih bisa mentolerir kedua hal itu. Sebab wanita mana yang sanggup menahan dirinya untuk tidak tergiur akan kegagahan pria itu. Rasanya terlalu mustahil. Jika tidak ingin memiliki hubungan dengannya secara realitas, sekedar memimpikan atau membuat kisah halu bersamanya jadilah. Begitu pula dengan aku. Ah tidak… aku tidak berkhayal untuk menikmati moment bersamanya. Sebab aku pernah mencicipinya, setiap jengkalnya. Dan berkat itulah aku merasa sedikit berat dan tertekan. Dosa yang kubawa membuatku tidak bisa berprilaku normal didepan sahabatku. Aku merasa bersalah karena telah berani bermain api dibelakang sahabat baikku sendiri. Ya, aku tahu wanita sepertiku bukanlah golongan wanita baik. “Tampan dan perkasa, benar?” ucapan Adrien cukup untuk membuyarkan seluruh lamunanku dimasa lalu dengan mudah. Lantas aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru demi menemukan pria itu bermukim untuk menganggunya bahkan saat kami sedang tidak bekerja. “Disini!” Adrien melambaikan tangannya, nampak sangat nyaman diatas sana duduk didahan pohon dengan sebatang rokok terselip di bibir. Pria urakan itu memang selalu nyentrik. Jadi aku putuskan untuk mengabaikannya saja selagi kami tidak berinteraksi lebih dari ini. Lagipula aku tidak pernah setuju untuk berhubungan baik dengannya secara personal. Aku dan dia terikat hanya karena urusan pekerjaan. Jika bukan karena itu maka aku dan dia tidak memiliki kaitan apapun. Namun bukannya melepasku dengan mudah atau setidaknya berpura-pura tidak tahu saja. Aku malah merasakan adanya beban di pundakku. Sejak kapan dia berpindah posisi dengan begitu cepat dan merapat padaku dengan santai ? situasiku dan dia saat ini seperti kami adalah karib lama yang tidak mengenal batasan satu sama lain. Sebelah tangan yang melingkar dibahu dan dia yang menghembuskan rokoknya dengan santai sedikit banyak membuatku terganggu juga. “Apa yang kau coba lakukan?” kataku dingin dan mengenyahkan sebelah tangannya yang sempat bertengger di bahuku. Pria itu terkekeh. “Indikasi pertanyaannya tentang beberapa saat yang lalu atau sekarang?” sahutnya cuek. Membuatku mendecih. “Perlu menjawab tanya dengan tanya?” “Ya, karena pertanyaannya saja tidak jelas,” “Kalau begitu lupakan.” “Hei, aku hanya mencoba untuk sedikit lebih akrab denganmu,” “Aku tidak butuh akrab dengan orang sepertimu,” “Baiklah-baiklah… aku hanya menunggumu. Kau tidak punya ponsel sih, bagaimana coba aku bisa menghubungimu? Kau pikir kau hidup di zaman batu?” aku mendongakan kepalaku saat kusadari pria itu telah berdiri dihadapanku. Tubuh jangkungnya memang luar biasa. Aku mengapresiasi kejelian mataku untuk menjadikannya sebagai model utama untuk seluruh lukisanku. “Terserah,” “Jadi kita pulang sekarang kan?” “Hm,” aku tidak mengerti dengan reaksi yang dia berikan padaku. Adrien dengan seenaknya menarik tanganku dan memapahku seolah dia adalah pemilik tempat dimana kami berdua akan berakhir sore ini.   *** Dua entitas, dua jenis manusia yang takluk terhadap godaan iblis nan manis yang berhasil menjerat keduanya dalam kenikmatan surgawi. Berlomba untuk saling meraih kepuasan masing-masing melupakan dosa yang beranak pinak membuat akhir, menerbitkan sesal. Mereka bergumul satu sama lain, bersimbah peluh, kecup basah, teriak, erangan, desah hangat, terasa saling menyiksa layaknya binatang yang lapar dan haus akan kabut birahi. Ruangan yang berdekorasi maskulin menjadi saksi atas perbuatan mereka yang dilandasi nafsu hewani mereka. Orion mendekap sang lawan main, teramat mesra. Saling merangkul berbaring lelah. “Terimakasih,” “Sama-sama Zelda,” jawab Orion. Zelda sekali lagi mencari-cari bungkus rokok dan juga pematik dari saku jaket levisnya yang sudah tergeletak dibawah tempat tidur, bersama selimut dan juga sisa potongan kainnya dibawah sana. Wanita itu lantas kembali menyalakan rokoknya dengan pematik sambil menatap langit-langit kamar. Asap rokok terbang melayang diatas kepala. Tidak ada sesal, hanya ada kepuasan namun dosa yang telah dibuat tidak akan dapat dihapuskan. Tidak ada yang mengetahui apa yang tengah dipikirkan si wanita. Orion lantas melirik kearah Zelda yang sepertinya berfokus kedalam dunianya sendiri. Pria itu mencoba untuk meraih rokok yang sedang dihisap oleh Zelda. Sadar atau tidak, tubuhnya kembali merapat pada tubuh sang wanita yang masih berbaring disebelahnya. Setelah pria itu mendapatkan apa yang dia inginkan, lantas sekarang dirinyalah yang menghisap rokok bekas Zelda. Menikmatinya dengan penuh. “…” tidak ada respon dari si wanita. Dia hanya memandang kosong ke arah pria disisinya. “Ahh… kau tahu, jujur saja aku suka malam ini,” Orion lantas sedikit beranjak dan duduk memunggungi Zelda yang masih nyaman berbaring ditempat tidur. “Hn,” “Setelah ini aku pasti akan tidur nyenyak,” “…” “Kira-kira apa yang akan dipikirkan Anfisa, kalau dia tahu bahwa aku meniduri sahabatnya sendiri ya?” ia terkekeh. Tapi Zelda masih bungkam. “Dia tidak akan memikirkan apapun,” jawab Zelda pada akhirnya sembari menutup kedua kelopak matanya. “Mungkin, tapi kurasa bila Luther yang mengetahuinya pasti berbeda,” “…” Zelda kembali bungkam. Dia merasa tidak memiliki kata-kata yang pas untuk mendebat apa yang Orion sedang coba bicarakan dengannya. “Tidak keberatan kan kalau aku cerita padanya soal ini?” ucapnya lagi. Zelda hanya mneghela napas panjang tanpa memberi jawaban. Asap rokok yang sedari tadi melayang dinilai lebih menarik ketimbang mendengarkan celoteh pria disampingnya. Setidaknya asap bisa membuat beberapa penampakan abstrak yang bisa menghiburnya. Memberinya sedikit ide barangkali untuk proyek berikutnya. “Hei, apa kau menyukaiku Zelda?” pertanyaan yang tiba-tiba. Zelda tahu bahwa hal ini akan menyusahkan cepat atau lambat. Dia tidak berpikir bahwa hubungan satu malam akan memberikan sebuah garis baru yang menautkan emosionalitas sebagai gantinya. Apa yang bisa diharapkan? Tidur sekali bukan berarti saling mencintai bukan? “Hm..” akhirnya jawab ambigu itulah yang Zelda bisa berikan. Dia tidak membenci Orion dan hubungan mereka. Dia juga tidak menyukainya seperti Anfisa sahabatnya mencintai pria ini dengan seluruh ketulusan yang dia punya. Rasanya tidak pantas bila Zelda mengatakan antara ‘ya’ atau ‘tidak’ sebagai jawaban. Sebab ditilik dari segi apapun dia memang tidak mendekati kedua jawaban itu. “Sudah kuduga,” ujarnya menghela napas. Dia lalu melirik kearahku, menutupi tubuhku kemudian dengan kain yang terdekat dari jangkauannya. Tapi untuk apa dia melakukan itu? sedangkan dia sendiri sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa penghalang apapun? “Ada apa?” tanya Zelda akhirnya. Dia menatap lurus-lurus kearah Orion yang menatapnya dengan cara yang sedikit berbeda. “Aku menyukaimu Zelda, jika saja aku bertemu denganmu lebih dulu kurasa aku akan jatuh cinta padamu dan kau bisa memiliki aku. Kita mungkin bisa saling mencintai tanpa hambatan apapun,” ujar mahasiswa itu. Zelda menghela napas berat sebagai gantinya. Menurutnya ini semakin mirip bagai bualan. “Anfisa?” selidik Zelda. “Aku juga mencintainya,” pemuda itu berbalik dan tersenyum padanya. “Aku juga mencintai Anfisa karena dia adalah kekasihku,”   *** Mimpi. Aku jengah dengan mimpi yang sama, ingatan lama yang sudah susah payah aku lupakan. Aku lantas membuka kedua mataku lebar-lebar lalu beranjak dari posisi berbaring menjadi duduk. Ruangan yang merangkap menjadi studio pribadi milikku masih berada dalam kondisi yang sama sejak terakhir kali aku memusatkan diriku dalam aktivitas melukis kemarin. Berantakan bukan kepalang. Sama seperti saat modelku meninggalkan tempat ini. Jam weker yang kutempatkan disisi sofa sudah berhenti sendiri dari aktivitas rutinnya untuk membangunkanku. Lelah mungkin sebab lama berbunyi tapi tidak kupedulikan sama sekali. Apa kau sudah melakukan seks dengannya? Pemuda itu pacarana dengan sahabat karibmu kan? Dan alasan mengapa kau tidak bisa bersama mereka lagi karena kau merasa tidak enak pada sahabatmu bukan? Kata-kata yang memang pedas namun benar. Terlalu menelanjangi hingga membuat aku terbakar emosi sebab itu memang adalah sebuah kenyataan yang tidak sanggup aku tutupi. “b******k!” umpatku. Aku melempar asbak didekatku begitu saja. Benda itu membuat abu beserta beberapa puntung rokok yang ada didalamnya berhamburan tak jelas dilantai. Ini benar-benar membuat kepalaku nyaris meledak. Bisa-bisanya aku dibayangi oleh masa lalu seperti ini dan lagi yang berani mengatakan hal itu justru kudengar dari orang yang bahkan belum genap satu pekan bersamaku. Merasa letih, dan tertekan oleh keadaan. Aku berjalan dengan gontai kearah dapur. Menuju wastafel dimana setidaknya aku bisa membasahi kepalaku untuk mendinginkannya. Sungguh ini sulit.   *** Adrien membawa coupe ‘miliknya’ dari fakultas seni dan memarkirkannya pada area parkir yang tersedia untuk menunggu kedatangan Zelda seperti kemarin. Setir dan perseneling otomatis -yang tidak dia sukai- rasanya teramat asing untuk berada dalam kemudinya beberapa saat lalu. bahkan sampai saat ini kepalanya carut marut, tidak lagi ingat apakah ini milik ‘Adrien’ atau ‘Ares’. Adrien lantas menyenderkan bagian belakang tubuhnya pada jok mobil, lalu menekan tombol untuk membuka kaca jendela di kedua sisi kabin pengemudi hingga turun maksimal. Dia butuh udara segar untuk mengisi kepalanya, dan ya dia mendapatkannya segera. Tatkala angin membawa beberapa kelopak bunga masuk kedalam territorial miliknya. Pemuda itu sesekali mengetuk-ngetukan jarinya pada setir setelah sebelumnya melepaskan sabuk pengaman yang membatasi geraknya. Dia lebih sibuk menikmati waktu santai ini. “jaman sekarang, masih ada orang yang tidak punya ponsel? Sialan betul perempuan itu!” Dia menggerutu. Meskipun begitu gestur tubuhnya masih berada dalam kondisi santai. Tidak sesuai dengan ucapannya. Waktu yang berlalu lambat tanpa sadar dia nikmati walaupun sejatinya lebih mirip siksaan tersendiri. Adrien lalu memeriksa dan membandingkan isi dua ponsel digenggamannya. Untuk sekarang dia tidak merokok untuk membunuh rasa bosan. Dan sama seperti sebelumnya bila sudah seperti ini, tidak akan ada petunjuk. Isi kedua ponsel itu nyaris sama. Adrien lantas melemparnya keduanya begitu saja kedalam dashboard dan menguncinya. Tapi kemudian ada yang menarik. Sosok pria yang pernah dilihatnya bersama Zelda dan seorang perempuan lain yang berjalan bersamanya. Adrien lantas secara tak sadar keluar dari batasannya, dan mengunci mobilnya setelah dirinya meraih sling bag miliknya berada dalam genggaman. Ada hiburan yang menarik, dan Adrien ingin memastikan semua itu untuk memenuhi rasa ingin tahunya yang sedang menggebu. Pria yang kalau tidak salah bernama Orion tersebut terlihat berjalan dengan cepat menuju salah satu studio kosong. Sepertinya mereka sangat hafal dengan benar kapan studio ditinggalkan oleh para mahasiswa yang sudah pasti tidak akan mengganggu aktivitas mereka. Orion menutup pembicaraan dengan temannya di ponsel lalu mengamit kembali sosok feminime disisinya. Kedua pasangan itu saling mengerling satu sama lain dengan cara yang nakal lalu membuka ruangan tersebut yang entah dari mana dia mendapatkan kuncinya. Begitu pintu tertutup mereka segera menguncinya dari dalam. Hanya dalam hitungan detik keduanya sudah saling memagut satu sama lain dalam posisi berpeluk. Gadis itu bahkan melucuti pakaiannya sendiri dengan sukarela. “Come on Babe… give me a good time,” ujar Orion sambil menjilat bibir bawahnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD