8. Masalah Yang Belum Tuntas

1050 Words
Selagi menunggu Gemi menyelesaikan soal yang diberikan Saira, guru private itu pun ijin ke kamar mandi karena sejak tadi ia sudah kebelet banget. Saira buru-buru mempercepat langkahnya. Namun ia seketika berhenti ketika melihat ke arah lantas atas, tepat di mana Gara sedang duduk di balkon kamarnya. Ia tampak sibuk berbicara dengan layar iPad di depannya, dan laki-laki itu mengenakan kacamata.  Gila, ganteng banget.  Maaf, tadi Saira mikir apa? Saira buru-buru mengenyahkan pikirannya yang sempat memuji kegantengan Gara. Tapi, emang ganteng sih.  Saira buru-buru melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Begitu Sarah selesai dari sana, ia pun kembali ke gazebo yang terletak di taman samping rumah Gara. Dengan sedikit ingin tahu, Saira sedikit menengok lagi ke arah balkon kamar Gara. Ternyata laki-laki itu juga menengoknya, malah sekarang melambaikan tangan padanya. Saira pun mengabaikan, dan langsung melangkah cepat ke gazebo. "Mbak Saira pernah pacaran, nggak?" Pertanyaan tiba-tiba dari Gemi seketika membuat gerakan Saira yang merapihkan buku-bukunya seketika berhenti. Pasalnya, mereka sudah selesai belajar. "Pernah. Kenapa emang, Gem?" Saira tanya balik, kembali membereskan barang-barangnya.  Sebelum menjawab, Gemi menoleh ke sekitarnya yang sunyi. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Karen dirasa aman, Gemi pun berbisik sambil menutup sedikit mulutnya. "Pacaran itu rasanya gimana sih, Mbak?" Seketika Saira terkekeh, ia menoleh ke arah Gemi yang kini tampak memerah mukanya. Bisa Saira pastikan Gemi belum pernah pacaran, tapi mungkin pengen merasakannya. "Soalnya, Gemi baru aja ditembak sam cowok," bisik Gemi lagi.  "Terus, kamu terima?" "Belom aku jawab. Lagian nggak dibolehin sama papa sama mas Gara juga." Saira seketika berdecak kecil. Gara sok banget ngelarang adeknya pacaran. Padahal dulunya pas SMA juga pernah pacaran.. "Menurut mbak sih, jangan dulu deh. Kamu kan udah mau UN, mau fokus juga ujian ke PTN. Soalnya orang pacaran sih waktunya jadi kebagi antara pacaran sama belajar." "Kek kamu dulu ya, Ra." Saira terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara berat dari belakangnya. Itu Gara. Laki-laki itu naik ke gazebo dan duduk di depan Saira dan Gemi. Saira mengumpat dalam hati ketika pria itu masih mengenakan kacamatanya, menambah kadar kegantengan, dan Saira nggak suka itu. "Iya, dulu kan kamu putus sama pacar kamu gara-gara mau fokus belajar doang." Apa sih! Saira memelototi Gara yang sepertinya mau mengungkit masa lalu di depan Gemi. "Bener, mbak?" tanya Gemi ingn tahu langsung dari Saira. Saira mengangguk. "Iya. Jadi mending fokus aja dulu buat belajar. Biar nggak ada drama kalau kamu ntar nggak lulus PTN gara-gara pacaran. Kalo udah lulus, baru deh bisa pacaran." "Oh gitu ya, Ra. Terus pas kamu udah lulus SMA, pacaran lagi, Ra?" Gara kini bertanya. Sebetulnya pria itu betulan penasaran nanya, tapi menurut Saira justru seperti sindiran. "Bukan urusan kamu sih aku pacaran lagi apa nggak." "Loh, kan cuma nanya. Bukan bilang urusan aku. Tinggal jawab iya atau enggak. Gitu aja langsung sensitif amat." Gara langsung ikutan nyolot. "Jangan bilang kamu jomlo selama ini karena nggak bisa move on." "Udah deh." Saira kesal jadinya, melihat tingkat kepedean Gara. Sedangkan Gemi yang merasa jadi kacang di sini, seketika merasa suasana agak memanas. Kenapa dua orang di depannya ini ngomong kayak udah dekat banget ya, sampe nyolot-nyolotan gitu. Ah, Gemi ingat kalau dua orang dewasa ini dulunya satu sekolah. Tapi kan kata mbak Saira, mereka nggak gitu dekat. Ah, Gemi bingung. "Mbak Saira dulu kuliah jurusan apa sih?" Gemi mengalihkan topik lain setelah tadinya suasana sempat hening selama dua-tiga menit. Jangan biarkan suara jangkrik menguasai, pikir Gemi. Saira entah kenapa seketika bernapas lega ketika Gemi mulai buka obrolan lain. "Jurusan Matematika. Di PTN Medan." "Jauh banget Mbak ngambil PTN ke Medan. Padahal di Jawa juga banyak kan PTN." "Karena aku pengen aja bisa kenal daerah-daerah lain. Biar hidup nggak monoton kalau di sini terus." "Iya juga sih. Aku juga pengen deh kalo gitu ke tempat yang jauh, biar berasa keliling indonesia." Namun khayalan Gemi langsung mendapat jitakan dari Gara. "Sok banget mau kuliah jauh. Masak sendiri aja belum bisa," celetuk Gara  "Kan bisa bayar katering." Gemi ngeles sambil memeletkan lidahnya. Gara mencebik, ia lalu beralih menatap Saira yang kini terkekeh melihat kelakuan Gemi. Ck. Nih cewek susah banget sih senyum lebar ke Gara. Tapi kalau sama yang lain malah gampang banget ketawa. Jatuhnya jadi kelihatan pencitraan di mata Gara. Tapi kok cantik sih kalo ketawa gitu. Pengen Gara cium rasanya. "Ternyata alasan kamu kuliah jauh tuh mulia banget ya, Ra. Kirain cuma mau ngehindar doang." Saira melirik judes ke arah Gara. Kenapa sih pria ini kayak nyindir aja terus? Kenapa sih dia harus ikut-ikutan nimbrung? Makin kesal pula Saira ketika melihat seringaian pria itu. "Nggak lah." "Kalo enggak, kenapa aku baru tahu kamu kuliah di Medan pas kamu udah di sana? Bahkan ke Nadia aja yang dulunya temen dekat kamu, nggak pernah kamu kasih kabar. Nomer handphone kamu juga nggak aktif dari situ. Itu apa namanya kalau nggak ngehindar?" "Ngomong apaan dah. Udah lewat juga, nggak penting lah dibahas lagi sekarang." "Buat aku penting, makanya aku butuh ngomong sama kamu." Melihat ketegangan suasana, seketika Gemi merasa sedang berada di tempat yang salah. Ia yakin banget kalau abangnya dan Saira memang ada apa-apanya. Itu bisa dilihat dari cara mereka saling menjawab. Hubungan mereka sepertinya rumit karena Gemi pun bingung sama pembicaraan mereka.  "Gemi mandi dulu." Gemi langsung ngacir ke dalam rumah. Ia bahkan nggak yakin kalau dua orang dewasa tadi menyadari kepergiannya. "Alasan kamu minta putus bukan cuma karena mau fokus ujian, benar kan?" cecar Gara lagi setelah hening beberapa saat.  Saira menghela napas, kemudian mengangguk. "Benar. Alasan lainnya, ya karena udah nggak suka lagi." "Ah masa?" Mendengar nada suara Gara yang seperti menggodanya, justru membuat Saira makin sebal. "Tapi nggak harus ngejauh gitu dong, Ra. Sampe kuliah jauh, nggak mau balas SMS sama angkat telepon, bahkan nomernya nggak diaktifin lagi. Itu namanya udah benci akut berarti." "Nah itu tau." "Ya terus, bencinya kenapa? Aku pernah buat salah apa emang? Saira tak menjawab. Ia pun mengecek jam tangannya dan langsung beranjak dari duduknya. "Tuh kan, pasti mau ngehindar lagi. Nggak kelar-kelar ini urusan." sindir Gara, namun membiarkan Saira turun dari gazebo. "Itu mah urusan kamu sendiri. Kita udah nggak ada hubungan lagi, jadi--" Saira terkejut ketika Gara tiba-tiba menahan lengannya, bahkan sedikit ditarik. Saira spontan menoleh ke arah Gara, dan hampir saja memaki pria itu. Namun urung, lantaran melihat sorot mata Gara yang tajam.  "Bukan cuma urusan aku, tapi kita. Karena aku masih mau kamu." Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD