Usai subuh sudah banyak yang pulang. Terutama para peserta yang sudah resmi menjadi anggota baru BEM universitas di bawah naungan Agha sebagai ketuanya. Mereka pasti lelah dengan serangkaian acara yang digelar sejak kemarin. Para panitia tentu saja masih tidur. Apalagi para cowok. Meski akhirnya beranjak satu per satu karena disuruh Agha untuk solat subuh. Ya sebagai seorang pemimpin, ini juga menjadi kewajibannya untuk mengingatkan mereka agar tidak melewatkan solat. Apalagi nanti akan dimintai pertanggungjawaban yang menurutnya teramat berat. Ibadah juga menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Meski sebenarnya itu juga tergantung dari kesadaran masing-masing.
Menjelang jam tujuh pagi, tentu saja suasana Pusgiwa sudah semakin sepi. Della juga sudah mulai beranjak. Maira? Gadis itu tidur lagi usai subuh. Saking tak kuat menahan kantuk dan sampai sekarang belum juga bangun. Della maklum karena Maira pasti lelah bukan?
"Mai masih belum bangun tuh," tukas Della. Ia dan Ayu sudah bersiap-siap hendak pulang. Keduanya sudah memberesi barang-barang. Ayu juga ingin cepat-cepat sampai di kosan biar bisa istirahat. Nanti sudah sibuk lagi di rumah sakit pasti akan lelah sekali.
"Bangunin aja lah. Soalnya kunci mau dibalikin. Biar Agha yang nganter dia pulang. Iya kan, Gha?" cerocos Bani dengan seenaknya tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Della terkekeh kecil walau Agha mengangguk. Ia memang berencana begitu.
"Kita bareng-bareng aja," tukasnya. Ia tak keberatan kalau harus membawa teman-temannya juga. Akan bahaya dengan hatinya kalau hanya berdua dengan Maira. Pertimbangan itu yang memberatkan hatinya. Ya-ya, menjaga jarak akan terlalu sulit karena mereka pasti akan terus bertemu. Setidaknya, Agha ingin menikmati hingga satu tahun ke depan. Kalau BEM sudah bubar, kemungkinan bertemu dengan Maira juga akan semakin berkurang. Ya kan?
"Ayu jauh loh," tukas Della. Si Ayu masih berada di toilet untuk mencuci muka. Sementara Amanda bergerak membangunkan Maira.
"Mai! Mai! Udah pada mau balik!"
Untungnya, Maira tak susah dibangunkan. Gadis itu sudah bangun. Sudah membuka mata namun rasanya kepalanya jadi agak pusing. Amanda mengatakan kalau Agha akan mengantar mereka pulang ke rumah atau kosan masing-masing. Ia mengangguk saja. Ia ikut keputusannya. Kalau pun tidak diantar, ia bisa memesan ojek dari sini. Tubuhnya lelah sekali. Ia benar-benar kurang istirahat.
"Gak apa-apa," jawab Agha. Meskipun masih lelah dan juga kurang istirahat, ia bisa mengatur itu nanti. Dan lagi, Indra juga ikut. Cowok itu bisa menggantikannya menyetir. Ya sekalian jalan ke Salemba kan itu?
Maira masih menguap. Gadis itu segera beranjak. Andai tak didorong Della ke kamar mandi, gadis itu mungkin tak akan mencuci mukanya. Kalau gigi? Usai subuh tadi ia sudah menggosoknya. Jadi tak perlu digosok lagi. Begitu keluar dari kamar mandi, suasana sudah sepi. Dari tangga bawah, Della berteriak memanggilnya. Tasnya juga sudah dibawa. Ia hanya berjalan turun sembari menenteng pencuci mukanya.
Tak lama, mereka sudah berjalan menuju mobil Agha. Indra yang mengambil sisi di kemudi, Agha duduk di sebelahnya. Di belakang tentu ada keempat cewek itu. Yang diantar tentu saja si Amanda yang kosnya paling dekat dengan kampus. Setelah itu, mereka mengantar Della ke Citayam. Katanya mau menginap ke rumah Tantenya. Maira pulas lagi karena perjalanan yang begitu panjang. Indra yang menyadari hal itu karena Maira duduk tepat di belakangnya.
"Perasaan si Mai tidur mulu deh," komentarnya. Ayu terkekeh pelan begitu pula dengan Agha. "Tumben-tumbennya. Magangnya dia capek banget ya?"
Tak ada yang menjawab. Mereka hanya tertawa. Agha juga baru menyadari kalau Maira sudah terlalu sering tidur. Ya barangkali memang benar-benar lelah. Agha tak tahu seberat apa magangnya. Tapi Maira termasuk gadis yang rajin. Mungkin jadi lebih banyak disuruh-suruh. Ya dalam pikirannga begitu. Meski sebetulnya ada alasan lain yang tentu saja tak disebutkan Maira secara gamblang.
"Anterin ke rumah gak nih?"
Indra bingung. Mereka sudah hampir tiba di daerah Pasar Minggu. Tapi kalau arahnya dari Depok, masih harus memutar balik jika mau ke rumah Maira dan itu agak lumayan jauh karena posisi jalannya yang berbeda arah. Agha tampak berpikir tentang keputusan apa yang harus ia ambil. Akhirnya.....
"Jangan dibangunin. Biarin aja."
Indra mengangguk. Akhirnya mereka memutuskan untuk terus saja dulu ke Salemba. Ayu tak ambil pusing. Sudah biasa kalau Agha bersama Maira. Bahkan semalam pun terus berboncengan dengan motornya Bani. Iya kan?
Cemburu sudah menjadi kebiasaan. Lama-lama mungkin ia akan melupakan. Ia sudah tak mau memikirkannya lagi karena nanti takutnya akan semakin dalam rasa patah hatinya. Untuk ukuran orang yang patah hati dan berhati sempit sepertinya, ini akan memperburuk masalah. Berhubung ia tak mau menambah masalah lagi, ia memilih untuk mengalihkan pikirannya.
Tiba di Salemba, Indra dan Ayu pamit. Keduanya tak membangunkan Maira karena gadis itu benar-benar pulas.
"Balik ya, Gha? Si Mai gimana tuh?"
Agha terkekeh. Ya biar kan saja. Tampaknya gadisnitu benar-benar pulas.
"Makasih, Gha!" ucap Ayu. Agha mengangguk. Ia masih melihat kedua orang itu masuk ke dalam gang hingga akhirnya menghilang.
Kemudian Agha kembali naik ke mobil. Badannya jauh lebih segar karena sedari awal kan Indra yang menyetir. Ia terus melirik ke arah kaca di tengah demi melihat Maira. Gadis itu masih pulas. Bahkan lucunya setelah lima belas menit kemudian. Apa yang terjadi?
Terdengar dengkuran halus dari belakang. Hal yang membuat Agha benar-benar menahan tawa. Dari semalam ia juga sudah melihat kalau Maira tampak mengantuk sekali. Gadis itu memang jarang istirahat. Kadang sampai jam dua atau tiga pagi masih mengerjakan laporan. Lalu pagi-pagi harus berangkat ke kantor. Dan ini sama sekali tak ada jaga image darinya. Maira kerap bergerak ke kiri dan ke kanan di sepanjang tidurnya. Hal yang cukup menghibur Agha. Bahkan saat sampai di dekat rumahnya pun, gadis itu masih belum bangun. Agha sengaja tak membangunkannya. Biar lah. Barangkali memang lelah sekali. Hingga ponselnya berdering. Ah ya, umminya pasti bertanya kapan ia pulang. Karena seharusnya ia sudah pulang.
"Assalammualaikum, Mi."
"Di mana, Aak?"
"Masih di jalan, Mi. Anterin temen dulu. Nanti juga nyampe."
Umminya mengiyakan. Ia hanya memastikan kalau anaknya akan segera sampai di rumah. Agha menutup teleponnya. Kemudian menyandarkan tubuhnya. Akhirnya ia memilih untuk memejamkan mata. Lumayan bisa beristirahat. Meski perjalanan dari sini ke rumah tak jauh-jauh amat, tetap saja lumayan. Ia bisa beristirahat sebentar.
Setengah jam kemudian, gadis yang terduduk di belakangnya mengerjab-erjab. Mungkin baru sadar kalau suasana agak panas meski Agha membuka kaca jendela. Ia melirik ke sekitar begitu membuka mata lebih lebar. Kemudian tergagap sendiri karena tak ada orang lain lagi. Hanya Agha yang tampak memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Cowok itu baik sekali karena benar-benar menungguinya hingga bangun. Lebih dari tiga jam ia tidur. Ini bahkan sudah jam sepuluh pagi. Astagaaaa!
"Kok gak dibangunin sih, Gha?"
Suara itu terdengar khas orang bangun tidur, agak serak, dan agak manja. Bibirnya mengerucut. Ketika ia menatap wajahnya ke arah kaca di tengah bersamaan dengan Agha yang juga menatap ke arah kaca itu, ia tergagap. Kagetnya bukan karena tak sengaja bersitatap dengan Agha tapi karena air liur di sudut bibirnya. Hahaha.
Agha juga melihat itu tapi cowok itu bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Biar Maira tak malu. Hahaha.
Maira terburu-buru membuka pintu sambil berupaya membersihkan sisa-sisa air di dekat dagunya. Ia bahkan tak berani menatap Agha. Mendadak membungkuk lalu pamit dengan suara pelan dan buru-buru membalik badan. Langkah kakinya begitu cepat. Setelah punggung Maira menjauh, Agha tertawa sampai memegangi perutnya.
Lalu apakah Maira tahu kalau ia ditertawakan? Hahaha. Tentu tidak. Namun ia bisa merasakan kalau Agha pasti tahu. Agha juga tahu ia mendengkur meski suaranya tak begitu keras. Hal yang tentu saja mengundang tawa milik Agha. Maira menggetuk-getuk kepalanya ke pintu saking frustasi dan malunya dengan kejadian tadi. Ayahnya terbingung-bingung begitu membuka pintu dan menemukannya di depan pintu itu sedang melakukan itu. Astagaaaaaaa!
"Kenapa?"
Ia tak menjawab. Justru menyelonong masuk begitu saja. Terlalu malu untuk dijelaskan. Ayahnya geleng-geleng kepala sambil menutup pintu. Kenapa? Ia juga tak paham kenapa anaknya menjadi seperti itu?
"Kenapa lagi anak itu?"
Ia masih terheran-heran. Begitu masuk ke dalam kamar, Maira justru membenturkan kepalanya lagi. Sungguh ia terlalu malu untuk mengingat kejadian tadi. Tidak bisa kah kejadian tadi benar-benar dihapus dari ingatan Agha? Hahaha.
@@@
Agha melanjutkan perjalanannya. Sesekali terkekeh. Hahaha. Agha masih terus ingat kejadian tadi. Cowok itu masih tak berhenti tertawa. Ia geleng-geleng kepala sendiri. Maira yang cantik, ceria, ramah, dan penyayang kini berganti menjadi Maira yang mendengkur dan berliur di kepalanya. Ahahaha. Alih-alih illfeel, ia justru merasa lucu. Karena gadis itu bahkan tak berpikir untuk jaga image di depannya. Bisa-bisanya tidur sampai begitu. Agha geleng-geleng kepala.
Ya tapi lucu sih. Sangat menghibur. Ia justru menyukai sisi Maira yang seperti itu. Karena apa? Karena itu lah Maira yang apa adanya. Meski agak-agaknya salah konsep juga ya? Hahaha. Karena seolah mempermalukan diri sendiri.
Begitu tiba di rumah pun, ia masih tertawa. Bahkan sejak turun dari mobil. Dan tawa itu membuat kening Airin mengerut. Perempuan itu baru muncul dari pagar rumah dan anaknya berjalan masuk ke pintu rumah sambil tertawa sendiri. Memangnya ada yang lucu?
Rasanya tak ada. Lalu apa yang ditertawakan anaknya? Ia mengerjab-erjab. Bingung juga.
Adel yang juga melihat kejadian itu dari tangga, terheran-heran dengan kelakuan A'aknya itu. Apa yang salah? Tak ada. Ia sampai berkacak pinggang saking tak paham dengan apa yang sebetulnya sedang terjadi.
"A'ak kenapa sih?"
Tak dijawab. Agha justru meloyor begitu saja melewatinya masih sambil tertawa. Adel berkacak pinggang. Benar-benar heran. Umminya bertanya pun, ia hanya menjawab dengan mengendikan bahu. Tak tahu kenapa A'aknya yang paling waras di rumah ini jadi begitu. Maira tentu saja sudah melupakan kejadian itu dengan perlahan. Ia hanya frustasi disaat tiba di rumah tadi lalu berlanjut hingga ke kamar mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, pikiran tentang kejadian memalukan itu sudah hilang. Ia sudah bisa fokus dengan hal lain lalu melanjutkan dengan kesibukan di dapur. Ia lapar sekali. Ayahnya masak tapi ia tak nafsu. Lebih ingin masak sendiri. Sementara Agha masih terus tertawa seperti orang gila. Saat keramas di kamar mandi pun begitu. Ia benar-benar tak bisa melupakan kejadian tadi.
Baru pertama kali, ia melihat Maira bersikap semalu itu. Gadis itu bahkan tak berani menatapnya ketika pamit. Suaranya benar-benar menciut. Lalu membalik badan dengan cepat dan berjalan dengan agak berlari. Bagian itu yang menurut Agha benar-benar lucu. Dan setiap teringat kejadian itu, ia pasti terbahak seperti sekarang.
@@@
"Lusa saya akan segera terbang ke Jakarta, Mas Rangga, nanti ditunggu saja."
"Baik lah, saya akan tunggu."
Seseorang di seberang sana mengiyakan. Kemudian ia beristirahat sebentar. Belum lama memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya, ada sebuah pesan dari Maira. Ia tersenyum tipis ketika membacanya, ada pesan apa?
Lihat dong, Mas. Mai udah jago masak loooooh ;p
Melihat iru, membuatnya ingin pulang. Dan gadis itu girang sekali begitu melihatnya muncul di pintu.
"Yeeeeeey! Mas Rangga pulang!"
Belum lama Rangga duduk, gadis iru sudah meminta sesuatu. Apa pintanya?
"Ayo dong, Mas ke Dufan. Ayah yang mau ke sana, Mas. Katanya kan gak pernah ajak Mai ke sana."
Rangga terkekeh. "Ayah atau kamu yang mau main ke Dufan?"
Maira mengerucutkan bibirnya. Ya kedua-duanya. Hahaha. Ini kesempatan.Toh sesekali kan? Ia tak pernah berpikir tentang liburan. Tapi melihat ada promo tampaknya akan seru kalau ke sana.
Rangga mengiyakan dan gadis itu berhore ria. Tampak girang sekali seperti anak kecil. Padahal hanya ke Dufan tapi bahagia sekali. Rangga menarik nafas dalam kemudian tersenyum kecil.
@@@