Curahan Yang Tak Disengaja

2557 Words
Rangga tak bisa diam. Ia tahu kalau ia mungkin akan terpojok. Apalagi dengan kabar baru yang dibawa Ferril. Ia sudah menelepon ayahnya dan memberitahukan apa yang terjadi. Ia meminta agar ayahnya dan Maira berhati-hati. Maira tahu? Ya. Terpaksa diberitahu untuk keselamatan masing-masing. Apalagi gadis itu akan segera kembali ke Jakarta karena akan memulai magangnya di laboratorium swasta. Meski ia hanya mengatakan pada Maira untuk menjaga keselamatan. Hanya itu. Ia berharap Maira tak benar-benar menyadari apa yang ia maksud. Maira? Ya sepertinya harapan Rangga memang terkabulkan. Gadis itu tak paham apa maksud Rangga. Hanya menyangka sebagai sebuah pesan yang sangat biasa. Iyaa, Maaas. Mai selalu jaga diri kook. Ia geleng-geleng kepala. Memang agak tak biasa karena masnya lebih bawel dari biasanya. Tapi ia tak ingin menyebut itu sebagai sesuatu yang begitu ganjil. "Lo yakin, Ga?" "Mereka sudah mulai membidik kasus baru lagi untuk Mas Nando. Kita bukan membalas mereka dengan video-video seperti ini. Tapi biar lebih imbang aja. Siapa tahu keadilan benar-benar berpihak pada kita." @@@ "Gue ikutan nih?" "Terus lo mau jaga di sini?" Maira melirik ke arah ruangan BEM yang sepi. Bahkan hendak dititipkan kepada penjaga. Sebagian besar panitia memang sudah menyebar ke beberapa pos. Sebagian besar yang lain bersama para calon anggota baru yang akan melakukan acara jalan-jalan malam. Yah kalau katanya anak Pramuka, semacam jurit malam. Mereka akan keliling kampus UI yang luas dan lumayan angker di malam hari begini. Jalanan yang dilintasi tentu saja bukan jalan raya. Pos terakhir ada di dekat area asrama kampus yang juga tak kalah seramnya. Semua memang dibuat horor. Bahkan di spot-spot tertentu tak ada lampu sama sekali. Ya kan biar berguna juga senter yang mereka bawa itu. "Udah ikut aja, Mai, bareng kita!" Amel ikut bersuara. Maira mengangguk. Ia sudah tidur dua jam tadi ya dari jam delapan sampai jam sepuluh malam. Kemudian kini memang sengaja dibangunkan karena sebagian besar orang sudah meninggalkan area Pusgiwa. Bahaya juga kalau Maira ditinggal sendirian. Meski ada satpamnya, kejahatan bisa terjadi kapan saja bukan? Kini keramaian terjadi depan Pusgiwa di mana sebagian besar panitia memberikan arahan kepada para calon anggota baru. Mai melihat itu usai mengucek-ucek matanya. Ia tidak mengantuk lagi kok. Bener deh. Hihihi. "Mai! Jaga bareng Agha sama Bani aja tuh," titah Della. Ia turut menjadi bagian dari panitia acara khusus untuk jurit malam kali ini. Maira mengangguk saja. Sepertinya, ia tidak akan tidur lagi malam ini. Tak enak hati pula. Tadi sudah tidur. Masa ia datang ke sini hanya untuk tidur sih? Mana satu tempat bareng bos juga. Hahaha. "Mai!" Bani memanggil. Tadi ia sudah diberitahu Della kalau Maira akan ikut dengan mereka untuk berjaga di pos kedua. Hohoho. Tentu saja ini adalah rencana Della dan Bani. Hahaha. Agha tentu tahu. Cowok itu hanya geleng-geleng kepala. Tentu saja tidak menolak. Hahaha. Hal yang mengundang tawa. Maira mengikuti langkah kedua lelaki di depannya ini. Ia sempat mencari sosok Ayu tapi tak terlihat. Entah di mana Ayu berjaga. Yang jelas, Maira, Bani, dan Agha berjalan menuju motor. Eh motor? Ia mengerjab-erjab. "Bareng si Agha ya, Mai!" titah Bani yang tentu saja mengedip ke arah Agha. Agha tak melihat. Cowok itu sibuk mengeluarkan ponsel lalu menjadikannya senter agar bisa memasukan kunci motor milik Bani. Lalu Bani memakai motor siapa? Motor butut milik Amri yang emang tak kuat kalau harus membonceng orang. Biar pun butut, motor itu mampu membawa Amri bolak-balik Depok dan Bekasi. Walau hanya mampu membawa diri sendiri. Si Amri ke mana? Tentu saja berboncengan dengan yang lain. Entah berada di pos mana, tak ada yang tahu pula. "Mai!" Agha memanggilnya begitu motor sudah dibelokkan. Gadis itu berjalan mendekatinya. Begitu naik, Agha benar-benar gugup. Tapi ada rasa senang yang tak terhingga. Ini benar-benar perasaan yang campur aduk. Ada perasaan takut juga. Karena ia tak bisa menahan diri untuk menghadapi Maira. Kalau begini terus, ia semakin sulit melepaskan Maira. Ya kan? Lalu ia harus bagaimana? "Gue ngapain nanti?" tanyanya begitu motor berjalan. Agha tertawa mendengar pertanyaan polos itu. Ia tahu kalau Maira linglung di sepanjang acara sejak siang hingga sore tadi. Lebih banyak terlihat mengantuk lalu tadi rasa-ranya tertidur. Ia ingin terkekeh kalau mengingat hal tadi. "Nanti lihat aja si Bani ngapain." Maira mengangguk-angguk. Ya ikut saja lah. Ia sebenarnya bukan panitia inti juga karena sudah menolak sejak awal. Ia hanya ikut saja biar terlihat kehadirannya. Teman-teman yang lain juga memaklumi kalau ia tak bisa ikut sepenuhnya karena kesibukan yang lain. "Magang bikin capek banget ya?" Pertanyaan itu penuh dengan perhatian andai Maira menyadarinya. Hahaha. Gadis itu justru nyengir mendengarnya. Tidak selelah yang dibayangkan Agha. Ini gara-gara ia kurang tidur. Yeah, video call dengan Hanafi tentu saja membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa diwaktu siang. Mereka harus menyesuaikannya dengan jam Hanafi. Itu yang sulit. Namanya juga terpisah jarak yang jauh. "Tapi magangnya lancar kan, Mai?" Maira berdeham sebagai jawaban iya. Agha bertanya lagi. Cowok itu tampak bawel sekali malam ini. Sebetulnya Agha hanya ingin tahu. Ia sudah lama tak bertemu dengan Maira. Lama tak mengobrol. Jadi seperti ada rasa rindu begitu deh. Tapi tak mau menyebutkannya secara gamblang. Dan ia juga masih terombang-ambing di tengah lautan perasaannya sendiri. Karena masih tak tahu harus dibawa ke mana. Walau pikirannya tetap realistis. Tak mungkin bertahan dan mengharap balasan karena ia tahu mungkin Maira tak akan memilihnya. Ya kan? "Akhir-akhir ini aman? Gak ada yang aneh kan? Gak ada yang ngikutin gitu?" Maira terkekeh. Ia masih bisa mendengar suara Agha meski dihiasi suara angin dan motor malam ini. Mereka dengan menuju sebuah jembatan horor di kampus. "Pertanyaan lo sama kayak Mas deh," tukasnya. Agha berdeham. Ya namanya juga khawatir. Ia dan Rangga memiliki kekhawatiran yang sama untuknya. "Karena kejahatan itu, Mai, bisa terjadi kapan aja." "Akan selalu ada peluang untuk itu, Gha. Gak hanya kena gue tapi juga bisa kena lo kan?" Agha mengangguk. Itu benar sekali. "Tapi tetap harus hati-hati, Mai." Maira mengiyakan. Ia tak curiga sama sekali kenapa Agha begitu bawel dengan hal itu. "Skripsi gimana? Katanya abis seminar proposal." Maira terkekeh. Agha pasti tahu dari Bani kan? Bani pasti tahu dari Saras. Dan ah, Bani juga datang waktu ia seminar proposal seminggu yang lalu. Agha tak datang karena tidak tahu. Kalau pun tahu, ia tak punya alasan untuk datang kecuali Maira yang memintanya datang. Tapi itu sebuah harapan kosong. Haaah memikirkan itu malah membuatnya sedih. Walau cukup terhibur dengan pesan dari Bani. Cowok itu tentu saja mengirim foto Maira. "Baru mau mulai ngambil sampel sih." "Sampel apa?" "Sampel partikulat, Gha. Tahu gak?" "Debu?" "Iya tapi ukurannya juh lebih kecil. Kalo debu itu kisaran 50 mikrometer. Nah kalo yang mau gue ambil ini yang ukuran 2,5 mikrometer. Gue mau bandingin kandungan partikulat di udara di beberapa tempat. Pertama di terminal Pasar Minggu tuh. Di situ banyak kendaraan kan. Biasanya partikulat juga berasal dari kegiatan transportasi. Kedua, mau ngambil di taman kota yang deket Cawang. Ketiga, mau ngambil di dekat pabrik semen." Agha mengangguk-angguk. "Kalau berdasarkan teorinya, bakalan lebih tinggi yang mana?" "Bisa transportasi atau pabrik semen. Ini yang belum bisa ditebak." Agha mengangguk-angguk lagi. Ia memang kurang paham tapi setidaknya sedikit mengerti. Karena persoalan ini sepertinya kerap ia dengar dari para sepupunya. "Lo memang tertarik sama hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan ya?" Maira mengangguk. "Pertama kali tertarik itu waktu Mas Rangga sering nulis kasus pencemaran oleh perusahaan yang suka buang limbahnya ke sungai tanpa proses. Dibuangnya pas hujan, itu kan kesempatan banget biar bisa mengurangi biaya pengolahan. Mereka gak mikir dampaknya ke lingkungan gimana dan pada akhirnya, akan kasihan sama masyarakat yang ada di sekitarnya. Temen gue yang dari kesehatan masyarakat banyak cerita soal dampak-dampak dari kegiatan semacam itu ke masyarakat. Bisa kena diare bahkan keracunan bahan berbahaya." Agha mengangguk-angguk. Ia masih bisa nyambung walau membahas hal semacam ini. Sementara Maira justru teringat sesuatu. Agha itu berpengetahuan yang cukup luas karena ia suka membaca. Makanya Maira asyik saja bercerita dengannya tentang beberapa hal yang sebetulnya jauh spesifik. Dan mungkin belum tentu cocok untuk ia bicarakan pada yang lain. "Anak kedokteran pasti jarang diremehkan ya?" Agha tertawa. "Kenapa mendadak ngomong gitu?" Maira berdeham. "Soalnya temen gue yang anak kesehatan masyarakat itu suka diremehin sama anak teknik lingkungan." Kening Agha mengerut. "Diremehin dalam hal?" "Jadi gini, kan temen gue itu ngajak temen dia yang anak teknik lingkungan sama perencanaan wilayah untuk bikin riset bareng-bareng. Topik utamanya itu tentang perencanaan ibu kota baru itu, nangkap gak, Gha?" Agha mengangguk. "Terus?" "Terus si anak teknik lingkungan itu bilang kalo perencanaan ibu kota baru itu lebih deket ke teknik lingkungan deh kagak ada hubungannya dengan kesehatan masyarakat. Dia ngomong gitu, intinya nolak ide buat penelitian bareng. Ya ngomongnya sih santai katanya tapi ibarat gunung es, si anak teknik ini emang udah sering banget ngeremehin jurusan dia. Kayak sering ngomong gini, nanti lo lulus emangnya bakal jadi apa sih? Padahal kan gak gitu juga. Masing-masing jurusan pasti punya kontribusi yang berbeda. Rasanya gak adil kalau bandingin jurusannya dia dengan temen gue itu karena jelas ranahnya beda." Agha mengangguk-angguk paham. "Kalau ada yang ngomong kayak gitu, gak usah diladenin sih." Maira terkekeh. "Gue juga ngomong gitu. Apalagi temen gue itu pinter. Dan lagi, pembangunan ibukota baru kan bisa dilihat dari berbagai sisi. Gak hanya persoalan perencanaan wilayah yang menyangkut arsitek, teknik-teknik yang lain hingga lingkungan. Kesehatan justru isu yang penting juga. Kebayang gak sih, pembangunan ibukota baru itu akan memakan banyak lahan hutan yang akhirnya harus ditebang. Hutan yang fungsinya menyeimbangkan air yang disimpan dan air yang dilepaskan jadi hilang. Akibatnya ya banjir. Kalau banjir, emangnya gak bakal ada yang sakit? Kalau urusan kesehatan perorangan pasti larinya ke dokter dong. Kalau kesehatan secara komunal, anak-anak kesehatan masyarakat yang harus turun tangan. Ya itu ibaratnya peran mereka secara tidak langsung dari adanya pembangunan ibukota baru itu. Kalau peran langsungnya, mereka pasti ikut meninjau bagaimana dampak dari pembangunan ibukota baru dari pra konstruksi, konstruksi hingga post konstruksi pada kesehatan kan? Karena kalau ada pembangunan, ada banyak kebisingan dari alat-alat dan transportasi yang digunakan. Yang merasa terganggu sama kebisingan itu bukan hanya hewat tapi juga manusia. Terus biasanya kalau truk-truk besar yang bawa bahan bangunan itu meninggalkan banyak debu di sepanjang perjalanan, yang menghirup debu itu memangnya cuma hewan? Manusia enggak? Justru yang paling diperhatikan pertama kali pasti manusianya kan? Kalau ada kotoran di air, kita masih bisa menghindar. Masih bisa milih air lain untuk diminum. Tapi kalau debu di udara? Emangnya bisa milih udara mana yang mau dihirup? Ya kan, Gha?" Agha terkekeh. Ia senang mendengar Maira bercerita banyak hal sekalipun tak penting. Menurutnya Maira itu kritis dan berwawasan luas. Yang paking penting adalah ia selalu membuka pikirannya untuk banyak hal. Tak mempersempit apalagi menyombongkan diri dengan apa yang telah ia lakukan. Karena Maira juga sadar kalau masing-masing orang diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ketika Allah membuat segala sesuatu yang beragam juga pasti punya maksud kan? Dengan beragam, masing-masing dari mereka dapat berkontribusi bersama-sama untuk kemajuan masing-masing. "Jadi ya intinya menurut gue, semua jurusan itu mau apapun punya peran di bidangnya masing-masing. Jangan merasa terlalu tinggi dengan jurusan tertentu karena kan yang penting adalah penerapan dari ilmunya." Agha mengangguk-angguk. Benar sekali. "Terus jadi anak Kimia suka diremehkan gak?" Maira tertawa. "Orang suka bilang kalau anak kimia itu kerjanya hanya di lab. Masa depannya hanya di sana. Padahal kimia itu luas loh." Agha tersenyum tipis. Kepintaran memang tidak bisa dinilai hanya dari satu sisi. Apapun kata orang yang tidak baik jangan didengarkan. Maira ingin menyelipkan itu sebagai pesan dari curahan yang tidak disengaja. Ia juga tak sadar kalau ini membuka celah bagi Agha. Karena melihat Maira yang agak terbuka meski dengan obrolan yang sangat sederhana ini. "Keren ya?" "Apanya nih yang keren?" "Ada anak kedokteran, ada anak kimia, ada anak teknik lingkungan, ada anak kesehatan masyarakat, dan yang lainnya. Itu kan keberagaman yang diciptakan oleh Allah agar dapat saling melengkapi. Kalau satu saling menonjolkan kelebihannya masing-masing, bagaimana mungkin bisa bekerja sama? Bukan kah Allah itu ingin agar bumi ini dijaga bersama-sama bukan hanya oleh satu orang dengan masing-masing jurusannya? Kan gak bisa." Maira tersenyum tipis. @@@ Setidaknya tak ada yang pingsan. Padahal beberapa panitia cowok sudah mewanti-wanti, berharap ada satu yang pingsan. Hahaha. Siapa? Tentu saja gadis bernama Prisa itu. Kemunculannya di sini sejak awal memang sudah menyita perhatian. Namun gadis itu kuat. Ia tidak selemah yang dipikirkan orang. Apalagi saat berada di pos di mana Agha berjaga. Pikirannya teralihkan karena tampaknya Agha dekat dengan Maira. Ya beberapa kali, ia juga sering melihat Agha mengomentari postingan Maira. Dan sebelum melihat Maira secara langsung, ia memang sudah merencanakan sesuatu hal. Ya kalau ia memang serius ingin mengejar Agha, ia harus dekati dulu orang-orang yang berada di sekitar Agha. Sejak pagi, ia sudah menyaring beberapa orang yang menurutnya paling dekat dengan Agha. Ia tak akan mendekati panitia laki-laki. Karena takutnya malah jadi salah paham. Ia lebih memilih untuk mendekati panitia perempuan yang sepertinya dekat dengan Agha. Terlebih, ia juga sempat melihat Agha berboncengan dengan Maira tadi. Oke, itu juga tak bisa dijadikan patokan menilik mereka berada di dalam organisasi yang sama. Atasan dan bawahan pasti dekat. Apalagi Maira yang menjadi bendahara bukan? Nah, mau seberapa dekat atau malah tidak dekat antara Agha dan Maira, ia tak mau ambil pusing. Yang jelas, kalau dilihat dari kepribadian, tampaknya Maira lebih mudah didekati dibandingkan yang lain. Ia ingat salah satu panitia yang bernama Della dan wajahnya yang agak jutek itu. Ia tak yakin bisa mendekati gadis itu untuk menjadi perantaranya mendekati Agha. Ia takut disemprot. Jadi, ia meninbang-nimbang untuk menghindari cewek-cewek yang seperti itu. Tapi dengan Maira? Sepertinya ada kemungkinan begitu. Bahkan saat acara jurit malam selesai dan mereka kembali dibawa menuju Pusgiwa, ia semakin yakin kalau akan lebih mudah mendekati Maira dibandingkan dengan yang lain. Maka tak heran kalau dengan pelan ia sengaja mengikuti Maira yang berjalan menuju toilet. Lalu gadis itu terkejut saat menemukannya di pintu luar. Ia tersenyum tipis. "Maaf, Kak. Kaget ya?" Maira tentu saja mengangguk. Tak masalah. "Eung...boleh minta tolong ditungguin gak, Kak? Maaf banget. Tapi aku takut sendirian." Maira mengangguk-angguk. "Aku tunggu di luar ya?" Prisa mengangguk. Ia tak berniat pipis tapi malah benar-benar pipis. Begitu keluar, Maira masih ada di pintu keluar dan keduanya malah mengobrol bersama. Ia memang mudah mendekati orang lain. Apalagi Maira juga cukup ramah. Maka perkenalan dan obrolan singkat pun terjadi. Keduanya berpisah ketika Prisa berjalan menuju teman-temannya yang pulas di sebelah ruang BEM. Sementara Maira tentu saja bersama para panitia perempuan tidur kembali di ruangan BEM. Setidaknya ada waktu dua jam lagi sebelum subuh. Prisa tersenyum tipis dari jauh. Maka rencana selanjutnya adalah mengikuti gadis itu di media sosialnya dan tentu saja mengirimi pesan. Biar semakin dekat. Bukan kah ini ide yang jitu? @@@ Gue bareng Ayah kok, Gha. "Gha!" Ferril baru turun dari mobil. Agha sudah menunggu di teras rumah Opa. Lelaki itu tak lepas dari ponselnya. Wajah Ferril tampak serius kali ini. "Sepertinya situasi semakin tidak kondusif. Gue yakin, mereka lagi mencari celah kalau enggak mengejar Rangga ya berarti mengejar Maira dan ayahnya. Hanya antara dua itu. Jadi, kalo lo emang mau jaga bener-bener itu cewek, samperin ayahnya. Ngomong baik-baik." Ya Agha terbatuk-batuk lah. Maksudnya ini menjaga seperti apa? Hahaha. Wajahnya memerah. Ferril yang menyadari itu langsung tertawa dan menepuk bahunya. "Maksudnya kalau emang gak mau dicurigai sama ayahnya." Aaaah. Agha hampir salah paham. Hahaha. "Kalo lebih dari itu? Buar gue itu gak masalah. Itu kan terserah lo sama bokap terus nyokap lo," oloknya sebelum meloyor begitu saja untuk menemui Opa di ruang kerja. Agha masih terbatuk-batuk sambil mengelus dadanya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD