Selalu Ingin Dekat Dengannya

2006 Words
"Yaa begini lah makan malam kami, nak Agha." Agha tersenyum kecil. Ia justru senang sekali karena bisa diajak makan malam bersama seperti ini. Maira menaruh nasi di atas piringnya, ia mengucapkan terima kasih. Tak tahu kalau ayahnya si gadis menatap ke arah keduanya. "Dimakan, nak." Lelaki itu menegurnya. Ia mengangguk. Maira duduk di depannya. Walau agak aneh. Maksudnya, ayahnya tak pernah mengajak temannya apalagi laki-laki untuk makan bersama seperti ini. Ini pertama kalinya dan rasanya memang agak aneh. Ya ia tahu sih kalau Agha memang sudah berbuat banyak untuknya. Meski tetap saja terasa ganjil. Usai makan, Agha pamit karena tak enak kalau pulang larut. Ia juga belum memberitahu apa-apa pada umminya. Tahu-tahu malah menumpang makan di rumah orang lain. Walau judulnya ya ditawari. "Pamit, om." Si om mengangguk. Lelaki itu berdiri di dekat pintu. Anaknya juga berdiri di sampingnya. Agha tersenyum tipis. Sebetulnya ada yang hendak ia katakan tapi tak enak karena ada ayahnya. Akhirnya ia berjalan menuju mobil. Maira? Sudah masuk ke dalam kamar. Walau tak lama, ia menoleh karena ayahnya membuka pintu kamar yang memang belum ia kunci. "Kenapa, Yah?" "Enggak," tuturnya tapi dengan senyuman kecil. Senyuman yang tampak asing namun Maira tak begitu mengindahkannya. Ia sibuk dengan ponselnya. "Dari sekian banyak teman lelaki kamu, baru itu yang benar-benar ayah tahu." Maira terkekeh. Ya jelas karena Agha sangat sering datang. Bahkan membawa kedua adiknya yang begitu lucu dan bawel. Ia juga sering disapa Adel. Kadang gadis kecil itu juga mengirimi pesan. Hal yang sering mengundang tawa. Tapi Maira benar-benar tak merasakan keganjilan ini ya? Maksudnya, bukan kah terlalu ganjil untuk seseorang seperti Agha? Yang sampai keluarganya pun tahu. Lebih tahu dibandingkan tentnag Hanafi. "Ayah cuma mau ngomong itu doang?" Ayahnya terkekeh. "Karismanya berbeda dari yang paling sering ke sini." "Andros?" "Ya itu lah." Maira terkekeh. Ya jelas lah. Sekarang ia sedang berkirim pesan dengan Andros. Besok sudah berjanji dengan Andros dan juga Saras untuk jogging bersama di kampus. Yaaa mumpung ia juga bosan. Maksudnya, sudah lama tak jogging bersama. Bertemu Andros? Terakhir kali mungkin saat menjemputnya dari kampus. Setelah itu tak ada lagi. Karena Andros juga sibuk dengan magangnya. Cowok itu magang di dubes Belanda. Ya sesuai dengan jurusannya. Sempat curhat juga kalau seleksinya susah sekali karena terlalu banyak yang mau ke sana. Ya beberapa temannya pasti ingin juga. "Sudah lama ayah tak melihatnya." Obrolan itu malah teralihkan pada Andros. "Besok Mai mau joghing sama Andros dan Saras," tukasnya. Ayahnya mengangguk-angguk. Ya yang penting kegiatan anaknya adalah kegiatan yang positif. "Udah, yaah? Mai mau tidur nih. Capeeek." Ayahnya terkekeh. Kemudian mengangguk dan membiarkan anaknya bergerak tidur. Ia menghela nafas usai menutup pintu kamar. Lalu entah kenapa malah masuk ke dalam kamarnya. Kamar Rangga lebih tepatnya. Kemudian merapikan beberapa dokumen penting. Bekas kantornya yang sederhana di Yogyakarta sana telah dijual untuk membayar hutangnya. Ia berencana untuk mengurusnya besok pagi. Sementara Agha baru saja sampai di rumah. Ia sudah membaca beberapa pesan grup khusus dari para sepupunya. Mereka sedang mengejar sisa-sisa anggota Blackphanter. Ya maksudnya yang masih berada di sini. Ia hanya menyimak saja karena baru saja sampai di rumah. "Makan, Ak?" Umminya keluar dari kamar. "Tadi udah makan, mi." Umminya mengangguk. Ia membiarkan anaknya menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar. Ia membersihkan diri lalu merebahkan tubuhnya. Rasanya lelah sekali walau ada yang menyenangkan hari ini. Makasih ya, Mai, untuk makan malam tadi. @@@ Pagi-pagi sudah berisik sekali. Yaa tadi Rangga datang membawa motor baru untuk ayahnya. Katanya biar tak repot, ayahnya bisa membawa motor ke mana-mana. Walau lelaki tua itu sudah mengatakan untuk tak membelikan apapun. Karena akan lebih baik jika uangnya ditabung tapi tetap sajaaaa..... "Itu kan second, yah. Punya temen tapi masih bagus banget. Harganya juga gak mahal kok." Maira tersenyum kecil. Ia tahu kalau ayah mereka ini tak pernah mau merepotkan anaknya. Bahkan kalau ada masalah keuangan sekalipun. Sementara itu, Rangga berpikir selama ia bisa mengusahakan segala sesuatu untuk ayahnya, kenapa tidak? Namanya juga anak. Karena ia juga berpikir, ayahnya tak pernah meminta apapun. Beliau selalu berpikir untuk kebutuhan mereka. Sebaliknya, Rangga justru merasa belum membahagiakannya. Yaa walau membeli barang second dengan harga yang tidak begitu mahal. Tapi setidaknya sudah jauh lebih baik. "Gak mahal tapi sepuluh juta pasti lewat kan, mas?" Masnya hanya terkekeh. Ia juga membawa satu barang lagi. Tidak second. Kemudian menaruhnya di atas meja makan. Maira tak tertarik hingg akhirnya isinya dibuka oleh Rangga. Matanya langsung berbinar. "Gak mau nih?" Gadis itu terkekeh. Tentu saja ia sangat mau. Hahaha. Masnya membelikan laptop baru untuknya. Laptop lama memang sudah agak lemot karena ada banyak program di dalamnya. "Yeeee laptop baruuuu!" Ia kegirangan. Rangga tertawa ketika dipeluk olehnya. Ia tentu senang karena Maira tampak senang. Mereka sempat sarapan bersama lalu gadis itu pamit. Ia memang hendak jogging bukan? Diantar pula oleh masnya ke stasiun dengan motor baru itu. Ia naik ke dalam commuterline biar tak terlalu lama. Hingga akhirnya tiba di Stasiun UI. Kemudian membombardir Saras dan Andros dengan pesan. Ia sudah sampai tepat jam setengah enam pagi sesuai janji mereka bersama. "Mana katanya yang jam setengah enam!" Ia mendumel sambil berkacak pinggang begitu Saras muncul. Gadis itu terkekeh. "Ya elah, Mai. Lewat sepuluh menit doang." "Andros mana?" Ia mencari-cari. Tak lama lelaki itu muncul dengan membawa dua sepeda. Yang satu untuknya dan yang satu untuk Maira. "Punya si Anyel ngapain lu bawa-bawa dah?" "Helah. Ini tinggal dilipat. Entar juga gue bawa lagi." Maira terkekeh walau tak urung mengambil alih sepeda itu lalu menaikinya. Ketiganya bergerak mengendarai sepeda. Dari bundaran UI, ketiganya berbelok ke arah kanan. Yaa masuk ke sederetan FISIP, FIB yang tentu saja menuju ke arah Fakultas Teknik. Bukan yang ke arah Fakultas Hukum walau bisa juga lewat sana. Toh nantinya akan tembus juga hingga ke FIB. Tujuan mereka sebetulnya berkeliling dulu sambil tertawa-tawa. Andros sibuk mengawasi Maira yang setidaknya sudah agak berani mengebut karena terus ditinggal Saras dan Andros. "Jumat kemarin gue lihat si Agha jogging tuh di sini," tukas Saras. Apa maksudnya berbicara begitu? Hahaha. Tak ada. Biar ada yang diobrolkan saja bersama Maira. Andros sudah jauh di depan sana. Karena katanya mau jogging jadi meninggalkan sepedanya nanti akan kembali menyusul mereka. Sementara Maira dan Saras akhirnya memilih untuk bermain sepeda saja sembari berkeliling kampus. "Jumat?" Kening Maira agak mengerut. "Iyaaa. Kan libur Jumat kemarin." Aaaah. Maira mengangguk-angguk. "Lembur lo ya?" Ia tertawa. Ia juga tak ingat kalau itu adalah tanggal merah. Tapi ya sudah lah. Toh memang ada yang harus ia lakukan di laboratorium. Jadi sekalian saja. "Hanaf ada ngehubungi lo?" Dan akhirnya topik kembaki berganti. Ia menggeleng. Paham sih kalau Hanafi pasti sibuk. "Sibuk banget kayaknya." Dan mungkin memang lebih baik begini dulu. Karena ia juga tak mau terlalu memikirkan Hanafi. Hatinya masih rapuh. Ia takut tak kuat. Padahal bergantun pada Allah adalah jalan terbaik. "Maklum aja sih, Hanaf kan anak tua ya. Diandelin banget sama mamanya. Apalagi dia yaaah lo tahu lah kan keluarganya." Maira tersenyum kecil. Kurang lebih, ia dan Hanafi memang memiliki kesamaan dari sisi itu. Kurang figur sayang dari salah satu orangtua. Walau secara rssmi, ia baru ditinggal ibunya kan? Baginya tetap ibunya sekalipun tak punya pertalian darah. Toh ia memang tak pernah mendapatkan figur orangtua yang utuh. Setidaknya, ia telah memiliki figur ayah yang sungguh sempurna. Baginya sungguh sempurna. Sepeda keduanya beriringan di atas trotoar melintasi area kampus yang mulai menghangat karena kemunculan matahari. Walau anginnya masih tampak begitu kencang menerpa jilbab yang ia kenakan. "Dan mungkin itu juga yang membentuk karakter Hanafi menjadi Hanafi yang sekarang." Maira mengangguk-angguk. Ia akui sebagai seorang lelaki di seumuran mereka, Hanafi jauh lebih dewasa. Ia bisa berpikir dengan lebih tenang dan jernih dibandingkan dengan Andros. Hahaha. Ya setidaknya memang jauh kalau dibandingkan dengan lelaki itu. Walau Maira tak bermaksud untuk membandingkan keduanya. "Berhenti dulu deh," ajak Saras. Gadis itu menunjuk ke arah danau di depan perpustakaan mewah kampus mereka. Keduanya sama-sama membawa sepeda ke arah depan perpustakaan. Suasana di sana tampak selalu ramai. "Kenapa?" Ia bertanya karena Saras malah diam saja. Saras tersenyum kecil. "Gak kerasa ya, Mai? Udah mau lulus aja. Inget gak dulu waktu awal-awal kita sering banget foto di sini? Saking noraknya." Maira terkekeh. Betul sekali. Ia jadi rindu masa itu. Masa-masa di mana beban hidup belum terlalu banyak. Sekarang? Ada banyak hal yang harus dipikirkan. Soal magang, skripsi, lalu setelah lulus akan bagaimana? Walau ada kemungkinan akan direkrut, ia hanya bertanya-tanya saja. Dunianya mungkin akan segera berubah setelah ini bukan? @@@ Agha baru saja muncul. Ia banyak tertinggal akhir-akhir ini. Yaaa karena beberapa hari lalu kan sibuk di rumah sakit om-nya. Dikenalkan pada semua karyawan sebagai penerus tahta. Kemudian mempelajari berbagai hal dasar dalam manajemen rumah sakit yang perlu ia ketahui. Om-nya juga mengajarkan beberapa hal yang biasa dilakukan oleh om-nya. Ia harus benar-benar bersungguh-sungguh untuk itu bukan? Selain urusan rumah sakit, ia juga sibuk dengan urusan kampus. Masih ada dua mata kuliah yang sedang ia ambil. Sembari konsultasi proposal penelitian dengan dosen pembimbing. Lalu apalagi ya? Aaah urusan BEM yang tentu saja tak bisa dilepas. Jadi terkadang ia melepas beberapa misi yang rutenya agak jauh. Walau kini mulai sibuk mengejar Blackphanter lagi. Farrel menugasinya untuk menyelamatkan Ferril. Walau belum begitu jelas juga bagaimana sebetulnya kejadiannya. Ia baru berangkat menjelang siang tadi untuk mengejar Blackphanter. Kabar abang sspupunya yang satu itu belum ditemukan sejak kejadian terakhir, ia tentu saja tahu. Ia juga berangkat ke lokasi kejadian dan hanya menemukan dua mobil terbakar. Salah satunya adalah mobil abang sepupunya. Ya entah apa yang terjadi tapi semoga bukan sesuatu yang buruk. Nanun ia mengurangi kecepatannya karena terlalu berbahaya. Mobil di depan yang terus ia ikut pasti menyadari bukan kalau ia sedang mengikuti. Mereka memasuki hutan lagi dan Agha belum berani masuk. Ia masih menunggu kabar dari Farrel. Abang sepupunya itu tampak sibuk dengan urusan yang lain. Ia memantau sekitar dari kaca spion. Agak berbahaya memang. "Oke, sorry, Gha. Tetap bertahan di situ sampai pasukan datang." "Ya, bang." Ia mengiyakan dan bosan sendiri karena hanya terus mendengar keributan dari speaker mobilnya. Tentu saja banyak bacotan dari Rain, Arinda, Ardan, dan Adit. Hal yang terkadang lucu. Ia hanya terkekeh kecil saja. Satu jam kemudian, akhirnya pasukan tiba. Mereka hendak menghempur Blackphanter namun tak jadi. Agha salah menangkap pesannyang Farrel inginkan. Lelaki itu hanya menyuruhnya untuk memantau pergerakan mereka. Namun tak lama, tiba-tiba ia disuruh pulang. "Ferril sudah bareng sama kita." Itu suara cempreng milik Rain. Agha menggaruk-garuk pipinya. Lalu untuk apa ia di sini? "Gue harus ke mana, bang?" "Balik aja ke markas." Agha mengiyakan. Akhirnya ia malah kembali ke markas. Langsung masuk ke mode mobil terbang karena memang memungkinkan. Dalam waktu kurang dari satu jam, ia sudah tiba di markas mereka. Ya basecamp maksudnya. Tiba di sana, para sepupunya malah sibuk membicarakan urusan Ferril dan entah siapa nama gadisnya, ia tak terlalu memerhatikan. Setahunya abang sepupunya memiliki hubungan artis sekaligus penyanyi. Lalu itu apa? Entah lah. Sementara ia memilih menepi di halaman belakang. Duduk di kursi sembari mengamati lapangan hijau yang juga dijadikan tempat bermain golf. Iseng membuka ponselnya lalu apa yang didapati? Hohoho. Satu postongan milik Maira tentu saja selalu menarik hati. Apalagi sebelum aplikasinya ditutup, ia memang membuka akun gadis itu. Akhir-akhir ini, jujur saja, ia semakin gelisah karena tak bisa mengontrol hatinya. Ia harus bagaimana? Lalu kini melihat foto Maira tak sendirian. Ya foto bersama Saras dan juga.....Andros. Hahaha. Walau tahu dari Bani jika mereka hanya sebatas sahabat, urusan cemburu dan hati ini tak selesai begitu saja bukan? "Wohooooo! Yang ini ya, Ghaaa!" Tahu-tahu hapenya diambil Rain. Gadis itu sudah berdiri di belakangnya yang sedang duduk dan tentu saja melihat apa yang ia buka. Tapi Agha yang pikirannya sedang melayang-layang itu tak sadar. Kini ponselnya sudah berada di tangan Rain, yang tentu saja segera membongkar semuanya. Kemudian berlari menuju Ardan untuk bertanya, yang mana perempuan yang akhir-akhir ini mereka jaga? Ardan terkekeh. Ia tentu saja menunjuk gadis berhijab yang penampilannya sederhana dan tampak ceria. Agha hanya bisa mengusap wajahnya. Farrel menatapnya dengan senyuman lantas mengangguk-angguk. Tahu sih kalau akhir-akhir ini, Agha sangat rajin curhat padanya. Tahu kenapa? Karena ia sedang benar-benar kesulitan untuk mengontrol hatinya. Bawaannya selalu ingin dekat dengan gadis itu. Bukan kah itu berbahaya? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD