Firasat

2040 Words
"Kenapa?" Amanda menegurnya. Ia hanya menggeleng lemah. Tadi sempat tertegun karena Amanda tampak dekat dengan Maira. Ingin sekali meminta dikenalkan atau yaaah.... "Gue ngefans sama dia. Tapi gak berani deketin," ungkapnya. Yaa memang mengagumi walau secara tidak langsung juga punya maksud. Amanda terkekeh. Dengan santainya ia memanggil Maira. "Kak Mai, kenalin nih temen aku, Allsya." Maira tersenyum kecil. Ia tampak mengernyit karena sepertinya.... "Aku yang DM Kak Mai kemarin," ia mengungkapkan itu. Maira mengangguk-angguk lantas menyalaminya. Yaa ia ingat memang ada yang mengiriminya pesan melalui media sosial. "Dia nge-fans sama Kak Mai," timpal Amanda yang membuat Maira terkekeh. Allsya menyenggol lengan Amanda karena ia tampak malu. "Duuh jadi malu," tukasnya yang mengundang tawa. Allsya agak bersantai karena Maira bersikap seperti itu. "Jurusan apa?" "Aku anak sastra, kak." Jelas mata Maira langsung berbinar. Ia mengenal dekat salah satu anak sastra bukan? "Kenal sama Andros?" Allsya mengangguk. Tentu saja ia sangat mengenal cowok itu. "Kakak tingkat." Maira mengangguk-angguk. Rasanya kalau ada yang tidak mengenal Andros di kampus ini benar-benar tertinggal. Mungkin kurang update? "Mai!" Si Agha muncul. Wajahnya tampak masih basah karena tadi solat ashar dulu. "Pulang bareng?" tawarnya. Ini seperti sesuatu yang menjadi bagian dari kebiasaan. Allsya tampak aneh. Karena belum terbiasa. Amanda langsung menariknya untuk pamit dari kedua orang yang selalu mempunyai dunia sendiri itu. "Mereka deket banget ya?" Amanda terkekeh mendengar pertanyaan itu. Ia juga belum lama mengenal. Yaaa setidaknya mengenal sejak sama-sama membantu Agha untuk menjadi ketua BEM. "Kak Agha emang suka sama kak Mai kali. Tapi kalo perasaan kak Mai sih gak tahu," tukasnya dengan senyuman kecil. Ia tak tahu kalau ia baru saja mematahkan hati seseorang di sampingnya ini. "All?" Amanda menegurnya karena ia tampak termangu dan tertinggal. "All?" "Ah, ya." Ia tersadar lantas segera mengejar langkah Amanda. Sementara itu Maira dan Agha tampak sudah berjalan menuju mobil. Yaa ada Della juga yang ikut. "Kaak Agha!" Seseorang dari belakang memanggil. Kedua gadis itu ikut menoleh. Agha baru saja hendak mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. "Kaak. Tadi eung udah janji mau ngobrol kan ya?" Agha tampak mengerutkan kening. Ia tak begitu ingat tapi mungkin memang ia berjanji sesuatu jadi ia mengangguk saja. "Tapi sorry, gue mau pulang." Della berdeham sembari menyenggol lengan Maira tanpa maksud. Maira menampilkan wajah penuh tanya. Tentu saja tak tahu apa-apa soal gosip-gosip anak-anak cewek. Karena ia terlalu sibuk dengan magangnya jadi jarang bergabung. "Eung.....kalo gitu boleh nebeng kak?" Agha malah reflek menoleh ke arah Maira dan Della. "Bawa aja, Gha. Sekalian. Rumah lo di mana, Prisa?" Gadis itu tersenyum kecil. "Jaksel, kak. Lurus lagi dari Pasming. Gak jauh kok," tukasnya. Agha mengangguk-angguk. Memperbolehkannya untuk ikut. Lalu ikut masuk. "Mai, lo depan aja deh. Lo paling jauh. Entar Agha pasti muter dulu," tukasnya. Maira hanya mengangguk-angguk tanpa curiga. Padahal Della baru saja berhasil menghalangi seseorang yang hendak membuka pintu depan. Lancang banget, pikirnya. Akhirnya Prisa pindah ke pintu di sebelahnya dan duduk tepat di belakang Agha. Ya baik lah, setidaknya keputusan ini tak buruk-buruk amat. Ia masih dapat tersenyum sambil melihat sosok Agha yang ada di depannya. Lalu membuka ponselnya dan mengirimi pesan pada ketua pembantu di rumahnya. Weni, kirim supir ke sini dan bawa mobil aku. Jangan lupa bawa kunci cadangannya Lalu ia menghela nafas dan mencoba duduk santai di sebelah Della yang baru saja kehilangan simpatiknya. Gadis itu mendadak dongkol saja karena kehadiran seseorang yang tak diharapkan. @@@ Sejauh ini perjalanan tampak tak baik-baik saja. Maira justru cenderung santai. Della justru tak berhenti menyeletuk setiap pertanyaan dari Prisa yang menurutnya bisa dicari di internet. Entah tentang hijab, tentang kewajiban untuk mengenakan itu dan lainnya. Agha sih santai. Ia tetap menjawabnya dengan baik. Maira menggelengkan kepala. Kadang kalau Della bersikap seperti ini, ia tahu alasannya. Pasti karena tak begitu suka. Jangan gitu heeeh Della mendengus membaca pesan itu. Padahal mereka duduk di dalam satu mobil. Ia menyandarkan tubuhnya untuk memastikan pesanya tak akan terlihat dari sebelah kanannya. Modusnya kelihatan kali, Maaai. Kalo suka sama Agha jangan terlalu jelas gitu lah. Maira tersenyum kecil. Ya namanya juga usaha. Biarin aja lah. Siapa tahu Agha suka. Helaaah, pikirnya. Cewek yang disukai saja ada di sebelahnya. Bagaimana bisa berpaling pada gadis lain? Lagi pula, Agha lebih suka berjuang dibanding diperjuangkan. "Ya memakai kerudung atau lebih tepatnya jilbab akan lebih baik. Karena memang sudah menjadi bagian dari kewajiban sebagai seorang perempuan muslim." Prisa mengangguk-angguk mendengarnya. Ia tersenyum lebar. Ada hal lain yang ingin ia tanyakan sebetulnya. Tapi tak mungkin mengatakannya saat ini karena ada dua perempuan ini. "Makasih ya, kak Agha. Makasih banget," tukasnya dengan senyuman kecil. Pengen muntah gue, Mai Maira geleng-geleng kepala lagi. Ia menoleh ke belakang dan Della masih memberikan wajah dongkolnya. Baru kali ini ia benar-benar tak suka. Yaa dibandingkan sama gadis ini, lebih baik Agha dengan Maira saja. Ia mengenal sosok Agha bagaimana. Walau yaaah tak tahu juga yang namanya jodoh bukan? Tidak selamanya yang baik selalu berpasangan dengan yang baik. Ada contohnya? Ada banyak. Salah satunya Asiyah dan Firaun. Bukan kah itu contoh nyata kalau jodoh itu adalah urusan-Nya? Karena dibalik kerdurhakaan Firaun sebagai manusia, Asiyah yang mendapat rahmat karena kesabarannya dalam hidup bersama seorang lelaki seperti Firaun. Kesabaran yang berbuah surga. Maka memang benar kalau jodoh itu tidak selalu cerminan. Ya kan? "Kak Maira, pacarnya Kak Hanafi bukan?" Lalu tiba-tiba pertanyaan itu diluncurkan dalam keheningan. Della sudah turun beberapa menit yang lalu. Mungkin gadis itu akan langsung menyemprotnya. Agha sempat terpaku mendengarnya. Ya bagaimana pun gadis ini pasti sudah mencari tahu bukan tentang Maira dan Agha. Ia hanya ingin memastikan kalau Maira tak ada hubungannya dengan Agha dan benar-benar hanya sebagai teman. Begitu banyak hal yang ia lakukan untuk mencari tahu soal Maira sampai harus menyambangi beberapa temannya yang satu fakultas dengan Maira. Lalu mengetahui yaa beberapa hal. Kini ia hanya ingin menanyakannya secara langsung. Untuk benar-benar memastikan kalau Maira bukan pesaingnya. Ada begitu banyak pesaing di luar sana dan jangan sampai ada pesaing di dalam. Apalagi lalau selevel dengan Maira yang sudah jauh mengenal Agha dan begitu dekat. Jadi ia hanya ingin memastikan kalau gadis ini tak memiliki perasaan pada Agha. "Hah?" Prisa nyengir. "Maksud aku, dekat gitu sama Kak Hanafi. Iya kan? Aku adik kelasnya kak Hanafi loh waktu SMA." Aaaaaah. Maira mengangguk-angguk. Ia sudah bisa tersenyum walau agak canggung. Agha berdeham. "Masih jauh, Prisa?" "Eh-oh, belok ke situ, kak. Yaah macet deh." Ia tahu kalau jam-jam segini memang selalu macet. Mobil Agha mulai bergerak lambat. Ia bisa saja terbang tapi tak memungkinkan. Tak akan bisa juga sebetulnya. Sementara Prisa sudah kembali pada topik Hanafi. "Kak Hanaf itu keren loh, kak Mai. Waktu SMA dulu, dia jadi ketua OSIS." Maira terkekeh. Ia tentu saja tahu kalau Hanafi memang menjadi ketua OSIS. "Terus yaaaa sering wakilin sekolah ke berbagai kompetisi gitu. Keren sih. Teruuus nih yang paling keren itu, dia gak pernah pacaran sama cewek." Yaa kalau itu, ia juga tahu. Hanafi sudah pernah membahas hal ini padanya. Lelaki itu memang jujur. Alasannya tak mau berpacaran itu ya karena memang lebih fokus pada sekolah lalu fokus pada urusan kampus. Kemudian ketika masuk kuliah, ia malah bertemu dengan sosok Maira yang menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan muslimah. Kini Hanafi juga memilih untuk fokus pada mamanya dan pekerjaan. "Terus Kak Hanaf juga jago main drum kan ya?" "Oh ya?" Maira tampak kaget. Ia tak pernah tahu hal itu. Agha melirik wajahnya yang tampak berbinar karena membicarakan Hanafi. "Loh? Kak Mai gak tahu?" Gadis itu heboh sendiri. Kemudian ia mencari-cari video pada media sosialnya. Berharap masih menemukan video yang pernah ditandai kepadanya. Ia juga dulu sempat menyukai Hanafi. Sayangnya lelaki itu sama sekali tak merespon. "Nih! Lihat deh!" Ia berhasil menemukannya lalu menunjukkannya pada Maira. Hanafi tampak memainkan drum bersama band kelasnya. Waktu itu ada perlombaan band antar kelas. Maira melihatnya dengan begitu antusias. Berbeda dengan lelaki di sebelahnya yang merasa sedih akan hal itu. Hahaha. "Keren kan?" Maira mengangguk-angguk. Ia mendengar dnegan begitu antusias semua cerita Prisa yang ia ketahui tentang Hanafi hingga akhirnya tiba di depan rumahnya. "Makasih ya, kak, udah dianterin. Maaf yaa jadi ngerepotin." Agha hanya mengangguk. Lalu gadis itu juga pamit pada Maira. Suasana kembali hening karena yang tersisa hanya Maira dan Agha. Mereka terjebak macet tadi lumayan lama. Kini Agha memutar balik untuk mengantar Maira pulang. "Tertarik, Gha?" Maira tiba-tiba bertanya begitu. Cowok itu meresponnya dengan, "hah?" Maira terkekeh. Ia menggelengkan kepalanya. Tadinya sih mau mengatakan apakah Agha tertarik dengan Prisa? Ya mungkin Della malah sebal dengan caranya mendekati Agha yang terkesan modus. Tapi kalau Maira justru santai. Apa karena tidak ada rasa? Jadi tak cemburu? Tapi Della juga tak punya rasa. Gadis itu hanya berpikir kalau lebih baik Agha bersama Maira dibandingkan gadis lain. Kecuali jika memang ada yang bisa menandinginya. Namun hingga saat ini, baginya Maira masih sosok terbaik. @@@ "Akhir-akhir ini, aman kan, Mai?" Maira mengangguk lalu ia menoleh. Pertanyaan ini paling sering dilontarkan Agha tiap mengirimi pesan atau ketika ia memposting sesuatu. Ia tak tahu kalau Agha sebetulnya agak-agak khawatir. Kondisi akhir-akhir ini tak begitu baik. Ia hanya takut terjadi sesuatu. Wajar bukan? "Lo kenapa sih? Kayak sesuatu yang buruk bakal terjadi aja." Ia masih santai dan terkekeh. Ya gadis ini tak tahu bagaimana buruknya situasi ini. Ia juga punya maksud kenapa seringkali menawarkan untuk mengantar pulang. Kejahatan bisa datang kapan saja dan dari mana saja bukan? "Yaa karena kita gak pernah tahu apa yang terjadi." Maira mengangguk-angguk. Ucapan itu mungkin memang ada benarnya. Sementara Agha menghela nafas. "Minggu nanti ada acara?" Maira mengangguk. Agha baru saja memutar balik ke arah Pasar Minggu. Sejujurnya sudah hampir dekat dengan rumah Maira. Walau jalanan cukup padat, tak macet juga. "Ke mana?" "Mau ke Ancol sam ayah dan Mas Rangga." Agha tersenyum kecil memdengarnya. Turut senang kalau ternyata itu adalah acara liburan. "Gue pikir mau lembur di kantor magang." Maira terkekeh. Ia memang sempat lembur karena harus menyelesaikan analisisnya. Pengambilan sampel untuk penelitian skripsinya sudah selesai. Sudah dianalisis juga. Ia hanya perlu menulis hasilnya. Namun masih terlalu malas mengerjakannya. Toh ia punya waktu banyak juga. "Gak lah. Masa itu udah lewat." "Buat penelitian ya waktu itu?" Maira mengangguk. Tentu saja. "Udah kelar dong?" "Yaaa tapi urusan magang kan belum." Agha tersenyum kecil. Ya benar juga. Ia harus menyelesaikannya. Tak lama mobilnya hampir sampai dan ia melihat Adit dan Ardan baru saja kocar-kacir masuk ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Ia geleng-geleng kepala. Ia tahu kalau kedua cowok itu kerap diajak minum kopi oleh ayahnya Maira. Lalu keduanya banyak mempromosikan Agha. Hahaha. Hal-hal yang membuat lucu. Padahal Agha tak pernah meminta. Dasar mereka saja yang suka menganggu. Padahal banyak urusan lain yang harus dilakukan. Lalu kini bersiul-siul dari dalam mobil meledek Agha yang baru saja lewat untuk mengantar Maira. Berbeda dengan saat mengantar Prisa di mana ia justru tak keluar sama sekali, kali ini ia keluar. "Ngobrol sama bokap lo bentar boleh?" Maira mengangguk. Tentu saja. Lagi pula ayahnya paling mengenal Agha. Jadi ia ikut masuk ke rumah kali ini. Lelaki itu agak terkejut melihat kemunculannya. Agha mengucap salam dengan sopan dan tentu saja menyalaminya. "Bentar lagi magrib. Solat di sini saja sekalian makan malam bersama," ajaknya. Tadinya ia hanya ingin mampir sebentar. Tapi kalau ditawari demikian, kenapa harus menolak? Hahaha. Menjelang magrib, Agha mengikuti lelaki itu untuk solat magrib bersama di masjid. Keduanya tampak akrab. Ardan dan Adit? Tadi sudah pulang. Maira sendirian di rumah. Ia solat lalu mengaji dan buru-buru menyelesaikan ngajinya begitu mendengar ayahnya dan Agha mengobrol. Keduanya sudah hampir dekat. "Tapi kamu tahu kalau anak om harus menyelesaikan kuliahnya." Agha terkekeh. Tentu saja ayah Maira hanya bercanda. Ya sedari berangkat ke masjid juga terus mencandainya soal kedekatannya dengan Maira. Juga gara-gara komporan dari para sepupunya yang sungguh sableng itu. "Walau om juga menghargai niat baik siapapun," ucapnya. Kali ini tampak serius. "Maira itu hanya dibesarkan oleh seorang ayah." Agha tercenung mendengarnya. Ia tak begitu banyak tahu sebelumnya. Tapi ayahnya Maira begitu terbuka untuk menceritakan hal ini. Maira tentu tak mendengar. Gadis itu membantu si bibi menyiapkan makanan di dapur. Ayahnya dan Agha masih berjalan menuju rumah. Ya tak jauh-jauh amat juga. "Dan om sangat berterima kasih karena kamu telah menjaganya dengan baik." Ia tersenyum kecil. Ya anggap saja ini menjadi tugasnya walau tak pernah diminta. "Anggap saja kita ini keluarga dan hubungan kita sedekat itu, Agha. Terlepas dari bagaimana perasaan kamu pada anak om atau sebaliknya." @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD