Target

2999 Words
Ia menyelesaikan laporannya. Kemudian membereskan analisisnya. Setelah makan siang nanti, ia akan kembali membantu pekerjaan di laboratorium ini. Ya tentu saja karena itu memang tugas utamanya kan? Usai memberesi, ia kembali ke ruang anak magang. Beberapa temannya masih sibuk di depan laptop. Sementara ia bergerak mengambil mukena untuk solat terlebih dahulu sebelum makan siang. Usai solat zuhur dari mushola.... "Mai, ada temen kamu tuh." Ia mengernyitkan kening. Ia kembali ke ruangannya untuk menyimpan mukena lalu berjalan menuju ke lobi dan siapa yang ia temukan? Andros. Untuk apa cowok ini ke sini? "Lo ngapain? Gak magang?" Ia tentu saja heran bukan? Karena tak seharusnya di sini. Andros nyengir. "Tadi gue dikirim untuk ikut seminar di situ," ia menunjuk gedung yang tak begitu jauh. "Udah kelar boleh pulang," tambahnya. "Makan siang yuk? Udah istirahat kan?" Maira mengangguk-angguk. Padahal belum lama beetemu dengan cowok yang satu ini. Tapi tak apa-apa lah. Mereka benar-benar jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. "Di seberang aja ya. Ada pecel ayam." Andros mengangguk-angguk. Biasanya ia membawa lauk. Tapi hari ini memamg sedang tidak membawa. Ya kadang memang kerap membeli tapi lebih banyak berhemat. Ia magang di sini kan sukarela. Dalam artian tidak dibayar. Jadi harus pandai-pandai menghemat uang jajannya. Ia kan tak enak kalau harus merepotkan masnya. Sebisa mungkin ditabung untuk kehidupannya setelah lulus nanti. Keduanya menyebrangi jalan dan makan bersama. Ya Maira tentu saja sempat diledek karena makan bersama Andros oleh teman-teman satu kantor. Ia hanya terkekeh saja. Tak mau ambil pusing. Kini sedang melahap pecel ayamnya. Andros tersenyum kecil melihatnya makan seperti anak kecil. "Minggu kemarin jadi ke Dufan?" "Gak lah. Mas sibuk. Udah batal." "Terus?" "Ya rencananya minggu ini." Andros mengangguk-angguk. "Kalau gak jadi lagi gimana?" "Ya jangan disumpahin dong." Andros tertawa. Ya benar juga ucapannya. Tapi jujur saja, akhir-akhir ini Andros merasa terus ingin menemui Maira. Dari terakhir jogging di dua minggu lalu lalu minggu kemarin juga kembali jogging bersama. Nah tadinya mau mengajak Maira ke Puncak. Mungkin akan berangkat bersama keluarganya. Akan ada Saras juga. Tapi katanya akan Dufan minggu ini. Ia tak jadi mengajak. Padahal ibunya juga bertanya apakah ia akan ikut atau tidak. Sepertinya memang belum rezekinya. Usai makan, Andros segera beranjak. Seperti baisa, ia pasti akan membayar makanan Maira. Maira geleng-geleng kepala. Percuma bilang ke Andros untuk tak membayar makanannya. Ya sama juga dengan Agha. Kalau Agha mengajak mereka makan bersama, cowok itu pasti selalu mentraktir. Tak pernah mau ditraktir. Kalau sekali atau dua kali kan tak apa. Kalau terlalu sering kan jadi keenakan. Hahaha. "Abis ini gantian gue yang traktir," ingatnya sambil beranjak dari meja makan. Andros terkekeh. Kalau begitu, tak akan ia biarkan. Keduanya bergerak keluar dari pecel ayam. Tanpa tahu kalau dari kejauhan sana, seseorang sudah memantau dengan motornya. Sudah mencari momen. Tapi biasanya tak bisa dilakukan karena terlalu berisiko. Sebab Maira selalu makan siang beramai-ramai dengan teman-temannya. Kali ini? Hanya berdua yang akan menyebrangi jalan. Bukan kah dapat menjadi kesempatan? Mereka juga sudah mengecek ketidakberadaan orang-orang yang kerap melindungi Maira sejak pagi. Saatnya untuk memanfaatkan kelengahan ini. Ia menghidupkan mesin motornya. Seseorang baru saja melompat duduk di atas motornya. Gas sudah ditarik. Tapi ada yang belum ditekan di bawahnya. Ya tentu saja mereka sedang memperkirakan waktunya. Ketika akhirnya Andros dan Maira tampak di tepian jalan, motor itu langsung melaju dengan kencang. Benar-benar kencang. Tak ada yang menyadari kemunculannya yang begitu tiba-tiba. Sebab masong-masing orang sibuk dengan urusannya. Begitu pula dengan Maira dan Andros yang asyik mengobrol.sembari melihat kanan-kiri. Begitu merasa lengang, keduanya sama-sama berjalan tanpa tahu kalau ada yang baru saja menerobos lampu merah sana. @@@ "Berangkat, Mi! Assalammualaikum!" pamitnya. Ia tampak terburu-buru masuk ke dalam mobilnya. Umminya hanya membekalkannya makanan. Ia tadi baru membuka grup. Andai abinya tak menegurnya, ia takkan tahu. Harusnya hari ini ia pergi ke rumah sakit bersama om-nya. Tapi semua rencana berubah menjadi misi baru. Ya misi tak terduga. Katanya abang sepupunya hendak melamar anak mafia. Yaaa yang Agha juga tahu siapa yang dimaksud karena beberapa hari belakangan memang terus dibicarakan oleh para sepupunya yang lain. Membicarakan perasaan Ferril yang tidak bisa mencintai Nesia. "Waalaikumsalam." Umminya menghela nafas. Masih belum tahu apa yang terjadi. Tapi tampaknya semua laki-laki sibuk. Bahkan suaminya sedang menghubungi Aidan yang berada di Jogja sana. Meski ia sudah memberitahu untuk tak menganggu kuliahnya. Lantas apa responnya? "Ya, abi. Aidan selesain kuliah sama tugas dulu. Nanti baru menyusul." Abinya mengiyakan. Aidan hanya cadangan karena mereka juga tahu kalau kuliah lebih penting. Tapi ini untuk berjaga-jaga saja. Sementara itu, mobil Agha justru berbelok ke rumah Sara. Ya untuk menjemput Ando di sana. Ando baru saja mengantar istrinya ke rumah orangtuanya biar ada yang menjaga. Sementara ia pamit pergi. Farras jelas menatapnya dengan cemas. Ya disaat perutnya sudah benar-benar besar begini, suaminya terpaksa harus ikut turun. Bagaimana pun yang dilindungi adalah adik kandungnya. Jadi ia tak bisa mengomel. Dan lagi, mertuanya akan ada di sini juga. "Hati-hati, abi." Ando mengangguk. Ia juga cemas tapi ya apa boleh buat. Mereka butuh orang banyak untuk ikut turun ke lapangan. Berlebihan? Tentu saja. Karena tak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi. "Lo udah makan?" Ia bertanya karena melihat bekal Agha teronggok begitu saja. Ia menggeleng lantas di depan masjid, mobil itu berhenti. Ando mengambil alih setir mobil agar Agha bisa makan. Lalu mobil itu kembali melaju menyusul Ferril yang sudah bergerak meninggalkan Jakarta. Ya cowok itu sudah menyelesaikan urusan dengan Nesia jadi kini mereka juga ikut bergerak. Menyusul dengan jalur tol. Farrel menyarankan untuk tidak terbang karena Ferril tampak santai. Takutnya kan malah mereka mendahului Ferril pada lelaki itu tak boleh tahu tentang operasi darurat ini. Bahkan Farrel memisahkan jalur komunikasinya. Mereka tak bisa berkomunikasi dengan Ferril. Hanya Farrel, papanya, para om, dan opanya yang bisa. Tapi mereka bisa mendengar semua percakapan mereka dengan sangat jelas. "Kita mau tempur atau bantuin ngelamar cewek sih, bang?" Ando terkekeh. Ia juga masih tak habis pikir dengan misi ini. Tapi menurutnya sangat wajar. Mereka akan berhadapan dengan organisasi gelap yang selama ini kerap membantu orang-orang yang mereka incar. Tentu sudah sangat familiar dengan kapten tempur yang sering berhadapan dengan mereka. Ya tentu saja Mario. Tapi mereka bertemu lelaki itu baru setahun belakangan. Tahun-tahun sebelumnya bukan lelaki itu. Entah mungkin cara kerja mereka adalah dengan dirotasi atau semacamnya, ia juga tak paham. Yang kelas, fakta ini cukup menarik. Dan beberapa tahun belakangan misi yang dihadapi semakin serius dan tentu saja membahayakan. Namun ia tak turun sebanyak Ferril dan Ardan. Tentu ada Farrel juga di belakangnya. Semantara Agha baru mulai aktif lagi semenjak liburan. Karena kuliah yang memang lebih utama. "Kuliah lo gimana?" Obrolan ringan pun mengalir. Selain urusan perempuan, urusan kuliah juga penting untuk dibicarakan. "Ya ngurus BEM, kuliah dua matkul sama persiapan skripsi." Ando mengangguk-angguk. "Yang itu ada perkembangan?" Ia terkekeh. Ya tentu saja ia tahu siapa yang dimaksud. Kabarnya bahkan sudah tersebar di kalangan opa bahkan masuk ke telinga opa. Entah mungkin mendengar dari ummi atau abinya atau mungkin dari sepupunya, ia juga tak tahu. Yang jelas beritanya memang sudah sampai dan ia bahkan tak bisa menyangkalnya. "Cuma temen, bang." "Tapi gak bisa lupain ya?" Ia terkekeh. "Opa sempat nanya." Aaah berarti opanya juga pasti tahu dari lelaki di sebelahnya ini. "Ya opa mastiin aja, sejauh apa hubungan itu. Gimana perasaan lo. Masih bisa kendaliin atau enggak. Karena kan nafsu itu ngeri, Gha." Ia juga sudah pernah mengalaminya dan tak mudah. Opa tentu takut kalau cucunya terjerumus. Tak ada yang tahu kan yang namanya iman? Karena iman itu naik-turun. Tidak selalu menetap pada satu garis. Begitu pula dengannya yang kerap mengalami hal itu. Sebagai manusia, siapapun pasti berusaha untuk terus menjadi yang terbaik. Tapi godaan setan juga sangat berat. Walau itu bukan lah alasan. Karena ada kemauan pasti akan ada jalan. Orang lain mungkin mudah mengatakannya. Tapi kalau menjalani? Belum tentu juga kan. "Lo ada niat nikah?" Agha terkekeh. Ya niat menikah ketika usia mnya menginjak 20 tahun. Ia mengatakan itu waktu masih kecil dulu. Betapa polosnya mimpinya kala itu. Kalau sekarang? "Belum tahu, bang." Ando mengangguk-angguk. Agha sebetulnya masih ingin menikmati masa muda. Tapi memang membuat was-was juga. "Terbang sekarang." Itu suara perintah dari Farrel. Berarti mereka harus mengejar Ferril kalau sudah diberitahu begini. Ando memastikan dulu jalur udara dengan mengirimkan sinyal untuk terbang. Respon ATC khusus mobil terbang ternyata begitu cepat. Ando mempeecepat laju mobil Agha kemudian masuk ke jalur lain sehingga dapat menaikkan mobilnya ke udara secara perlahan. Ketika mobil naik ke atas, sayap sudah berkibar dan konstruksi belakangnya sudah berubah. Dengan perlahan, ban mobil seolah disembunyikan dan posisi mobil masih menukik hingg tiba di ketinggian tertentu. Hingga akhirnya bisa mulai mendatar dan berjalan selayaknya mobil berada di atas jalan raya di bawah sana. Bagian menakjubkannya adalah melihat mobil-mobil terbang di sekitar. Terkadang dari kejauhan juga melihat pesawat yang sedang menukik naik atau menukik turun. Dengan mobil terbang harusnya lebih aman. Karena apa? Karena jumlahnya tak begitu banyak. Sekarang jalurnya bahkan cukup sepi dan tersedia dalam berbagai ketinggian. Ya tentu saja tak akan setinggi pesawat yang bahkan mencapai ribuan kaki. Tapi untuk saat ini, mobil terbang yang berkembang masih sebatas mobil-mobil kecil yang hanya bisa menampung paling banyak lima orang. Makanya tim mereka di dalam satu mobil tak akan lebih dari itu. Karena pertimbangan ini. Jika terjadi suatu hal yang mendesak, mereka bisa naik ke atas. Beberapa bulan lalu, Ando bersama Adit dan Ardan juga sempat kejar-kejaran dari Blackphanter. Karena tak mau membawa masalah, mereka kabur. Ya tentu saja atas perintah Farrel. Mereka naik ke atas setelah mendapatkan izin. Hasilnya? Tentu saja berhasil kabur karena organisasi gelap tak bisa memdapatkan izin untuk melakukan penerbangan dengan status ilegal. Hanya kendaraan yang terdaftar pada situ negara yang bisa melakukannya. Lantas bagaimana kalau disabotase? Mungkin mobilnya digunakan oleh organisasi gelap tapi pemiliknya adalah sah? Tidak akan bisa. Karena kamera pengonfirmasi. Para petugas akan memeriksa wajah dengan pemilik mobil. Itu artinya pemilik mobil harus ada di dalam mobil itu. Pemindaian kamera berlangsung dengan sangat cepat. Bahkan sampai analisis psikologi untuk mengecek apakah sang pemilik dalam keadaan terancam? Atau mungkin sakit? Atau yaa sesuatu yang membahayakan nyawa. Kalau keadaannya benar-benar baik seperti Agha, maka bisa. Dan masih ada beberapa sistem lain yang terintegrasi untuk mengurangi resiko sabotase. Pernah juga terjadi kecelakaan. Beberapa mobil bertubrukan karena sistem ATC yang waktu itu terganggu. Alhasil? Ya tewas karena sudah dipastikan jatuh. Waktu itu jatuh di atas sungai yang melintasi Jakarta hingga Bogor. Pernah juga jatuh di atas jalan raya yang tentu saja memakan korban jiwa lagi. "Entah kenapa, gue tegang, bang." Ando tertawa. Orang yang harusnya tegang tentu saja Ferril. Tapi sejujurnya bukan hanya Agha yang merasakan itu. Ia juga sama tegangnya dengan Agha. Karena perjalanan kali ini rasanya seperti sangat panjang. Terlebih, mereka benar-benar tak tahu apa yang mungkin akan terjadi atau apa yang akan dihadapi. Hanya bisa berdoa. Tak ada cara lain yang lebih manjur. Agha bahkan tak pernah membayangkan kalau mereka akan berhadapan dengan situasi ini sampai harus meninggalkan banyak hal. Ya apa boleh buat lah. Memang tak ada jalan lain untuk saat ini. "Turun sekarang." Artinya mereka akan segera tiba. Ando kembali menghubungi petugas untuk melapor perjalanannya. Mereka diperkenankan untuk mengambil beberapa jalur dan petugas biasanya pasti akan memantau. Kini ia diperkenankan untuk turun secara perlahan. Begitu jalan di darat agak sepi, ia boleh mendarat dengan pelan. Ia mengikuti instruksi itu hingga akhirnya benar-benar turun. "Kita ke mana, bang?" Suasana memang berubah serius dan tegang. Agha telah menghabiskan belkanya sejak tadi. Ia juga selesai meminum air. Kini kembali fokus pada jalanan. Tampak di depan sana mobil milik Adit. Ia tentu saja sudah hapal. "Ikuti aja dulu mobil depan." Ya maksud Farrel pasti mobilnya Adit. Jadi mereka bergerak santai. Setidaknya sudah bergabung dengan tim. Mobil Ferril tentu saja sudah bergerak lebih jauh di depan sana. @@@ Janji loh, maaas. Jangan batalin lagi loh. Udah dua kali. Awas ya kalo sampe yang ketiga juga batal! Ia tersenyum kecil. Ya tentu saja ia ingat akan janjinya. Mereka berencana ke dufan bukan? Jadi kini ia sedang menyusun beberapa baju ke dalam tas. Ia berencana menginap di rumah di mana ada Maira dan Ayahnya yang tentu saja meninggalkan Shinta. Perempuan itu tak akan ikut. Kalau pun diajak, pasti tak akan mau. Dan lagi, Rangga juga tak mau menganggu mood adiknya. Maira memang belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran Shinta sebagai istrinya. Rangga menganggap itu sebagai sebuah kewajaran. Karena pasti tak mudah. Walau adiknya mungkin akan tetap bersikap baik pada Shinta. Shinta? Ketika ia baru hendak pergi, perempuan itu muncul. "Mas mau menginap di rumah ayah." Ya setidaknya ahrus tetap ada basa-basi meski ia juga tak paham dengan status pernikahan ini. Ia merasa berat untuk menjalani tapi kalau bukan karena harus melindungi gadis ini dan juga memecahkan kasus yang ada, seharusnya ia tak perlu sampai melakukan ini bukan? Ia bisa melamar gadis lain yang juga ia sukai. Tapi ya sudah lah. Percuma juga kalau membahas masa lalu. "Mas bahkan gak berbasa-basi sama sekali untuk ajak aku ikut menginap yaa?" tukasnya. Ia tahu kalau seharusnya ia memang sadar diri. Namun ia merasa kalau Rangga juga tak ada niatan untuk yaa setidaknya seperti kata-katanya. Sedikit berbasa-basi untuk mengajak meski akhirnya ia akan tetap menolak karena faktor ketidaknyamanan. Dan Rangga bahkan tak memberikan jawaban. Lelaki itu tetap melangkah. Shinta membalik badan dan menatapnya dengan kesal. "Memang ya yang namanya cinta karena terbiasa itu hanya ada di dalam n****+-n****+. Gak akan pernah terjadi di dunia nyata. Dan perempuan-perempuan buruk dan hina seperti Shinta ini gak akan pernah bisa bersanding dengan lelaki baik dan sesempurna Mas, ya kan?" Rangga terperangan sesaat. Ia akhirnya membalikkan badan. Baginya, ia tak merasa sempura. "Apa maksudmu? Kamu kenapa bicara begitu?" Ia menghembuskan nafas kemudian berjalan menuju dapur sembari membawa beberapa cemilan yang hendak ia masak. Ya dari pada ia mengusik Rangga lebih baik menyibukkan diri dengan hal lain bukan? Hanya makan hati pada akhirnya. Dan ia juga tak akan mendapatkan apa-apa. "Mas bahkan gak bertanya kan gimana aku bisa bertahan di sini selama beberapa hari ini? Mas gak tahu kan? Padahal aku terus diteror oleh mereka, mas!" Mata Rangga tentu saja terbelalak. Kenapa tak bilang? "Mereka menerormu? Kapan terjadi?" Shinta ingin tertawa tapi alhasil ia hanya mendengus. Ya untuk apa Rangga perduli tentang apa yang ia alami kecuali jika membutuhkan suatu informasi. Akhir-akhir ini ia merasa diabaikan Rangga, ya ia tahu kalau Rangga pasti sibuk mengurusnya juga. Tapi lihat lah sekarang, bahkan lelaki itu mau pergi bersama keluarganya. Ya ia juga tahu kalau mereka memang tidak senormal pasangan suami-istri lainnya. Ia memang terlalu berharap dan berekspektasi tinggi. Yang tentu saja sudah ingin merencanakan hal-hal lain untuk menahan lelaki ini. Ia tahu kelemahan Rangga adalah hatinya. Ia bisa menggunakan itu untuk mempertahankan rumah tangga ini jika memang ada keajaiban. Ia bisa bebas dan kasus ini berjalan dengan harapan mereka. Wakau itu juga hampir mustahil. Tapi setidaknya ia memiliki harapan itu pada Rangga. Tanpa bermaksud untuk menipunya juga. Karena ia memang ada hati pada lelaki ini sejak awal. "Lalu kenapa kamu tidak diam saja?" Ia ingin tertawa mendengarnya. "Bagaimana caranya?" ia bertanya dengan tatapan sanksi. "Mas, jadwal Shinta itu gak pernah kosong. Bagaimana mungkin Shinta bisa bertahan terus di sini dan hanya diam di rumah? Sedangkan mereka juga akan terus mengejar Shinta, nongkrong di jalan. Lalu mengancam Shinta. Mas pikir Shinta gak gila?" ie menghembuskan nafas. Saking lelahnya dengan keadaan ini. "Shinta capek dan juga takut, mas." "Rumah ini aman, Shin." Ia ingin tertawa lagi. Sementara Rangga berbicara senhan serius. Shinta tetap tak percaya karena ia tahu bagaimana anak buah Abdi Negoro Group bergerak. Mereka sangat gesit. Kalau terjadi sesuatu dengannya ketika berada di dalam rumah ini bagaimana? Lalu sekarang? Rangga malah mau pergi. Masih bisa pergi disaat genting dan ia sangat membutuhkan kehadirannya? Ia bisa gila juga. "Kamu tahu resikonya sejak awal, Shin," ucapnya. Ia mengingatkan kalau ini adalah resiko Shinta bekerja dengan tidak jujur bukan? Memangnya kenapa kalau karirnya tampak stuck? Apakah itu buruk? Selama sudah maksimal melakukannya dan dilakukan dengan cara yang jujur maka seharusnya tak menjadi masalah bukan? Lagi pula untuk apa juga jika dilakukan dengan cara yang curang? Apakah hasilnya akan membanggakan? Dengan uang haram? Rangga menyangsikan itu. Dan kini Shinta agak tersinggung dengan kata-katanya. Ya tentu saja ia tahu ke arah mana pembicaraan Rangga. Walau mungkin tak bermaksud menyinggung. Ini memamg resikonya. Dan salahnya karena malah asyik bermain-main dengan nyawanya sendiri. Ia tak akan pernah bisa keluar. Ia tak akan pernah bisa berhenti. Ia akan terus dimanfaatkan. Entah sampai kapan. Tak tahu kan? Ya. Dan ia benar-benar menyesali. Karena pada akhirnya, ia kehilangan semua hal baik di dalam hidupnya. Kesenangan akan uang dan karirnya ternyata hanya sesaat. Kini siapapun memandang rendahnya. Ia saja yang berusaha meninggikan diri sendiri. Tapi ia tahu kalau ia tak akan pernah bisa tinggi. Sebab ia lah yang merendahkan dirinya sendiri sejak awal. "Lalu Mas ingin lepas tangan karena hal itu?" Ia sudah hampir menangis ketika mengatakan itu. Rangga menarik nafas dalam. Oke, ia salah melempar pernyataan itu walau memang kenyataannya begitu. Ia tak bermaksud begitu. Maka itu ia meminta maaf. "Oke, kalau begitu kenapa mas gak ajukan saja perceraian? Toh sejak awal, Mas juga tak menginginkan pernikahan ini kan?" Ia marah dengan air mata yang hampir lepas dan karena takut tumpah, ia segera masuk ke dalam kamar. Tak mau melanjutkan keributan itu. Sementara Rangga menghembus nafas. Ia merasa bersalah. Tapi ia tak bisa ingkar pada janji yang telah ia buat pada Maira. "Sorry. Aku tetap pergi. Baik-baik di rumah." Ia tetap berangkat kali ini. Kali ini benar-benar harus menepati janjinya. Karena ia sudah beberapa kali membatalkan janji ini dua minggu kemarin pada Maira. Ya harusnya sudah dua minggu yang lalu. Tapi gagal. Lalu harusnya berangkat minggu kemarin. Yaa gagal lagi. Kenapa? Ibunya menyuruhnya pulang sebentar ke Jogja. Hanya untuk menceraikan Shinta setelah semua urusan selesai. Karena ibunya pun merasa jijik dengan perempuan itu. Ia tahu. "Ya, bu." "Harus janji, mas. Jangan tertipu sama kata-katanya dan rayuan keluarganya." Ia tahu. Kini ia sudah mengendarai mobil menuju ke rumah. Menginap semalam dan besok akan berangkat pagi-pagi memuju Dufan. Ia menarik nafas dalam. Mencoba melepaskan bebannya dulu. Setidaknya untuk sesaat. Ia ingin terbebas dan hanya ingin bersenang-senang dengan keluarganya. Lantas Shinta apa? Bukan keluarga? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD