Sebuah Permintaan

2202 Words
"Incaran mereka sejak mengenal keluarga Bang Rangga hanya lah Maira. Lo tahu kan apa yang harus dilakukan, Gha?" Agha mengangguk-anggukan kepalanya. Tentu saja dan ini juga yang membuatnya was-was. Walau sejauh ini Maira dan ayahnya masih baik-baik saja. "Kemungkinan terburuk...." "Jangan ngomong kemungkinan terburuk dulu, Gha. Kita bisa handel semuanya." Agha menarik nafas dalam. Ia mencoba yakin. "Ya, bang." Haaaaah. Kini Agha menggalau di depan setiran mobil. Ia semakin cemas hingga akhirnya ia menghubungi Rangga. "Assalamualaikum, Bang." "Waalaikumsalam. Ada apa, Gha?" Itu adalah sapaan khas Rangga. Agha tentu bertanya di mana keberadaan Rangga. Ia ingin menemui cowok itu. Maka jadi lah Agha berangkat menuju kantor Rangga. Ia sudah sering ke sana. Meski akhir-akhir ini jarang sekali. Dan pembicaraan yang teramat serius pun terjadi. "Apa Mai hanya sekedar teman, sampai kamu begitu khawatir?" Ya Rangga tentu mengorek sesuatu. Ia tahu kalau Ferril dan yang lain pasti rela membantu dengan ikhlas. Ya Agha juga begitu. Namun Agha terlalu berbeda. Apalagi ayahnya juga pernah bercerita soal keberadaan beberapa lelaki di sekitar Maira termasuk Agha. Adakah sesuatu yang spesial? Itu yang ingin ia cari. Walau tampaknya Agha tak ingin jujur. Ya mana mungkin Agha mengatakannya segamblang itu? Ia takut kalau kabar ini sampai terdengar pada Maira dan akhirnya merenggangkan hubungan mereka. Ia hanya ingin menjaga hubungan baik. Ya setidaknya sampai saat ini. Nanti akan ia pikirkan lagi. "Mai itu sahabat baik saya, Bang. Sudah seperti keluarga sendiri. Begitu juga dengan Abang." Rangga mengangguk-angguk. Ia menahan senyumnya. Ia tahu sih kenapa Agha masih bungkam. Karena memang saat ini, posisinya hanya sebagai sahabat dari Maira. Tak bisa lebih dari itu. Rangga juga tahu siapa yang lebih disukai Maira kan? Jadi dengan pertimbangan banyak hal, Agha hanya bisa mengucapkan itu. Cowok itu tak ingin mengatakan lebih. Untuk sesuatu yang tidak pasti seperti ini dan tak mau merusak apa yang telah ada. "Saya minta tolong kalau begitu. Rasa-rasanya dari sekian banyak temannya Mai, cuma kamu yang bisa bantu persoalan ini. Gak keberatan kan, Gha? Jagain Mai?" Itu adalah permintaan yang sangat penting. Permintaan yang tak mungkin ia tolak bukan? Walau tanpa diminta pun, ia sungguh akan tetap melakukannya. "Ya, bang." Ia mengucapkan itu dengan sepenuh hati. @@@ Dari pagi acara sudah dibuka dengan semangat oleh Agha. Lalu sempat istirahat dua jam dari jam sebelas hingga jam satu siang menilik hari Jumat tentu perlu solat jumat. Terutama bagi para lelaki. Tapi omong-omong, Agha belum melihat Maira lagi sejak tadi. Padahal tadi setahunya, Maira ikut Bani untuk mengambil makan siang. Sekarang makan siangnya sudah tersedia. Ia celingak-celinguk. Della yang iseng dan tahu siapa yang dicarinya.... "Balik ke rumah," tukasnya. Padahal Agha bahkan tak bertanya. Saat Agha menoleh ke arahnya dengan kerutan di dahi, Della tertawa. Agha terheran-heran bagaimana Della bisa membaca isi pikirannya? Hohoho. Padahal itu sungguh terlihat saat jelas. Berbeda dengan dulu. Kalau sekarang, Agha memang terlalu transparan. Bahkan mungkin terlalu terang-terangan. "Ya ampun, Gha. Kelihatan banget kali," tambahnya yang membuat Agha menggaruk tengkuk. Bahkan terbaca jelas oleh Della. Gadis itu geleng-geleng kepala. Tadi Maira memang sudah datang lalu langsung ikut Bani. Kemudian malah melipir ke rumah untuk mengambil baju. Ia lupa kalau harus menginap di kampus karena acaranya kan sampai besok pagi. Makanya tadi ia balik ke rumah. Sekarang sudah dalam perjalanan lagi menuju kampus. Tentunya dengan naik commuterline. "Udah sono jumatan. Entar juga balik lagi si Mai!" titahnya sambil geleng-geleng kepala. Ya Agha langsung menyusul teman-teman lain. Mereka berangkat dengan mobil menuju masjid kampus untuk solat jumat. Begitu mobilnya menghilang, para cewek yang sedang sibuk makan kembali bergosip ria membicarakannya. Ayu justru memincingkan mata pada salah satu cewek tercantik yang sedari awal acara sering mengacungkan tangannya, untuk bertanya banyak hal. Apalagi tadi saat Agha yang membuka sambutan. Uurrgghh! Ya-ya ia tahu kalau banyak cewek yang sudah tertarik untuk mendekati Agha. Yang padtinya mencari perhatian lelaki itu. Dan itu membuatnya tak rela. Ya menurutnya dari pada dengan yang lain, lebih baik Agha dengan Maira. Karena ia telah mengenal sosok Maira yang tidak pernah membicarakan hal-hal yang berbau gosip. Kalau ada yang bergosip ria, biasanya ia atau Della yang memimpin. Maira paling hanya terkekeh-kekeh saja. Saat jam istirahat tiba tepat jam sebelas siang tadi pun, Ayu sempat melihat cewek itu mendekati Agha, memperkenalkan diri dan mengajak Agha mengobrol. Lantas apakah Agha merespon? Tentu saja. Agha kan memang ramah. Ia mana berpikir kalau beberapa perempuan sengaja mendekatinya karena tertarik padanya? "Mendingan sama Mai deh," tukasnya begitu berdiri di sebelah Della untuk mengambil makanan jatahnya. Ia juga bergabung dengan para panitia lain. Tentunya yang tersisa di sini hanya para perempuan. Ia terlalu banyak memperhatikan para anggota baru dan juga menilainya. Ya tak ada maksud apa-apa selain karena dongkol. Rata-rata cewek di sana membicarakan Agha. Ia jadi panas hati. Della terkekeh. "Lo kenapa sih?" Ayu menunjuk Prisa dengan dagunya. Cewek yang sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya itu memang menyita perhatian. Ya para cowok tentunya langsung tertarik sejak awal melihat kemunculannya. Ayu tidak iri dengan hal semacam itu. Ia hanya tidak suka karena gadis itu tampaknya menyukai Agha. Caranya mendekati juga terlalu kentara. Mungkin seperti mengingatkannya pada sosok dirinya dulu waktu awal-awal mengenal Agha? Hahaha. Tapi kenapa ia marah? Ya masih ada rasa cemburu. Namun sekarang lebih berbeda. Alih-alih ingin Agha bersamanya, ia justru ingin agar Agha bersama Maira. Karena menurutnya ya pasangan untuk Agha yang tepat saat ini hanya lah Maira. Tak ada lagi yang lain. Dan oh please, ia benar-benar tak rela jika Agha bersamanya. Ia memang tak suka cewek centil, agresif yang ditutupi sikap malu-malu, dan juga si caper alias tukang cari perhatian. Upps! Ia jahat sekali ya? Ayu hanya jujur. Ia berkesimpulan seperti itu karena menangkap semua aksi Prisa hari ini. Ya walau cowok-cowok lain tampaknya senang-senang saja melihat kehadirannya. Karena bagi mereka memamg cantik sekali. Ayu juga tak bisa menyangkal itu bukan? "Oooh. Naksir Agha kayaknya ya? Gue denger sih beberapa kali, dia sama teman-temannya bisik-bisik gitu tiap ada Agha di sepanjang acara tadi." Amanda dan Rista ikut mengangguk-angguk. Para panitia lain juga membicarakan hal ini. Ya memang hal lumrah. Agha memang mudah untuk disukai karena sosok gantengnya kan ya? Ya wajar. "Wajar lah. Siapa sih yang gak naksir Agha?" "Lumrah sih lumrah. Tapi dia itu bahkan baru akan pelatihan hari ini loh. Besok baru diresmiin jadi anggota. Tapi tingkahnya udah kelihatan banget." Rista, Amanda, dan Della tergelak mendengar nyinyiran itu. Ya mereka memang sudah hapal mulut Ayu. Gadis itu memang begitu. Apalagi kalau tidak suka dengan seseorang. Uurggh! Rasa-rasanya semua cewek juga akan begitu. "Biarin aja lah. Belum tentu Agha naksir balik kali. Tahu sendiri, siapa yang disukai sama Agha. Ya gak?" Yang lain mengangguk-angguk. Mereka percaya kalau Agha tak akan mudah berpaling hanya karena ada perempuan lain yang cantik. Yang tidak hanya fisiknya tapi juga hatinya. "Kalo dibandingin sama Mai ya gak bisa lah. Cowok-cowok di sini juga bakal setuju." Della mengangguk-angguk. Ya-ya. Ia juga setuju. Mencari yang seperti Maira memang sangat susah. Mungkin satu banding seribu atau sejuta? Ah entah lah. Tak ada yang bisa menghitungnya karena mencari yang satu saja sangat sulit. Sementara itu, ada lagi satu perempuan yang juga cemburu sama seperti Ayu. Ia juga sudah memerhatikan tingkah Prisa yang sudah bergerak sejak awal untuk mendekati Agha. Lah ia? Bahkan terlalu malu untuk sekedar menatap. "Cantik ya?" Teman-teman yang berada di dekatnya malah tak berhenti membicarakan sosok Prisa. Si anak Hukum yang dalam jam-jam pertama, namanya sudah dikenal oleh seluruh calon anggota BEM dan juga para panitia. Eh ada sih yang tak kenal dan tak perduli. Siapa? Amri. Hahaha. Cowok itu memang tidak tertarik pada perempuan untuk saat ini. Ia lebih memikirkan urusan masyarakat secara luas alih-alih memikirkan per individu. "Katanya anak pejabat ya?" Mereka berbisik-bisik. "Bukannya konglomerat gitu?" Yang lain saling bersitatap. Ada yang mengendikan bahu. Mereka juga tak tahu yang mana yang benar. "Ya intinya anak orang kaya kan?" Yang lain mengangguk-angguk. Dari tampilan gadis itu yang begitu modis, kulit putihnya yang bersinar, dan barang-barang yang dikenakan juga sudah menunjukkan level sosial-ekonomi yang berbeda dari mereka yang duduk berkeliling ini. Rata-rata merupakan anak rantau yang mendapat beasiswa dari pemerintah. Lalu gadis yang tadi kini menatap ke arah Prisa yang tertawa bersama teman-temannya. Ya pikirnya. Kalau pun gadis itu mengincar sang ketua BEM, akan cocok sekali. Karena setelah ia mencari banyak informasi, lelaki itu merupakan cucu konglomerat kaya dan hanya ditunjukkan dari nama belakangnya, Adhiyaksa. @@@ Jam setengah dua siang, acara kembali dimulai. Panitia mulai sibuk lagi. Agha justru sibuk mencari seseorang. Ia heran karena Maira belum juga kembali. Bukan kan dari Pasar Minggu ke Depok begitu dekat? Ingin bertanya tapi bertanya pada siapa? Hahaha. Rasanya terlalu malu karena tadi juga sudah ketahuan oleh Della. Kini para teman-temannya juga sudah sibuk. Tak ada yang mengingat Maira karena saking sibuknya. Hanya Agha yang memang pikirannya tak pernah lepas dari Maira. Lantas ke mana Maira? Lalu harus kah ia bertanya langsung pada orangnya? Hahaha. Entah kenapa, ketika ide ini terlintas, ia justru grogi memikirkannya. Ia menggaruk tengkuknya. Mendadak malu sendiri. Lalu di mana kah Maira sebetulnya? Gadis itu melanjutkan tidurnya di commuterline. Hahaha. Sungguh nyenyak sekali. Ia benar-benar kurang tidur gara-gara video call bersama Hanafi. Bahkan commuterline yang ia tumpangi sudah hampir sampai di Bogor. Penumpang tentu masih banyak tapi memang tak sebanyak yang tadi saat ia naik dari Stasiun Pasar Minggu. Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang. Ketika akhirnya comnuterline tiba di Bogor, ia yang belum juga terbangun pun dibangunkan oleh petugas perempuan yang memang sejak tadi berdiri di gerbong khusus perempuan. Ya kan semua penumpang harus turun karena ini adalah pemberhentian terakhir. "Mbak udah sampai di Bogor," begitu katanya. Maira masih hah-huh-hah-huh. Meski sudah membuka mata. Bahkan ia berdiri lalu meraba-raba bagian atas untuk mengambil beberapa barang, ia masih belum menyadari kalau ini bukan lah tujuannya. Begitu keluar dari gerbong, ia terbengong-bengong. Ini bukan Stasiun Pondok Cina atau UI yang biasanya menjadi tempat ia turun. Begitu melihat sekeliling dan menyadari keanehan ini, ia malah tertawa sendiri. Astagaaaa! "Mai! Mai!" pujinya pada diri sendiri. Ia menepuk kening. Begitu teledor. Ya kalau tidak ceroboh atau teledor begini memang bukan Maira. Alih-alih naik kereta lagi menuju Depok, ia justru mampir di salah satu resto donat untuk menikmati makanan manis di sana. Ya kan dari pada ia berangkat dengan perut kosong lebih baik ia menepi sejenak. Toh ia memang tak bertugas apa-apa di acara kali ini. Semua orang memaklumi. Ia bahkan jarang bisa ikut rapat karena sering bentrok dengan jam kantor. Ia melirik jam sembari menatap dua donat di atas piring. Tentunya ditemani secangkir kopi juga. Sudah jam satu siang. Ia geleng-geleng kepala. Ya paling ia sampai di sana sekitar jam dua siang. Tak masalah, pikirnya. Mau tidur di sana dijam-jam seperti itu pasti tak akan bisa. Karena banyak yang hilir mudik. Ia takut terjadi sesuatu selama ia tidur. Apa? Beler, misalnya. Hahaha. Kan malu. Dan mengingat soal beler ini, ia segera mengeluarkan ponselnya untuk membuka kamera dan mengecek sudut-sudut bibirnya. Tadi ia langsung keluar begitu saja dan tak sempat memeriksa apapun lagi. Ia menghela nafas lega begitu memastikan tak ada beleran di sana. Kemudian dengan segera menyantap donatnya sembari membuka ponsel. Tak lama, muncul pesan dari Agha. Agha menimbang-nimbang apakah harus bertanya keberadaannya atau tidak. Hahaha. Akhirnya bertanya juga. Ia terlalu lama berpikir padahal apa susahnya melakukan itu? Mai, di mana? Ia mencuci tangannya dulu setelah makan donat. Baru membalas pesan Agha. Kalau sudah dicari bos begini, berarti ketidakberadaannya sudah mulai terdeteksi. Berhubung tak enak hati, ia buru-buru berangkat dan naik ke commuterline. Lalu apa yang ia balas pada Agha? Di jalan, Gha. Bentar lagi sampe kok. Hahaha. Ia ingin tertawa sendiri. Lalu geleng-geleng kepala. Sejak kapan Maira bisa berbohong? Ya sebentar lagi itu sekitar empat puluh menit lagi kalau perjalanannya lancar. Ia naik commuterline yang jadwal keberangkatannya paling dekat. Lalu menyandarkan punggung dan berjanji tidak akan memejamkan mata kali ini. Karena bisa sampai Kota Tua kalau itu terjadi. Hahaha. Ia menahan tawa sendiri memikirkan kekonyolan ini. Bisa-bisanya ia tidur begitu pulas di kereta. Padahal tadi perjalanannya sebentar. Tapi itu efek karena ia mendapatkan bangku untuk duduk. Kalau sekarang? Ia juga duduk. Namun berusaha untuk tidak memejamkan mata atau ia akan bablas. Sementara Agha tampak menunggunya. Sesekali cowok itu melihat ke arah pintu ruang BEM. Ia masih berharap kalau Maira akan terlihat di sana. Tapi tentu saja perjalanan Maira masih jauh. Tiga puluh menit kemudian, gadis itu akhirnya tiba di Stasiun Pondok Cina. Agar cepat, ia menumpangi salah satu ojek. Kemudian bergerak menuju Pusgiwa. Suasana ramainya sudah terasa ketika ia baru saja turun dari motor abang ojek. Yang lebih lucu adalah wajah sumringah Agha yang melihat kemunculan Maira dari jauh. Hal yang langsung mengundang tawa Bani, Amri, Indra, dan Bary. "Cerah amat ini hari!" celetuk Bani. Mereka makin terpingkal. Agha menggaruk tengkuk. Terlalu malu. Ia benar-benar tak bisa mengelola perasaannya. Sementara Maira baru saja muncul dengan beberapa barang yang dibawanya. "Hujan juga jadi bahagia keknya, Ban!" Mereka terbahak lagi. Ya begini lah nasibnya kalau sudah diolok-olok oleh mereka. Hahaha. "Mai!" Bary iseng memanggil. Agha langsung gugup dibuatnya. Kepanikan di wajahnya benar-benar tak bisa dikontrol. Apalagi saat Maira menoleh ke arah mereka. Gadis itu bahkan masih mengantuk. "Kenapa?" "Enggak, Mai. Nanya aja. Lama amat datangnya. Kan kita pada kangen. Ya gak, Gha?" Itu adalah olokan terselubung yang semakin menimbulkan gelak tawa. Maira hanya geleng-geleng kepala. Tak ambil pusing. Gadis itu melanjutkan langkahnya lagi. Membiarkan Agha semakin salah tingkah sendiri. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD