Happy reading;)
Di sebuah klub yang sangat berisik. Katherine tampak menggerutu dengan menggebu-gebu, arah tengah menguasai hatinya, sedangkan kedua matanya terlihat merah membengkak akibat menangis.
"Berengsek! Dia bahkan tidak mengejarku!" geramnya sambil membanting gelas kecil berisi setengah minuman beralkohol di tangannya.
"Berisik!" Umpatnya kesal sendiri, menatap sekeliling pada orang-orang asing yang tengah sibuk dengan kegiatan unfaedahnya.
"Miss?" seorang bertender mendekat. "Sepertinya sudah mabuk berat, apa harusku panggilkan taksi?"
Kathrine malah bergumam tak jelas, wanita itu mengacak-acak rambutnya kasar, mendesis tak suka, kemudian menangis terisak, dan mengumpat kasar, terlihat sangat frustrasi sekali.
"Tidak perlu, biar aku saja yang mengurusnya." Sahut seorang pria tiba-tiba datang.
"Kau benar-benar berantakan, Kithy!" ucapnya lalu membopong wanita itu keluar dari klub.
Sampai di luar, seorang wanita yang tak lain Liza melihat Katherine yang tengah di bopong dalam keadaan mabuk langsung menghampiri.
"Katherine?"
"Siapa kau?" tanya si pria.
"Kau yang siapa? Kenapa adikku ada bersamamu dalam keadaan mabuk, kau tak melakukan hal macam-macam kan?!" Tuding Liza dengan kedua mata menyipit pada pria yang tengah mengendong adiknya itu.
.
"Aku bisa mati kalau berani menyentuhnya barang sedikit saja!“ Jawab pria itu malah sewot.
"Kau temannya?" tanya Liza kembali.
"Hm."
Liza mengangguk mengerti, saat dia akan meraih saudaranya itu, Katherine membuka matanya. "Ouh Lizana, kakakku!" seru Katherine girang menghambur ke pelukan sang kakak, tampak sekali wanita itu mabuk berat.
"Bisa tolong bawa adikku ke mobilku?" ucap Liza meminta tolong karena merasa kewalahan membopong sang adik terus berontak.
"Oke." Si pria menarik tubuh Katherine dari tubuh Lizana dan saat akan mengangkat tubuh semampai itu, tiba-tiba Katherine bereaksi.
Katherine menatap menyipit sosok pria di hadapannya, wanita itu merasa familiar. "Stefan?"
Dan—Katherine ingat, tentu saja, Pria di hadapannya ini adalah ...
"Bagaimana kau bisa? Kau memelukku. Owh aku selingkuh dari b******n itu, aku benar-benar -Mmp" Katherine tiba-tiba membekap mulutnya, Stefan yang mengerti wanita di gendongannya itu akan muntah langsung menurunkan Katherine dan mengelus punggung wanita itu.
Sedangkan Liza langsung kembali ke mobilnya untuk mengambil sebotol air minum, lalu membantu meminumkannya pada Katherine yang terlihat lemas setelah memuntahkan cairan dari perutnya.
"Kau benar-benar kacau sekali, apa karena b******n itu? Sudahku bilang dia itu berengsek, dia hanya mempermainkanmu!" ucap Stefan, nadanya terdengar kesal.
Tapi sepertinya Katherine tak menghiraukannya, karena kedua bola mata wanita itu langsung menutup— menyambut alam mimpi. Stefan langsung menggerutu dengan tingkah wanita yang baru satu tahun di pertemukan kembali dengannya itu.
"Bantu aku memindahkannya ke mobilku. " ucap Liza dan Stefan hanya mengangguk, dalam satu tarikan dia membopong tubuh ramping Katherine ke mobil Liza.
"Terima kasih. " ucap Liza.
Stefan mengangguk. Dan tanpa basa basi lagi Liza memasuki mobil dan menjalankan mobilnya meninggalkan Stefan yang menghela nafas.
"Sampai kapan kau akan terus di permainkan lelaki berengsek itu. " gumamnya lirik, lalu pergi dari sana.
***
Di lain tempat, kediaman Maxwell atau lebih tepatnya di ruang makan. Terlihat Andre dan Dyandra tengah menikmati sarapan dalam keheningan sampai suara dentingan yang di akibatkan dari tangan Dyandra terdengar.
"Ada apa?" tanya Andre menatap istrinya itu yang terlihat kesal.
"Kita serasa tidak mempunyai anak, mereka jarang sekali pulang terlebih Keniti. Aku ingin mansion ini di penuhi canda tawa dari anak-anak. " keluh Dyandra sendu.
"Mereka sudah dewasa dan mungkin pilihan yang mereka pilih tepat dengan kehidupan mereka." jawab Andre santai.
Dyandra kesal mendengar jawaban suaminya itu, apa pria tua ini tak merindukan keramaian beberapa tahun silam saat anak-anak mereka tengah asyik-asyiknya tumbuh.
"Kau tidak merindukan keramaian di rumah ini kembali, saat-saat kita waktu dulu mempunyai mereka yang masih kecil. " ucap Dyandra.
"Kalau kau ingin, aku bisa memberikannya," ucap Andre menatap Dyandra dengan seringai mesumnya.
Dyandra mendelik. "Buang pikiranmu itu, aku tak mau hamil di usia tua sudah cukup tiga, aku hanya ingin mempunyai cucu, bukan anak lagi!" ucapnya ketus.
Andre langsung terbahak mendengar komentar Istrinya itu. "Kenapa? toh sama saja kau menginginkan anak kecil. " ucap Andre, senyum mesumnya setia terpatri di kedua sudut bibirnya.
"Andre!!" pekik Dyandra yang seketika membuat tawa Andre pecah.
"Kita berdoa saja semoga harapan kita terkabul. " ucap Andre setelah tenang dengan tawa tertahannya.
"Semoga saja. Tapi kita perlu mempercepat pernikahan Kenzu. " ucap Dyandra membuat suaminya itu tersedak air minum yang baru akan di minumnya.
"Mempercepat? Maksudmu?" tanya Andre tak mengerti.
Dyandra tersenyum penuh arti. "Aku sudah mendapatkan Ibu dari cucuku, wanita itu sangat berbeda, kau juga pasti akan menyukainya, aku jamin itu."
"Aku jadi tak sabar melihat menantuku." sahut Andre tersenyum.
***
07.05 PM.
Stella mengerjapkan kedua matanya pelan saat sinar mentari pagi menyapa wajahnya, saat akan menggerakkan tubuhnya, wanita itu merasakan benda berat menindih pinggangnya dan semua terjawab saat kedua matanya mendapati sesosok pria tampan yang tampak terlelap di belakangnya.
Kenzu, ya pria itu tampak terlelap nyaman dengan memeluk Stella dari belakang.
Stella terdiam sesaat menatap wajah tampan di pagi hari itu. Dan mereka kembali tidur seranjang–tentu tanpa di ketahuinya dan tanpa ada apa-apa seperti malam itu.
Stella lalu menggeser tangan pria yang melilit pinggangnya itu dengan perlahan agar sang empu tidak terbangun, matanya terus memperhatikan Kenzu yang masih mengenakan pakaian semalam. Bukankah lelaki ini mempunyai tempat tinggal yang menyenangkan, tapi kenapa kesini? lebih memilih bersamanya? Dari pada rumah mewahnya.
Tapi Stella tak menghiraukan segala pertanyaan di kepalanya, wanita itu lebih memilih beranjak dari duduknya—meninggalkan Kenzu yang masih terlelap.
Stella berjalan menuju kamar mandi, Lalu menanggalkan pakaiannya satu persatu untuk melakukan ritual mandi wajibnya.
Beberapa menit kemudian, setelah selesai dengan ritual mandinya, Stella memakai jubah mandi dengan dalaman semalam yang kembali di kenalannya karena tidak ada pakaian ganti.
Dia menatap dirinya di cermin dengan intens, pandangannya terus turun pada tubuhnya yang tertutup jubah mandi, tangannya dengan perlahan terulur menyentuh leher ke dadanya yang masih tertinggal bercak-bercak merah akibat perbuatan pria itu, Pandangannya lalu teralih pada beberapa kosmetik, lalu mengambilnya dan mengoleskannya pada bercak-bercak di leher dan dadanya, sampai kemudian, gerakannya terhenti saat telinganya mendengar suara pintu terbuka, Stella langsung menaruh asal foundation itu dan membenarkan kembali jubah mandinya, saat berbalik ia mendapati Kenzu bersandar di pintu kamar mandi– memperhatikannya dengan alis terangkat.
"Kau sangat sexy." ucapan pertama yang keluar dari bibir pria itu membuat Stella was-was, terlebih saat melihat tatapan seribu makna yang di tunjukkan pria itu—membuatnya ingin kabur saja.
"Keluar!"
"Hm?" Kenzu hanya bergumam tak jelas dengan sebelah alis terangkat– sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman menggoda—mempermainkan kepanikan Stella.
"Ke-keluar! Demi tuhan, Aku belum selesai memakai pakaian!" Geram Stella menatap tajam tercampur kecemasan di mata indahnya yang malah membuat Kenzu gemas sendiri ingin terus menggoda.
Dengan langkah pelan nan tegas, Kenzu berjalan menghampiri Stella. "Memang kenapa, aku sudah melihat dan bahkan merasakannya!" Sahutnya dengan seringai mesumnya yang malah membuat Stella bergidik.
Langkahnya termundur otomatis saat pria itu terus melangkah mendekatinya, sampai tak ada lagi sisa ruang untuk dirinya mundur yang berakhir dirinya terpojok meja wastafel.
"Kenapa gugup sekali?" tanya Kenzu semakin menjadi, wajah tampannya mendekat pada wajah Stella yang otomatis bergerak mundur—Menghindar, tapi sayang dengan secepat kilat Kenzu menahannya dan kondisi jantung Stella yang semakin menggila di perparah tak kala tangan pria itu dengan lancang bergerak menyentuh kulit pipinya, mengusapnya lembut, dan terus merambat menuju rahang, kemudian lehernya—mengantarkan gelayar aneh pada sekujur tubuhnya.
Tangan Stella yang berpegangan pada wastafel perlahan bergerak menumpu pada salah satu tangan besar Kenzu yang memerangkap tubuhnya.
"Emm... Tuan." Lirihnya merasa risih.
"Kenzu... Namaku Kenzu, panggil aku Kenzu." Ucap Kenzu berbisik lirih dengan tatapan tak lepas dari mata indah Stella.
"Kenzu?" Beo Stella merasakan hal yang aneh pada tubuhnya saat pria bernama Kenzu itu terus mendesakkan diri padanya.
Stella sangat benci di sentuh pria, tapi kenapa tubuhnya tak bisa menolak saat bersentuhan dengan pria ini? Tidak seperti saat adiknya mencoba memperkosanya, dia akan sangat melawan adiknya sampai benar-benar terlepas dan tidak menyentuhnya.
Tapi Kenzu—Pria itu benar-benar membuatnya kehilangan reaksi tubuh untuk menghindar.
Cup
Dan tubuh Stella membeku seketika kala sebuah kecupan di rasakannya tepat di lehernya.
Di sela aktivitasnya Kenzu berbisik pelan. "Kenapa harus di tutup, aku tidak suka!" ucapnya dengan nada tak suka kentara dan tanpa di duga di detik selanjutnya pekikan ngilu lolos dari mulut Stella.
"Sempurna!"
Kenzu menatap puas karyanya yang tercetak jelas di leher wanita itu.
Tangan Stella terulur menyentuh dan mengelus area yang di gigit pria itu—sedikit nyut-nyutan.
"Apa sakit?" tanya Kenzu dengan raut tanpa dosa.
Stella mengangguk. "Kenapa kau melakukannya?" tanyanya kesal.
"Karena aku ingin." jawab Kenzu yang bagi Stella sangat menyebalkan.
Wanita itu tak lagi mengeluarkan suaranya, hanya menatap Kenzu dengan tatapan peringatan.
"Jangan hapus lagi atau aku akan membuatnya lagi. " bisik Kenzu dengan nada mengancam.
"And, satu lagi." Kata Kenzu ambigu di telinga Stella.
"Hah?"
Cup
Satu kecupan mampir di kening Stella yang langsung terpaku di tempatnya, sedangkan Kenzu hanya tersenyum–tampak menawan di wajah tampannya sebelum kemudian undur diri–meninggalkan wanita itu yang masih terpaku syok akan perbuatannya.
Mengulurkan tangannya pada keningnya yang telah di kecup oleh Kenzu. Pria itu kenapa? Dia mencium keningku dan kenapa juga jantungku malah berontak, terus berdebar dengan kencang.
Stella menggeleng-gelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran-pikiran sesatnya terhadap pria itu. Stella berbalik menghadap wastafel dan matanya terbelalak saat kembali mendapati bercak merah yang lebih kentara dari sebelumnya di lehernya.
Pria itu—Ish! Ini akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk hilang! gerutunya sambil menyentuh kulit lehernya yang terdapat bercak merah kentara hasil karya pria itu.
•••
Terima kasih telah membaca♡
Jaga kesehatannya ya di kondisi pandemi ini:)