Bagian 3

1502 Words
Ruang keluarga yang berbatasan langsung dengan kolam ikan itu tampak tenang, pun dengan meja rendah khas jepang yang dilengkapi dengan bantal duduk kecil disekelilingnya membuat susana terasa sangat nyaman. Antonia duduk dengan pamannya di sana. Terlihat begitu serius dibalik dinding kayu yang menyelimuti ruangan tersebut. Membuat siapa pun tak mamou untuk mengganggu perbincangan mereka berdua. "Kau tahu tentang e-mail yang pernah paman kirim kan kepadamu enam bulan yang lalu kan, Antonia?" Pria yang tampak lebih tua sejak terakhir kali Antonia jumpai itu menggeser sebuah kertas yang dikeluarkannya dari dalam tas kerja coklatnya. "Proyek penyelamatan manusia?" dahi Antonia berkerut kebingungan dan mulai muka lembaran demi lembaran kertas yang dipegangnya. "Apa ini sebenarnya?" perempuan itu kemudian mendongak untuk melihat pamannya. "Sebenarnya ini sudah cukup lama, bahkan sebelum keadaan di dunia menjadi kacau balau seperti ini. Para anggota perserikatan bangsa telah melakukan konferensi rahasia bersama seluruh kepala negara yang ada untuk membicarakan penyelamatan umat manusia karena memprediksi adanya kekacauan yang akan terjadi dalam beberapa tahun." "Mereka menyebut semua kejadian beruntun ini sebagai the ultimate havoc. Mulai dari pandemi yang menyebar di seluruh negara dengan jenis yang terus berevolusi —di saat yang lainnya bahkan belum menemukan solusi apapun seperti hari ini. Hingga kemudian berakhir kepada rusaknya sumber daya yang ada dan tidak dapat lagi digunakan oleh manusia." "Maksud mu dunia ini akan mati?" Antonia melebarkan matanya dengan menelan ludah susah payah. Membayangkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa terjadi. Seperti apa yang dia miliki saat ini akhirnya hilang, termasuk dengan bagaimana orang-orang yang harus dia jaga di sekelilingnya pergi meninggalkannya. "Mereka memprediksi kejadian tersebut berlangsung sekitar 5 sampai 6 tahun ke depan, kemudian berakhir dengan munculnya radiasi di seluruh negeri yang dapat mematikan manusia di permukaan. Mungkin juga semuanya bisa berlangsung sedikit lebih cepat." "Bagaimana bisa aku mempercayai paman?" Namun Antonia tentu saja meragu. Rasa-rasanya begitu tak rela dengan ucapan yang terdengar didramatirsir barusan. Entah apa dia harus mempercayai pamannya, atau berpura-pura tidak mendengarkan apapun setelah perbincangan ini. "Aku sudah cukup bersabar dengan beberapa perbuatan mu yang tak pernah diketahui oleh ayah selama ini. Jadi jangan lagi membuat ku semakin meremehkan diri mu." Antonia benar. Dia memang sulit dipercaya karena nyatanya Akira sendiri kerap kali bersikap tak mengetahui apapun di saat ada banyak hal yang lebih besar sedang dia lakukan di luar sana. Dan sialnya entah bagaimana keponakan perempuannya itu bisa selalu memergoki kegiatannya. Termasuk ketika dia bergabung ke dalam anggota yakuza secara diam-diam, hingga bermain ke dalam dunia bawah tanpa seorang pun tahu. "Kau bisa mempercayai aku kali ini, Antonia. Saat bergabung dengan dunia bawah aku mengetahui semuanya karena beberapa dari kami di utus untuk menjadi saksi dalam pilihan di ambil para pemimpin negara itu." Antonia hanya diam tidak bersuara. "Aku juga datang kemari bukan hanya untuk melihat ayah mu. Namun juga untuk meminta mu bergabung ke dalam team, Antonia." "Bergabung ke dalam team?" "Alasan paman memilih keluar dan tinggal di Australia adalah salah satunya disebabkan semua ini." Akira menarik buku tadi kemudian membuka sebuah bagian yang berisi ‘Plan Number 12’. "Apa ini sebenarnya? Maksud mu ada banyak rencana lainnya yang telah kalian siapkan di sini?" Antonia menatap Akira tidak percaya. "Ya." Akira mengangguk pelan, lalu menatap Antonia dengan sikap tenangnya. "Ada banyak. Bahkan ada ratusan rencana yang telah di susun rapi untuk kebaikan umat manusia." Salah satunya adalah ‘Plan Number 12’, di mana bab itu berisikan kalimat yang menjelaskan sebuah tempat yang akan menjadi rumah baru bagi manusia; Freeport. Papua. Indonesia. Akira menunjukkan tabletnya ke hadapan Antonia yang kemudian di buka gadis itu dengan gerakan cepat. Menggulir sebuah desain proyek yang begitu mendetail dengan perasaannya yang tidak dapat di definisikan. Di sana dapat terlihat ratusan lantai dan pasak tiang yang akan dikerjakan dengan menggunakan rangka baja tebal yang dapat menahan segala goncangan ataupun kejadian alam yang akan terjadi di atas permukaan. Sebuah brankas besi yang dapat di tinggali manusia. Sebuah bangunan dengan ribuan ruangan yang tidak dapat Antonia bayangkan bagaimana proses pembuatannya. Sebuah tempat yang di buat untuk menyelamatkan manusia. Tempat yang sebenar-benarnya kerap mereka sebut sebagai dunia bawah—dan hari ini Antonia dapat melihat langsung bagaimana dunia bawah yang sebenar-benarnya. "Apa yang sedang kalian kerjakan sebenarnya?" Antonia menatap Akira dengan tatapan tidak percaya. Membuat Akira tersenyum sedih melihat keponakannya tersebut. "Sulit untuk mengatakannya. Tapi ini lah salah satu cara kita bertahan. Dengan mempersiapkan semua yang terbaik untuk melawan alam yang sudah menyerah." "Bergabung lah, Antonia. Aku tahu kemampuan mu adalah salah satu yang terbaik. Kami membutuhkan banyak orang-orang hebat untuk masuk ke dalam team. Dan aku tidak bisa menempatkan orang lain di saat keponakan ku sendiri dapat memenuhi semua kriteria yang mereka inginkan." Saat itu hati Antonia di penuhi keraguan dan juga dilingkupi rasa penasaran. *** Dylan Calder turun dari pesawat pribadinya dan langsung memasuki mobil yang telah dipersiapkan untuknya tak berapa jauh melangkah. Beberapa pegawai bandara maupun orang-orang dari kantor cabang perusahaannya menyambut dan membukakan pintu untuk laki-laki itu. Membuat Dylan melebarkan senyumnya, kemudian masuk dan duduk tenang di dalam dengan pakaian resmi berupa jas hitam dan kemeja putih yang baru di gantinya sebelum pesawat mendarat. "Tuan Calder. Anda ingin di antarkan ke mana pagi ini?" pertanyaan dari asisten perusahaan cabangnya membuat Dylan yang masih sibuk dengan seluruh barang bawaannya menoleh sebentar untuk menjawab. "Bawa saja langsung ke tempat pertemuan. Sepertinya kita perlu berbicara dengan anggota team karena ada beberapa hal yang perlu kita perbaiki sebelum pertemuan di mulai." "Baik, kalau begitu kita akan segera sampai di sana sekitar 5 menit lagi." Mobil tersebut pun kemudian berjalan dengan cepat melintasi Tokyo. *** "Kalau aku mau. Apakah paman akan mengabulkan satu permintaan dari ku?" Dahi Akira berkerut samar. Di kepalanya penuh dengan pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya di inginkan keponakannya tersebut. "Tergantung." "Baiklah. Bagaimana dengan meminjamkan satu pasukan terbaik di kelompok mu jika aku membutuhkannya?" Akira mengusap dagunya pelan. Memikirkan matang-mata permintaan Antonia sebelum mengangguk pelan. "Deal. Kau bisa menghubungi ku kapan saja mengenai mereka." "Baiklah." Antonia kemudian tersenyum lebar. "Kalau begitu aku akan memikirkan semuanya terlebih dahulu." "Ah. Aku fikir kau sudah memutuskan untuk ikut." Antonia berdiri dari posisinya kemudian memberikan salam dengan sedikit merunduk kepada pamannya. "Aku perlu waktu untuk memikirkan—apakah ada alasan lain yang sedang paman sembunyikan untuk membawa ku bergabung ke dalam barisan itu. Tentu saja di antara kita tidak ada yang mau rugi." Setelahnya Antonia meninggalkan Akira yang masih duduk tenang di tempatnya. Meneguk secangkir teh di atas mejanya. *** Dylan keluar dari ruang pertemuan tersebut dengan senyuman merekah di bibirnya. Hari ini pertemuan mendadak yang dilakukan berakhir dengan baik untuk perusahaannya. Ya, saat masih berada di pesawat kliennya tiba-tiba saja menghubunginya dan meminta untuk bertemu karena mengetahui bahwa calon penerus perusahaan raksasa tersebut akan menuju ke Jepang sore kemaren. Dylan keluar dari hotel tempat pertemuan tersebut, kemudian berjalan menuju mobil yang telah disiapkan untuknya di depan loby. Pria itu memutuskan untuk mengendarai mobilnya sendiri dan menikmati waktu luangnya berkeliling Tokyo dengan diikuti sebuah mobil lain di belakangnya. Seperti yang sebelumnya Burke Calder minta, Dylan harus ditemani oleh bodyguardnya kemana pun pria itu pergi. "Aku akan ke kuil Meiji Jingu. Berjalan lah sedikit lebih jauh tanpa membuat keributan." Dylan menyampaikan tujuan wisatanya kepada bodyguardnya di belakang, yang di balas oleh keduanya dengan seruan patuh. *** Antonia mulai mengganti furisode yang selalu digunakannya di istana—dengan pakaian kasual yang selalu disukainya. Sebuah turtle neck cream dengan celana hitam dan boots kulit. Perempuan berdarah campuran Russia-Jepang itu pun membiarkan helaian rambutnya berkibar dan di bentuk ikal gantung. Sebelum menyapukan lip balm di bibir cherrynya yang terlihat kering. "Mau kemana lagi kau hari ini?" Sebuah suara di depan pintu kamarnya membuat Antonia melirik dengan helaan nafas malas. Dia berjalan menuju kasurnya dan mengambil jaket kulit hitam untuk dikenakan. Pun sebuah tas kamera yang dia sampirkan di pundaknya. "Kau tidak perlu tahu. Urusi saja urusan mu sendiri dengan baik, jadi kau tidak perlu menyusahkan orang lain lagi dengan semua masalah yang kau buat." "Oh, lihat lah tuan putri ini. Bersikap seolah-olah dia ratu yang dapat memerintah segalanya." Alessio memutar bola matanya jengkel. Masih berdiri di tulang pintu sambil melipat tangan di depan d**a. "Aku tidak perduli dengan omong kosong mu." Antonia berdiri di depan Alessio yang jauh lebih tinggi darinya dan mendorong kakak laki-lakinya itu agar menyingkir dari hadapannya. "Permisi, kau menghalangi jalan ku." Alessio terkekeh di tempatnya. Dia menoleh menatap Antonia yang sudah semakin menjauh dengan meneriakkan kalimat-kalimat yang membuat perempuan itu mengeram penuh kemarahan. "Walau bagaimana pun kau menolak kehadiran ku. Aku yang akan tetap menjadi rajanya, Antonia! Seorang anak perempuan hanya akan hidup untuk suaminya! Berhentilah bersikap superior dan merasa kau bisa menguasai dunia!" Antonia berbalik dengan raut dingin. Menatap Alessio dengan sorot mata penuh kebencian. "Aku tidak akan pernah membiarkan orang yang tidak punya rasa tanggung jawab seperti mu menduduki kursi ayah! Tidak akan pernah! Aku akan terus menghantui hidup mu, Alessio! Akan ku buktikan kepada mu kalau perempuan bahkan jauh lebih baik dan berguna daripada manusia sampah seperti mu!" Setelah mendengarkan ucapan adik satu-satunya itu yang memutuskan untuk benar-benar meninggalkannya, Alessio menutup mulutnya dan memasang wajah datar. Berpura-pura seperti tidak pernah mendengarkan kalimat—yang entah kenapa terasa sangat menyakitkan itu. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD