Part 4

1042 Words
"Diakah pria yang kamu cintai?" Tanya seseorang dengan lembut kepada Adhiti. Gadis itu sudah melukis lebih 3 sketsa wajah Albian. Saat ada yang menanyakan tentang pria yang dicintainya. Hati Adhiti menghangat. "Iya," kata Adhiti singkat. Wanita separuh baya itu menatap lembut ke arah Adhiti yang masih sibuk melukis. Dia tahu betapa lincahnya tangan Adhiti. Hasil lukisannya pun tidak diragukan lagi. "Aunty," kata Adhiti menghentikan pekerjaanya. "Hmm.." jawab wanita paruh baya itu. Walau sudah berumur, wanita yang berada di depan Adhiti masih terlihat cantik. Bukan saja memiliki wajah yang cantik. Dia juga begitu lembut. Sangat lembut dan punya sifat keibuan. "Jatuh cinta, dan menyatakan perasaan terlebih dahulu kepada pria. Apakah hal itu wajar?" Wanita itu mengangguk." Rasanya itu hal wajar. Itu bukanlah sesuatu hal yang aneh. Apalagi di zaman sekarang." Adhiti melanjutkan lukisannya. "Kenapa? Apakah kamu yang pertama menyatakan perasaanmu?" Adhiti tersenyum getir, lalu mengangguk pelan. Akan tetapi, tidak ada wajah gembira yang di pancarkan. "Dia menolaknya?" Adhiti menggeleng cepat." Tidak, setelah beberapa bulan berusaha. Dia menerimaku. Tapi....." "Tapi kenapa?" "Ternyata tidak berjalan baik," jawab Adhiti pelan. Lalu Adhiti tertawa sumbang." Sudah aunty... jangan dipikirkan. Mungkin perasaan Adhiti saja yang akhir akhir ini tidak stabil." Wanita itu hanya mengangguk sambil memandangi wajah Adhiti. "Tapi," lanjut Adhiti. Tiba tiba saja wajahnya berubah sedih lagi. "Aunty beruntung, paman Raga masih begitu mencintaimu. Walau aunty bukanlah cinta pertamanya. Walau perjalanan cinta kalian tidaklah mulus di awal. Bahkan aunty Embun dan paman berpisah hampir 20 tahun lamanya. Dia masih setia dan yakin, aunty akan kembali kepadanya."(silahkan baca cerita Embun. Judulnya "Sad Love Story) Tanpa sengaja air mata Adhiti mengenang di kelopak matanya. "Bahkan kisah cinta daddy dan mommy juga tidak kalah hebatnya. Puluhan tahun berlalu, tidak satupun wanita lain yang bisa menggantikan mommy." Adhiti menghela nafas panjang." Apakah kisah cintaku akan sama seperti aunty dan daddy?" Tanya Adhiti lirih. "Adhiti," ucap Embun lembun. Embun beranjak dari duduknya. Dia berjalan mengitari meja kerjanya. Mengelus pundak dan puncak kepala Adhiti. Adhiti menangis pilu dalam pelukan Embun. "Cintaku tidak pernah terbalas. Dia berubah setelah...." Sesegukan dari tenggorokan Adhiti, menghentikan perkataannya. Dia tidak mampu melanjutkan kalimatnya. "Aunty, apakah kisah cintaku tidak akan semanis kisah cintamu? Bukankah kita sama sama memiliki tanda di tubuh kita. Tanda yang selalu membuatku tidak percaya diri. Tapi paman Raga bisa menerima aunty. Sedangkan aku... aku ditinggal," Kening Embun berkerut mencoba memahami maksud ucapan Adhiti. "Adhiti kamu.." sahut Embun menatap lekat mata Adhiti. "Berat Aunty, benar benar berat jika nyatanya cinta itu hanya sepihak," *** "Jangan menghindari gua, Adhiti!" Ucap Shania keras di balik telpon. "Sudah berapa ratus ditelpon. Tidak sekalipun lu menjawab, bahkan semua pesan di sosial media gua tidak lu baca! Lu dimana?" Tanya Shania mendesak. "Maaf," kata Adhiti lesu. "Nanti, minta maafnya nanti saja. Gua perlu bertemu dengan lu. Sekarang lu dimana? Gua tidak berharap lu ada di rumah. Karena gua takut bertemu dengan abang lu," "Lagi di kampus, gua baru mau mengambil toga dan beberapa kepeluan untuk wisuda." "Tunggu gua di sana! Lu jangan kemana mana, gua dekat. Awas kalau lu kabur, nggak bakalan gua maafin." Tanpa menunggu jawaban Adhiti. Shani menutup panggilannya, dia segera berlari menuku ke tempat Adhiti. Lima menit berselang, Shania dengan lega melihat Adhiti yang masih menunggunya di salah satu tempat duduk yang berada di dekat kantor administrasi kampus. " Syukurlah!" Ucap Shania lega melihat Adhiti duduk melamun. "Tadi lu bilang mengambil keperluan wisuda. Kenapa gua tidak melihatnya?" "Sudah gua titip ama pak Kardi. Tadinya gua mau pulang langsung. Tapi lu bilang ingin bertemu," jawab Adhiti datar, sangat datar. "Lu kenapa sih, Adhiti? Kenapa lu menghindari gua? Apakah gua punya salah atau apa? Kenapa lu menghindari gua?" Adhiti mengadahkan pandangannya ke atas langit. "Tidak ada, Shan. Lu pasti sibuk, tidak mungkin mengganggu lu setiap saat." Mulut Shania menganga tidak percaya." Baru kali ini gua dengar kalimat itu keluar dari mulut lu. Lu tidak salah minum obat, kan?" Tanya Shania sedikit bercanda. Maksud hati ingin mencairkan suasana. Dia merasa atsmosfir disekitar Adhiti. Begitu berbeda dari biasanya. "Lu sakit, Adhiti? Ap...apakah? Tanya Shania sedikit ragu. "Apakah kepala lu sakit lagi? Atau mata lu bermasalh lagi?" Tanya Shania begitu khawatir. Adhiti menggeleng, namun sejak Shania di dekatnya. Dia tidak pernah sekalipun menlihat ke arah sahabatany itu. Adhiti lebih memilih menatap langit sore. "So?" Tanya Shania. "Gua baik baik saja, Shan. Tenang aja!" "Lu tidak pernah menghindari gua, Adhiti. Satu satunya yang lu simpan dari gua adalah. Jika lu merasakan sakit akibat kecelakan waktu itu. Hanya itu yang lu sembunyikan dari gua. Lalu, jika benar tidak ada yang sakit dari bekas kecelakaan itu. Kenapa lu menghindari gua?" Itu benar, Adhiti akan selalu merahasiakan kesakitan itu kepada Shania. Karena saat kecelakaan itu, daddy dan Abangnya Revano menyalahkan Shania. Maka dari itu, Adhiti tidak ingin Shania sedih dan terbebani. Adhiti tersenyum." Tidak Shania, tidak ada yang sakit. Gua masih rajin terapi. Lu tenang aja," ucap Adhiti menenangkan kekhawatiran Shania. "Benarkah?" Tanya Shania masih tidak percaya. "Iya." Shania hanya mengangguk pelan dan lega. "Lu sudah membeli kebaya wisuda?" Tanya Shania mengalihkan pembicaraan. Adhiti menggeleng." Belum, mungkin gua hanya menyewanya saja." "Bagaimana kalau kita pergi mencarinya besok?" Tanya Shania lagi. Adhiti langsung mengangguk." Baiklah." Lalu suasana hening, Shania tidak menyukai suasana seperti ini. Kenapa mereka berdua seolah olah canggung. Biasanya, mereka akan heboh. "Apakah ada lagi yang ingin lu sampaikan, Shan?" Tanya Adhiti pelan. "Tidak ada, besok janji ya kita pergi bersama. Gua jemput di kampus. Gua takut ke rumah lu. Tidak apa apa kan?" Adhiti mengangguk." Baiklah," Lalu, gadis itu berdiri." Gua pamit pulang ya , Shan," Bahkan Adhiti tetap melangkah meninggalkan Shania. Padahal Shania belum menjawab apapun. Shania sangat yakin sahabatnya itu ada permasalahan yang dia simpan sendiri. "Adhiti," panggil Shania. Adhiti menghentikan langkah kaki. Dia membalikan badan melihat ke arah Shania. "Ada apa?" "Gua sebenarnya ingin mengatakan sesuatu tentang...hmm...tentang Albian." Shania menunggu respon dari Adhiti. Tapi itu hanya senyuman kecil. Kalau dulu, dia akan seperti orang gila yang tak sabaran. Jika menyangkut nama Albian. "Lu dengan Albian, apakah ada masalah? Karena kemarin gua menanyakan tentang lu kepada dia. Dia seolah olah tidak peduli. Tidak seperti biasanya." "Kalian sudah putus?" Lanjut Shania. Adhiti menaikan kedua bahunya." Mungkin saja, gua juga tidak tahu." "Serius Adhiti?" "Mungkin lebih baik seperti ini. Mungkin juga tidak ada kecocokan lagi diantara kita. Lagipula...lagipula daddy dan bang Revano tidak menyetujuinya." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD