"Pikir lagi matang-matang. Kalau udah nyebur dan ternyata nggak betah, lo nggak bisa asal keluar dalam keadaan baju kering."
Suara Galang, salah satu teman Ahyar, menambah satu keresahan baru bagi lelaki itu.
Ahyar mengelap skuter putih gading kesayangannya dengan hati-hati menggunakan lap lembut. Bertahun-tahun skuter produksi tahun 60-an ini jadi benda kesayangan sekaligus benda termahal yang ia miliki, Ahyar selalu merasa kadar ke-keren-annya meningkat setiap kali naik motor klasik ini. Ahyar pernah bersumpah tidak akan menjualnya meski benda ini jadi besi rongsokan atau ia kelaparan sekalipun.
Ahyar melanggar sumpahnya sendiri padahal benda ini masih berfungsi dan ia tidak dalam keadaan kelaparan. Untuk berbisnis, Ahyar perlu modal. Ahyar tidak punya hal lain untuk direlakan, kecuali skuter ini.
"Yang kemarin nawar itu gimana jadinya? Kata si Andre lo nggak ada kabar," tanya Galang lagi.
Ahyar masih berjongkok di samping skuternya, memeriksa apakah ada sisi yang luput belum ia lap walau se-centi. Alih-alih jawaban yang diinginkan Galang, yang keluar dari celah bibir Ahyar hanya embusan napas berat.
"Ini yang gue khawatirin waktu lo bilang mau coba bisnis. Gue lihatin berapa lama semangat lo bertahan, ternyata lebih cepat dari dugaan gue. Dulu lo keluar kerjaan dan sampai sekarang nggak mau kerja terikat kontrak karena takut terkekang, sekarang lo paham, kan, kalau bisnis itu butuh disiplin dan komitmen lebih."
Sejujurnya Ahyar ingin menyuruh Galang diam karena apa yang dibicarakannya sebagian sangat sok tahu, sebagiannya lagi Ahyar akui. Sikap dingin Ditrisya membangkitkan ragu dalam diri Ahyar. Ia terus bertanya pada diri, apakah sebanding menukar skuter ini dengan sebuah ketidakpastian? Ia kembali mempertanyakan tujuannya berbisnis.
Kekayaaan? Ahyar tidak terobsesi dengan deretan angka saldo rekening. Kebanggan? Ahyar tidak punya siapa pun yang mendoakan dirinya mencapai puncak gunung dan akan bersedih seandainya ia gagal. Pengakuan? Ahyar lebih nyaman jadi diri sendiri tanpa peduli pandangan orang lain terhadapnya. Mau dibilang masa depan suram lah, ganteng-ganteng kere lah, terserah. Karena Ahyar hanya perlu berbahagia dengan dirinya sendiri.
Sebuah mobil memasuki pelataran parkir kafe Goonno, Ahyar mengikuti gerak mobil itu yang mengarah ke parkir khusus mobil karena ia mengenali mobil itu. Itu mobil yang tadi ditumpangi oleh Ditrisya dan Lisa. Lalu keluar lah dua orang, satu Lisa, dan satunya lagi Vinno. Ahyar masih menunggu satu orang lagi, tetapi sepertinya dia tidak ada di dalam mobil itu.
"Ngapain nih, orang, mencemari pemandangan kafe gue aja," Vinno bertahan di dekat Ahyar yang masih jongkok di samping skuternya, dan Galang yang berdiri di belakang Ahyar seperti mandor sedang mengawasi kacungnya.
"Aku langsung masuk," ujar Lisa pada Vinno setelah mengapa Ahyar dan Galang dengan senyum kecil bergantian.
"Cewek baru, Vin?" tanya Galang.
Vinno menjawab senang, "belum resmi."
"Lebih cakep dari yang sebelumnya. Jago juga lo."
"Siapa sih yang nggak mau sama gue." Vinno mengatakannya sambil tertawa, barangkali agar orang menangkapnya sebagai candaan. Padahal mungkin itu salah satu sanjungan yang sering diberikan padanya. Muda, sukses, kaya, wajah mirip Oppa-oppa Korea, siapa yang tidak suka padanya?
"Cewek lo bukannya tadi pergi sama Ditrisya?" Ahyar bertanya.
"Kok lo tahu?" tanya Vinno balik. "Lo beneran dekat sama Ditrisya, Yar?"
"Tahu aja." Perasaan sepihak Ahyar biar ia simpan untuk dirinya sendiri saja, ia harus menghormati Ditrisya yang tidak merasa mereka dekat.
"Mereka tadi emang pergi bareng, tapi Lisa cume nge-drop Didi, nggak mungkin Lisa ikut nimbrung orang lagi blind date."
"Ditrisya siapa?" Galang tidak mengerti dengan siapa yang Ahyar dan Vinno bicarakan.
"Teman SMA gue, ternyata Ahyar kenal juga sama dia. Tadi malam nggak sengaja ketemu di tempat gue. Ditrisya ini emang polos dan kayaknya si Ahyar suka godain dia. Terus Ditrisya gampang baper," jelas Vinno. "Makanya nih, si Lisa tadi coba ngenalin Ditrisya sama cowok lain."
Ahyar paham sekarang. Entah ia harus senang karena Dirinya memiliki kesan di hati Ditrisya, hanya saja Ditrisya menyangkalnya. Atau kecewa karena ia tak cukup terlihat meyakinkan hingga Ditrisya meragukan kesungguhannya.
"Kenapa Ditrisya nggak boleh baper sama gue?" suara Ahyar dingin. Kali ini Ahyar benar-benar ingin tahu apa sebenarnya penilaian orang tentang dirinya.
"Wah, lo jangan macam-macam sama Ditrisya, Yar. Ditrisya itu sahabatnya Lisa, Lisa tahunya lo teman gue. Kalau lo mau main-main, sama cewek lain aja lah, jangan sama Didi. Dia tuh cewek baik-baik."
Ahyar berdecak kesal, dalam sekali sentak berdiri menantang Vinno. "Maksud lo, gue nggak pantas buat dia?"
"Santai, Yar, nggak usah ngegas." Vinno mundur selangkah, siapa pun bisa melihat bara tersinggung di mata Ahyar. "Maksud gue, kita masih satu circle, mending hindari hal-hal yang ngelibatin perasaan biar kita semua sama-sama nyaman. Lisa tuh, sampai tanya ke gue lo gimana orangnya karena sepintas dia merasa sikap lo ke Ditrisya itu genit dan suka gombal."
"Terus lo iyakan kalau gue orangnya genit?"
Vinno menggaruh pelipis, mimik wajahnya tampak tak enak hati. "Ya, gimana? Track record lo selama ini kan ...."
Ahyar tertawa hambar. Ingin marah tapi tidak menemukan alasan. Penilaian seseorang terhadapnya sepenuhnya hak orang itu, tidak peduli benar atau salah.
Walaupun Ahyar bersumpah kalau ia tidak ada sedikit pun niat mainin perasaan Ditrisya, Vinno dan Lisa tetap tidak akan percaya, bukan?
"Maaf aja kalau lo tersinggung gue ngomong gitu, Yar," Vinno berusaha menjelaskan lagi sebab ketegangan otot di wajah Ahyar membuat atmosfer sekitar sangat tidak nyaman. "Gue udah coba bilang ke Lisa biar nggak terlalu curiga ke lo. Kalau lo emang perhatian lo ke Ditrisya serius, tunjukin aja buktinya." Vinno menepuk ringan pundah Ahyar sebanyak dua kali sebelum memberi isyarat akan masuk ke dalam kafe.
Dada Ahyar sangat panas, panas itu menjalar ke kepala. Ia marah pada dirinya sendiri. Baru kali ini Ahyar begitu terpengaruhi oleh penilaian orang lain tentangnya dan membuatnya merenung, seburuk itukah dirinya?
"Hm, okay, gue nggak terlalu paham kalian bahas apa. Cuma ..., rileks, Yar."
Ahyar melarikan lirikan tajamnya ke arah Galang, membuat Galang yang semula bingung, mendadak terkesiap ngeri seolah-olah Ahyar sedang marah pada dirinya. "Masalahnya apa, sih?" Galang tidak tahan tidak bertanya. "Ditrisya Ditrisya ini siapa sebenarnya?"
Ahyar mengembuskan napas kasar. "Jam berapa sekarang?" tanya Ahyar berlainan.
"Jam 5. Kenapa lo nanya jam?"
Ia menepis badan Galang yang menghalanginya, Ahyar naik ke atas skuter masih dalam emosi belum sepenuhnya terkendali.
"Lo mau ke mana?" cecar Galang belum juga dapat jawaban.
"Ngurus surat jual beli skuter ini."
"Bukannya nggak jadi lo jual? Andre bilang lo kayak nggak serius jual."
"Ada yang mau beli lebih mahal dari Andre, ngapain gue jual ke dia?" Ahyar mengas skuternya meninggalkan Galang.
Ahyar tahu apa yang ingin ia lakukan setelah ini dan mengapa ia harus melakukan itu. Ia akan buktikan ke semua orang kalau dirinya tidak hanya cuma bisa main-main.
***
Lelaki itu memperkenalkan diri dengan nama Bima, seorang pekerja kantoran juga seperti Ditrisya. Bedanya dia kantorannya di kantor pemerintah, alias pegawai negeri sipil. Umurnya awal 30-an, fisik lumayan, dan cukup aktif membangun obrolan, tanda bahwa dia antusias pada pertemuan ini. Dia punya semua kriteria yang Ditrisya anggap ideal, tetapi entah kenapa Ditrisya tidak melihat itu sebagai prospek yang layak dikejar.
Lisa meninggalkan Ditrisya dan Bima, tak lama setelah saling memperkenalkan mereka dan berbasa basi sebentar. Lisa bilang, menemukan sosok baru yang lebih baik adalah cara terampuh untuk mengusir kegalauan. Ditrisya nurut saja, ia percaya Lisa pasti tidak ingin membiarkannya jatuh ke lubang yang salah.
"Weekend kamu biasaya ngapain?" tanya Bima disela santap sore mereka.
"Kalau nggak lagi pulang ke rumah orang tua, ya biasa di kontrakan aja."
"Tinggal sendiri?"
"Iya."
"Orangtuanya tinggal di luar kota?"
"Iya."
"Di mana emangnya?"
"Kota sebelah aja sih, cuma dari tempat kerja, paling cepat perjalanan dua jam. Jadi mending ngontrak aja, kebetulan yang punya kontrakan masih saudara jadi dikasih harga murah banget."
Bima mengangguk-angguk paham. "Bagus sih, melatih kemandirian juga."
"Hehe, iya."
"Hm ..., kamu suka nonton juga, nggak? Kalau aku suka banget, apalagi genre thriller."
"Aku nggak terlalu, sih."
"Nggak terlalu suka genre thriller?"
"Nggak suka nonton."
"Oh..."
Setelah itu hening, Bima tidak bertanya apa-apa lagi, sementara Ditrisya tidak ada ide memulai percakapan. Mereka hanya fokus menghabiskan makanan masing-masing, tidak sabar cepat-cepat mengakhiri perjumpaan dingin ini.
Ditrisya tidak peduli bagaimana hasilnya, apa mereka masih akan lanjut berkomunikasi, atau selesai sampai mereka meninggalkan restoran ini. Yang penting Ditrisya sudah mengikuti semua saran Lisa, yaitu merias wajah dan pakai baju feminim karena sejak awal Ditrisya sudah menegaskan pada Lisa bahwa dirinya tidak suka kencan buta dari teman ke teman seperti ini.
Ditrisya takut jika hubungan itu tidak berhasil, atau Ditrisya melakukan kesalahan, teman yang mengenalkan itu akan menanggung malu. Alasan sama mengapa ia dulu tidak mau meminta kakak-kakak atau saudaranya saat kesulitan mencari pekerjaan. Sekalinya dapat pekerjaan, tempatnya sangat jauh. Namun, Ditrisya tidak menyesal. Dengan begini ia bisa bebas, tidak merasa diawasi, dan setiap tindak tanduknya tidak akan dikaitkan dengan 'orang dalam' tersebut.
Ditrisya dan Bima berpisah beberapa saat setelah makanan mereka habis, Bima memaksa membayar bill makanan mereka meski Ditrisya sudah bersikeras ingin membayar sendiri.
Ditrisya tiba di rumah saat langit sudah petang, sesaat dirinya terpaku menemukan bungkusan yang dibawa Ahyar tadi, terikat di gagang pintu rumahnya. Seketika perasaan Ditrisya makin tidak nyaman. Ia tiba-tiba merasa jahat pada lelaki itu, meski sebenarnya yang ia lakukan adalah bentuk perlindungan terhadap hatinya sendiri.
Ditrisya mengambil bungkusan itu dan membawanya masuk ke rumah, ia langsung membukanya di atas meja. Di dalamnya ada dua kotak plastik bening, di dalamnya lagi masing-masing ada dua buntalan terbungkus kertas makanan mirip burger, ada juga yang bentuknya lebih panjang.
Di setiap buntalan ada tulisan, sampel 1, sampel 2, sampel 3, dan sampel 4.
Hati Ditrisya teriris. Ia menyalahkan perlakuan Ahyar padanya atas kegalauan perasaannya, dan berpikir menjauhi dia adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan kegalauan itu.
Padahal mungkin saja Ahyar hanya butuh teman diskusi.