15 | Alasan yang Keliru

1473 Words
Money Slave 21.03 pacar, udah sampai rumah? 22.00 masih di luar ya? Di mana? 23.15 haloooo 23.20 kalau udah di rumah kabari, ya 01.17 tadi pulang langsung tidur, ya? kalau udah dibaca, langsung balas ya 08.30 pacar, jangan dibaca aja dong 08.30 ya udah, gue yang nyapa dulu 08.30 selamat pagi Sampai siang hari, ucapan selamat pagi dari Ahyar tak kunjung dibalas. Ahyar menghela napas. Seperti orang baru ditinggalkan tanpa kepastian, Ahyar mengecek ponsel tiap 10 menit sekali. Sembari mengingat-ingat apa semalam ia membuat kesalahan yang membuat Ditrisya marah? Atau sebenarnya Ditrisya ingin main jual mahal. "Ahyar! Bengong lagi." panggilan Sisil membuat Ahyar nyaris menjatuhkan piring kecil isi sambal dabu-dabu, ia lantas mengantongi ponselnya lagi dan berjalan membawa piring kecil itu ke meja yang dipenuhi banyak jenis makanan. "Udah siap semua?" Ahyar meletakkan piring itu bergabung dengan piring lain. Ada rendang, ikan dori digoreng tepung, patty burger, dan ayam bakar yang kini sedang disuwir-suwir kasar oleh Sisil. Selain sambal dabu-dabu, ada juga sambal matah, dan saus bumbu rendang. "Lagi ada telepon yang lo tunggu?" tanya Sisil menoleh pada Ahyar sekilas, sebelum kembali menyuri d**a ayam di hadapannya. "Cewek yang kemarin itu? Ada apa lo sama dia?" cecar Sisil. "Kalau sekarang masih belum ada apa-apa," jawab Ahyar terus terang. "Lo suka sama dia?" Sisil tidak repot-repot menyembuyikan keterkejutannya. Gadis itu mengernyit melihat Ahyar hanya senyum-senyum sambil menaikturunkan alis. "Serius, Yar? Lo suka sama dia? Dia nggak kayak cewek-cewek yang biasa sama lo." "Justru karena dia beda dari yang lain," Ahyar menjawab santai. "Kalau gue nggak ketemu dia, gue mungkin nggak akan kepikiran buat ngelakuin ini." "Maksud lo, seseorang yang ingin lo bikin bangga itu dia?" Ahyar menganggukkan kepala sekali. Seandainya mau, Ahyar bisa menjabarkan mengapa Ditrisya berbeda dan spesial. Hanya saja, Sisil tidak perlu tahu. Ahyar menepuk tangan sekali. "Nah, kita mulai dari mana?" serunya, tidak sabar mulai bereksperimen dengan beberapa ide menu makanan yang ingin ia jual. Setelah tanya ke beberapa temannya yang sudah menjalankan bisnis, Ahyar tertarik untuk mencoba bisnis kuliner. Benar kata Ditrisya, hitung-hitungan modal berbisnis coffee shop sangat besar. Sedangkan bisnis chloting line membutuhkan terlalu banyak pihak untuk kerja sama, Ahyar belum punya pengalaman untuk mengkoordinir semuanya. Bisnis makanan kecil-kecilan Ahyar nilai paling cocok untuk kondisi dan kemampuannya. Menurut orang-orang, segmen pasarnya lebih luas dan kemungkinan balik modal juga cepat. Tentu dengan catatan bisnis itu berhasil. Yang paling pertama, Ahyar ingin menjual makanan yang bisa ia buat sendiri. Makanan yang mudah dibuat, prosesnya cepat, dan pastinya enak. Ia tidak ingin mempekerjakan juru masak untuk meminimalkan biaya. Untungnya Ahyar punya teman seperti Sisil. Sisil secara khusus bersekolah kuliner dan kini sudah punya restoran sendiri, fokus makanan yang dia pelajari dan geluti adalah makanan nusantara. Segala jenis masakan bisa dia buat. Tanpa pamrih Sisil mau membantu Ahyar merealisasikan menu dalam bayangannya jadi nyata. Ketika berpikir soal makanan cepat, mudah, dan enak, seketika yang terlintas di kepala Ahyar adalah burger dan taco. Kedua jenis makanan itu sudah sangat umum, dimana-mana ada. Dan ketika berpikir soal pembeda, Ahyar ingin coba mengkombinasikannya dengan makanan-makanan khas Indonesia. Ahyar dan Sisil mencicipi semuanya, sampai mereka menemikan kombinasi yang menurut mereka terbaik. *** Dari apartemen Sisil, Ahyar langsung menuju rumah Ditrisya. Dengan dua kotak sampel makanan yang ingin ia jual, ia ingin dengar pendapat Ditrisya juga. Namun, saat Ahyar tiba di rumahnya, yang membukakan pintu adalah Lisa. "Hai, ada perlu apa?" tanya Lisa begitu membuka pintu. "Hai, lo di sini," balas sapa Ahyar basa-basi. "Gue mau ketemu Ditrisya sebentar. Dia ada di dalam, kan?" "Ada perlu apa sama dia?" tanya Lisa lagi tanpa bergeser seinchi pun dari pintu. Tepat saat Ahyar hendak menjawab, yang dicari menampakkan diri. Sesaat Ahyar terpaku, Ditrisya tampak sangat berbeda dalam balutan dress selutut warna pink lembut. Rambut yang biasanya Ahyar lihat diikat kendur, sekarang tergerai halus seperti baru kena panas metal alat catokan rambut. Sedangkan wajahnya terlihat lebih segar dengan puasan perona pipi dan lipstik lebih berwarna. Tiba-tiba pandangan Ahyar terhalangi oleh tubuh Lisa. "Perlunya sama Ditrisya penting, nggak? Soalnya gue sama dia mau pergi." "Ada apa, Yar?" Ditrisya melangkah mendekat. "Lo nggak balas chat gue, jadi gue ke sini." "Oh, kayaknya Ditrisya nggak sempat balas. Dari tadi pagi dia sama gue udah sibuk siap-siap," Lisa menyerobot jawaban yang sebetulnya jatah Ditrisya. "Kalian mau ke mana memangnya? Kondangan?" "Kami nggak perlu siap-siap dari pagi kalau cuma mau kondangan," Lisa menjawab lagi. "Jadi, ada teman gue yang tertarik sama Ditrisya dan minta dikenalin. Ditrisya harus kasih first impression yang baik, makanya butuh persiapan." Ahyar menatap Ditrisya yang seakan membiarkan Lisa mengendalikan situasi. Dipandangi lagi penampilannya, dan pendapat Ahyar masih belum berubah. Ditrisya sangat cantik. "Waktu pertama ketemu gue lo nggak dandan secantik ini." "Ya ngapain ke bengkel motor pakai dandan segala?" Ahyar tidak menghiraukan Lisa karena yang ia ajak bicara adalah Ditrisya. "Waktu itu gue cuma iseng aja, nggak ada alasan bikin orang asing terkesan. Dan ternyata benar kan, nggak ada yang mengesankan dari pertemuan peryama kita," jawab Ditrisya tanpa melirik Ahyar sedikit pun. "Jadi menurut lo, kita 'kenal' itu bukan sesuatu yang berkesan?" Ahyar menekankan kata kenal. Ahyar memang belum bilang pada Ditrisya betapa bersyukurnya Ahyar mengenal dia. Bahkan pada Sisil ia mengaku kalau Ditrisya lah yang membuatnya mau keluar dari kotak nyaman, mempertaruhkan harta tak seberapa yang ia miliki demi bisnis yang belum tentu berhasil. Dirinya tertawa garing. "Yar, serius, tingkat kepercayaan diri lo udah nggak tertolong," kata Ditrisya tanpa ekspresi. "Kenapa juga kenal sama lo jadi sesuatu yang berkesan. Tiap hari gue kenal dan ketemu orang-orang baru, semuanya sama aja di mata gue. Nggak ada bedanya." Ahyar menyipitkan mata, jelas-jelas ada yang salah di sini. Ditrisya tidak menjawab pesannya bukan lantaran ingin jual mahal, tetapi karena memang tidak ingin berkomunikasi dengannya. "Udah siap kan, lo?" Lisa bertanya pada Ditrisya. Ditrisya mengangguk mengiyakan. "Udah, yuk, jalan sekarang. Si Bima katanya juga udah jalan. Lisa beralih pada Ahyar. "Kita mesti pergi sekarang, maaf ya. Ada baiknya kalau mau datang ke rumah orang, lain kali bilang dan tunggu sampai ada jawaban. Jangan asal main datang." Mata Ahyar menyorot Lisa tak suka. Lisa menambahkan lagi, "Bukannya apa-apa, ya, takutnya gini kan. Lo datang, tapi yang punya rumah mau pergi." "Bisa kasih gue ngomong sama Ditrisya berdua aja?" Ahyar tidak percaya dirinya harus menanyakan hal itu pada Lisa. Jika Lisa tahu diri, meskipun tetap berdiri di sama, dia tidak akan main sela pembicaraan orang lain. "Tapi kita nggak punya waktu." "Di...," panggil Ahyar memohon agar Ditrisya memihak padanya. "Tunggu aja di mobil, Lis. Gue tinggal kunci pintu doang." Seperti ada udara kecil tertiup di rongga hatinya saat Ditrisya memberinya kesempatan. Lisa tersenyum pada Ahyar hanya sekadar demi kepantasan, sebelum beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Ditrisya dan Ahyar hanya berdua saja. "Mau ngomong apa?" tanya Ditrisya tanpa buang waktu. "Apa semalam gue bikin lo nggak nyaman?" "Yang mana?" Ahyar menggeleng tak tahu. "Mungkin karena gue nunjukin kedekatan kita, padahal sebenarnya lo nggak ingin mereka tahu kita bukan kenalan biasa." "Ck, jangan ke--" "Gue nggak kepedean," potong Ahyar, ia bisa membaca makna decakan lidah Ditrisya. "Seenggaknya gue merasa begitu. Gue merasa kalau kita cukup dekat." "Cuma karena lo pernah makan bareng sama keluarga besar gue, itu nggak bikin kita otomatis jadi dekat. Kita cuma kejebak sandiwara." Napas Ahyar berhembus dari hidung, seiring sebelah sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman miris. "Berati cuma gue aja yang merasa kita dekat?" Ahyar menunggu Ditrisya membenarkan pernyataannya sambil menatap mata Ahyar. Namun, sampai sepuluh detik waktu yang Ahyar hitung dalam hati berlalu, Ditrisya bungkam dengan tatapan tak fokus ke segala arah. "Gue bawa ini buat lo." Ahyar akhirnya menyampaikan niat asli kedatangannya, meski ia tidak bisa melihat langsung saat Ditrisya memakannya. Ditrisya menerima dan mengintip isinya. "Makanan? Bawa aja lagi, hari ini gue makan di luar." "Ini bukan makanan berat. Bisa lo makan nanti kalau udah pulang." Tin! Suara klakson mobil Lisa menandakan waktu mereka sudah habis. Ditrisya memaksa Ahyar membawa kresek itu lagi, sementara dia balik badan mengunci pintu. "Bawa aja lagi. Nggak akan kemakan sama gue. Udah ya, gue pergi." Tanpa menunggu respon Ahyar, Ditrisya meningglkan Ahyar di teras rumahnya. Ahyar menghela napas, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Ahyar masih di sana ketika mobil Lisa mulai bergerak. Semangat Ahyar menguap setengah bersama kepergian Ditrisya. Ahyar tidak mungkin membawa kembali makanannya. Ahyar mengingatkan kresek putih itu di gagang pintu rumah Ditrisya agar tetap bersih dan tidak diendua kucing. Meski Ditrisya mungkin akan membuangnya, setidaknya tujuan kedatangan Ahyar tersampaikan. Ponsel Ahyar berdering di dalam saku, Ahyar mengangkat panggilan telepon dari temannya itu. Setelah menandai dirinya berada dalam sambungan, si penelpon itu berbicara, "Yar, ini ada yang tertarik sama skuter lo. Dia mau ketemu lo langsung, lo bisa nggak ke sini sekarang?" Baiklah, barangkali inilah sebabnya kenapa jangan menjadikan manusia sebagai alasan. Alasan apa pun. Sebab ketika dia pergi, artinya alasan itu sudah tidak ada lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD