17 | Drunk Mind, Sober Heart

1262 Words
Ahyar Pahala Makasih makanannya Semuanya enak Taconya yang paling unik Sambal dabu-dabunya gue paling suka Seger banget Percaya tidak percaya, Ditrisya butuh 3 jam hapus ketik, diselinggi dengan mandi dan menyiapkan baju kerja untuk besok, sebelum akhirnya pesan itu terkirim. Ditrisya menunggu balasan dari Ahyar dengan resah, ditambah perutnya begah memaksakan diri memakan dua burger dan dua taco itu setelah beberapa jam sebelumnya sudah makan makanan berat. Ketika ponselnya dipangkuannya berdering, Ditrisya langsung mengeceknya. Bahunya seketika melemas saat tahu telepon itu dari Lisa. Ditrisya membiarkan telepon itu tetap berdering cukup lama hingga berhenti dengan sendirinya, ia bisa tebak untuk apa Lisa meneleponnya. Ditrisya akan menghubungi Lisa besok saja, pura-pura kalau malam ini ia tidur lebih cepat. Ditrisya butuh menjauh sebentar dari Lisa untuk memurnikan pikiran. Ditrisya capek. Kadang kala saat Lisa berkata dia sangat mengenal Ditrisya dan ingin yang terbaik untuknya, saat itu Ditrisya tiba-tiba merasa payah dalam mengenali diri sendiri. Saat Ditrisya mengecek room chat pesan dengan Ahyar, Ditrisya mendapati tanda tercentang dua yang sebelumnya abu-abu, kini sudah menyala biru. Ditrisya masih tunggu belasan menit, tetap saja tidak ada balasan masuk. Sesungguhnya Ditrisya ingin Ahyar menceritakan bagaimana dia bisa kepikiran ide makanan ini dan bagaimana dia bisa membuatnya. Ditrisya tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin meminta maaf, tetapi di saat yang sama ia merasa tak perlu meski sadar tatapan terakahir yang diberi Ahyar kemarin adalah tatapan kecewa. Dan itu masih terbayang-bayang di benaknya hingga sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam, Ditrisya bersiap tidur karena matanya sudah mengantuk. Tidur Ditrisya hampir lelap ketika ponselnya kembali berdering, dengan mata masih tertutup malas membuka, Ditrisya langsung menjawab. Kalau bukan hal mendesak, ia akan memaki siapa pun itu yang tidak punya sopan telepon tengah malam. "Halo," ucapnya malas. "Apa itu yang mereka bilang ke lo?" Seketika mata Ditrisya terbuka lebar, ia memastikan suara yang barusan didengar dengan melihat nama kontak si penelepon. Ia langsung bangun terduduk di tengah ranjang setelah yakin betul Ahyar yang menelepon. "Yar?" Setelah sepenuhnya terjaga, Ditrisya sadar ia tak paham ucapan Ahyar. "Lo ini nggak punya pendirian atau apa, sih? Gampang amat dipengaruhi orang lain. Kenapa lo nggak ikutin kata hati lo sendiri aja?" "Ahyar. Lo lagi ngigau?" Di telinga Ditrisya, Ahyar seperti sedang merancau. Intonasinya naik turun dan tentu saja kalimatnya tidak jelas, baik pelafalan dan konteks yang sama sekali tidak Ditrisya mengerti. "Nggak berkesan lo bilang?" Sejenak Ditrisya menjauhkan ponsel itu dari telinganya lantaran Ahyar tiba-tiba membentak. "Lo--" "Berani-beraninya lo bilang begitu ke gue, padahal gue merasa kenal sama lo adalah titik balik hidup gue. Gue sedang melakukan itu, Ditrisya..., gue akhirnya mulai ingin punya sesuatu untuk dibanggakan. Gue harus ngapain biar kelihatan serius di mata lo? Lo tahu apa yang paling gue inginkan?" Ditrisya menghela napas, besar kemungkinan Ahyar sedang mabuk. Gadis itu hanya menggigit bibir dengan d**a berdebar. "Keluarga ..., gue ingin ciptakan sendiri takdir yang nggak gue miliki itu sama lo." Hati Ditrisya mencelos. Jeda panjang, selama jeda itu Ditrisya hanya mendengar suara berisik sekitar Ahyar dan suara tegukan cairan tertelan, disusul dengan decapan lidah dan desisan. "Lo di mana?" tanya Ditrisya serupa bisikan lantaran dadanya sesak. "Gue bisa apa," suara cegukan Ahyar dua kali menyela. "Gue bisa apa kalau lo nggak mau. Tentu aja, lo dan keluarga lo terlalu berlebihan buat gue. Lo layak dapat laki-laki mapan dan punya keluarga jelas. Nggak--" Terdengar suara ribut, seseorang sepertinya merebut ponsel Ahyar. Samar-samar Ditrisya bisa mendengar suara dua orang lelaki berdebat, salah satunya suara Ahyar minta ponselnya dikembalikan. "Sial, lo nelepon siapa ini? Siapa Money Slave," gumaman lelaki asing terdengar lebih jelas. "Halo, siapa pun kamu, kalau Ahyar barusan ngomong aneh-aneh nggak usah dipikirin. Dia lagi mabuk." Ditrisya lega ada seseorang bersama Ahyar di sana. "Apa Ahyar biasa minum-minum?" "Kalau nongrong kadang minum, tapi nggak pernah sampai mabuk b**o kayak sekarang. Mungkin karena dia berat abis lepas vespanya ke orang lain." "Dia ngejual vespanya?" "Iya. Teleponnya saya tutup, ya, mau bawa Ahyar ke kosnya." "Sebentar, Mas," cegah Ditrisya. Di seberang sana lelaki itu bertanya ada apa, Ditrisya menggigit bibir ragu apa ia harus menanyakannya. "Hmm, boleh saya tahu kosnya Ahyar di mana?" "Mbak siapa?" "Saya Ditrisya." *** Hari ini Ditrisya memulai hari lebih awal dari biasanya. Dengan bahan makanan terbatas yang ada di kulkasnya, Ditrisya memasak makanan yang kiranya bisa menyegarkan orang mabuk. Dan di sini lah Ditrisya sekarang, di depan pintu kamar kos Ahyar. Jangan tanya kenapa Ditrisya mau masak lalu jauh-jauh mengantarnya kemari. Kalau saja Galang tidak melarangnya, Ditrisya mungkin saja sudah di sini sejak tadi malam. Ditrisya tidak tahu mengapa ia sangat mencemaskan Ahyar. Tadi Ditrisya sempat melihat ke tempat parkir dan sekelilingnya, ia tak menemukan skuter Ahyar dimana-mana. Menjual skuter itu, artinya Ahyar sudah mengambil langkah awal. Ditrisya sudah lapor ke kantornya bahwa hari ini ia akan terlambat datang satu jam, Ditrisya mudah mendapat izin karena memang ia tidak pernah sekali pun terlambat atau mengambil cuti dadakan. "Cari siapa?" Seorang wanita umur 30-an menanyai Ditrisya yang tengah kebingungan, ragu-ragu mengetuk pintu di depannya dengan segala pertimbangan berkecamuk di kepala. Ditrisya menunjuk pintu kamar Ahyar. "Ini, kamar Ahyar, kan?" "Iya, itu kamarnya. Ketuk aja, Mbak, pasti dia masih tidur karena tadi malam pulang-pulang mabuk berat." Ditrisya menimbang-nimbanh sesaat, lalu menggeleng sambil tersenyum tipis. "Biar dia tidur aja. Ehm, kalau saya mau nitip makanan buat Ahyar, saya bisa titip ke siapa, ya Mbak?" "Boleh kalau mau titip di saya." "Mbak nggak kemana-mana hari ini?" tanya Ditrisya sungkan. "Ahyar mungkin aja siang banget baru bangun." "Kebetulan hari ini nggak kemana-mana, kok." Senyum Ditrisya merekah lega. Ia menitipkan set makanan dua kotak dan dua kaleng minuman elektrolit yang dibawanya pada wanita itu sambil mengucapkan terima kasih. "Kalau nanti Ahyar nanya ini dari siapa, saya jawab apa, Mbak?" "Tolong bilang aja dari orang yang semalam dia suruh ikutin kata hati." *** Sekali lagi Ditrisya menjumpai hari yang tiap detiknya berputar sangat lambat. Seharian ia menerka-nerka, apakah Ahyar sudah menerima makanannya atau belum. Kalau sudah, seharusnya Ahyar mengiriminya pesan atau semacamnya, terlebih bukankah Ahyar harus menjelaskan prihal drunk call yang dilakukannya semalam. Ditrisya mempertimbangkan apakah ia perlu menghubungi dulu, tapi bagaimana jika Ahyar merasa tidak perlu ada pembicaraan lagi dan hubungan tidak jelas mereka ini diakhiri dengan kekecewaan Ahyar yang mendalam terhadapnya. Ditrisya menjatuhkan bahu lemas, Ahyar pasti sangat sakit hati padanya. "Nggak pulang, Di?" tanya Mbak Dini, rekan kerja di kubikel sebelah Ditrisya. "Kerjaan udah kelar semua, kan?" "Ini mau pulang, Mbak." Ditrisya mematikan komputer, merapikan meja, dan mengemasi ke dalam tas perintilan yang akan ia bawa pulang. "Tumben mau pulang lemes banget, Di?" komentar Mbak Dini masih menunggunya untuk jalan keluar bersama. "Nggak tahu, bad mood aja, Mbak." "Ah, kamu, Di. Bad mood kan ada sebabnya." Ditrisya hanya menyengir seadanya, mereka lalu berjalan beriringan keluar kantor. Mereka pisah ke di depan pelataran kantor karena Mbak Dini dijemput oleh suaminya, sedangkan Ditrisya harus belok ke parkiran motor. Tepat saat itu Ditrisya merasakan ponselnya bergetar di genggaman, Ditrisya melebarkan mata saat melihat nama kontak Ahyar tertulis besar-besar di layar. Tanpa buang-buang waktu, Ditrisya langsung menjawabnya. "Halo?" "Lihat ke kanan." Ditrisya lantas menoleh ke arah kanan, dan langsung menemukan sosok Ahyar dibalik teralis pagar kantornya. Ahyar melambai padanya dengan senyum terkulum. "Tinggal aja motornya, hari ini lo pulang sama gue." Seolah tak butuh jawaban, Ahyar mematikan sambungan. Ditrisya melangkah yakin mendekati Ahyar, hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. Rasanya sangat aneh, Ditrisya tidak pernah seantusias ini bertemu dengan seseorang. "Hai, Pacar." Ditrisya tidak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya, ia hanya tahu perasaannya sangat lega, sampai-sampai tidak sadar senyumnya kelewat lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD