18 | Bubblegum Sunset

1595 Words
Siang ini Ahyar bangun dengan kepala berat dan pusing luar biasa. Sesaat ia memperhatikan sekitar, ruangan ini adalah kamar kosnya. Ahyar tidak penasaran bagaimana bisa sampai di sini karena sudah pasti Galang yang mengantarnya pulang. Hal terakhir yang diingat Ahyar adalah, dirinya menandatangani dokumen penjualan vespa dan mendapati saldo rekeningnya bertambah. Hati Ahyar barangkali akan lebih hancur daripada ini jika melepas skuternya ke orang asing, Ahyar sedikit bisa tenang karena skuter itu dibeli oleh temannya sendiri yang merupakan kolektor skuter-skuter tua. Ahyar berjanji pada diri sendiri, hanya malam itu, sekali itu saja, ia ingin minum-minum sampai mabuk. Anggap saja sebagai pesta peralihan dari Ahyar yang lama menjadi Ahyar yang baru. Ahyar sudah banyak pikir-pikir seperti yang selalu Galang ingatkan, sesuatu yang justru membuat tekad Ahyar makin bulat dan menebal. Untuk semua orang yang meremehkan dan meragukan keseriusannya, Ahyar melakukan ini untuk membuktikan pada mereka kalau dirinya tidak seburuk apa yang mereka kira. Dengan atau tanpa Ditrisya, selamanya sendiri atau masih berharap punya keluarga, Ahyar akan pasti bisa merasakan bahagia. Perlahan Ahyar bangun, tenggorokannya sangat kering dan tidak nyaman. Ahyar merutuk karena sisa air dalam botol diatas meja hanya tinggal seteguk. Setelah ini ia harus sedia air dalam kemasan galon. Tanpa berniat mencuci wajah, Ahyar berniat keluar untuk beli minum di warung sebelah kos. “Mas Ahyar!” Ahyar baru berjalan beberapa langkah dari pintu, ketika Mbak Rusty menyerukan namanya. “Eh, Mbak.” “Aduh, mau ke mana muka masih bau bantal begitu?” Mbak Rusty meringis seolah bentukan wajah Ahyar sangat mengerikan. "Jelek banget, ya?" "Orang ganteng, mah, kayak gimana aja ganteng, Mas." Ahyar lantas melihat penampilannya dari pantulan kaca jendela kosnya. Wajahnya memang semengerikan itu, tampak bengkak terutama di bagian kantung mata, hidung, dan bibir. Ahyar mengusapnya dengan kedua tangan, entah untuk apa karena itu tak membuat wajahnya lebih baik, malah membuatnya tampak memerah. “Udah balik tidur aja lagi. Semalam habis party atau patah hati, tuh?” tanya Mbak Rusty sekaligus menggoda. Ahyar meringis sungkan. “Semalam aku ribut banget ya, Mbak?” “Kamu pingsan, gimana mau ribut? Kebetulan aja aku tadi malam belum tidur. Teman yang nganterin kamu tuh sempet ribut karena kesusahan buka pintu, makanya aku bantu.” Ahyar menggaruk rambut. “Oh, syukurlah.” “Eh, bentar, Mas Ahyar. Aku manggil kamu mau ngasih titipan orang.” Mbak Rusty melesat masuk ke kamarnya tanpa memberi Ahyar kesempatan bertanya. Tak lama dia keluar lagi dengan tas kain entah apa isinya. “Nih,” Mbak Rusty mengulurkannya sambil mendekati Ahyar. “Tadi pagi ada yang ke sini, nitipin ini buat kamu.” “Siapa?” “Cewek. Dia nggak sebut nama, aku disuruh bilang kalau dia orang yang kamu suruh buat ikuti kata hati.” Penasaran Ahyar mengintip isinya, dan saat itu juga ia tidak butuh jawaban Mbak Rusti karena sudah tahu siapa yang memberi ini hanya dari kotak makan di dalamnya. Kotak sama saat Ibu Ditrisya membekalinya makanan sebelum pulang. Sejenak Ahyar termangu, antara bingung dan tak menyangka Ditrisya melakukan ini. Serta kapan ia berkata pada Ditrisya hal yang dia katakan ke Mbak Rusty itu? Tunggu, saat mabuk ia tidak melakukan yang aneh-aneh, kan? Segera setelah mengucapkan terima kasih pada Mbak Rusty, Ahyar buru-buru membuka kunci pintu kamarnya. Ia meninggalkan kotak makanan itu begitu sana dan panik mencari ponsel. Tentu saja ia harus bertanya pada Galang apa yang terjadi semalam. Ahyar mencari ponselnya dimana-mana, bantal dan bed cover ia kibaskan berharap jika benda itu terselip di sana maka akan terjatuh. Tidak ada, Ahyar tidak bisa menemukan ponselnya. Ahyar berkacak pinggang di tengah ruangan, memperhatikan sekitar dengan seksama. Napasnya berembus berat saat melihat benda itu di atas meja, sedikit terselip dibalik topi. Begitu menyalakan ponselnya, Ahyar langsung menemukan chat Galang di deret teratas. Galang Sebelum makasih ke gue, mending minta maaf dulu sama money slave Gue nggak tahu lo ngomong apa aja ke dia Tak langsung percaya, Ahyar memeriksa log panggilan. Dan benar saja, ponselnya melakukan panggilan keluar ke kontak Money Slave selama lima menit lebih. Badan Ahyar lemas, ia perlahan duduk di pinggiran tempat tidur. Cukup lama ia memaksa otaknya berusaha mengingat-ingat apa saja yang ia katakan pada Ditrisya hingga kepalanya sakit. Sialan. Ahyar melirik tas makanan itu dan meraihnya ke atas pangkuan. Ahyar membuka penutup kedua kotak itu, kotak pertama isi kuah sop sayur yang dibungkus dalam plastik dan dua potong ayam goreng. Sedangkan kotak dibawahnya berisi nasi putih. Ditrisya bahkan menyertakan dua kaleng minuman elektrolit. Seutas senyum di bibir Ahyar terbit. Apa pun rancauannya tadi malam, sepertinya itu bukan hal terlalu buruk untuk dicemaskan. *** Ahyar selalu merasa keren setiap kali melihat seorang gadis pipinya bersemu merah saat bertemu dengannya, lalu malu-malu tak mau mengaku kalau mereka tersipu. Namun, baru kali ini rasa keren itu disusupi pula oleh rasa lega. Setidaknya reaksi Ditrisya itu menandakan kalau bukan hanya Ahyar yang senang dengan pertemuan mereka kali ini. Senyum lebar Ditrisya tidak bertahan lebih dari lima detik setelah digantikan oleh wajah datar, berlagak acuh tak acuh yang justru membuatnya tampak semakin lucu. “Apaan ini?” Ditrisya menendang ban skuter Ahyar, mungkin dia melakukannya sebagai peralihan agar tidak perlu menatap Ahyar. “Katanya udah dijual.” “Tahu dari mana kalau udah dijual?” “Teman lo yang bilang.” “Dia bilang apa lagi?” “Nggak bilang apa-apa lagi, kecuali lo lagi mabuk bego.” Ahyar terkekeh pelan. “Gue ngoceh b**o apa aja semalam sampai-sampai lo anterin makanan ke kos gue?” Ia sedikit memiringkan kepala agar bisa lebih jelas menatap wajah Ditrusya yang sengaja dipalingkan. “Lo pasti khawatir banget, ya?” “Apaan, sih?” Ditrisya memukul lengan Ahyar salah tingkah. “Gue Cuma balikin makanan yang lo tinggal kemarin. Untung gue pulangnya nggak kemaleman, jadinya masih bisa kemakan.” “Oh ..., gitu.” Ditrisya memutar bola mata. “Lo ke sini Cuma mau ngecengin gue khawatir sama lo?” “Lah, emangnya nggak khawatir?” “Tolong, deh, Yar.” Kekehan Ahyar makin renyah. “Ya udah deh, iya nggak khawatir,” kata Ahyar seolah-olah mengalah. “Padahal ya, kalau lo mau balas makanan yang gue kasih itu bisa kapan-kapan. Nggak harus masak sendiri dan bela-belain antar sendiri ke kos gue sebelum kerja padahal lain arah.” “Gue nggak masak sendiri. Males banget masak buat lo.” Ditrisya berusaha mempertahankan sisa-sisa gengsinya yang memprihatinkan. “Oke, mau masak sendiri atau beli, intinya terima kasih.” Ditrisya berdehem. “Sama-sama.” “Ambil helm lo gih. Ikut gue keliling pakai skuter ini buat yang terakhir,” ujar Ahyar menahan diri menggoda Ditrisya lebih, ia belum tahu apa Ditrisya sama dengan Lisa, mengartikan sikap Ahyar tak lebih dari genit. Meski mendumel seakan malas, Ditrisya sama sekali tidak menunjukkan penolakan. Dia berjalan cepat mengambil helmnya di tempat dia memarkirkan motor, kemudian kembali sudah memakai jaket dan helm terpasang di kepala. “Gimana naiknya?” Ditrisya bingung lantaran belum pernah naik motor jenis ini sebelumnya. “Ya, tinggal naik kayak biasa.” “Sadelnya kecil banget.” “Ya elah, badan lo juga kan kecil banget.” Dengan berpegang pada kedua pundak Ahyar, Ditrisya duduk mengangkang di atas boncengan. Tidak ada cukup kurang untuk duduk sehingga ia tubuh depannya langsung menempel dengan punggung Ahyar jika tidak mau terjengklang ke belakang. “Pegangan,” Ahyar mengingatnya. “Udah.” Ditrisya mencengkeram dua sisi jaket denim Ditrisya di atas perutnya. “Yang bener.” “Ck, lo aneh-aneh, gue turun, ya, Yar!” *** Sudah sekitar setengah jam mereka berputar-putar di jalan. Ahyar mengendara skuternya tanpa arah. Semakin petang, ia sadar kalau ia membawa skuternya mengikuti jalan menuju arah barat. “Langitnya kayak Pop Ice,” gumam Ditrisya, entah kenapa dari semua hal, dia mengumpamakannya dengan itu. Tampaknya dia juga memperhatikan apa yang Ahyar perhatikan, yaitu langit senja di atas mereka yang terhampar warna keunguan dan merah muda, gumpalan-gumpalan awan kecil seperti permen kapas. Garis-garis kabel listrik di sepanjang jalan sama sekali tidak mengurangi keindahannya. Ahyar bersyukur posisi mereka sedang berboncengan, sebab ia tidak mau Ditrisya melihat matanya yang terasa mulai berair. Ahyar mengedip-ngedip agar matanya tidak panas. Setelah sekian tahun menemani dan menunjang kepercayaan dirinya, akhirnya Ahyar harus melepas skuter ini. “Berhenti dulu, dong,” pinta Ditrisya. “Nggak boleh berhenti di jembatan.” “Sebentar aja, mau foto langitnya sebelum gelap.” “Beneran sebentar aja, ya.” “Iya....” Dengan waspada, Ahyar menepikan skuternya ke tepi kiri jalan layang dalam kota ini. Ditrisya langsung melompat turun dan merapat ke pinggir teralis pembatas setinggi dadaa gadis itu. Ditrisya mengarahkan kamera ponselnya ke atas, bersemangat mengabadikan langit yang makin lama makin keunguan. Ahyar hanya memperhatikan dia dari atas skuter. Angin menerpa tubuh Ditrisya dari segala sisi, dia terlihat seperti capung tanpa sayap dengan helm besar di kepalanya. Ditrisya lalu berjalan ke arahnya lagi sambil melihat-lihat hasil jepretannya dari kamera ponselnya dengan puas. “Udah?” Ditrisya mengangguk ringan. “Bagus banget. Lihat, deh.” Ditrisya menunjukkan jepret terbaiknya pada Ahyar. “Kalau gue bilang lo cantik, menurut lo gue genit, nggak?” Wajah cerah Ditrisya seketika dibuat galak. “Gue lebih suka lo nggak ngomong begituan. Karena sejujurnya, itu sedikit, ehm ..., membingungkan.” “Karena gue nggak kelihatan serius?” “Salah satunya.” “Terus lainnya?” Ditrisya tampak tidak yakin bagaimana cara mengungkapkan perasannya lewat kata. Setelah tahu apa yang ingin dikatakan, Ditrisya menatap Ahyar lagi. “Karena gue ingin ngobrol dan kenal lebih banyak sama lo, dan gue rasa gue akan lebih nyaman kalau lo bersikap sewajarnya seorang teman.” Ditrisya sungguh berharap Ahyar bisa langsung paham maksudnya, tanpa banyak tanya. “Lo mau kenal lebih banyak tentang gue?” Ditrisya hanya mengangguk. Ahyar tersenyum tipis, lalu ikut mengangguk. Itu sudah cukup. Sudah lebih dari cukup bagi Ahyar dengan Ditrisya ingin mengenal dirinya lebih banyak. Kesyahduan senja yang menyelubungi mereka, terusik oleh suara sirine polisi dari jauh. Dengan panik Ditrisya kembali duduk di boncengan dan melingkarkan kedua tangan memeluk Ahyar saat Ahyar mengas skuternya tanpa aba-aba. Ahyar memacu skuternya secepat mungkin, di belakang motor besar polisi patroli mengejar. Ditrisya menjerit-merit ngeri, menyuruh Ahyar agar menghentikan misi kabur-kaburan yang mustahil ini. Sementara Ahyar malah tertawa-tawa meski tilang di depan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD