Ahyar ditilang dengan pasal berhenti di area terlarang, sejak polisi pergi hingga sekarang Ditrisya terus mengoceh sayang uang harus dipakai bayar denda. Tetapi lelaki itu tampaknya tidak peduli. Dia dengan ceria memberikan surat kendaraan dan kartu mengemudinya, mempermudah pekerjaan polisi dengan tidak protes atau tanya-tanya.
Dan sekarang mereka berada di semacam festival khusus foodtruck. Ada belasan foodtruck berbagai warna dan design, berjejer dengan menu andalan masing-masing. Dari makanan berat hingga makanan ringan, semuanya ada. Entah dari mana Ahyar tahu tempat ini.
Sejak tiba, Ditrisya belum beli apa-apa, padahal ia sudah kelaparan dan tak sabar ingin mendekat ke foodtruck warna merah menyala yang menjual berbagai mie. Lantaran di sebelahnya, Ahyar masih serius bertelepon dengan seseorang.
“Sebentar, gue pindah dulu. Berisik banget.”
Ditrisya sudah siap mengangguk jika Ahyar memberi isyarat untuk menyingkir, tanpa terduga Ahyar malah mengenggam tangan Ditrisya dan menariknya sedikit menjauh dari keramaian. Ditrisya berusaha melepaskan tangannya sambil melotot protes.
Ahyar menjauhkan ponselnya sejenak. “Entar lo ilang,” ujarnya cepat, lalu bicara lagi di telepon.
Apa di mata Ahyar Ditrisya anak ini anak TK yang tidak boleh dilepas sendirian di keramaian? Ditrisya mengembuskan napas panjang, dengan bosan menunggu Ahyar dengan tangan masih tergemggam oleh lelaki itu.
“Udah beneran nggak bisa kurang lagi? Ya, nggak perlu body mulus, kan mau dimodifikasi lagi. Iya. Oke, gue tunggu kabarnya lagi, Bang.”
Ahyar menyudahi teleponnya, Ditrisya bisa menemukan jejak kerutan di kening lelaki itu. Menandakan percakapan barusan lumayan membuatnya berpikir.
“Lo mau beli motor lagi?” tanya Ditrisya penasaran.
“Mau beli mobil.”
“Mobil?” pekik Ditrisya kaget. “Lo jual skuter buat beli mobil?”
“Buat modal usaha, Di,” jawab Ahyar tenang. “Yuk, mau makan apa?”
“Maksudnya gimana?” Ditrisya mengikuti langkah Ahyar yang membimbingnya berkeliling area ini.
Ahyar hanya melirik Ditrisya sekilas. “Gue ceritain sambil makan. Gue belum makan apa-apa sejak makan makanan yang lo antar.”
Baiklah, Ditrisya menahan penasarannya sebentar. Makanan-makanan yang dijajakan sangat beraneka ragam dan beberapa bahkan baru pertama kali Ditrisya lihat. Saking banyaknya, Ditrisya sampai bingung. Sehingga ia menjatuhkan pilihan makanan paling aman, yaitu rice bowl dengan irisan daging lada hitam dan telur mata sapi yang ia minta digoreng matang. Sementara Ahyar sedikit kebarat-baratan dengan membeli pasta.
Mereka mencari tempat duduk di meja yang berjejer memanjang di tengah-tengah area. Kebetulan semua kursi sudah terisi, hanya ada dua kursi kosong di meja paling ujung. Ditrisya langsung menempatinya, selagi Ahyar membereskan sisa sampah yang ditinggalkan orang sebelumnya dan Ditrisya mengelap meja seadanya dengan tisu.
Ditrisya sudah memakan hampir setengah makanannya, tetapi Ahyar belum juga kembali dari membuang sampah. Ditrisya celingak-celinguk mencarinya, memangnya Ahyar buang sama ke mana? Jelas-jelas tong sampai berjarak kurang dari lima meter dari tempat mereka. Ditrisya ingin menghubungi Ahyar, karena kalau dia pergi kelamaan, pastanya tidak enak dimakan. Tepat saat itulah dua wadah kertas makanan diletakkan di depannya. Satu makanan dengan saus kemerahan yang pasti muncul di drama Korea, dan satunya lagi wafel dengan siraman saus maple mengkilat dan es krim di atasnya.
Belum juga Ditrisya tanya kenapa beli makanan sebanyak ini, Ahyar sudah pergi lagi. Dan tak lama, dia kembali dengan satu wadah isi beberapa tusuk besar sate-satean. Serta dua minuman es kopi.
“Yar, lo yakin bisa makan habis ini semua?” tanya Ditrisya tak habis pikir.
“Dimakannya kan berdua.” Ahyar duduk di bangku plastik di sebelahnya dengan santai.
Ditrisya menatap satu persatu makanan-makanan itu, secara otomatis otaknya langsung menebak harga dan menghitung berapa rupiah yang sudah Ahyar keluarkan sekali makan. “Boros banget, sih, Yar.”
“Astaga, sekali-kali, Di. Sebelum nanti makan makanan jualan sendiri.”
Ditrisya termangu. Kadang masih sulit menganggap serius ucapan Ahyar tapi Ditrisya akan mempercayainya. Ahyar makan dengan lahap pastanya, saat Ahyar tiba-tiba menoleh, Ditrisya buru-buru mengalihkan tatapannya menunduk ke wadah makanannya.
“Menurut lo konsep bisnis food truck gini keren, nggak?”
“Eh?” Ditrisya terkesiap, belum siap menerima pertanyaan. “Keren sih keren, tapi menguntungkan, nggak?”
“Menurut lo?”
“Gue nggak tahu.” Ditrisya melirik sekitarnya. Sepintas tentu saja konsep bisnis ini tampak keren dan modern karena mengadaptasi dari luar negeri. “Lo mau bikin bisnis konsep begini?”
Ahyar mengangguk pasti.
“Dan produknya itu, yang kemarin lo kasih ke gue?”
Ahyar mengangguk sekali lagi. “Jujur, unik ...,”
“Tapi?”
Ditrisya menatap Ahyar dengan resah. “Gue ngomong ini bukan buat mematahkan semangat lo ya, Yar, ini murni dari kaca mata gue. Anggap aja gue orang sok tahu.”
Disela kunyahannya, Ahyar mengedip sambil tersenyum tipis.
“Lo yakin itu cukup menjual?”
“Lo bilang rasanya enak. ”
“Unik, sih. Tapi lo yakin keunikan ini cukup kuat untuk bersaing di pasaran. Sekarang ini, kan, banyak banget bisnis burger-burgeran. Ada yang burger item lah, burger nasi lah, berger isi inilah itulah, banyak banget. Dan sebelum makan burger rendang yang lo kasih, gue udah pernah makan sebelumnya di tempat lain."
"Memang. Nggak ada aturan kita nggak boleh jual produk sama kayak yang dijual orang lain, kan? Masalah hasil, tergantung sama usaha dan hoki masing-masing."
"Emang lo bisa masak rendang, sambal-sambal, sama olahan lainnya itu? Itu lo masak sendiri?"
"Ya, enggak lah." Ahyar membuka mulut lebar, dengan santai makan sate dalam sekali lahap. "Kenapa gue milih bisnis burger atau taco, karena bikinnya gampang. Tinggal angetin roti, susun isiannya, udah. Ada teman yang mau bantu, si Sisil, kita ketemu di tempatnya Vinno waktu itu. Dia punya usaha restoran Indonesia gitu. Rencananya gue mau ambil rendang, ayam taliwang, sama sambal-sambal dari sana. Sambil pelan-pelan belajar buat sendiri. Dia juga udah janji mau ngasih harga sahabat, jadi gue udah kira-kira, harganya masih relatif terjangkau sampai ke tangan customer."
"Terus gimana sama modalnya? Lihat deh, foodtruck-foodtruck ini. Sekilas aja gue tahu bikin satu unit foodtruck butuh uang banyak. Memangnya uang penjualan skuter lo cukup?"
"Gue ngerti yang lo takutin, Di. Tapi tenang aja. Sebelum mutusin mau bisnis konsep ini, gue udah banyak riset seperti yang lo bilang." Ahyar tersenyum menenangkan, padahal semestinya Ditrisya lah yang berusaha meyakinkan Ahyar kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Gue udah dapat mobil bak terbuka yang banyak dipakai food truck lain. Gue beli bekas, sih, tapi masih bagus kondisinya. Kalau sama peralatan masak, modifikasi, menurut perhitungan gue sih masih di bawah seratus juta. Modalnya akan segitu juga kalau gue sewa tempat. Belum lagi gue mesti nyediain tempat duduk, karyawan, tambah lagi ngurus perizinan. Sedangkan foodtruck, gue bisa jemput bola dengan mendatangi tempat-tempat ramai. Ikut event kayak gini, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain." Ahyar menghela napas panjang, "dan kalaupun ini gagal, gue bisa jual lagi mobilnya. Kalau buka kedai, mau oper sewa belum tentu ada yang mau sampai kontak keburu habis. Terus kalau mau jual-jual barang, berapa sih harga rongsokan?"
Tanpa sadar Ditrisya menahan napas selama Ahyar menjelaskan, dan begitu Ahyar mengakhirinya dengan memalingkan muka menatapnya, Ditrisya kini sepenuhnya yakin kalau Ahyar tidak main-main. "Kelihatannya lo udah siap. Lo harusnya nggak butuh pendapat gue lagi, kan?"
"Gue ingin lo ikut terlibat."
"Makaudnya gimana? Ini bisnis lo, nggak ada urusannya sama gue. Kalau lo untung, lo nggak mungkin bagi-bagi ke gue, kan? Ya gue takut aja, kalau misal ini gagal, lo nyeret-nyeret gue buat ikut menanggung rugi."
Tawa Ahyar pecah, Ditrisya merasa potongan kue beras ttokpoki yang alot di dalam mulutnya mendadak jadi selembut tahu. Ia selalu menyukai bagaimana mata Ahyar menyipit akibat tarikan bibir ke atas.
"Ayo habisin, gue harus pulangin skuternya sebelum jam sembilan."
"Jadi ini ceritanya lo pinjam ke pemilik baru?"
Ahyar menganggukkan kepala. "Biar lo pernah ngerasain naik skuter gue. Eh, udah bukan punya gue lagi maksudnya.” Ahyar terkekeh seolah menertawai diri sendiri.
***
Ditrisya hanya memperhatikan dari jauh, ketika Ahyar menyerahkan kunci skuternya pada lelaki yang tampak belasan tahun lebih tua dari dia. Lelaki itu menepuk pundah Ahyar dan mengatakan kalau nanti Ahyar mau beli skuternya kembali, dia akan menjualnya pada Ahyar.
Sebelumnya Ahyar mengaku, dia akan beli motor biasa dengan harga murah sebagai alat transportasi sehari-hari.
Senyum yang paling mengerikan adalah senyum yang dipaksakan, seperti yang tengah ditampilkan Ahyar saat berjalan menghampirinya. “Udah pesan taksinya belum?”
“Lo nggak apa-apa?” tanya Ditrisya, lupa menyembunyikan gengsi dengan menunjukkan terang-terangan kalau ia cemas.
“Gue kenapa?” Ahyar menaikkan alis, seolah tak paham maksud Ditrisya. “Udah pesan taksinya, belum?” tanya Ahyar lagi.
Ditrisya akhirnya menggeleng. Menghormati Ahyar yang mungkin saja ingin mengatasi perasaannya sendiri. Ahyar lantas mengeluarkan ponselnya sendiri, lalu sibuk memesan taksi online.
Tidak tahu apa yang menggerakkannya, yang jelas Ditrisya sadar tubuhnya maju selangkah mendekati Ahyar, tapi Ditrisya sama sekali tidak mencegah kakinya berjinjit bersamaan dengan kedua tangan dikalungkan ke sekitar pundak dan leher Ahyar.
“Di ....” Ditrisya dapat rasakan tubuh Ahyar menegang begitu kulit mereka bersentuhan.
“Aku yakin kamu pasti bisa menciptakan takdirmu sendiri,” bisik Ditrisya. “Nggak ada yang terlalu berlebihan untuk dikejar, atau kamu nggak cukup berharga untuk mendapatkannya.
“Jangan anggap aku yang jadi titik balik kamu. Kamu nggak akan bisa sejauh ini kalau bukan karena tekad kamu yang kuat. Ini semua berkat dan demi diri kamu sendiri.”
Ditrisya bisa bayangkan betapa canggungnya setelah ia melepaskan pelukan ini. Namun, ia ingin Ahyar mendengar itu.
Saat Ditrisya perlahan mengendurkan pelukannya, Ahyar balas mendekapnya kuat, sejurus kemudian Ditrisya bisa rasakan embusan napas Ahyar di belakang kepala hingga tengkuk. Gantian tubuh Ditrisya yang menegang karenanya.