20 | A Little Change

1570 Words
Sejak pelukan itu malam itu, ada beberapa perubahan drastis di hubungan Ditrisya dan Ahyar. Seperti, Ahyar menggunakan panggilan aku-kamu, sedangkan Ditrisya bertahan dengan lo-gue. Ia menolak pura-pura lupa saat Ahyar mengingatkan bahwa dirinya lah yang memulai memanggil Ahyar dengan sapaan tersebut. Serta rutinitas bertelepon setidaknya satu kali sehari meski hanya beberapa menit. Tidak ada deklarasi, penegasan status, atau semacamnya. Ditrisya dan Ahyar hanya sama-sama tahu kalau mereka ingin ada untuk satu sama lain. Sebagai teman, atau apa pun itu. Selagi menunggu food truck-nya jadi, Ahyar memanfaatkan waktu kosongnya dengan bekerja di restoran milik Sisil agar lebih terbiasa dengan proses makanan mentah bisa terhidang ke customer. Ahyar sempat cerita di awal-awal ia kerja di bagian dapur, dia hampir menonjok dengan asisten Chef yang tak sabaran menghadapi Ahyar hingga seringkali bicara dengan nada tinggi. Dia tidak mau mengerti kalau pengalaman Ahyar di dapur nyaris nol, barangkali lebih sebal lagi karena Ahyar masuk lewat tiket khusus dan dia tidak bisa sembarangan memecat tanpa izin Sisil sebagai owner sekaligus head Chef di sana. Oh, ada satu lagi perubahan kecil yang baru terlintas di pikiran Ditrisya. Yaitu, jam tidur. Selama bertahun-tahun Ditrisya menjalani pola hidup teratur, sebisa mungkin makan, tidur, dan bangun tidur di jam sama. Tetapi sejak Ahyar mulai kerja, jam tidur Ditrisya mundur ke jam sebelas hingga dua belas malam karena sekitar jam itulah Ahyar akan meneleponnya. Seperti yang dilakukannya saat ini. Ditrisya mendengar desah panjang napas Ahyar dan hempasan tubuh lelaki itu di atas kasur. “Badan aku rasanya kayak mau remuk.” “Cukup bilang capek. Nggak perlu hiperbola.” “Kamu nggak akan percaya aku tadi habis ngapain aja.” “Coba gue dengar dulu.” “Ngupas bawang merah sama bawanh putih,” seru Ahyar menggebu. “Nggak tanggung-tanggunh. Bawang putihnya lima kilo, bawang merahnya tujuh kilo. Sekarang punggung aku sakit banget dan tangan aku rasanya masih panas.” Sebagai pembenci bau bawang, Ditrisya bisa bayangkan betapa menyebalkannya itu sehingga ia tidak akan mencibir. “Kayaknya di Gatot sengaja ngerjain aku, mentang-mentang Sisil hari ini ngelarang aku di kitchen.” “Kenapa begitu?” “Karena ada customer complain ayam goreng dia masih mentah, dan itu aku yang goreng.” “Yar, itu fatal banget.” Ditrisya tidak tahu harus tertawa atau iba. “Aku tahu,” desah Ahyar. “Dulu aku kira waktu orang-orang bilang aku modal tampang doang, itu Cuma asal omong. Ternyata beneran, gue nggak punya skill apa-apa. “Belum terlambat buat belajar,” hanya demi membuat perasaan Ahyar baik, Ditrisya tidak ingin menyanggah perkataan Ahyar. “Lo mestinya bersyukur karena menyadari itu sekarang, coba kalau lo baru sadar itu 20 tahun lagi saat lo udah nggak ganteng dan badan sakit-sakitan.” Ditrisya lalu menyuruh Ahyar segera tidur karena besok akhir pekan dan biasanya restoran-restoran akan lebih sibuk dari hari biasa. *** Ditrisya memijit kepala pening, ia tidak suka dengan segala sesuatu yang buru-buru atau diburu waktu. “Mbak ...,” panggil Dhika melirih putus asa lantaran Ditrisya belum berkata apa-apa sejak dia meminta agar Ditrisya dan Ahyar setidaknya bertunangan, agar dia bisa melamar pacarnya. “Hubungan aku sama Ahyar belum sejauh itu.” Antara kesal dan frustrasi, Ditrisya tidak tahu bagaimana harus menjelaskan lagi. “Tunangan aja dulu, yang penting Mbak udah diikat.” “Yang diikat pernikahan aja bisa cerai, gimana sama tunangan?” omel Ditrisya sebal. Dhika sangat tidak masuk akal. “Kenapa sih, kamu ngebet banget? Pacarmu hamil?” “Astagfirullah, Mbak!” seru Dhika kaget dituduh b***t. “Justru biar dia nggak hamil di luar nikah. Nikah itu lebih cepat lebih baik, Mbak.” “Nikah itu lebih baik siap, daripada cepat-cepat.” “Aku udah siap.” “Tunggu satu tahun atau dua tahun, minimal sampai pekerjaan kamu stabil. Kalau takut khilaf, burung kecilmu itu pasangin rantai atau apa kek.” “Tri,” Ibu yang sedari tadi menyimak pun akhirnya menengahi. Ditrisya berdecak, “Ibu yakin bocah ini udah siap jadi kepala keluarga?” tanya Ditrisya sekian kalinya setelah tahu kalau Ibu dan Ayahnya sudah memberi lampu hijau untuk Dhika menikahi pacarnya, walaupun Ditrisya tahu jawaban Ibu pasti tetap sama. Yaitu, menyegerakan hal baik, sebelum datang hal buruk. Tidak mengheran sebenarnya, di keluarga besar baik dari Ayah atau Ibu Ditrisya, kebanyakan mereka menikah dibawah umur dua puluh lima tahun. Makanya ketika Ditrisya belum juga menikah diusianya sekarang, Ditrisya menjadi perhatian khusus, seolah keadannya berada di ambang kritis. “Catur ada benarnya lho, Tri.” Ditrisya melotot tak terima dengan pernyataan Ibu. “Ke mana lagi hubungan mau dibawa kalau nggak ke jenjang pernikahan? Ibu sudah ingatkan berkali-kali, pikiran kamu jangan negatif terus, coba mikir baik-baiknya aja.” Ditrisya mendesah pendek. Dan berkali-kali pula Ditrisya juga mengingatkan kalau realita seringkali tidak sesuai dengan harapan. Jika kita tidak menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk atau setidaknya punya plan B, kita akan dikecewakan oleh harapan yang kita ciptakan sendiri. Belakangan, inilah yanh membuat Ditrisya malas pulang ke rumah orangtuanya. Pembahasan mereka jadi ke ranah rencana pernikahan dan rengekan-rengekan Dhika. Bagian paling menyebalkan adalah, dalam masalah jodoh kedua orangtuanya sangat kolot. Padahal Ditrisya sudah memberi solusi paling sederhana, yaitu mengizinkan Dhika melangkahinya. Rencana Ditrisya untuk menginap dibatalkan, sore hari ia pamit pulang. Sambil mengomeli Ditrisya yang dinilai kekanakan, Ibu membungkuskan makanan untuk Ahyar. Katanya, biar Ahyar buru-buru ingin resmi jadi menantu Ibu. “Nih, kasih Ahyar beneran.” Ibu menyerahkan satu kotak makanan, Ditrisya yang menyuruh untuk membungkus lauk saja. “Minggu depan ajak ke sini. Kalau kamu malu bilang, biar Ibu yang bilang ke dia buat cepetan lamar kamu.” “Bu ...,” erang Ditrisya sarat akan permohonan agar Ibu berhenti. Saat Ditrisya memasukkan kotak makan itu ke dalam tas plastik, Ibu bertanya lagi, “nggak mau bungkusin buat Lisa sekalian? Mumpung masih banyak ini.” Mendengar nama Lisa, seketika Ditrisya kembali sakit kepala. Terakhir kali mereka bicara adalah dua minggu lalu, saat Ditrisya meneleponnya dan minta maaf tidak menganfkat telepon Lisa malam sebelumnya. Lisa mengaku kecewa, menilai Ditrisya tidak berusaha mengakrabkan diri dengan Bima, padahal Lisa sudah menyiapkan semuanya. Sejak saat itu sikap Lisa sangat dingin, Ditrisya sengaja belum menghubunginya lagi. Ditrisya enggan minta maaf dengan mudah lantaran kegagalan kencan buta itu bukan sepenuhnya salahnya. Lagipula, sejak awal Ditrisya tidak tertarik melakukannya. Ia tetap dandan cantik dan bertemu Bima atas desakan Lisa hingga Ditrisya tidak enak hati menolaknya. “Boleh, deh.” Abiklah, mungkin perang dingin itu harus diakhiri. Sangat tidak nyaman ‘bermusuhan’ dengan seseorang yang sudah Ditrisya anggap sebagai orang terdekatnya. *** Ditrisya sengaja tidak memberitahu Lisa tentang kedatangannya. Ditrisya mengetuk pintu kamar kos Lisa sebanyak dua kali lalu menyerukan namanya. Ditrisya menunggu pintu itu terbuka dengan senyum yang ia atur selebar mungkin. Dan ketika pintu itu terbuka, Ditrisya sadar senyumnya terlalu dipaksakan. Mana mungkin Ditrisya bisa senyum tulus jika respon Lisa sangat datar. Tampak Lisa menghela napas, lalu mempersilakan Ditrisya masuk. “Gue kira lo udah nggak peduli lagi sama gue.” Lisa bersendekap di d**a. “Hei, mana mungkin. Lo, kan, sahabat terbaik gue.” Ditrisya merangsek memeluk Lisa dari samping, sengaja membuat dirinya tampak konyol agar Lisa luluh. “Yakin lo masih anggap gue sahabat terbaik?” “Udah, jangan gitu, ah. Masa gara-gara kencan buta gagal, kita jadi ribut panjang.” Ditrisya menyudahi sebelum makin meleber kemana-mana. “Gue juga, kan, udah minta maaf udah bikin lo malu. Apa perlu gue minta maaf juga ke Bima?” Lisa mendecakkan lidah remeh dan sedikit mendorong Ditrisya agar pelukan erat gadis itu terlepas. “Ini tuh bukan soal kencan buta atau perasaan nggak enak gue ke Bima. Jujur aja gue nggak peduli sama sekali sama Bima, tujuan gue ngenalin kalian tuh buat lo. Gue ingin lihat lo bersandingnya sama cowok baik-baik, daripada buang-buang waktu sama cowok nggak jelas kayak siapa itu namanya gue lupa.” Suasana hati Ditrisya berangsur-angsur muram, ia hanya diam dan menelan semua omelan Lisa. “Gue tahu lo masih berhubungan sama dia, kan? Gimana? Jadi sekarang lo udah nggak bingung lagi perasaan lo itu kasihan atau cinta? Maaf-maaf aja ya, Di, menurut gue lo buta. “Apa lo tahu kalau dia sekarang kerja di restorannya Sisil yang waktu itu datang bareng dia?” Ditrisya mengangguk pelan. Ada banyak hal yang ingin dia keluarkan, namun ditahan-tahan agar pertemannnya dengan Lisa tidak makin buruk. “Mending, sih, daripada nganggur. Tapi tetap aja nggak becus kerja.” Bibir Ditrisya terbuka hendak menyela, sepertinya Lisa sudah keterlaluan mengomentasi seseorang yang sama sekali tidak dia kenal secara personal. Namun, Lisa lebih dulu bersuara. “Kemarin cowok yang lo suka itu hampir ngebunuh gue, tahu nggak? Ayam yang gue order warnanya masih pink. Masih mentah. Untung customernya gue, kalau orang lain pasti langsung kasih review jelek buat restorannya Sisil. Yang salah siapa, yang rugi siapa.” Jadi, customer complain yang diceritakan Ahyar semalam adalah Lisa. Ditrisya penasaran kenapa Ahyar tidak menyebut serta nama Lisa. “Oh ya?” Entah dengan Lisa customer yang jadi korban kelalaian Ahyar itu benar keberuntungan atau malah sebaliknya. “Kata Vinno dia mau buka usaha, ya?” tanya Lisa tapi seperti tidak butuh jawaban. “Kalau dia pinjam uang jangan gampang kasih karena kasihan.” Ditrisya hanya menarik paksa kedua sudut bibirnya. Lisa tidak tahu, Ahyar tidak pernah sekali pun mengeluh masalah uang atau modal usahanya. Pernah sekali waktu Ditrusya bertanya berapa harga skuternya terjual, Ahyar menjawab dengan satu kata yaitu lumayan. “Eh, ngomong-ngomong lo ke sini nggak bilang-bilang. Gue dua jam lagi mau pergi, nih.” Ditrisya tidak pernah merasa sesenang ini diusir secara tersirat oleh seseorang. “Sama Vinno, ya?” “Gitu, deh.” Ditrisya lantas berdiri. Ia hampir kelupaan titipan makanan dari Ibunya. “Nih, Ibu tadi masak banyak rawon buntut sapi. Dia ingat lo pernah makan dua piring pas dulu makan ini di rumah gue.” “Ya ampun repot-repot banget.” Lisa menerimanya. “Nanti gue telepon Ibu buat bilang terima kasih.” Ditrisya mengangguk. “Oke, gue langsung balik, ya? Have fun datingnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD