21 | No Option But Action

1572 Words
Hari yang melelahkan. Terikat aturan dan tunduk pada atasan ternyata tidak semenjengkelkan itu selama kita punya alasan dan tahu kenapa kita harus bertahan. Sebelumnya Ahyar cukup merasa percaya diri dengan pengalamannya sebagai barista, pikirnya standar kerja di restoran tidak akan jauh beda. Namun, ternyata Ahyar lah yang tidak tahu apa-apa. Restoran, khusunya dapur sangat lah keras dan kompleks. Sebagai usaha perdagangan sekaligus jasa, kinerja mereka dinilai dari kepuasan pembeli. Jika mereka puas, mereka diharapka akan datang kembali. Hal itu dicatat Ahyar besar-besar dalam kepalanya. Mudah saja mendatangkan orang untuk beli, sedangkan poin terpentingnya adalah bagaimana membuat mereka datang lagi. Caranya? Tentu saja dengan menjaga kualitas produk dan pelayanan. Itulah mengapa semua yang bekerja di sana dituntut cepat, teliti, tapi tetap harus memastikan tidak ada standar SOP yang terlewat. Jujur saja nyali Ahyar sempat menciut, tetapi setelah mengingat semua yang sudah ia pertaruhkan, Ahyar tidak punya pilihan selain yakin. Ahyar beruntung karena ia punya Sisil. Sisil mengizinkan Ahyar 'mengacaukan' dapurnya hanya agar Ahyar bisa belajar langsung bagaimana panasnya kerja dibalik kompor, alih-alih hanya mengandalkan artikel-artikel di internet. Ahyar banyak baca kisah sukses pengusaha-pengusaha di luar sana. Ahyar ingin belajar dari pengalaman gagal-bangkit mereka, agar Ahyar tidak perlu belajar dari kisah kegagalannya sendiri. "Yar?" Ahyar sedang berusaha mengangkat minyak goreng dua puluh liter ketika berpapasan dengan Sisil di depan ruang penyimpanan. "Lo ngapain?" tanyanya seperti keheranan. "Oh, dimintai tolong Chef Gatot buat ambil ini." "Dia bilang satu jerigen?" Ahyar mengangguk. Memang itu yang diperintahkan Gatot padanya, mengambil minyak goreng untuk stok di dapur. Sisil menghela napas yang tidak Ahyar pahami maknanya. "Ehm, sebenarnya lo nggak perlu bawa minyak itu sejerigen-jerigennya, sih, Yar." Jadi, maksudnya Gatot mengerjai Ahyar lagi? Kemarin pun menurut karyawan lain, mereka biasanya tidak mengupas bawang sekaligus dalam jumlah sebanyak itu demi menjaga kondisi bawangnya. "Coba nanti gue ngomong ke Chef Gatot." "Jangan, Sil," cegah Ahyar cepat-cepat. "Dari awal lo udah banyak bela gue tiap gue bikin salah. Biarin aja, daripada lo dianggap gimana-gimana sana anak buah sendiri. Lo masukin gue ke dapur tanpa seleksi aja pasti banyak yang ngerasa nggak adil." "Mereka nggak mikir gitu. Mereka semua tahu lo cuma dua bulan di sini." "Iya, sih. Yang ini beneran nggak apa-apa. Mungkin maksud Chef Gatot biar sekalian nggak bolak balik." Entah apa yang akan dilakukan Gatot lagi jika Sisil kembali menunjukkan perlakuan spesialnya pada Ahyar. Ahyar hanya ingin kerja dengan tenang tanpa ada gesekan dengan rekan kerja. Diberi tatapan sarat akan permohonan, Sisil akhirnya mengangguk. "Lo tadi masuk jam 9, kan? Kenapa belum pulang?" "Ini mau pulang. Lo juga udah mau pulang?" Sisil bekejerja bergantian dengan Gatot. Jika ada Gatot, Sisil lebih banyak di ruang kerjanya untuk memeriksa laporan dari manajer restoran dan keperluan lain. "Iya, mau gue tungguin, nggak? Sekalian kita makan dulu." Ahyar meringis menyesal. "Gue hari ini nggak bisa, Sil. Ditrisya lagi jalan ke kos gue." "Oh, kalian makin dekat, ya, kayaknya?" tanya Sisil yang terdengar seperti simpulan, dan dia pun tidak menunggu jawaban Ahyar. "Oke, gue duluan kalau gitu." Baru selangkah berjalan, Sisil berbalik lagi lantaran teringat sesuatu. "Oh ya, Yar, lo dapat undangan welcome party yang diadain buat Sandra?" "Iya, Rina udah ngasih tahu gue." "Lo datang, kan?" "Kayaknya enggak, Sil. Besok gue dapat shift siang." Sisil mengibaskan tangan remeh. "Tinggal tukar sama yang lain. Mantan pacar 'serius' masa nggak datang, nggak penasaran sama kabar terbaru dia apa?" Sisil membuat tanda kutip dengan kedua tangan saat mengatakan kata serius. "Sekalian ajak aja Ditrisya Ditrisya yang lagi dekat sama lo itu, biar Sandra nyesel udah ninggalin lo." Ahyar tertawa kecil tidak berniat menanggapi. Sisil melambai dan pergi dari hadapannya. Ahyar tidak terlalu berminat untuk datang, cerita antara ia dan Sandra sudah sangat lama selesai. Ahyar belum pernah jatuh cinta sebelum akhirnya mengenal Sandra. Gadis pertama yang mendapat pengakuan cintanya dengan telapak tangan berkeringat dingin adalah Sandra, sekaligus gadis terakhir yang pacaran dengannya. Sejak putus dengan Sandra Ahyar malas terlibat hubungan terlalu mendalam dengan seseorang. Karena pacaran hanya akan membuat dirinya 'dibuang' berkali-kali. *** "Di situ." Dengan patuh Ahyar menaruh jerigen minyak goreng ini ke arah yang ditunjuk Gatot. Ahyar mendesah lega ketika akhirnya tugas itu diselesaikannya. "Masih ada lagi nggak, Chef?" tanya Ahyar. "Kalau nggak ada, apa aku udah boleh pulang?" "Lho, siapa yang nahan kamu pulang?" Gatot bertanya balik. "Kalau udah jam pulang, ya, pulang. Ini bukan sekolah, nggak usah nunggu izin guru." "Oke, Chef." Ahyar kira dirinya sudah bisa pergi, Gatot masih bicara lagi, "lagian mana berani saya macam-macam sama kamu. Urusannya pasti bakal panjang sampai ke telinga Bos. Eh, ngapain kamu masih di sini? Pulang sana, nanti dikira saya nahan kamu beneran." Ahyar terlalu capek untuk sekadar memasang topeng senyum. Ahyar kadang masih heran, apa pergaulannya yang kurang luas sampai baru kali ini menjumpai laki-laki, gerbadan besar, dan bernama sangat macho tapi suka sekali menyindir-nyindir. Apa, sih, sebenarnya yang dia takutkan dari kehadian Ahyar? Karyawan yang lain saja bisa menyambut Ahyar sebagai Ahyar, bukan sebagai temannya Sisil karena seperti kata Sisil tadi, mereka tahu kalau di sini Ahyar hanya dua bulan. "Eh, tunggu," seru Gatot, ditujukan pada siapa lagi kalau bukan pada Ahyar. "Sekalian itu bawa sampahnya ke luar." "Siap, Chef," sahut Ahyar dibuat seringan mungkin. Dengan kedua tangannya yang masih sedikit kebas akibat mengangkat beban berat, Ahyar mengangkat dua kantong sampah hitam itu keluar dari dapur lewat pintu samping yang merupakan pintu keluar masuk barang. Ahyar melempar kantong itu ke atas tumpukan kantong-kantong lain yang belum diambil petugas pengelolaan sampah. Ia lega akhirnya keluar dari dapur. Ahyar mengeluarkan ponselnya, bermaksud untuk menelepon Ditrisya, mengabari kalau ia akan terlambat dari waktu yang ia bilang di telepon sebelumnya. "Halo, Yar?" Telepon itu sudah diangkat Ditrisya pada deringan pertama, menandakan kalau Ditrisya sudah tiba di kosnya. "Halo juga, Pacar. Udah di kos aku, ya?" "Iya, baru aja sampai. Lo di mana?" "Masih di luar. Lima belas menit lagi aku udah di sana." Meski tak yakin, Ahyar upayakan akan tiba dalam kisaran waktu tersebut. "Ya udah, cepetan. Gimana, sih, tadi katanya udah mau pulang," omel Ditrisya. Ahyar tertawa pelan. "Ya, iya. Tungguin sebentar." "Kak Ahyar!" Ahyar terkesiap saat Tika, seorang anak magang berlarian menghampirinya. "Ada apa, Tik?" "Kak, dipanggil Chef Gatot. Disuruh masuk lagi karena kita mau kedatengan rombongan 21 orang." "Kan jam kerja gue udah habis, Tik." "Aduh, nggak tahu, Kak. Kak Ahyar bilang aja sendiri ke Chef Gatot. Udah, ya, aku masuk dulu sebelum dia marah-marah." Usai mengatakan itu, Tika berlari lagi ke arah pintu. Ahyar menghela napas, di seberang sana Ditrisya pasti sudah mendengar situasinya. "Aku kayaknya belum bisa pulang, Di." "Sampai jam berapa?" Ahyar menghendikkan bahu, lalu sadar kalau Ditrisya tidak bisa melihatnya. "Nggak tahu," desahnya malas. Selain ingin bertemu dengan Ditrisya, badan Ahyar sudah capek sekali. Seandainya pada jam 5 tepat tadi Gatot tidak menyuruhnya mengambil minyak goreng, ia pasti tidak akan terjebak di sini. "Maaf udah bikin kamu jauh-jauh datang. Kamu pulang aja, daripada nungguin aku nggak jelas berapa lama." "Oh, ya, udah nggak apa-apa. Males banget nungguin lo, tujuan gue datang cuka buat antar makanan titipan Ibu, kok." Hanya mendengar penyangkalan khas seorang Ditrisya saja mood Ahyar sedikit membaik. "Gue titip makanan lo ke tetangga aja kali, ya? Biar nanti pulang kerja lo bisa makan," ujar Ditrisya lagi. "Lo ada nasi, nggak? Kalau nggak ada nanti sekalian beli di luar, biar nggak bolak-balik." Seperti ada aliran air dingin melewati d**a Ahyar. Ia sering mendapat kalimat perhatian semacam itu dari teman-teman wanitanya, tapi tidak ada yang memberi efek menyentuh seperti ini. Ahyar merasa benar-benar diperhatikan, bukan sekadar perhatian untuk dapat perhatian. "Duh, senengnya ada yang perhatian," goda Ahyar. "Tolong, deh, Yar." Ahyar mengekeh. Ia bisa bayangkan saat mengatakan itu wajah Ditrisya pasti dibuat-buat datar tapi pipinya bersemu kemerahan. "Hei, temannya Sisil! Semua orang lagi repot di dalam, jangan asyik ketawa-ketawa sendiri!" Kekehan Ahyar berangsur hilang dari wajahnya. "Saya udah telepon Sisil, kamu disuruh lembur!" "Masuk sekarang, Chef," sahut Ahyar. "Cepetan." Seolah tidak percaya, Gatot masih bertahan di ambang pintu dengan tatapan mengawasi. Ahyar menempelkan ponselnya kembali ke telinga dan berkata cepat, "Di--" "Kok bos kamu manggil kamu begitu?" Ahyar mengumpat dalam hati. Tentu saja, suara menggelegar Gatot bisa didengar Ditrisya. "Panggilan becandaan. Udah, ya." Ahyar mematikan ponselnya tanpa menunggu respon Ditrisya. Sambil menyimpan kembali ponsel dalam kantong, Ahyar berlarian kecil kembali ke restoran. Saat melewati Gatot, langkah Ahyar dibuat terhenti oleh ucapan lelaki itu. "Jangan mentang-mentang berteman baik sama bos, kamu merasa aman-aman aja. Ingat, yang bos itu temanmu, bukan kamu. Kamu, saya perhatikan kok lama-lama makin seenaknya, ya. Ingat, yang bos itu Sisil, di sini level kamu masih kayak Tika. Malah masih mending Tika punya basic di sekolahnya." Kedua tangan Ahyar dibalik apron mengepal kuat, satu kata saja Gatot berucap, kepalan tangan itu pasti menghantam wajah Gatot. Alis Gatot menukuk naik, seakan menunggu Ahyar membalas perkataannya. Dan alisnya jadi berkerut ketika tanpa terduga Ahyar bereaksi dengan cengiran konyol. "He he, makanya, berteman sama bos juga, dong, Chef," ujar Ahyar lalu melanjutkan langkah, bersamaan dengan hilangnya cengiran itu dari wajahnya. Terserah mau orang menganggap Ahyar tidak berguna karena kerja atas bantuan Sisil, Ahyar tidak peduli sekalipun dirinya dianggap tidak tahu diri. Ahyar tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan keberuntungan ini. Dimana lagi Ahyar bisa masuk dapur tanpa pernah sekolah kuliner atau bekerja di bidang sama sebelumnya? Ahyar yakin, segala ilmu dan pengalaman yang ia dapat di sini akan jadi bekal berharga dalam membantu operasional bisnisnya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD