Keluarga Ditrisya punya tradisi setiap dua kali dalam sebulan, yakni makan siang bersama. Yang mana dia dan ketiga saudaranya akan datang ke rumah orangtua mereka. Kegiatan itu bersifat wajib, siapapun yang tidak hadir harus menyertakan alasan kuat. Atau kalau tidak, Ibu akan menghukum mereka dengan menangis sambil, 'ya begini nasib orangtua, masih kecil disayang-sayang, udah pada besar lupa sama orangtua.'
Ditrisya selalu hadir, meski dengan berat hati. Ibunya bilang, kumpul-kumpul seperti ini merupakan cara menyatukan keluarga besar yang terpecah-pecah, setelah kakak pertama dan keduanya menikah dan tinggal terpisah bersama keluarga kecil masing-masing.
Begitu motor Ditrisya memasuki pekarangan rumah, di sana sudah berjejer dua buah mobil dan satu motor sport merah milik adik bungsunya. Mengucap salam pertama, kehadiran Ditrisya disambut riuh antusias lima kurcaci dengan rentang usia tujuh sampai tiga tahun. Seperti biasa, mereka mengerubungi kaki Ditrisya, membuat Ditrisya susah bergerak karenanya.
"Oke tenang, jangan tarik-tarik baju Titri, oke?" seru Ditrisya, ketujuh keponakannya lantas berbaris rapi. Ditrisya menghela nafas, lalu mengeluarkan dompet. Mengeluarkan lembaran uang sepuluh ribuan yang sudah ia persiapkan dan membagikannya masing-masing satu. Setelah itu, mereka membubarkan diri tanpa dikomando. Bahkan ucapan terima kasih diucapkan sambil lalu. Itu adalah pajak yang wajib ia keluarkan sebagai satu-satunya bibi yang dianggap mapan dan belum ada tanggungan-belum menikah.
Empat pria di keluarganya yang berkumpul di ruang tengah hanya tertawa melihat wajah nelangsa Ditrisya. Siapa pun tahu kalau Ditrisya sangat pelit, sehingga mereka senang melihat Ditrisya mengeluarkan uang.
"Awas aja ya, kalian harus ngasih anakku seratus ribu tiap minggu nanti," ujar Ditrisya menunjuk bergantian kedua kakak lelakinya. Eka dan Dwipa.
"Siap."
"Mas udah nggak sabar, makanya buruan punya anak."
"Eh, udah ngomongin anak, calonnya udah ada, belum?"
Ditrisya mendelik pada si catur, Dhika. Bocah itu tidak pernah gagal memperburuk suasana hatinya. "Nggak usah ngeledek kalo lo juga jomlo."
Ditrisya tak tahu apa yang lucu dari fakta yang barusan diungkapkannya hingga semua pria itu tertawa. Ditrisya baru tahu jawabannya ketika seorang gadis cantik berhijab warna pastel memberitahu bahwa makan siang sudah siap.
Dhika menghampiri gadis itu dan merangkulnya. Namun tak jadi, setelah si perempuan memberi isyarat penolakan. Dhika ngengir antara malu dan bangga. "Kenalin, Mbak Tri. Calon iparmu, cantik, kan?"
Ditrisya melonggo selama beberapa detik, sampai Ibu muncul dari arah ruang makan dan memukul pantatnya. "Kebiasaaan ya, kamu. Datangnya mepet-mepet, pasti sengaja biar nggak diminta bantu masak."
Ditrisya mengaduh keras sambil menggosok-gosok pantatnya yang selalu menjadi korban. "Yang penting, kan, datang. Aduh Ibu ini."
"Masih berani ngedumel lagi?" Ibu melebarkan telapak tangan kanannya mengancam.
Ruangan riuh oleh tawa. Ditrisya melirik pacar Dhika yang entah sedang berpikir apa tertang keluarganya di hari pertamanya di sini. "Bu, jaga image keluarga dikit, kek. Yang alus. Nanti gimana kalau Dhika tiba-tiba diputusin ceweknya karena takut punya mertua galak kayak Ibu."
"Wilda pasti tahu Ibu nggak mungkin ngamuk tanpa sebab. Iya kan, Nak?" Ditrisya mau muntah melihat sikap manis Ibu pada Wilda. "Tadinya Ibu kira telatnya kamu kali ini karena nungguin cowok kamu yang mau kamu kenalin sama Ibu sama Ayah. Tapi ternyata kamu lagi-lagi sendiri, sampai bosan Ibu lihatnya."
"Cowok? Kenapa Ibu bisa mikir gitu?"
"Katanya Dhika kamu udah punya pacar."
"Hah?" Ditrisya menoleh pada Dhika, menuntut penjelasan.
"Itu, cowok mbak Tri yang waktu itu ngangkat teleponku," Dhika menyahut.
Ditrisya masih berusaha mencerna, ketika satu pukulan Ibu mendarat lagi di pantatnya. Di titik yang sama. Sontak Ditrisya mundur mencari jarak aman. "Kamu nggak peduli banget sama keluarga kamu sih, Mbak? Kita semua di sini mulai panik karena kamu nggak pernah ngomongin soal cowok lagi, apalagi mengajaknya pulang ke sini. Kalau kamu bilang udah punya pacar, Ayah kan nggak perlu ngomong sama Haji Ikhwan pemilik toserba di ujung jalan sana, buat ngenalin anaknya ke kamu."
"Hah?" Ditrisya tak mengerti situasi yang sedang dihadapi. Dari calon mantu baru, bisa lompat ke Haji Ikhwan.
"Jangan berlagak bloon gitu, Mbak," kata Dhika. "Jelas-jelas kemarin yang ngangkat telepon Mbak itu cowok dan dia ngaku pacarmu."
"Ahyar maksudnya?"
"Oh... namanya Ahyar..." Ulang beberapa suara beda nyaris bersamaan. Ditrisya mengerejap bodoh. "Islami banget ya namanya, cocok jadi imam keluarga kayaknya tuh," celetuk Eka, kakak tertua Ditrisya.
"Gimana orangnya?" sambung Dwipa. "Kerja dimana dia?"
"Ganteng nggak, Mbak?"
"Kalian jangan tanya begitu. Biar pun terkesan cuek, Tri ini punya standar yang cukup nggak tahu diri. Dia nggak mungkin mau kalau orang itu miskin. Pastilah punya kerjaan lebih bagus dari Tri."
Ditrisya menggeleng, berusaha menampik sekaligus bingung bagian mana yang harus diluruskan. "Gini ya, Ibu, Mas-mas, Catur, dan semuanya. Aku sama Ahyar nggak pacaran. Amit-amit, jangan sampai. Percaya deh, Ahyar itu cuma tukang tambal ban tapi gayanya kayak anak pejabat."
"Kalian pasti lagi ada masalah, ya?" tanya Ibu pelan.
"Iya, sebelumnya kami punya masalah yang membuat kami memutuskan nggak akan mau ketemu lagi satu sama lain."
"Jangan begitu, Mbak. Namanya hubungan nggak mungkin nggak ada masalahnya." Dhika menasehati kakaknya, karena dalam urusan asmara, Dhika percaya diri dirinya lebih berpengalaman.
"Ck, masalahnya kami memang nggak ada hubungan."
"Mantan pacar termasuk hubungan, lho."
Ditrisya menipiskan bibir, menahan geram. "Aku nggak pernah pacaran sama dia." Ditrisya menekankan tiap kata-katanya. "Pertama, karena dia miskin. Kedua, karena dia nggak punya kerjaan. Ketiga, karena dia tukang bohong. Keempat, karena dia suka manfaatin cewek. Sebenarnya masih banyak kejelekan dia, tapi aku malas ngomongin dia lagi."
"Dia kasar sama kamu?" Ditrisya mengerejap bingung. "Jangan bilang dia selingkuh?! Berani-beraninya." Eka menggebrak meja.
"Bener, Mbak?"
Baru saja Ditrusya hendak menyahut, Dwipa menimpali. "Bener tuh, biasanya kalau kita cuma bisa ingat keburukan seseorang, artinya orang itu udah menyakiti hati kita."
Dan sekarang semua mata tengah menatap Ditrisya iba.
Ibu menghela napas berat, lalu mengusap punggung Ditrisya. "Yaudah ayo kita makan. Mungkin Ahyar Ahyar itu belum jodohnya Tri."
"Kami nggak pernah pacaran," Ditrisya merengek, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi.
Ibu mengangguk-angguk sembari seolah paham. "Iya, anggap aja seperti itu, kalau dengan begitu kamu bisa mudah melupakan dia."
"Bu..."
Bergantian ketiga saudaranya menepuk pundak Ditrisya seolah membagi kekuatan. Ditrisya mendesah pasrah. Apa yang mereka pikirkan tidak benar, tapi berusaha meluruskan pasti akan menghabiskan lebih banyak energi. Meski mengganjal di hati, Ditrisya biarkan saja. Yang penting mereka tahu kalau Ahyar bukan pacarnya.
***
Lepas dari bayang-bayang nama Ahyar, Ditrisya kini dihadapkan dengan masalah yang lebih pelik. Dan lagi-lagi penyebabnya karena Dhika.
Dhika yang bulan depan akan resmi menyandang gelar sarjana, ngebet ingin mempersunting Wilda sebagai istrinya. Berhubung Ibu tudak mau Ditrisya dilangkali, apalagi oleh adik laki-laki, Ibu menahan restunya sampai Ditrisya menikah lebih dulu.
Seolah sudah tahu kendala yang dihadapi oleh Ditrisya, Ayah dan Ibu ternyata sudah mengatur pertemuan dengan Bobby, anak Haji Ikhwan sang juragan sembako untuk dijodohkan dengannya. Kata Ayah memang 'cuma' perkenalan biasa, tapi siapa yang akan percaya?
Sepulang dari rumah orangtuanya, Ditrisya mampir ke rumah teman baiknya dan menceritakan semua itu. Bukannya bersimpati, Lisa malah menertawakannya sampai terbahak-bahak.
"Ngapain lo?" tanya Lisa saat Ditrisya tengah berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang sedikit kusam dan berminyak.
"Gue bukan Nikita Willy."
"Lo lagi menghina dia dengan banding-bandingin diri lo sama sosialita muda itu? Asal lo tahu, kulit ketiaknya aja lebih mulus dari wajah kita."
"Iris Bella juga bukan."
Lisa memutar bola mata. "Lo masih sehat, kan, Di? Biar sambil merem juga Amar Zoni bisa bedain mana Irish Bella yang asli sama yang KW."
"Apa Amanda Manopo?"
"Demi Tuhan, Ditrisya, kenapa lo nggak bandingin diri lo sama Kekeyi aja? Atau Barbie Kumalasari? Omas mungkin, dia legendaris. Kenapa lo harus bandingin wajah lo sama artis-artis sinetron itu?"
"Karena hidup gue udah kayak sinetron waktu Ibu bilang mau jodohin gue sama anak juragan sembako itu." Ditrisya kemudian merangkak ikut bergelung di atas kasur Lisa. "Kalau udah nikah paksa, apalagi karena perjodohan gini. Pasti deh bakalan banyak dramanya."
"Dan ujung-ujungnya bakal tumbuh benih-benih cinta. Iya, kan?"
Untuk yang satu itu Ditrisya tidak terlalu yakin. Kenapa? Ditrisya malu menjelaskannya. Tawa Lisa pasti akan makin meledak setelah melihat anak juragan sembako itu secara langsung. Bagaimana cinta bisa tumbuh kalau mengingat wajahnya saja bikin jenuh duluan.
***
Saat cahaya jingga keemasan perlahan-lahan menutupi seluruh permukaan langit, saat itulah Ditrisya memutuskan pulang dari kost Lisa. Ia tak punya banyak teman, nyaris tak ada bahkan. Tanpa sadar Ditrisya lah yang menarik diri dari orang-orang yang menurutnya gaya hidup mereka tidak bisa ia ikuti.
Maka setiap Ditrisya punya masalah dan ingin berbagi keluh kesah, Lisa adalah satu-satunya tempat yang bisa ia tuju. Beruntung Lisa selalu menjadi pendengar yang baik, meski terkadang juga menyambi menjadi komentator terpedas.
Melewati jalanan sekitar bengkel Bambang, Ditrisya memperhatikan jalanan betul-betul. Sebisa mungkin mencegah melindas sesuatu. karena terakhir kali ia melindas buah jeruk, ban motornya langsung bocor.
Laju motornya diperlambat saat mendekati bengkel Bambang yang dikerumuni banyak orang. Itu jelas bukan antrean orang yang hendak menambal ban. Lebih seperti kerumunan demi dalam skala kecil. Penasaran, ia pun memarkirkan motornya dan menyusup diantara tubuh-tubuh manusia berbau keringat.
Ia sama sekali tidak kaget atau heran dengan pemandangan di depannya, ketika jeruk berpaku itu menancap di ban motornya, ini lah yang Ditrisya doakan. Ternyata benar, Tuhan mengabulkan doa orang terdzalimi. Tindakan menyebar ranjau paku itu sudah sepantasnya dihentikan, karena itu bukanlah trik bisnis, melainkan kejahatan. Sebab ada korban yang dirugikan dan tentu saja membahayakan. Para pejalan kaki bisa saja melihatnya atau pengendara yang kehilangan kendali lantaran bannya tiba-tiba kempes bisa saja kecelakaan.
Ditrisya melipat tangan di d**a, puas sekali melihat Ahyar menundukkan pandangan, pasrah menerima cecaran amarah Bambang dan beberapa orang lain.
"Kali ini kita masih baik, ya. Awas saja kalau nanti kami dengar ada korban baru lagi, kami pastikan lo membusuk di penjara. Ini sudah kriminal namanya." Ancam pria berjaket hitam sebelum meninggalkan bengkel dengan sisa-sisa kemarahan yang lebih puas dilampiaskan.
Kemudian, satu per satu masa membubarkan diri. Hingga kini menyisahkan Ditrisya, Bos Bambang, Doni, dan si pria malang yang masih berat mengangkat kepalanya itu.
"Lo tahu tentang semua ini, Don?"
"Ak-"
"Ini semua rencana gue, Bang," ujar Ahyar. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok Ditrisya, terkejut sesaat, lalu kembali menunduk dalam penuh penyesalan. "Doni nggak tahu apa-apa. Gue yang punya rencana, gue yang nyiapin semuanya supaya bengkel ini bisa ramai."
"Oh, mulia sekali niat lo," desisnya tepat di depan wajah Ahyar. "Dan lo berhasil. Lihat, hari ini orang-orang datang dan sampai berhari-hari ke depan, mereka juga masih akan membicarakan bengkel gue. Besok mereka akan datang lagi, tapi bukan untuk membayar jasa kita, tapi melemparkan jeruk busuk dan t*i sapi. Persis seperti yang lo sebarkan belakangan ini."
Ditrisya tahu dirinya semestinya pergi. Meski dirinya termasuk korban dan layak untuk ikut marah, tapi dari cara Ahyar bertutur dan menundukkan kepala, lelaki itu terlihat cukup menyesali perbuatannya.
Bos Bambang menarik kerah kaos Ahyar, menusuknya dengan tatapan mengerikan. "Sekarang lo senang?" Ahyar bungkam. Bos Bambang mengulangi sekali lagi dengan volume suara menghentak. "Apa sekarang lo senang, hah?"
"Maaf, Bang..." Hanya itu yang keluar dari bibir Ahyar.
Bos Bambang melepaskan cengkeramannya dengan sedikit dorongan yang membuat tubuh Ahyar jatuh terjengkal. "Ya, lo pasti senang sekali," ucap Bambang sebelum kemudian melangkahkan kaki meninggalkan Ahyar.
"Bang..." Doni membantu Ahyar duduk tegak.
Ahyar mengangguk dua kali, mengisyaratkan dirinya baik-baik saja. "Lo masuk deh, Don. Ambilin Bos Bambang minum."
"Bang, gue mending ngaku juga, ya? Kan gue juga ikutan nyebar ranjau paku itu. Gue nggak enak Bang Ahyar dimarahi sendirian."
"Nggak papa, gue udah biasa kok. Jangan sampai dia marah sama lo juga. Kalau lo ngaku, gue bakalan marahin lo lebih besar dari si Bos."
"Tapi Bang..."
"Ck, gue nggak apa-apa."
Meski enggan, pada akhirnya Doni tetap meninggalkan Ahyar. Saat itulah Ahyar menoleh pada Ditrisya, "Tontonan yang seru, kan?"
Ditrisya mengedip, lalu mendekati Ahyar. Berdiri tepat di hadapannya masih dengan tangan bersendekap. "Sudah gue duga," ucapnya manggut-manggut. "Orang-orang curang adalah orang-orang yang nggak mengerti apa itu usaha, yang nggak pernah ngerasain capek sama gerahnya keringat. Gimana mau ngerti rasanya semua itu kalau lo sendiri nggak punya kerjaan?
"Lo tahu, semua yang yang turun ke jalan itu punya tujuan. Mungkin aja ada keluarga mereka yang lagi sekarat, ada deadline kerja, jemput anaknya sekolah? Uang 10 20 ribu mungkin kelihatan nggak ada artinya, tapi waktu yang mereka miliki sangat berharga. Satu detik aja mereka telat, ceritanya nggak akan pernah lagi sama."
Ahyar mendongak ke atas, "Lanjutin aja, mumpung lagi dalam mood bersalah." Perlahan ia bangkit, berdiri di hadapan Ditrisya. "Ayo, gue dengerin," tantangnya.
Dalam posisi ini barulah terlihat lebih jelas lebam di pelipis bawah mata kanan Ahyar serta darah di sudut bibirnya. Sebenarnya ada banyak kegeraman yang ingin Ditrisya keluarkan, namun tatapan sayu Ahyar membuat semuanya menguap sedikit demi sedikit dan Ditrisya menyadari tidak punya apa-apa untuk dikatakan lagi sekarang.
"Kenapa diam aja? Udah selesai ceramahnya?"
Ditrisya medesah pendek. Siapa yang akan terpengaruh tantangan dengan mata sayu begitu? Yang ada malah kasihan. Kasihan karena Ahyar sangat terlihat memaksakan diri mengangkat dagu.
"Nggak usah berlagak sombong, udah nggak pantas."
Ahyar menyeringai, namun di mata Ditrisya lebih terlihat seperti senyuman miris. "Apa yang bisa gue sombongkan sekarang? Di saat lo udah lihat semuanya. Dan ya, Money Slave, inilah Pahala yang sebenarnya. Bukan eksekutif muda yang bakal bangun villa pribadi di Bali."
"Gue nggak kaget, sih." Ditrisya lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan warna biru muda dan mengulurkannya pada Ahyar. "Obati luka lo dan mulai berpikir, cari cara untuk bisa sombong lagi. Tapi kali ini harus dengan cara elegan."
Sesaat Ahyar tertegun menatap Ditrisya, membuat gadis berambut pendek itu tidak nyaman terus dipandangi. Ingin cepat-cepat pergi, Ditrisya mengenggamkan sapu tangannya ke tangan kanan Ahyar, sambil berkata, "udah, ya. Beneran habis ini semoga kita nggak usah ketemu lagi. Kalau kita nggak sengaja ketemu, udah, anggap aja kita nggak pernah kenal. Oke? Bye."
Saat Ditrisya hendak menarik tangannya dan berbalik pergi, geraknya tertahan. Ditrisya menoleh lagi dan mendapati Ahyar tengah mengenggam pergelangan tangannya kuat.