06 | Berkendara Tanpa Tujuan

1710 Words
Ahyar sadar dirinya sudah membuat kesalahan fatal. Ini bukan kali pertama Ahyar berulah, tapi Bambang tidak pernah semarah ini. Ahyar sedang memjamkan mata, ketika ia tersentak oleh rasa dingin tiba-tiba di pipinya. Ia membuka mata dan mendapati Ditrisya lah yang menempelkan botol air mineral dingin itu ke pipinya. Sedikit menjauh dari bengkel, mereka kini ada di sebuah warung kelontong. Duduk di bangku plastik warna kuning yang dijejer mengelilingi sebuah meja papan sederhana. Tempat itu sebenarnya tidak memiliki kriteria sebagai tempat menenangan diri karena letaknya yang persis berada di pinggir jalan raya. Ditrisya menodorkan dua buah Hansaplas dari warung itu, namun Ahyar memajukan wajah, isyarat minta agar Ditrisya yang memasangkannya. Ditrisya memutar bola mata malas, meski begitu dia tetap merobek bungkus hansaplas itu. "Jadi, ceritanya lo kerja di sana apa gimana?" "Bukan." "Terus?" "Belok kanan, ada pertigaan belok kiri, sepuluh meter dari sana ada perempatan, ambil ke kanan lagi. Jangan lurus, entar nabrak- Aw..." Ahyar meringis karena Ditrisya dengan keji sengaja menekan lukanya terlalu kuat. Pria itu membuka matanya lalu terkekeh pelan di saat semestinya dia memprotes perbuatan Ditrisya. "Udah kena apes, masih aja ngeselin," dumel gadis itu sejurus kemudian membuka penutup botol air mineral tersebut. "Gue bukannya lagi apes," gumam Ahyar, "Emang udah waktunya aja ketahuan." Ditrisya menyeringai sinis. "Syukur deh kalau sekarang lo sadar." Ahyar kemudian diam, sangat lama sembari meminum sedikit demi sedikit air mineral yang dibelikan Ditrisya. Sesungguhnya bukan rasa malu dan nama baiknya yang dia pikirkan, melainkan reputasi Bos Bambang sebagai pemilik bengkel yang selama ini terkenal dengan kebaikan hatinya pada siapapun. Ia juga memikirkan nasib Doni jika sampai Bambang juga menyalahkannya. Doni masih sangat muda, dia tidak memiliki siapapun di dunia ini, akan jadi apa dia kalau bertemu dengan orang yang salah. Ahyar berhenti melamun, berganti memperhatikan Ditrisya yang juga tampak tengah memikirkan sesuatu dengan sangat serius. "Lagi mikirin apa?" tanyanya, membuat Ditrisya mengerejapkan mata beberapa kali. Kaget lantaran Ahyar mengusik lamunannya, dan kaget dengan pertanyaan Ahyar lantaran merasa mereka tidak cukup dekat untuk berbagi cerita. Alih-alih menghardik Ahyar lancang, Ditrisya lebih ingin kegelisahannya didengar seseorang. "Gue lagi mikir, kenapa seseorang harus hidup berpasang-pasangan kalau dia bisa hidup sendirian." "Yakin manusia bisa hidup sendirian?" "Bukan sendirian kayak Tarzan maksud gue. Ya, selama ada uang, harusnya nggak ada masalah kan? Kita bisa nabung dana pensiun, siapin asuransi, syukur-syukur kalau bisa mati tanpa sakit-sakitan." "Ya kalau tujuan hidup lo cuma buat nunggu mati, ngapain mesti nunggu tua dulu baru mati?" Ditrisya melirik Ahyar dengan sinis. "Ya ampun, lihat siapa ini yang lagi ngomong soal tujuan hidup. Hidup lo ada tujuannya emang?" "Ya ada lah." "Apa?" "Menikmati dunia," jawab Ahyar dramatis. "Ngapain kerja banting tulang buat dikumpulin doang, udah jelas mending kayak gue. Apa yang ada sekarang, itu yang perlu dinikmati." Ditrisya geleng-geleng tak habis pikir dengan jalan pikiran Ahyar. Bisa-biasanya dia hidup tenang tanpa punya dana darurat, seperti tempo hari lalu, untuk uang senilai itu saja dia tidak bisa langsung bayar. "Lagian kenapa, sig? lo udah ditagih mantu sama orangtua lo?" tanya Ahyar kembali ke pertanyaan awal Ditrisya. "Enggak juga," elaknya. "Kalau pertanyaannya kenapa kita harus menikah, jawabannya mungkin supaya peradaban ini bisa terus berlanjut dengan lahirnya keturunan. Pernikahan menjadi semacam batasan seseorang cuma boleh berhubungan dengan seseorang yang dinikahinya itu. Supaya silsilah tiap manusia jelas." "Lalu cinta?" sambung Ditrisya. "Semua orang bilang cint kata itu diantara sebuah hubungan." "Cinta adalah perekatnya. Cinta membuat mereka bisa bertahan satu sama lain dalam waktu yang lama. Kesetiaan, sumbernya dari sana." "Oh... Jadi cuma buat nerusin keturunan. Cinta nggak penting dong kalau begitu?" "Cinta penting lah. Memangnya lo mau ngehabisin waktu seumur hidup, berbagi rumah, uang, sampai berbagi cairan tubuh sama orang yang nggak lo cinta? Lo sebenarnya paham nggak sih gue ngomong apaan? Pernikahan itu cuma legalitas dari negara. Kalau lo punya Tuhan, itu bagian dari ibadah katanya. Dan kalau lo orangnya takut kesepian, pernikahan cocok buat ngikat seseorang." "Yee... Biasa aja dong, nggak usah ngegas," cibir Ditrisya. "Lo kayaknya kebanyakan baca n****+ abege, ya?" "Makanya jatuh cinta dulu, sebelum mempertanyakan cinta. Nggak punya pengalaman sih pasti makanya gitu aja nggak paham." *** Ahyar sadar diri untuk tidak terus jadi benalu di hidup Bambang, dia meninggalkan rumah Bambang setelah mengangkut barang-barangnya yang nyaris satu pickup sendiri. Itu isinya hanya pakaian, sepatu, dan perintilan kecil lain. Dia pindah ke sebuah kost elit, lengkap dengan fasilitas AC dan parkir berpeneduh. Bambang masih menutup bengkelnya sementara waktu sampai situasi mereda. Bambang sama sekali tidak melirik Ahyar saat lelaki itu berpamitan. Ahyar bertekad untuk mandiri mulai sekarang, meski ia bisa saja merecoki hidup sahabat-sahabatnya seperti Galang. "Sorry, Yar, gue nggak bisa bantu. Semua model udah konfirmasi." Ahyar menepuk pundak Bastian, mengatakan bahwa itu bukan masalah. Hidup punya kendalinya sendiri, tidak semua bisa ia dapatkan hanya dengan kemauan. Atau mungkin sebuah karma karena Ahyar sering menyia-nyiakan kesempatan, kini di saat ia membutuhkannya, kesempatan itu enggan menghampirinya. Hari menjelang malam dan Ahyar masih terkurung dalam pertanyaan, apakah ia hanya akan diam di titik ini selamanya? Sementara teman-temannya sudah melangkah begitu jauh di depan? Ahyar butuh lebih dari berjalan untuk bisa mengejar, ia harus berlari. Ini bukan lagi waktunya untuk bersantai. Bukan pula bekerja untuk sekedar haha hihi, memenuhi kebutuhan di saat ini tanpa memikirkan kebutuhan dan segala permasalahan yang timbul di masa yang akan datang nanti. Ahyar harus mulai menata hidupnya dari sekarang. Tapi, bagaimana caranya? Dari mana dia harus memulainya? Ditata seperti apa? Sepanjang jalan Ahyar terus memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia sengaja berkendara lambat di tepi kiri, memandangi kendaraan di sekelilingnya. Dari sekian banyak pengendara itu, apakah cuma dia satu-satunya yang berkendara tanpa tujuan? *** "Ya nggak bisa gitu dong, Mas. Masnya harus tanggung jawab!" "Lho, waktu dicoba nggak ada masalah, kan? Berarti masalahnya ada pada CD player mbaknya." "Nggak mungkin lah, saya coba pake CD player yang lain tetap nggak bisa kok. Gimana sih Mas ini, jual barang kok nggak berkualitas." "Ya kalau mau berkualitas beli yang asli, jangan bajakan." Suara si penjual berubah, oh memang bukan dia yang bersuara. Ditrisya memutar badan cepat dan mendapati Ahyar berdiri di belakangnya sambil melambaikan tangan lengkap dengan senyum menyebalkan. "Lo, ngapain di sini?" Tunjuk Ditrisya. "Ini jalanan umum lagi, siapa aja bisa lewat." Jawab Ahyar santai. Ditrisya memutar bola mata. "Oke, anggap aja lo lewat dan nggak sengaja lihat gue di sini, tapi kenapa pake turun dan nyamperin gue segala?" "Sengaja." "Hah?" Ahyar hanya tersenyum lalu sibuk melihat-lihat deretan DVD yang dipajang. Ia mengambil satu DVD kompilasi lagu dangdut yang dinyanyikan artis pantura, dimana seorang biduan sedang joget heboh dijadikan sebagai sampulnya. "Sengaja mau cari DVD." Ahyar menunjukkan DVD yang dipegang, "sampulnya lucu, ya?" "Mesum." Meletakkan kaset lagu dangdut, Ahyar lalu melihat-lihat deretan DVD film. The Billionaire, judul di sampul salah satu DVD menarik perhatiannya pada pandangan pertama. Ahyar membaca sinopsis film yang ternyata asal negeri gajah putih itu dan tergerak langsung membelinya. "Oh, gue pikir lo anti barang bajakan." Sindir Ditrisya. "Sekali-kali nggak papa. Berapa, Mas?" "Sepuluh ribu aja, Mas." Jawab si penjual. "Mau dicoba dulu? Soalnya barang yang udah dibawa pulang nggak bisa dikembalikan atau ditukar lagi." Ahyar tertawa pelan, tahu betul peringatan si penjual sekaligus menyindir Ditrisya. "Maafin teman saya ini ya, Mas. Dia nggak mau rugi emang orangnya." "Eh? Sejak kapan kita jadi teman?" "Masa temenan aja mesti ada proses PDKT terus tembak-tembakan segala sih, Mon?" "Mon?" "Money Slave." Kontan Ditrisya mengganjar Ahyar dengan pukulan keras di lengannya dan Ahyar hanya mengaduh sambil tertawa. Setelah membayar, mereka menuju motor masing-masing yang diparkir berdampingan di pinggir jalan. Ditrisya tentu saja pulang dengan tangan hampa, tidak berhasil menukar kaset rusak itu dengan yang baru. "Di rumah lo ada DVD player, nggak?" Tanya Ahyar sembari memasang helm di kepalanya. "Ya, ada lah." "Kalau gitu boleh dong gue numpang nonton ini di rumah lo." "Nggak nggak nggak, nggak boleh!" "Ayolah, Mon." "Sekali lagi manggil gue Mon, gue tampol lo pakai helm." Ahyar cengengesan. "Iya, deh, janji enggak lagi." Ia lalu mengeluarkan DVD nya dari kantong plastiknya, "Lihat judulnya, The Billionaire. Uang, isinya pasti nggak jauh-jauh dari itu. Hmm... wangi banget nggak, sih, baunya." "Gue udah pernah nonton dan asal lo tahu, film itu bukan nyeritain gimana seseorang menghabiskan miliaran uang buat foya-foya. Tapi bagaimana dia mendapatkannya." Ahyar menjentikkan jari bersemangat, "Nah, itu." Serunya. "Itu. Gue butuh sesuatu yang bisa memotivasi, kali aja lewat film ini gue tiba-tiba dapat hidayah." Ditrisya menggeleng tak acuh. "Terserah lo, deh. Tonton sana sendiri, lo bisa beli jam tangan mahal, masa DVD player aja nggak punya." "Sekarang gue kan anak kost, Mo- eh Di," Ahyar mengganti panggilannya begitu mendapati pelototan peringatan dari Ditrisya. "Selain kasur sama lemari, di sana belum ada apa-apa lagi." "Lo ngasih tahu, seolah-olah gue peduli aja." Ditrisya mulai men-starter motornya, bersiap pergi. "Gue ikutin dari belakang ya." "Awas aja kalau berani." Ditrisya belum kenal seorang Ahyar Aldrian Pahala itu seperti apa. Untuk sesuatu yang diinginkannya, kata 'tidak' dianggapnya persetujuan, ancaman diartikannya sebagai undangan. Seperti katanya tadi, Ahyar benar-benar mengikuti motor Ditrisya dari belakang menggunakan skuternya. Mustahil Ditrisya tidak menyadari itu, kerap kali gadis itu melirik kaca spionnya, sekedar memastikan apakah Ahyar masih mengikutinya apa tidak. Hingga saat mereka berhenti di perempatan lampu merah, Ahyar berhenti tepat di sebelahnya. Ditrisya membuka kaca helmnya dan melotot marah. "Lo ngikutin gue?" Ditrisya masih berpositif thinking, bisa saja tempat tujuan Ahyar searah dengan rumah kontrakannya. "Iya, kan gue udah izin tadi." Ditrisya mengerang frustasi. "Astaga ya ampun, lo bener-bener ya. Emang kapan gue kasih izin?" Percakapan mereka tentu menjadi perhatian pengendara lainnya, terlebih lagi mereka ada di barisan terdepan. "Gue pemaksa lho, Di, orangnya. Kali aja lo belum tahu." "Gue nggak mau tahu!" "Nggak apa-apa. Nggak ada salahnya tahu banyak tentang gue." Ditrisya yang terlampau geram, refleks menendang kuat skuter Ahyar membuatnya jatuh ke samping lantaran Ahyar hanya menyangga menggunakan satu kakinya saja. Dan seperti efek domino, motor-motor sebelahnya pun ikut oleng. Ditrisya mengangga tak menyangka punya kekuatan dalam sesuper itu. Lebih super dari kata-kata bijak Bapak Super. Lampu berubah kuning, lalu hijau. kendaraan-kendaraan saling membunyikan klakson, menyuruh kendaraan di depannya segera jalan atau setidaknya menyingkir. Para pengendara yang terguling berusaha mengangkat motor masing-masing. Semuanya menyalahkan Ditrisya. Sore menjelang malam itu, suasana perempatan lampu merah menjadi kacau sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD