Di dalam garasi pribadi milik Bos Bambang, tersimpan sebuah skuter keluaran tahun 60-an milik Ahyar yang akhirnya terbeli setelah menabung selama beberapa tahun. Skuter itu dirawatnya baik-baik, rutin diservis di bengkel khusus, dan tidak pernah tanggung-tanggung dalam pemilihan sparepart. Maka tak heran kalau biaya perawatannya cukup besar, tapi Ahyar sama sekali tidak merasa terbebani sebab skuter ini adalah benda kesayangannya.
Malam itu Ahyar sudah duduk di atas skuternya, memakai kaca mata hitam dan memasang helm retro tanpa kaca di kepala.
Begitu tiba di tempat tujuan, tepatnya di sebuah hotel, seseorang sudah menunggunya. Pria itu berdecak sambil menunjuk-nunjuk jam tangan. "Sudah jam berapa ini, Ahyar. Bisa nggak sih on time, sekali aja."
"Bisa kok, bisa." Ahyar asal-asalan sambil menunjukkan cengiran lebar seolah keterlambatan bukan masalah serius.
Selalu seperti itu, Ahyar terbiasa melakukan apa yang dia mau tanpa sedikitpun menunjukkan rasa penyesalan. Tapi anehnya, orang-orang masih saja mau diperlakukan seenaknya olehnya. Mungkin, itulah yang disebut Pesona of Ahyar Aldrian Pahala.
Namanya Bastian, dia adalah asiaten pemilik salah satu agency model ternama di ibukota. Dia yang bertanggung jawab memastikan semua model yang akan show.
Awalnya, Ahyar adalah malaikat penyelamat setelah salah satu model utama tiba-tiba berhalangan hadir dengan alasan sakit. Tak jelas sakitnya apa, mencret barangkali. Ahyar menelpon dan mengatakan ingin kerja.
Ingin, pria itu hanya bekerja jika ingin. Makanya Ahyar tidak setiap saat bisa di-calling. Padahal dengan tubuhnya yang tinggi proposional dan garis wajah yang tegas, serta memiliki tatapan mata tajam, Ahyar punya modal besar untuk bisa menjadi model profesional. Sayangnya pria itu enggan terikat, entah dalam kontrak kerja atau apapun itu.
Dengan cepat Ahyar berganti dengan pakaian yang harus diperagakan. Sebuah pakaian formal perpaduan modern dan tradisional. Peragaan busana ini punya misi untuk mengangkat kain lokal agar dikenal dunia.
Sudah puluhan kali Ahyar melakukan pekerjaan ini. Jadi, Ahyar tidak bisa dikatakan bocah baru lagi. Tubuhnya nampak sangat nyaman berjalan di atas runaway dengan wajah dibuat angkuh dan misterius. Dilihat dari sisi manapun, wajah Ahyar tetap tampan. Para model mungkin dilarang tersenyum agar fokus para penonton tak teralihkan, dari desain baju ke wajah sang pragawan.
"Thanks, Bro." Ahyar menggoyangkan lembaran uang ratusan ribu di depan wajahnya.
"Lo sampai kapan sih mau gini-gini aja?" Bastian itu makhluk sejenis Galang, sahabatnya, tukang obrak kerja. Padahal nasib keduanya yang kerja pontang panting, masih tidak lebih baik dari Ahyar yang kerjanya nyantai. Nasib Galang lebih baik karena terlahir dari keluarga kaya sehingga tanpa perlu usaha langsung bisa menjabat posisi prestisius di perusahaan keluarganya.
Ahyar menaiki skuternya, bersiap-siap pulang. "Gini-gini, gimana maksudnya?"
"Ya, nganggur nggak jelas."
"Ah, tapi gue sibuk tuh, dan nggak pernah nggak jelas." Bastian tahu betul, sibuk yang dimaksud adalah kencan dengan satu cewek ke cewek lain. Atau positifnya membantu di bengkel.
"Lo bukan hidup buat hari ini doang, Yar. Lo bakalan mati, dan sebelum lo mati, apa lo nggak mau melakukan sesuatu yang bisa bikin nama lo dikenang karena kebaikan dan prestasinya?"
Ahyar mencibir, lagak Bastian seperti penemu listrik atau pahlawan negara saja.
"Yar, gue ngomong serius sebagai orang yang peduli sama lo." Selama Bastian mengenal Ahyar, selama Ahyar punya uang jatah untuk hari ini dan besok, maka lusa dipikirkan besoknya lagi.
Ahyar tertawa. "Makasih, tapi coba peduli lo itu dialihkan ke yang membutuhkan. Serius, Bro, gue nggak lihat ada yang salah sama hidup gue."
"Jelas aja lo nggak lihat masalah itu, karena letak masalahnya ada di diri lo."
Saat kedua telinga Ahyar tertutup helm, artinya Ahyar tidak mendengar apa-apa. Memang sebatu itu dia. Bastian menahan diri, padahal masih belum puas mencerahami.
"Duluan, ya. Udah ditungguin soalnya," Kemudian suara kerontong skuter Ahyar terdengar menyebalkan ditelinga Bastian.
Begitu skuter Ahyar menyatu dengan kendaraan lain di jalan raya, seringai lelaki itu memudar dari wajahnya.
Kenapa ia harus hidup mengikuti cara orang lain, sedangkan dia tidak memiliki kehidupan seperti yang mereka miliki?
Kenapa Ahyar harus menyiksa diri dengan bekerja keras, sedangkan sejatinya hidup hanyalah perkara bertahan. Dan kenapa pula Ahyar harus punya kebanggan, di saat dia tidak memiliki satu pun orang yang ingin dia buat terkesan.
***
"Keluarin KTP gue."
"Mana dulu uangnya?"
"KTP nya."
"Gue harus lihat mana uangnya."
Ahyar memutar bola mata. "Yaudah keluarin bareng-bareng." Ide itu dirasa Ditrisya lebih adil. Bersama-sama gadis itu mengeluarkan benda yang dimaksud.
"Satu, dua, tiga, empat, lima..." Ahyar menghitung uangnya tepat di depan wajah Ditrisya. "Lima ratus ribu, plus lima puluh ribu."
Ditrisya mengangguk percaya, kemudian diambilnya uang itu. "Tambah dua puluh ribu."
"Maaf, apa Anda sedang memalak?" Sementara KTP milik Ahyar masih digenggam erat-erat.
"Itu buat ganti bensin motor gue."
"Hah?"
"Salah sendiri kenapa bensin orang dihabisin. Jawab, lo udah membawanya kemana aja?"
"Cuma kopdar sama lo."
"Nggak mungkin."
Ahyar menggeram tertahan. Tidak mungkin bukan Ahyar mengaku, bahwa sempat membawa motor Ditrisya berkeliling dari pagi hingga sore hari. "Lima belas ribu, mana..." Darah Ahyar kian mendidih saat Ditrisya menengadahkan tangan ala preman terminal. Ahyar baru akan mengambil dompet, ketika ponsel Ditrisya berdering.
Ahyar pikir itu bisa menjadi celah merebut KTP-nya, tapi nampaknya Ditrisnya tak sebodoh yang Ahyar kira. Sebelum memeriksa ponselnya, Ditrisya lebih dulu memasukkan KTP dan uangnya ke dalam tas. Barulah dia melihat siapa yang menelpon.
"Ya ampun, mau apa lagi sih anak ini..." Ditrisya bergumam malas. Ditrisya hendak mematikan telepon tidak penting dari adiknya itu, ketika tiba-tiba ponsel itu diambil oleh Ahyar dengan gerakan sekejap mata. Ditrisya terpekik kaget, sontak berusaha merebutnya kembali.
Ahyar berlari menghindari Ditrisya, mereka saling berkejaran seperti dua kucing kampung berebut ikan asin. Tak habis akal, Ahyar memanjat pohon kersen, tempat biasa Doni nongkrong.
"Monyet, turun lo! Balikin hape gue!"
"Kalau bisa, naik sini dan ambil sendiri." Ahyar menyeringai. Kalau Ditrisya memang wanita normal, maka tidak mungkin dia bisa memanjat pohon dengan memakai rok span selutut.
Ponsel itu masih berdering, tertera nama si Catur pada layar. Ahyar jadi penasaran siapa orang yang membuatnya jadi kesal begitu. Ahyar mengangkatnya. "Halo."
"Hey, kurang ajar. Jangan jawab. Matikan!" Ditrisya berteriak di bawah. Bos Bambang setia menjadi penonton yang baik sambil menyendok cendol segarnya.
Ahyar mengangkat bahunya tak peduli. "Halo?"
"Hei!" Ditrisya menjerit marah.
"Ini handphonenya Mbak Tri, kan? Ini siapa ya?" Terdengar suara lelaki di seberang sana. Dari nama kontak dan panggilannya terhadap Ditrisya, dia pasti saudara ke-empat Ditrisya.
"Ya, ini memang handphonenya Tri," Ahyar lebih menyukai panggilan itu dibanding Ditrisya, lebih ringkas dan tidak membuat lidah belibet. "Dia sedang ada di kamar mandi. Ini sama adiknya, ya?" Ahyar menahan tawa melihat Ditrisya celingukan ke sekitar, entah mencari apa.
"Iya, dan lo siapanya?"
"Gue pacarnya."
Bola mata Ditrisnya nyaris melompat keluar lantaran syok. "Hei!" teriaknya memprotes pernyataan Ahyar.
Ahyar mengacungkan telunjuk di depan bibir.
"Mbak Ditrisya, punya pacar?" Suara catur terdengar terbata-bata. Seperti takut salah dengar.
"Ya, dan - Yak!" Jawaban Ahyar terpotong saat Ditrisya melepas sepatu di kaki kanannya yang menggantung karena tak dapat pijakan. Sneakers original, mahal, yang biasa dipakai artis terkenal itu dilempar Ditrisya ke tengah jalan.
Sontak saja Ahyar melompat turun, refleks pula ponsel Ditrisya dijatuhkan begitu saja. Siapa peduli dengan android butut itu, harga sepatunya setara 3 kali ponsel itu.
Ditrisya berteriak ngerti ponselnya rusak, Ahyar pun berteriak karena hampir tertabrak.
Telepon catur sudah terputus, Ditrisya membolak-balik ponselnya yang beruntung masih baik-baik saja. Hal serupa dilakukan Ahyar, pria itu mengelus-elus sepatunya sayang.
Bos Bambang geleng-geleng kepala, bengkelnya yang sepi jadi ramai oleh tingkah kekanakan dua orang ini.
"Ini, Neng. Ambil." Bos Bambang mengulurkan uang dua puluh ribu.
"Jangan, Bos." Ahyar melarang keras. "Orang pelit kikir kayak gini nggak boleh gampang dituruti."
"Daripada kalian teriak-teriak kayak orang gila Cuma karena uang 20 ribu."
Ditrisya masih membiarkan uang pemberian Bos Bambang menggantung di udara. Matanya menatap Ahyar. "Lo punya uang 20 ribu, nggak sih?"
Ahyar tertawa terhina, "Astaga."
"Karena ini hutang lo, jadi lo yang harus bayar. Udah tua juga, masa masalah sepele kayak gini sampai harus diurusin orang, sih. Nggak malu apa?"
Ceramah-ceramah semacam ini sudah ribuan kali Ahyar dengar, tapi entah mengapa tak pernah semenyakitkan ini. Ahyar menampik tangan Bos Bambang agar diturunkan, kemudian mengambil uang lima puluh ribu di dalam dompetnya. "Ambil semua. Uang 30 ribu, pastinya akan sangat berharga buat cewek matrealiatis kayak lo."
Ditrisya menerimanya, memasukkan ke dalam dompet, lalu mengambil uang kembalian tiga puluh lima ribu. "Gue kerja dan gue menuntut hak sebagai orang yang merasa dirugikan," ujarnya lalu mengulurkan uang kembalian. "Dan ini bukan hak gue."
"KTP nya," decak Ahyar sembari menarik ujung uang itu dari tangan Ditrisya.
Ditrisya mengembalikan KTP Ahyar. "Oke, urusan kita sudah selesai. Semoga ini terakhir kalinya kita berurusan. Selamat tinggal."
Ditrisya bersungguh-sungguh berharap di masa mendatang tidak akan bertemu dengan Ahyar atau orang-orang yang mirip dengan Ahyar. Pun dengan Ahyar yang mengingatkan diri sendiri untuk lebih selektif memilih target.