Satu yang Ahyar kagumi dari Ditrisya sampai sejauh ini adalah kebesaran hatinya untuk meminta maaf. Ditrisya melakukan itu karena kesal pada Ahyar, tapi Ditrisya masih mau meminta maaf pada semua pengendara jalan dan tentu saja kepadanya. Ahyar cukup cerdik, memanfaatkan itu sebagai syarat, agar Ditrisya mengizinkannya memutar DVD di rumahnya.
Dan di sinilah Ahyar sekarang, di rumah kontarakan sepetak Ditrisya yang mungil. Hanya ada satu kamar tidur di sana, serta satu kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. Ruang tamunya sekaligus dijadikan sebagai ruang serba guna. Rumah ini sangat sederhana, tak terlalu banyak interior dan pajangan. Persis seperti yang punya, sederhana dan seperlunya.
Film itu sudah hampir selesai di tonton Ahyar sendirian, sedangkan Ditrisya sibuk mencuci pakaian, dilanjutkan dengan menyetrika pakaian kemarin yang sudah kering. Tentu saja gadis itu memilih merepotkan diri diantara kesibukanya sebagai pegawai kantoran, daripada memanfaatkan jasa binatu seperti yang kebanyakan wanita karir lakukan.
Ditrisya bergabung di sebelahnya usai mandi, tercium dari aroma sabun antiseptik aroma lemon yang dipakainya serta wajah lebih segar dari sebelumnya. "Udah sampai mana?"
"Ini, masih nyari resep rumput lautnya biar enak. Masih gagal mulu, pasti dia nggak bisa move on."
Ditrisya menautkan alis bingung, "Apa hubungannya?"
"Kalau dia masih terus keinget masa lalunya dan nggak pernah belajar dari kesalahan, dia nggak akan pernah berhasil memulai hubungan baru."
Ditrisya menahan tawa. "Wow, analogi yang relevan sekali."
Ahyar terkekeh pela. "Masuk akal, kan?"
"Gue iyain aja biar lo senang," jawab Ditrisya malas. "Jadi, apa si hidayah udah ngedatengin lo?"
Ahyar mendelikkan bahu. "Menurut gue pesan film ini adalah supaya kita nggak putus asa dan terus berusaha. Bagaimana kita berdiri setelah jatuh, memanjat kalau jalan di depan buntu, muncul lagi ke permukaan saat kita ditenggelamkan ujian."
"Hmm... lalu?"
"Gue dulu sempat kerja di salah satu perusahaan," Ahyar menerawang sebentar, mengingat-ingat masa itu. "Tapi gue ngundurin diri tiga bulan kemudian."
"Kenapa?" tanya Ditrisya bersungguh-sungguh ingin tahu, terlebih air muka Ahyar mendadak serius. Pasti ada alasan sentimentil yang membuat Ahyar mengundurkan diri dan belum bekerja lagi hingga saat ini.
Ahyar menoleh pada Ditrisya. "Bosan."
Ditrisya menghembuskan napas pendek, menyesal sekali menaruh ekspektasi tinggi. "Bosan itu bukan alasan. Tempat kerja itu buat cati uang, bukan cari hiburan."
"Lo memangnya nggak bosen ngulangin rutinitas monoton? Kerja pagi sampai sore, kadang sampai malam juga. Banyak aturan rasanya kayak penjara bedanya nggak pakai jeruji aja, terus ancaman sanksi pemecatan kesannya kayak kita nggak bisa cari uang di tempat lain. Belum lagi lagak senior yang sok berkuasa, padahal setinggi apapun jabatan mereka dan seberapa lamapun mereka sudah bekerja di sana, kedudukan mereka sama kayak gue yaitu kacung."
"Ya, dimana-mana pasti ada aturannya lah. Biar di hutan juga ada aturannya, siapa yang kuat dia yang menang. Perusahaan yang udah ngasih lo gaji, wajar bikin aturan-aturan buat memastikan apa yang lo kerjakan sesuai sama yang dia bayar."
Ditrisya memahami betul yang dirasakan Ahyar karena ia sendiri bekerja di ruang lingkup perkantoran. Namun sekali lagi, itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran atas keputusannya.
"Ssttt... diam dulu. Heran, suka banget ngoceh pakai otot?"
Ditrisya terbelalak. Apa katanya tadi? Heran? "Heh! Yang ada gue yang heran sama lo. Segala nyalahin sistem dan aturan, dasar lo-nya aja yang malas kerja. Kalau lo mau buat aturan sendiri, ya bikin perusahaan sendiri."
"Ya udah, gue mau buat perusahaan sendiri kalau gitu."
Saking lucunya, Ditrisya sampai lupa cara tertawa. Siapa yang akan mempercayai sesumbar itu, bahkan untuk dianggap sebagai candaan pun tidak lucu sama sekali, hanya karena itu keluar dari mulut seorang Ahyar Pahala.
Ditrisya berhenti mengoceh ketika sadar Ahyar sama sekali tidak menghiraukannya, fokus lelaki itu tertuju pada layar televisi 21 inch yang tengah menampilkan sang pemeran utama, Top mencoba menggoreng rumput laut terakhirnya sepulang dari rumah sakit, usai menengok keadaan pamannya yang terjatuh di dapur saat tengah menggoreng rumput laut sementara di luar hujan sangat deras.
Adegan beralih, Top menangis menyicip kripik rumput lautnya antara percaya dan tidak. Akhirnya dia bisa menghilangkan rasa pahit pada rumput laut. Akhirnya dia menemukan resep kripik rumput laut yang lezat
Alih-alih menonton film, Ditrisya lebih asyik menonton wajah Ahyar, memperhatian tiap perubahan kecil ekspresi di wajah itu. Perlahan Ditrisya seolah bisa melihat ada sinar di mata Ahyar, lalu kepala lelaki itu mengangguk-angguk sembari tersenyum sangat tipis.
Ditrisya mengerejap cepat saat tahu-tahu wajah yang sedang diperhatikannya itu tertoleh menghadapnya dengan senyum perlahan melebar.
"Kayaknya, berbisnis adalah pekerjaan yang paling masuk akal buat gue."
***
Ahyar tidak asal bicara, hidayah, inspirasi, atau apa pun itu namanya. Dia benar-benar menghampiri Ahyar lewat film itu. Sejak hari itu Ahyar mulai serius memikirkan bisnis apa yang akan dirintisnya. Riset sederhana dilakukannya, dengan mengumpulkan data-data yang diperolehnya dari mesin pencari dan sosial mesia. Dia mengamati tren apa yang sedang berkembang dan mana yang kiranya sanggup ia kerjakan.
Dengan budget yang belum pasti, Ahyar memikirkan antara bisnis kuliner dan clothing line. Ia sudah pernah membicarakannya dengan Galang, dan Galang menyuruhnya memikirkannya lebih matang. Konsepnya apa, siapa target pasarnya. Kalau mau produksi sendiri, baju yang seperti apa dulu. Menciptakan model sendiri atau sekedar latah mengikuti tren yang sedang berkembang, serta plus dan minusnya.
Dan untuk kuliner, juga sama. Bisnis busana dan kuliner sendiri sudah menjamur di mana-mana, jika Ahyar tidak punya pembeda sebagai daya tarik, dengan mudah ia akan terdepak dari persaingan oleh merek-merek yang sudah punya nama besar.
Gara-gara Galang menyuruhnya pikir-pikir matang, semangat Ahyar yang semula berkobar-kobar, sekarang sedikit meredup. Di tengah kebingungannya, Ahyar hanya memikirkan satu nama, yaitu Ditrisya.
Maka sore itu juga Ahyar mendatangi rumah Ditrisya. Ahyar menggedor pintunya, jam segini harusnya dia sudah berada di rumah. Menunggu beberapa saat, pintu itu pun akhirnya dibuka dari dalam.
"Di-" sapaan Ahyar tertahan, pun dengan senyuman lebarnya menggantung ketika mendapati seorang wanita paruh baya berhijab merah bata membukakan pintu untuknya. "Ah, assalamualaikum ..." ralatnya kemudian.
Wanita itu tersenyum dan membuka pintu makin lebar. "Ya, waalaikum salam? Temannya Ditrisya ya?"
"Iya ... Ditrisya nya belum pulang ya, Tante?"
"Iya katanya hari ini pulang terlambat. Nama kamu siapa, Nak?" tanya Ibu ramah. Hatinya bahagia ada seorang pemuda tegap berwajah tampan mencari putrinya.
"Ahyar, Tante."
"Ahyar?" Detik selanjutnya Ibu membekap mulutnya terkejut. "Jadi kamu yang namanya Ahyar?"
Ahyar mengangguk bingung. "Tante... Pernah dengar nama saya?"
Ibu menganggukkan kepala cepat, kemudian ditangkupnya kedua pipi Ahyar, "Kamu ganteng sekali, Nak. Masya Allah ..."
"Hmm... hehehe."
Ibu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ahyar di depan pintu sambil memanggil Ayah dengan heboh. Ditrisya rupanya punya orang tua yang sama anehnya dengan dirinya.
Tak lama Ibu keluar sembari menyeret suaminya, "Yah, ini lho yang namanya Ahyar."
Ahyar memperkenalkan diri meski ia yakin ada yang tidak beres di sini.
"Ahyar yang katanya pacarnya Tri itu?"
Tunggu dulu. Apa? Pacar? Sejak kapan?
"Iya, dia orangnya. Ganteng ya, Yah?"
Ayah kemudian memperhatikan Ahyar dari ujung kepala hingga kaki, lalu naik lagi dan berhenti menatap kedua matanya. Ahyar mendadak salah tingkah. Ia seperti sedang menonton sinetron, dimana sang aktor untuk pertama kalinya bertemu dengan calon mertua.
***
Alarm tanpa bahaya berbunyi nyaring di kepala Ditrisya saat melihat mobil sedan tua Ayah berdampingan dengan skuter yang diketahuinya milik Ahyar. Tanpa memastikan motornya terkunci dengan benar, gadis itu berlarian masuk ke dalam rumah dan menemukan pemandangan yang seketika membuatnya panas dingin.
Tampak Ahyar dan kedua orangtuanya sedang terlibat pembicaraan menyenangkan, terlihat dari gelak tawa dan wajah berseri-seri Ibu.
"Eh, yang ditunggu-tunggu baru pulang."
Ditrisya maju mendekat dengan langkah patah-patah. "Ibu sama Ayah nggak bilang mau datang," bisiknya sambil lirik-lirik Ahyar.
"Hai, Yang."
Yang!
Maksudnya, Sayang? Eyang? Peyang?
Ditrisya menatap Ahyar memohon, tatapannya itu seolah berkata 'jangan macam-macam'. Entah apa yang dipikirkan Ahyar sekarang, pria itu terlihat begitu bahagia terlibat situasi ini.
"Ibu sama Ayah ke sini tadinya mau ngingetin kamu soal pertemuan sama anaknya Haji Ikhwan itu," ujar Ibu sejenak mengalihkan kecemasan Ditrisya. "Tapi karena kamu udah baikan lagi sama pacarmu Ahyar, nanti Ayah bisa lah ngarang alasan pembatalan. Iya, kan, Yah?" Ayah mengangguk penuh pengertian.
"Astaga, Haji Ikhawan lagi. Aku kan udah bilang nggak mau dijodoh-jodohin."
"Bukan jodohin, ngenalin."
"Sama aja." Ditrisya menghentakkan kaki kesal, dia bukan anak kecil yang bisa ditipu dengan pemakaian istilah. "Kenapa sih, Bu? Segitunya Ibu nggak sabar punya mantu dari aku. Pasti Dhika yang terus ngerengek minta buru-buru kawin, ya?"
"Semua orang tua pasti khawatir kalau anak gadisnya yang udah cukup umur, nggak pernah kelihatan jalan sama cowok dan malah kayak nggak tertarik. Ibu sama Ayah bermaksud baik mau bantu ngenalin laki-laki, siapa tahu kamu sibuk kerja jadi nggak sempat mikirin laki-laki," jawab Ayah, ditimpali anggukan setuju oleh Ibu.
"Tapi sekarang Ibu sama Ayah nggak khawatir lagi. Kamu ternyata udah punya calon, cuma belum dikenalkan aja."
Ibu tersenyum makin sumringah menatap Ahyar, lalu menarik lengan Ditrisya dan berbisik gemas, "Pintar sekali Tri cari calon suami. Ibu suka deh, Mbak."