PART. 9

1976 Words
PART. 9 ***AUTHOR*** Malam minggu. Puspa, dan Bik Imah, Bik Isah, Mang Darto, Mang Kadir, dan Pak Rebo yang merupakan Salah satu dari dua orang Satpam di rumah Ervan, tengah duduk-duduk di teras samping rumah, sambil menikmati acara tv dengan teh hangat, dan kacang rebus sebagai teman mereka. Ervan, dan Wulan pergi ke luar sejak usai Maghrib tadi, katanya menghadiri resepsi pernikahan salah satu saudara Wulan. Saat asik mengobrol, sambil menikmati acar dangdut di televisi, tiba-tiba ada sebuah mobil terlihat berhenti di luar pagar. Pak Rebo segera mendekat ke arah pagar. Terlihat ia berbicara sejenak dengan orang yang ada di dalam mobil itu. Pak Rebo berjalan lagi ke arah mereka. "Mbak Puspa, itu ada yang nyari, katanya teman Mbak Puspa, namanya Mas Dirly" kata Pak Rebo. "Dirly!" Puspa mengerjapkan matanya, seakan  tidak mempercayai ucapan Pak Rebo. "Dirly teman sekolahmu, yang sering kamu ceritakan itu ya Puspa?" tanya Bik Imah. "Iya Bik" "Kok tahu kamu tinggal di sini?" "Iya, Papahnya Dirly itu temannya Bapak. Waktu aku mengantar makan siang ke kantor Bapak waktu itu, kita bertemu di sana, jadi dia tahu aku tinggal di sini, Bik." "Dia tahu juga, kalau kamu sudah menikah sama Tuan besar?" tanya Bik Isah. Puspa menggeleng. "Jadi bagaimana ini? Suruh masuk apa nggak, Mbak?" tanya Pak Rebo. "Iya suruh masuk aja Pak, biar kami ngobrol di teras depan saja" jawab Puspa. Puspa pikir, tidak ada salahnya menerima tamu, Dirly sahabatnya, Ayah Dirly teman Ervan juga, dan merekapun hanya akan duduk di teras depan saja. Dirly, dan Puspa sudah duduk berhadapan di kursi teras bagian depan rumah besar milik Ervan. "Kamu betah ya tinggal di sini Puspa?" "Iya, sudah lebih delapan tahun aku tinggal di sini, aku pernah ceritakan soal ini" "Kamu tidak ada niat melanjutkan kuliah Puspa?" "Keinginan itu ada, tapi aku harus tahu diri. Bapak, dan Ibu sudah begitu baik mau menyekolahkan aku, aku tidak ingin meminta lebih lagi." "Apa kamu digaji di rumah ini Puspa?" "Iya, sejak aku lulus sekolah, Ibu memberikan aku gaji, kalau saat sekolahkan aku dapat uang jajan." "Oh, apa kamu ingin hidup di sini dalam posisi seperti ini selamanya, Puspa? Apa kamu tidak mempunyai keinginan untuk menjadi wanita karir misalnya?" Puspa menatap mata Dirly, Dirly membalas tatapannya. "Sejak kecil aku tidak pernah berani menggantungkan harapanku setinggi langit Dirly. Kehidupan ekonomi keluargaku dulu, membuatku menekan segala keinginanku. Sekarang juga begitu, aku takut untuk bermimpi, aku sebatang kara, aku tidak punya siapa-siapa, tidak akan ada yang bangga atas diriku, cukuplah sudah bagiku seperti ini." "Puspa, kamu harus punya semangat untuk menjalani hidup ini, jangan berhenti untuk terus maju" "Entahlah Dirly, aku tidak tahu akan seperti apa kehidupanku nanti. Saat ini, aku hanya ingin menjalani seperti ini saja" air mata Puspa tidak terasa menetes di pipinya. Kenyataan kalau ia sudah menikah, dan tengah hamil saat ini, membuat ia merasa tidak pantas lagi untuk bermimpi tentang masa depan seperti apa yang akan dimilikinya kelak. Tangan Dirly terangkat untuk menghapus air mata Puspa, mereka tidak menyadari kalau saat itu Ervan, Wulan bersama kedua orang tua Wulan, yang berada di dalam mobil, tengah menatap ke arah mereka. Puspa, dan Dirly sangat terkejut saat mobil Ervan parkir di depan teras. Ervan yang duduk di depan bersama Wulan segera turun, diikuti kedua orang tua Wulan yang duduk di bagian belakang. "Hallo, Om Ervan. Maaf saya datang ke rumah Om untuk menemui Puspa, tidak minta ijin terlebih dahulu pada Om. Hallo Tante, Oma, Opa, kenalkan saya Dirly sahabatnya Puspa, Ayah Saya sahabat Om Ervan," dengan santai, dan terlihat luwes, Dirly menyapa Ervan, dan memperkenalkan dirinya pada Wulan, juga orang tua Wulan. "Tidak apa-apa, silahkan dilanjutkan saja ngobrolnya," kata Ervan tenang. "Terimakasih, Om" sahut Dirly. Puspa tidak berani mengangkat kepalanya, ia tidak tahu harus bagaimana, jemari kedua tangannya saling bertautan karena sangat gugup. "Oke Dirly, kami ke dalam dulu ya," kata Ervan berpamitan. "Ya, Om" Dirly mengangguk sopan pada semuanya. Setelah Ervan, dan yang lainnya masuk. Dirly masih ingin berlama-lama di situ, tapi Puspa memintanya segera pulang, ia bilang tidak enak dengan Ervan, dan Wulan. Terpaksa Dirly segera berpamitan, dengan janji akan datang kembali, bila ia pulang ke Jakarta lagi, minggu depan. Puspa segera masuk ke dalam paviliunnya. Hatinya gelisah, karena meski sesaat tadi, ia sempat melihat kilatan marah di mata Ervan. Puspa merasa gelisah di dalam kamarnya. Ia benar-benar merasa takut Ervan akan salah sangka kepada hubungannya dengan Dirly. **** ***Ervan*** Mataku terpejam, tapi aku tidak bisa tidur, bayangan Dirly yang tengah memegang pipi Puspa menari di pelupuk mataku. Hatiku rasanya terbakar, panas, panas luar biasa, tapi untungnya aku masih bisa menahan rasa yang ingin meledak di dalam hatiku. Untungnya masih bisa kutahan, bogem mentah yang sangat ingin aku sarangkan di wajah Dirly. Aku marah pada Puspa. Dia bersikap layaknya seorang gadis, yang tidak bersuami di depan Dirly. Dia membiarkan Dirly menjamah wajahnya, membiarkan Dirly duduk di teras rumahku, dianggapnya apa aku ini? Aku ini suaminya, tapi kenapa dia mengabaikan itu? Kenapa dia mengabaikan perasaanku? Apakah dia mencintai Dirly? Apakah Dirly kekasihnya? Ya Allah.... Tolong aku. Tolong singkirkan pikiran-pikiran jelek yang ada di kepalaku, aku mohon ya Allah. Kutatap wajah Wulan yang nyenyak dalam tidurnya. Malam ini kami sudah tidur bersama, hal yang sangat jarang kami lakukan sejak ia sakit. Tapi Dokter mengatakan kalau kesehatannya mengalami kemajuan,. Wulan merasa yakin ia akan baik-baik saja, karena itulah Wulan memintaku untuk membiarkannya melakukan ke 'wajiban' nya sebagai istri kepadaku, meski tidak bisa sempurna kami lakukan. Jujur saja, ada rasa bersalah di hatiku kepadanya, karena aku sudah menyalahi janjiku, untuk menjadikannya satu-satunya wanita, yang aku cintai dalam hidupku. Aku merasa bersalah, karena aku sadari, kalau saat ini aku sudah jatuh cinta kepada Puspa. Aku tidak bisa menghindari itu, aku tidak bisa menghapus rasa itu. Tapi saat ini, Puspa sudah membuatku kecewa, sangat kecewa, sedang Wulan, dia tidak pernah dekat dengan pria lain manapun selain aku. Sehingga, selama ini aku tidak pernah merasakan cemburu seperti yang aku rasakan saat ini. Wulan sangat tahu, bagaimana caranya agar membuat aku selalu merasa bahagia, karena itulah aku tidak pernah mempermasalahkan apa yang menjadi kekurangannya. Seperti dia juga, tidak pernah mempermasalahkan sikapku yang kaku, dan sangat jauh dari kata romantis. Wulan, tolong maafkan aku, karena aku sudah mengingkari janjiku kepadamu. Aku tahu, membandingkan istri tua, dan istri muda bukanlah tindakan bijaksana, tapi itu tidak dapat aku hindari, aku hanya manusia biasa bukanlah malaikat. Puspa, bohongkah saat kamu katakan kamu juga mencintaiku? Salahkah jika rasa curiga, dan cemburu muncul di dalam hatiku? Puspa, sungguh aku tidak bisa memejamkan mataku, tapi aku juga tidak ingin bertanya langsung padamu. Aku takut, rasa marah di hatiku akan membuat amarahku meledak di hadapanmu. -- ***PUSPA*** Sudah dua hari sejak malam itu, dan Pak Ervan belum juga datang ke kamarku. Bahkan saat kami bertemu, beliau tidak menatapku, tidak menyapaku. Mungkin penyakit dipagi harinya sudah bisa beliau atasi sendiri, karena beliau kembali bisa duduk untuk sarapan di meja makan seperti biasanya. Orang tua Bu Wulan masih tinggal di rumah ini, aku dengar mereka berempat akan pergi liburan ke Bali. Seperti biasa aku yang menyiapkan sarapan untuk mereka. Karena kurang fokus akibat tidak bisa tidur beberapa malam ini, aku menumpahkan sedikit minyak goreng ke atas lantai, dan itu membuaku terpeleset. Hampir saja tubuhku terhempas ke atas lantai kalau saja Bik Imah tidak menahan tubuhku. Suara teriakanku, dan juga Bik Imah, yang sama-sama kaget karena hal itu, mengundang Bu Wulan, dan Bu Herlina, Ibunya, masuk ke dalam dapur. "Ada apa Puspa?" tanya Bu Wulan. "Maaf Bu, tadi tanpa sengaja saya menumpahkan minyak goreng ke lantai, dan tanpa sengaja juga, saya menginjaknya sampai hampir terpeleset, untung ...." "Aku sudah katakan, Puspa. Selama kamu hamil, jangan ikut bekerja. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada kehamilanmu, aku tidak mau anak kami yang kamu kandung jadi celaka. Sekarang masuk ke paviliunmu, jangan ke luar dari sana, kalau tidak ada yang penting. Soal makanmu, biar Bik Imah, dan Bik Isah yang mengantarkan ke sana, kamu mengerti!?" mata, dan suara Bu Wulan menyiratkan kemarahan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Tubuhku gemetar menerima tatapan tajam mata beliau, hatiku bergetar mendengar ucapan beliau. Airmataku yang hampir jatuh, berusaha kutahan dengan sekuat tenagaku. Bu Wulan melangkah ke luar dari dapur, tinggal aku, Bik Imah, Bik Isah, dan Bu Herlina. "Dengar ya, Puspa. Meskipun kamu sudah jadi istri Ervan, tapi jangan pernah bermimpi untuk jadi Ratu di rumah ini. Karena Ratu di rumah ini, tetaplah Wulan, kamu harus sadar siapa dirimu. Jika bukan karena kebaikan Wulan, mungkin kamu sudah jadi gelandangan di bawah jembatan. Atau mungkin juga, jadi wanita penghibur para p****************g. Jadi jangan pernah bertingkah di rumah ini, dan ingat, jika sampai terjadi sesuatu dengan bayi di dalam kandunganmu, maka aku tidak akan memaafkanmu, kamu mengerti!?" suara Bu Herlina sangat tajam di telingaku. Aku hanya bisa mengangguk saja, tidak berani bersuara sama sekali. Bu Herlina ke luar dari dalam dapur, Bik Imah, dan Bik Isah memelukku, berusaha menenangkan perasaanku. Tangisku pecah dalam pelukan mereka. "Sebaiknya kamu turuti perintah Nyonya tadi Puspa, kamu jangan ke luar dari kamarmu, biar kami nanti yang ke sana menemuimu ya" kata Bik Imah lembut. Aku mengangguk. "Isah antarkan Puspa ke kamarnya, aku harus menyiapkan sarapan dulu" kata Bik Imah pada Bik Isah. Bik Isah menuntunku menuju paviliunku. Aku berbaring di atas pembaringan ku, dengan air mata yang mengalir deras di pipiku. Ada rasa sakit yang tidak bisa kutahan, muncul di dalam hatiku. Aku merasa terluka dengan sikap Bu Wulan, dan Bu Herlina. Apakah salah jika aku merasa terluka? Tapi apa yang dikatakan Bu Herlina memang benar, beliau tidak salah, dan kesadaran akan hal itu, membuatku mengelus perutku yang terasa mulai berubah sedikit. Kupejamkan mataku, untuk menahan rasa sakit luar biasa yang menyergap perasaanku. Disaat seperti ini, aku sangat membutuhkan seseorang untuk menguatkan hatiku. Tapi aku tidak bisa berharap dari Pak Ervan, beliau tidak lagi peduli padaku. Beliau tidak lagi menginginkan aku. Mungkin sikap manis, dan ungkapan cinta yang beliau ucapkan selama ini kepadaku, hanyalah sesuatu yang palsu. Air mata terus membanjiri pipiku. Perasaan sesak menyergap dadaku. Aku memejamkan mata, berusaha untuk menenangkan perasaanku. Ya Allah.... Jika ini adalah takdir MU, beri aku kesabaran, dan keikhlasan dalam menjalaninya aamiin. *** ***AUTHOR*** Puspa yang terlalu banyak menangis merasakan pusing di kepalanya saat bangun pagi ini. Diusap pelan tempat kosong di sampingnya, di mana biasanya Ervan berbaring sembari memeluknya. Air mata Puspa kembali turun membasahi pipinya. Ada kerinduan yang ia rasakan terhadap Ervan, tapi tidak akan mungkin bisa ia ungkapkan. Ervan hanya milik Wulan, Ervan hanya mencintai Wulan, ia hanyalah seorang wanita yang hanya diperlukan rahimnya saja, untuk mengandung darah daging Ervan, yang akan jadi anak bagi Ervan, dan Wulan. Pikiran seperti itu, membuat air mata Puspa tidak mau berhenti mengalir. Apalagi saat ucapan Ervan dimalam pertama mereka terngiang kembali ditelinganya. 'Semakin cepat kita lakukan, semakin cepat kamu hamil, semakin cepat kamu melahirkan, maka semakin cepat pula kamu terbebas dari pernikahan ini' 'Ya Allah.... Apa yang diucapkan Pak Ervan sudah begitu jelas maksudnya, tapi kenapa aku tidak mau memahaminya? Kenapa aku justru percaya pada kata cinta yang diucapkannya.' Puspa tahu, kalau Ervan, dan Wulan siang kemarin pergi ke Bali untuk mengantarkan orang tua Wulan pulang, sekalian mereka ingin menikmati liburan. Kenyataan kalau Ervan melupakannya, membuat perasaan Puspa menjadi sangat terluka. Puspa bangkit dari rebahnya, ia mendengar suara Bik Imah memanggilnya. Puspa merasakan sakit yang luar biasa di kepala, dan ia sadar kalau semua itu akibat dari ia kebanyakan menangis, dan juga kurang tidur semalam. Puspa membuka pintu paviliunnya. "Ya Allah ... Puspaa, mukamu pucat sekali, kamu sakit? Badanmu panas Puspa, kita ke rumah sakit sekarang ya" Bik Imah segera memapah Puspa untuk duduk. "Aku tidak apa-apa Bik." "Tidak apa-apa bagaimana, badanmu panas sekali, wajahmu juga sangat pucat, kamu harus berobat jangan sampai bayimu ikut sakit, kita ke rumah sakit sekarang ya" bujuk Bik Imah. Puspa mengangguk, karena ia teringat ucapan Bu Herlina, yang tidak akan memaafkannya jika terjadi sesuatu pada bayi di dalam rahimnya. "Baiklah Bik, kita ke rumah sakit, tapi tolong jangan katakan pada Ibu, dan Bapak kalau aku sakit ya, biarkan mereka menikmati liburan mereka tanpa gangguan apapun, Bik" pinta Puspa. Bik Imah mengangguk. "Iya," jawabnya. Bik Imah, dan Mang Darto yang membawa Puspa ke rumah sakit. Dokter mengatakan, Puspa perlu diopname karena demam tinggi yang dialaminya. ***BERSAMBUNG***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD