***AUTHOR***
Ervan menatap wajah pucat Puspa yang berurai airmata. Ervan berusaha menggapai lengan Puspa, tapi kepala Puspa menggeleng kuat. Puspa mundur selangkah, disaat Ervan maju selangkah, untuk menghapus jarak yang membentang di antara mereka.
"Puspa ...."
"Cukup, Pak. Semuanya sudah berakhir. Anak yang Bapak, dan Ibu inginkan sudah lahir. Sekarang biarkan saya pergi," suara Puspa terdengar tajam dibalik isaknya.
"Puspa ...."
"Jangan sebut nama saya lagi, Pak. Tidak ada lagi yang tersisa di antara kita. Anak itu memang darah daging saya, tapi saya tahu, Bapak, dan Ibu ingin menghapus nama saya dari kehidupannya. Jadi biarkan Saya pergi, janji saya pada Ibu sudah saya penuhi. Tidak adalagi hutang di antara saya dan Ibu." Puspa mundur dua langkah, disaat Ervan maju dua langkah.
"Puspa, aku mencintaimu, hubungan diantara kita bukan sekedar untuk memiliki keturunan buatku. Tapi, karena aku sungguh mencintaimu" bujuk Ervan. Puspa kembali menggelengkan kepalanya dengan kuat.
"Tidak Pak, jangan lagi Bapak mengucapkan kata cinta setelah apa yang Bapak lakukan terhadap saya. Bapak sudah mengabaikan saya, Bapak sudah melupakan saya, Bapak tidak peduli pada perasaan saya. Cukup sudah semuanya, Pak." Puspa melangkah mundur, meskipun Ervan tidak melangkah maju.
"Selamat tinggal, Pak. Terimakasih untuk segalanya." Puspa melangkah mundur lagi, dan tiba-tiba Puspa lenyap dari hadapan Ervan.
Ervan terpaku sesaat, baru ia melangkah maju, dan ia berteriak memanggil nama Puspa dengan suara pilu menyayat kalbu.
Di hadapannya terbentang jurang yang dalam. Jurang yang sudah menelan tubuh Puspa ke dasarnya.
Ervan terbangun dari tidurnya, dengan nafas tersengal, dan bulir keringat memenuhi dahinya.
"Puspa ...." gumamnya, kepalanya menoleh ke tempat di sebelahnya, ada Wulan istri tuanya yang tidur dengan nyenyak, setelah kelelahan usai mereka bermesraan.
Ervan mengusap wajah dengan kedua telapak angannya.
"Astaghfirullah hal adzim," gumamnya. Hatinya menjadi sangat gelisah.
'Apa arti dari mimpiku?
Apakah Puspa baik-baik saja di sana?'
Rasa sesal menyusup di dalam hati Ervan, karena ia sudah mengabaikan Puspa, akibat dari perasaan cemburu yang membabi buta. Perasaan cemburu yang baru pertama kali dirasakannya.
Ervan tidak pernah pacaran, ia terlalu sibuk dengan sekolahnya, setelah lulus kuliah ia sibuk dengan pekerjaannya, ia harus belajar mengelola perusahaan milik Ayahnya, karena ia adalah pewaris tunggal.
Ia tidak punya waktu untuk dekat dengan wanita, sampai akhirnya orang tuanya menjodohkannya dengan Wulan, yang juga merupakan pewaris tunggal kekayaan orang tuanya.
Orang tua Wulan, dan orang tuanya adalah teman di masa muda mereka.
Ervan, dan Wulan sama-sama menerima perjodohan itu, dan kemudian seiring waktu, mereka sama-sama jatuh cinta.
Wulan sendiri benar-benar cerminan istri, dan Ibu rumah tangga yang sempurna, ia selalu bisa membuat Ervan merasa bahagia.
Karena itulah, Ervan tidak pernah merasakan yang namanya cemburu, karena tidak ada yang bisa ia cemburui. Rumah tangga mereka aman, damai, sejahtera, terlepas dari penyakit yang diderita Wulan, yang merupakan cobaan terberat dalam rumah tangga mereka.
Jadi jangan salahkan Ervan, kalau ia tidak bisa bersikap bijaksana dalam menanggapi kehadiran Dirly, untuk bertemu Puspa di rumahnya.
Ervan turun dari pembaringan untuk menuju kamar mandi.
Ervan menyiram tubuhnya dengan air hangat dari shower.
Setelah mandi, ia sholat malam, ia ingin mengadukan kegelisahannya kepada sang pemberi rasa.
--
Sudah tiga hari Ervan, dan Wulan di Bali, dan sudah tiga malam pula Ervan bermimpi hal yang sama.
Ervan sudah memutuskan untuk pulang hari ini, dengan alasan ia harus segera masuk kantor untuk menandatangani beberapa berkas penting. Wulan masih ingin tinggal di Bali bersama orang tuanya, untuk beberapa hari lagi, dan Ervan memberikan ijinnya.
Dengan naik taksi dari bandara, Ervan tiba di rumahnya sesudah Isya.
Bik Isah yang membukakan pintu untuknya.
"Tuan sudah pulang, Nyonya tidak ikut pulang?" tanya Bik Isah.
"Ya Bik, Wulan masih ingin disana beberapa hari lagi. Rumah kok sepi, Bik Imah, dan Mang Darto mana?"
"Enghh ... anu, mereka lagi ke luar Tuan" jawab Bik Isah gugup, karena sebenarnya Bik Imah, dan Mang Darto tengah menunggui Puspa di rumah sakit.
Ervan melangkah masuk, dan langsung menuju paviliun Puspa, Bik Isah mengikutinya dari belakang.
"Tuan mau bertemu Puspa?"
"Iya, dia ada di dalam kamarnya'kan?"
Bik Isah menggeleng.
"Puspa tidak ada di kamarnya, Tuan" jawaban Bik Isah membuat kening Ervan berkerut dalam.
'Puspa tidak ada di kamarnya? Apa mimpi itu ....'
"Ke mana Puspa, Bik. Cepat katakan!"
"Puspa ...."
"Apa dia kabur dari rumah?"
Bibik menggeleng.
"Lalu apa? Cepat katakan, di mana Puspa!?"
"Puspa, dia di rumah sakit, Tuan." jawab Bik Isah dengan suara gemetar.
"Di rumah sakit? Puspa sakit? Di rumah sakit mana?"
"Puspa demam, dihari pertama keberangkatan Tuan ke Bali, kami membawanya ke rumah sakit. Tapi Puspa melarang kami memberitahu Tuan, dan Nyonya, karena tidak ingin mengganggu liburan Tuan, dan Nyonya," jawab Bibik.
"Ya Allah ... Puspa, sekarang panggil Mang Kadir, suruh dia siapkan mobil, antar saya ke rumah sakit sekarang juga" kata Ervan dengan perasaan cemas luar biasa.
---
Ervan membuka pintu ruang perawatan Puspa, di sebelahnya ada Mang Kadir, dan Mang Darto, yang tadi tengah duduk di depan kamar perawatan ini. Bik Imah terjangkit bangkit dari duduknya, saat melihat kehadiran Ervan di ambang pintu ruang perawatan Puspa.
Ervan memasang jari telunjuk di bibirnya, agar Bik Imah jangan membangunkan Puspa yang tengah lelap dalam tidurnya.
Setelah berbicara di depan kamar Puspa, untuk menanyakan keadaan Puspa pada Bik Imah, dan Mang Darto.
"Kalian pulang saja, biar saya yang menjaga Puspa"
"Baik Tuan" sahut ketiga orang di hadapannya.
Ervan duduk di kursi di sisi pembaringan Puspa, setelah ketiga asisten rumah tangganya pergi.
Air mata menetes di sudut matanya, saat melihat wajah Puspa yang pucat.
Diraba kening Puspa dengan punggung tangannya.
Masih terasa hangat, bibir Puspa terlihat sangat kering, dan terlihat terkelupas saking keringnya.
Diraba lembut pipi Puspa, hangat, dan terasa sedikit lebih tirus dari biasanya.
"Dua hari mengabaikanmu, tiga hari meninggalkanmu, ternyata membuatku tersiksa karena rindu Puspa. Apakah kamu juga merindukan aku, sehingga sampai sakit begini?
Jika semua ini terjadi karena aku, tolong maafkan aku Puspa. Maafkanlah suamimu ini," gumam Ervan seraya mengecup jemari Puspa.
Puspa membuka matanya, begitu melihat siapa yang tengah mengecupi jemarinya, ia segera menarik jemarinya paksa dari genggaman Ervan.
"Puspa!"
"Untuk apa Bapak di sini?"
"Aku ingin menjagamu Puspa."
"Saya tidak memerlukan Bapak untuk menjaga saya, sebaiknya Bapak pulang, jaga saja Bu Wulan istri Bapak!" ucapan Puspa terdengar sengit.
Ervan mengernyitkan keningnya.
"Ada apa denganmu Puspa? Apa yang kamu katakan? Kamu istriku sudah jadi kewajibanku untuk menjagamu."
"Kita menikah, karena Bapak, dan Ibu menginginkan anak darah daging Bapak sendiri kan, dan sekarang anak itu sudah ada di rahim saya. Bapak tidak perlu susah-susah menjaga saya demi anak ini, karena saya akan menjaganya dengan baik, sampai anak ini lahir, dan saya serahkan pada Bapak, dan Ibu," apa yang diucapkannya, sungguh seperti menyiram garam di atas luka yang sudah ada di hatinya bagi Puspa. Tapi kemarahannya pada Ervan, membuatnya tidak bisa mengontrol ucapannya.
"Puspa, maafkan aku karena sudah meng ...."
"Bapak tidak perlu minta maaf, saya memang pantas untuk diabaikan. Saya tahu apa posisi saya. Saya sadar kalau Bapak menikahi saya, karena Bapak hanya ingin memenuhi keinginan istri yang sangat Bapak cintai. Saya juga tahu, Bapak meniduri saya, karena Bapak menginginkan keturunan, bukan karena hal yang lainnya. Apa lagi karena adanya cinta di hati Bapak untuk saya. Jadi saya mohon, mulai dari sekarang biarkan saya sendiri. Jangan lagi Bapak datang ke kamar saya. Jangan lagi Bapak memberi perhatian lebih pada saya. Jangan pernah sentuh saya lagi!" Puspa menumpahkan segala kemarahan, yang menyesakan dadanya di hadapan Ervan, air mata Puspa mengalir dengan deras.
Ervan ingin menghapus air mata Puspa, tapi Puspa menepiskan tangan Ervan dengan kasar.
"Saya sudah katakan, jangan lagi Bapak menyentuh saya. Saya tidak ingin lagi membuat luka di hati Ibu, sebaiknya Bapak pulang sekarang, Ibu lebih berhak mendapatkan perhatian penuh dari Bapak."
"Puspa, tolong maaf ...."
"Bapak, tolong biarkan saya melunasi janji saya pada Ibu dengan perasaan tenang. Saya berjanji akan menjaga kandungan saya dengan baik, dan menyerahkan bayi ini bila sudah saya lahirkan. Setelah itu biarkan saya pergi dari kehidupan Bapak, dan Ibu" desis Puspa yang masih berusaha menahan ungkapan kemarahannya.
"Apa yang kamu katakan Puspa, anak ini anakmu, anakku, anak kita berdua, jadi ja ...."
"Anak ini memang saya yang mengandung, dan melahirkannya, tapi dia adalah anak impian Bapak, dan Ibu. Dia akan jadi anak Bapak, dan Ibu, bukan lagi anak saya, itu yang Ibu inginkan Pak, jadi tolong pahami perasaan saya." Puspa merenggutkan tangannya yang berada di dalam genggaman Ervan.
Ervan menari nafas berat.
"Puspa, jika kemarahanmu ini karena aku sudah mengabaikanmu beberapa hari ini, tolong maafkan aku, aku mohon, Puspa. Aku sadar sudah bersikap kekanakan dengan cemburu buta pada Dirly, aku salah, aku salah, tolong maafkan aku. Tapi aku mohon, jangan lagi ucapkan kata-kata seperti itu. Aku akui, awalnya semua kulakukan karena cintaku pada Wulan, tapi kemudian aku sadari, kalau kamu sudah membuatku jatuh cinta." Ervan masih berusaha menggenggam jemari Puspa, tapi Puspa kembali menarik tangannya.
"Bapak pulang saja sekarang, perasaan saya sedang tidak nyaman, saya tidak ingin berkata kasar pada Bapak. Apa yang Bapak lakukan dengan mengabaikan saya sudah benar, agar saya tidak lupa diri dengan Bapak. Saya harus kembali menjejak bumi, dan menyadari siapa saya bagi Bapak." Puspa menghapus air matanya.
"Puspa, aku harus bagaimana agar kamu percaya, kalau aku sangat menyesal, dan supaya kamu percaya kalau aku mencintaimu."
"Bapak tidak perlu membuktikan apa-apa. Bapak masih bisa hidup bahagia tanpa saya, dan saya juga yakin, kalau saya juga akan bisa hidup bahagia tanpa Bapak nantinya."
"Apa maksudmu Puspa?"
"Maksud saya, Bapak memiliki Ibu yang Bapak cintai, dan mencintai Bapak. Sayapun akan memiliki seseorang yang akan mencintai, dan saya cintai nanti, setelah kita berpisah, Pak."
"Berpisah? Apa maksudmu Puapa? Apa ini tentang Dirly? Katakan, apakah kalian saling mencintai? Katakan apa cinta yang kamu ucapkan kepadaku hanya sebuah kebohongan, Katakan!"
"Ya! Saya sudah bohong, semua yang saya lakukan untuk menyenangkan hati Bapak itu palsu. Jadi sekarang Bapak pulanglah. Ibu lebih membutuhkan Bapak dari Saya!" seru Puspa tertahan, air matanya mengalir seperti tak mau berhenti.
"Puspa, tatap mataku, katakan dengan dengan sejujurnya, apakah kamu mencintai Dirly?" tanya Ervan dengan tatapan berbalur luka di matanya.
Sungguh Puspa merasa tidak sanggup membalas tatapan Ervan, tapi ia harus melakukannya, ia tidak mau lagi dianggap, dan dituding ingin merebut posisi Wulan di rumah Ervan.
Mata Puspa membalas tatapan Ervan.
"Ya, saya dan Dirly saling mencintai. Setelah bayi kalian yang ada di dalam kandunganku lahir, kami berdua akan membangun masa depan kami sendiri," ucap Puspa pasti.
Hati Puspa menangis, dan menjerit saat mengucapkan kata-katanya barusan. Tapi kebohongan ini demi kebaikan semuanya. Demi menjaga perasaan Wulan pastinya.
Ervan mengerjapkan matanya, seakan sangsi akan pendengarannya.
Tubuh Ervan bergetar, air mata jatuh di sudut matanya.
"Puspa, apakah ...."
"Pulanglah, Pak. Saya akan baik-baik saja, dan akan segera pulang kembali ke rumah Bapak, untuk menyelesaikan janji saya pada Ibu." Puspa membuang pandangannya dari tatapan Ervan.
Kali ini, sekuat tenaga Puspa menahan air matanya.
"Puspa ...."
"Saya mohon pulanglah Pak."
Ervan berdiri dari duduknya.
"Jadi ini yang kamu mau Puspa, jadi Dirly adalah cintamu sebenarnya, jadi aku tidak berarti apapun di hatimu, jadi cintaku hanya bertepuk sebelah tangan saja. Jadi ... baiklah aku akan pulang jika itu maumu Puspa. Aku tidak akan bicara lagi kepadamu. Aku tidak akan datang lagi kekamarmu, aku tidak akan menyentuhmu. Tapi, ijinkan aku mengungkapkan isi hatiku, untuk terakhir kalinya. Aku mencintaimu Puspa, aku mencintaimu. Aku pulang, Bik Imah akan kukirim kembali ke sini untuk menemanimu. Assalamuallaikum." Ervan mundur dua langkah, setelah mendengar sahutan Walaikumsalam dari Puspa yang tidak mau menatapnya, Ervan berbalik, dan segera ke luar dari ruang perawatan.
***BERSAMBUNG***