Wulan merasa bingung dengan keadaan Ervan.
"Mas, aku panggilkan dokter ya."
"Tidak usah, Dek. Temani aku berbaring saja, sini" Ervan menepuk tempat di sebelahnya.
Wulan naik ke atas pembaringan, lalu merebahkan kepalanya di lengan Ervan. Ervan memeluknya, dan menciumi rambut Wulan.
Ervan berharap, mual, pusing, dan lemasnya bisa hilang setelah menciumi Wulan.
"Dek, aku mencintaimu" bisik Ervan sebelum mencium bibir Wulan.
Bibir Ervan mencium bibir Wulan dengan penuh kelembutan.
Ervan melepaskan ciumannya, mual, pusing, dan lemasnya belum hilang juga.
"Kupijit kepalanya ya Mas."
"Hmm" Ervan mengangguk, mulutnya terus bersuara, seperti ingin muntah.
"Biasanya jam segini sudah hilang mual, pusing, dan lemasnya, Dek. Kenapa sekarang belum hilang juga ya?" kata Ervan dengan suara lemah.
"Biasanya Mas makan, atau minum apa biar segar lagi?"
"Tidak ada yang aku makan, atau minum, aku biasanya hanya ...." kalimat Ervan menggantung, hampir saja ia mengatakan, kalau biasanya ia segar kembali setelah menciumi Puspa.
"Hanya apa Mas?"
"Oh ... tidak ada, Dek"
"Mas mau sarapan?"
"Tidak, kalau boleh aku minta teh hangat saja, Dek."
"Baikalah, aku ambilkan dulu ya."
Wulan melangkah ke luar kamar, dan turun ke lantai bawah, menuju dapur.
Ia mendengar percakapan Bik Imah, dan Bik Isah yang tengah menggoda Puspa di teras samping rumah.
Ketiganya ada yang menyapu lantai, ada yang membersihkan kaca, dan ada yang membersihkan pot bunga dari daun-daun yang sudah layu.
"Tuan besar katanya mual, pusing, dan lemas ya, Mbak?" tanya Bik Isah pada Bik Imah.
"Iya, Puspa yang hamil, eeh ... Tuan besar yang ngidam. Enak dong Puspa, jadi nggak perlu ngidam ya kan, Puspa," goda Bik Imah.
Wajah Puspa merona mendengar godaan Bik Imah.
"Biasanya Tuan besar jam segini sudah berangkat ke kantor. Tapi hari ini, jam segini beliau belum ke luar dari kamarnya, apa masih lemes ya?" kata Bik Isah.
"Ya masih lemes, obatnya kan ada di sini, iya kan, Puspa. Pasti Puspa obatnya Tuan besar," jawab Bik Imah dengan nada kembali menggoda Puspa. Puspa hanya tersenyum saja, tidak menanggapi godaan yang dialamatkan kepadanya.
"Puspa!!" panggilan Wulan yang berdiri di ambang pintu mengagetkan ketiganya.
"Ibu" gumam Puspa.
"Puspa, buatkan teh hangat buat Bapak, dan antar ke kamar ya. Aku mau ke luar sebentar," kata Wulan.
"Baik Bu," jawab Puspa sambil melangkah masuk menuju dapur.
Puspa membawa teh hangat ke kamar Wulan. Wulan sudah berganti pakaian saat ia dipersilahkan masuk.
"Kamu jaga Bapak ya, Puspa. Aku mau ke luar sebentar, Mas, Mas ...." Wulan menepuk lengan Ervan pelan.
"Hmm ... ada apa, Dek?"
"Aku mau ke luar sebentar, mau ke super market. Puspa yang akan menjaga Mas, sementara aku pergi ya."
"Hmm ... iya" jawab Ervan lirih.
"Aku pergi ya, Puspa. Jaga Bapak, layani dengan baik." Wulan mengucapkan kalimat itu dengan mata berkaca-kaca, dan Puspa sendiri bisa mendengar nada yang aneh dari suara Wulan.
"Iya, Bu" Puspa menjawab seraya menganggukkan kepala.
Wulan keluar dari kamar.
"Kunci pintunya Puspa" kata Wulan, mengagetkan Puspa.
'Apa maksud Bu Wulan dari semua ini?
Apa Beliau sengaja meninggalkan aku, dan Bapak hanya berdua?
Tapi kenapa?
Untuk apa?'
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Puspa bingung sendiri.
"Puspa" panggil suara Ervan, mata Ervan terbuka.
"Ya, Pak" Puspa mendekat dengan langkah ragu.
"Sini," Ervan menepuk tempat di sebelahnya.
Puspa menggeleng pelan.
"Tidak Pak, ini tempat tidur Ibu, tidak pantas saya berbaring di sini. Karena saya juga pasti sakit hati, kalau suami saya berada di pembaringan saya, bersama wanita lain," jawab Puspa, dan Ervan tahu dengan pasti, kalau Puspa tidak akan bisa dibujuk kalau soal ini.
"Puspa" Ervan mencoba bangkit dari rebahnya, dan berusaha turun dari tempat ridur. Puspa membantunya duduk dengan kaki menjejak lantai.
"Aku mau buang air Puspa, bantu aku ke kamar mandi" Ervan menyodorkan lengannya, agar Puspa membantunya berdiri.
Puspa membantu Ervan untuk berdiri, dan berusaha memapah Ervan menuju kamar mandi.
Ervan menghirup aroma rambut Puspa sepuas yang ia bisa.
Tiba di kamar mandi, Ervan menutup pintu, dan menekan tubuh Puspa rapat ke balik daun pintu.
"Pak?" Puspa mendongakkan wajah, dengan tatapan protes, tapi Ervan tidak menghiraukan tatapan itu.
Disergap bibir Puspa dengan sedikit kasar, Puspa berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan lengan Ervan yang memeluk pinggang, dan punggungnya.
Tapi Puspa kalah tenaga, sepertinya tenaga Pak Ervan sudah pulih kembali. Puspa akhirnya hanya bisa pasrah, dan diam saat Ervan melucuti seluruh pakaiannya.
Ervan mengangkat Puspa ke dalam bathtub, Puspa memejamkan mata, wajah memerah. Di dalam hati Puspa hanya bisa berharap, Wulan tidak datang sebelum, Ervan terpuaskan olehnya.
Sekarang Puspa tidak bisa diam saja, rayuan bibir, dan sentuhan lembut Ervan sudah menggoyahkan dirinya sejak mereka masih berdiri tadi.
Mulut Puspa tidak berhenti mengerang, dan mendesah karena sentuhan Ervan yang semakin membuat tubuhnya bergetar.
Ruang kamar mandi ini bukannya hanya dipenuhi suara Puspa, tapi juga suara Ervan, dan suara air yang menciprat ke mana-mana dengan suara seperti berirama.
Puspa memejamkan matanya, ada air mata yang jatuh di pipinya, karena perasaan bersalah pada Wulan.
Tempat ini bukan haknya, bukan wilayahnya, tapi ia sudah bermesraan dengan Ervan diwilayah Wulan.
Jika Wulan tahu, itu pasti akan sangat melukai hatinya.
'Maafkan aku Bu....
Maafkan aku.... '
Ervan tentu saja tidak tahu Puspa menangis, karena air yang menciprat, dan membasahi wajahnya, efek dari gerakan Ervan yang semakin cepat untuk segera menuntaskan rasa yang menuntut untuk segera dilepaskan. Ervan memeluk tubuh Puspa erat, diciuminya wajah Puspa dengan lembut.
"Terimakasih Puspa, cuma kamu obat mujarab bagi rasa sakit di tubuhku" Ervan mengusap lembut kedua pipi Puspa. Bibir Puspa menyunggingkan senyum terpaksa, ia tidak merasa bahagia karena apa yang sudah mereka lakukan di kamar mandi, di dalam kamar Wulan ini menekan perasaannya.
"Senyummu seperti terpaksa Puspa, kamu tidak bahagia, benarkan? Katakan kepadaku apa yang bisa membuatmu bahagia, agar aku bisa melakukannya untuk bisa melihat senyum bahagia yang sesungguhnya di bibirmu" kata-kata Ervan yang diucapkan dengan suara sangat lembut, membuat tangis Puspa yang sudah ditahannya sejak tadi pecah seketika.
Ervan membawa kepala Puspa ke dadanya. Saat ini, posisi Ervan dengan punggung bersandar di dinding bathtubh, dan Puspa duduk di atas pangkuannya, dengan paha menjepit kedua paha Ervan.
"Saya hanya merasa bersalah, karena kita sudah melakukan ini di tempat yang seharusnya hanya menjadi milik Bapak, dan Ibu" isak Puspa.
Ervan menghela nafas berat.
"Maafkan jika hal ini melukaimu Puspa, maafkan jika aku tidak bisa menahan hasratku terhadapmu, tolong maafkan aku ya" Ervan mengecup puncak kepala Puspa mesra.
Kepala Puspa mengangguk, ia segera bangkit dari duduknya, mata Ervan langsung terbuka lebar melihat Puspa yang polos berdiri di atasnya.
"Puspa" panggilnya penuh harapan agar Puspa bersedia melakukannya sekali lagi.
"Ayo cepatlah Pak, Saya tidak mau Ibu sampai tahu kita sudah melakukan hal ini di sini. Itu pasti akan membuatnya sakit hati." Puspa segera beranjak ke bawah shower, dan menyiram tubuhnya dengan air dingin.
Ervan belum menyerah, ia mencoba mendesak Puspa lagi, dan Puspa akhirnya hanya bisa pasrah untuk kedua kalinya. Ervan membanjirinya dengan kecupan, dan ucapan terimakasih karena sudah mau menuruti keinginannya.
--
***WULAN***
Aku sengaja pergi sesaat dari rumah, setelah mendengar percakan Bibik-Bibik tadi yang menggoda Puspa. Aku sadar sekarang, kalau Mas Ervan tengah merasakan ngidam, dan hanya Puspa yang bisa menyembuhkannya.
Disatu sisi harapan akan mempunyai anak membuatku bahagia, anak dari darah daging Mas Ervan sendiri.
Tapi, disisi hatiku yang lain, ada perasaan sakit luar biasa. Aku merasa sakit, karena anak itu bukan darah dagingku, bukan dari rahimku ... bukan ....
Ya Allah ....
Maafkan aku, jika terkesan menggugat apa yang sudah menjadi takdir MU, ampuni aku ya Allah....
Kadang ada rasa takut Mas Ervan akan meninggalkanku.
Ada rasa takut, kalau Puspa akan menjadi ratu di rumahku sendiri.
Karena itulah, kadang aku tidak bisa menahan mulutku untuk tidak berkata sedikit tajam pada Puspa.
Aku selalu sengaja menyebut 'anak kami' agar ia tidak lupa akan posisinya.
Terdengar sangat kejam memang, tapi itu adalah cetusan dari rasa ketakutan yang aku rasakan.
Selama ini aku tahu benar, Mas Ervan sangat mencintaiku, sangat setia padaku. Dia pria lurus yang tidak banyak tingkah, tidak banyak polah, tidak juga romantis.
Tapi entah kenapa, aku merasa saat Mas Ervan bersama Puspa, dia terlihat seperti sosok yang sangat berbeda seperti yang aku kenal selama ini.
Dia bisa bersikap begitu manis, dan romantis, dia....
Apa aku mulai meragukan rasa cintanya kepadaku?
Apa aku salah jika terluka saat kurasakan cintanya mulai terbagi?
Tapi ini semua terjadi karena salahku, bukan salah Mas Ervan, bukan juga salahnya Puspa.
Ya Allah....
Aku tidak tahu ini salah atau benar.
Jika salah tolong ampuni kesalahan kami, berikan jalan yang terbaik untuk kami, lapangkan d**a kami bertiga dalam menjalani rumah tangga kami, aamiin.
Kupejakman mata sesaat.
"Nyonya sakit?" tanya supirku yang memandangku dari kaca spion.
"Tidak, kita ke super market yang paling dekat saja Mang."
"Ya Nyonya."
--
***PUSPA***
Aku memilih meminjam handuk yang tadi dipakai Pak Ervan untuk menyeka titik air dari seluruh tubuhku, dan rambutku, dari pada memakai handuk yang baru diambilnya dari lemari, karena aku takut hal itu akan menimbulkan kecurigaan Bu Wulan nantinya.
"Tidak Pak, saya pakai handuk ini saja, biar nanti langsung saya cuci" tolakku saat Pak Ervan mengulurkan handuk baru kepadaku, yang masih polos setelah mandi.
Pandangan nakal Pak Ervan menjelajahi seluruh tubuhku, membuat wajahku terasa panas, dan perutku terasa mengeras. Aku memutar tubuhku membelakangi beliau.
"Kenapa?"
"Pandangan Bapak seperti ingin menguliti saya"
Suara tawa Pak Ervan menggema di dalam kamar mandi yang sangat luas ini. Dipeluknya aku dari belakang, ditenggelamkan wajahnya di rambutku yang masih basah.
"Wangi mu sedap sekali Puspa, rasanya aku ingin tidur seharian denganmu di dalam pelukanku," gumam Beliau di atas kepalaku.
"Bapak tidak ke kantor ya?" tanyaku karena melihat pakaian santai yang dikenakannya.
"Sudah terlalu siang untuk pergi ke kantor"
"Lepaskan Pak, saya harus pakai baju, takut nanti Ibu keburu pulang, Pak." Aku berusaha melepaskan tangan beliau yang mulai nakal, karena meremas d**a, dan bawah perutku.
Apa lelaki memang selalu seperti ini saat memiliki istri muda.
Betah bersama istri muda, sampai melupakan istri tuanya.
Salah kalau orang sering mengalamatkan tuduhan buruk pada wanita berstatus istri muda, karena aku yakin tidak semua istri muda berniat menghancurkan rumah tangga suami dengan istri tuanya.
Hanya saja, kadang istri baru yang lebih muda akan terlihat lebih segalanya dari istri yang lebih tua di mata si pria.
Padahal istri muda seperti aku, belum teruji rasa cinta, dan kesetiaannya.
Belum tentu aku bisa setabah Ibu, jika suatu saat Bapak meminta ijin untuk menikah lagi.
Ya Allah apa yang aku pikirkan?
"Pak sudah ya, sekarang Bapak makan dulu, biar aku siapkan" bujukku sambil melepaskan tangan beliau di tubuhku.
"Aku bantu pakai bajunya ya." Tanpa menunggu persetujuanku, beliau sudah berjongkok di hadapanku, dengan celana dalamku di tangan beliau.
Sungguh ini membuatku merasa malu, tersanjung ... ah, Bapak..
Beliau juga memasangkan braku, dan sesaat sebelum bra terpasang, beliau masih sempat mengecup kedua ujung buah dadaku.
"Bapak!" protesku dengan mata mendelik gusar, beliau hanya terkekeh pelan. Entah kenapa, Pak Ervan yang pendiam, kaku, dan tidak banyak tingkah yang selama ini aku kenal, jadi berubah seperti ini saat kami sedang berdua.
Apa Beliau semesra, dan seromantis ini juga saat bersama Bu Wulan?
Ya Allah....
Pertanyaan macam apa yang baru aku pikirkan. Aku tidak berhak untuk mempertanyakan hal itu, apapun yang Pak Ervan, dan Bu Wulan lakukan saat berdua. Itu hak mereka, aku tidak berhak untuk tahu, apa lagi sampai mencoba mempertanyakan, apa lagi mencoba menggugatnya.
"Sudah selesai, sekarang aku sisiri rambutmu ya." Pak Ervan menuntun tanganku untuk ke luar dari kamar mandi, dan memintaku duduk di kursi meja rias milik Bu Wulan.
Aku segera berdiri.
"Tidak Pak. Saya tidak berhak untuk duduk di sini" aku menggelengkan kepala. Pak Ervan terdengar menghela nafas berat.
"Kalau begitu sisir saja rambutmu sambil berdiri, tidak terlihat bagus kalau kamu ke luar dari kamar ini dengan rambut berantakan, nanti dipikir orang aku sudah memperkosamu." Ucapan Pak Ervan membuatku jadi tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya beliau gusar.
"Tidak apa-apa. Cuma saya istri Bapak, dan semua orang di rumah ini juga tahu, mana mungkin mereka berpikir kalau saya sudah Bapak perkosa" jawabku dengan tangan mulai menyisir rambutku.
"Hhhh ... kamu kadang tidak suka rela melalukannya, aku harus memaksamu dulu, " gerutu beliau.
"Kalau Bapak minta dilayani di luar 'dunia kita berdua'. Saya memang harus dipaksa Pak, tapi kalau di kamar saya sendiri, saya pasrah saja pada maunya Bapak," sahutku cepat.
"Ayolah, aku sudah lapar, dua ronde tadi sudah menguras seluruh tenagaku."
"Tuhkan kecapean, tadi setelah mandi sok-sok an pakai mau minta tambah lagi hhhh" aku mencibirkan bibirku ke arah Beliau.
Cup.
Kecupan beliau sesaat menempel di bibirku.
"Puspa, sudah ya berdebatnya. Tuan besarmu ini sudah kelaparan" kata beliau, seraya menggenggam telapak anganku, dan membawaku ke luar dari dalam kamar Bu Wulan.
***BERSAMBUNG***