"Rafa mandinya pinter nggak, Tan?"
Aku membantu Rafa memakai baju yang sudah di siapkan oleh Ayahnya, dan saat sudah selesai pertanyaan menggemaskan ini terlontar darinya.
Dengan gemas aku menoel pipinya, meraih sisir dan mulai merapikan rambutnya yang basah karena keramas, "Rafa pinter banget, udah bisa mandi sendiri. Yang ngajarin Ayah atau Nenek?"
Rafa yang duduk di pangkuanku menatapku sekilas, memamerkan giginya yang rapi sembari tertawa, "di ajarin Nenek, kata Nenek, Rafa harus pintar ngapa-ngapain sendiri. Kasihan Ayah udah capek sama tugasnya, Rafa nggak boleh nakal, harus pintar jaga dan urus diri."
Aku memeluk tubuh kecil ini erat, ingin sekali berkata pada Rafa jika dia bisa membagi apa yang di rasakannya padaku, tapi mengingat aku tidak bisa menjanjikan apapun padanya, aku hanya bisa memeluknya erat seperti sekarang.
"Rafa kok pintar banget sih, Tante jadi makin sayang sama Rafa."
Ungkapku padanya, membuat Rafa yang duduk di pangkuanku beranjak bangun, dan yang paling mengejutkan bocah kecil ini memberikan sebuah ciuman di pipiku, seulas senyum tulus terlihat di wajahnya melihatku yang terkejut.
"Rafa juga sayang sama Tante Hanum, makasih Tante udah dandanin Rafa. Rafa jadi ngerasa kalau Rafa punya Mama."
Perkataan yang sederhana, tapi untuk seorang anak yang tidak mempunyai Ibu seperti Rafa kalimat tersebut sungguh menyakitkan untuk di dengar. Air mataku ingin menetes, tapi tetesan air mataku akan membuat anak tangguh ini bertanya, membuatnya menyadari betapa menyedihkannya dia, hingga akhirnya aku hanya bisa memalingkan wajahku kemanapun asalkan tidak pada wajah polos yang ada di depanku.
Aku menyemprotkan parfum anak-anak padanya, tidak lupa juga body lotion pada tubuhnya yang masih begitu halus, walaupun Mas Dika seorang laki-laki yang terlihat cuek, untuk perawatan anaknya apa yang di sediakannya termasuk lengkap.
Aku sudah selesai mendandani Rafa, saat Rafa senior dengan postur tubuh yang lebih dewasa melongok masuk ke dalam kamar ini, melihatku mendadani Putranya membuat Mas Dika sedikit terkejut dengan apa yang aku perbuat.
Aku menunggunya sejenak untuk berbicara, tapi kebiasaannya setiap kali bertatap muka denganku, Mas Dika akan seperti patung yang diam, hingga akhirnya aku harus membuka suara, "kenapa Mas, ini aku nggak apa-apa kan bantuin Rafa siap-siap?" Ya, aku sadar aku adalah orang asing, dan membantu seorang anak yang begitu mandiri seperti Rafa aku khawatir Ayahnya tidak akan setuju karena itu tidak sesuai ajaran yang di tanamkan oleh orangtuanya.
Tapi bukan hal itu yang ingin di sampaikan oleh Mas Dika padaku, "nggak apa-apa, Num. Aku malahan mau tanya, itu sayur bayam sama tempe goreng yang ada di dapur buat kita sarapan? Buat aku sama Rafa?"
Aku belum sempat menjawab mengiyakan apa yang di tanyakan Mas Dika saat Rafa sudah berlari keluar kamar dengan girang, "horee, makan sayur bayam lagi."
Aku dan Mas Dika saling beradu pandang, merasa tidak enak karena aku sudah lancang menggunakan dapurnya tanpa izin. Aku meremas tanganku saat berhadapan dengan sosok tinggi yang ada di depanku sekarang, menyusun kalimat untuk meminta maaf yang tepat saat suara berat itu lebih dahulu berbicara.
"Terimakasih, Hanum. Kamu sudah bikin Rafa senang pagi ini."
Aku menggigit bibirku kuat saat memberanikan diri mendongak menatap Mas Dika, dan saat aku menatapnya, wajah tampan yang menurun pada anaknya ini tersenyum, membuat kemiripan di antara mereka semakin menjadi.
Degupan tidak sopan aku rasakan mata itu menatap tepat di mataku, hangat dan bersahabat, membuatku dengan cepat menggeleng dan membuang jauh-jauh perasaan yang tidak boleh berkembang secara sepihak.
"Mari sarapan, Mas. Sebentar lagi jam Hanum berangkat ke sekolah."
Mas Dika mengangguk sebelum dia sedikit minggir untuk memberikanku jalan terlebih dahulu, dan saat sampai di meja makan mini yang menyatu dengan area dapur, aku sudah melihat Rafa duduk dengan anteng lengkap dengan sendok di tangannya.
"Tante, ambilin sayur bayam sama jagungnya yang banyak."
Aku mengangkat tanganku, memberi hormat pada Rafa seperti seorang prajurit pada komandannya. "Aye-aye, Kapten. Rafa mau makan bayam yang banyak biar sekuat Popeye, ya?"
Gelak tawa terdengar dari Rafa saat dia mengangguk, dan dengan antusias usai Ayahnya memakaikan celemek makan padanya, anak kecil ini langsung menyendok dengan bersemangat, melahap nasi putih yang kelembekan hasil karya Ayahnya dengan sayur bayam buatanku.
Bukan hanya aku yang tersenyum dengan tingkah Rafa, Ayahnya yang turut duduk pun tampak senang dengan senyuman Anaknya, aku meraih satu piring kosong untuk Mas Dika memberikan satu porsi nasi untuknya lengkap dengan sayur dan tempe goreng, masakan ekspress yang bisa aku buat dari bahan masakan yang sudah di siapkan Tante Aini.
"Mau sambal, Mas?"
Kembali aku mendapatkan tatapan lekat dari Mas Dika, tatapan yang sellau membuatku salah tingkah di buatnya sebelum akhirnya dia mengangguk, "agak banyak tolong, Num." Aku mengiyakan, dan satu hal baru aku ketahui dari Mas Duda anak sahabat Ibuk ini, dia selain pendiam, juga penikmat makanan pedas, dan sama seperti Rafa yang makan anteng dan lahap, Mas Dika pun melakukan hal yang sama.
Melihat dua orang dengan wajah nyaris serupa bahkan sampai cara mereka bersikap membuatku terpaku, sekarang aku mengerti kenapa Ibuk sering kali memperhatikan Ayah, aku, dan Saga saat makan, rupanya melihat orang-orang menikmati makanan yang kita masak adalah kepuasan yang tersendiri.
Ooohhh, begini toh rasanya berkeluarga satu waktu nanti.
"Kok malah diam, Num. Ikutan sarapan sekalian."
Aku tersentak mendengar teguran dari Mas Dika, ternyata memandang mereka membuatku melamun untuk sejenak membayangkan hal di masa depanku.
"Ikut sarapan, Tante. Masakan Tante lebih enak dari masakan yang di beli Ayah atau masakan Bibik di rumah Nenek."
Aku menoel pipi gembul tersebut, bisa-bisanya anak kecil berusia 4 tahun menggodaku, tidak perlu di minta dua kali aku meraih piring, turut sarapan bersama mereka menikmati hasil masakanku, ya kebetulan juga aku memang belum makan apapun mengingat nyawaku belum terkumpul Baginda Ratu rumah Joko Husada sudah memberikan perintah padaku untuk datang ke rumah ini.
Dan akhirnya saat jam sudah menunjukkan jam waktuku biasanya berangkat bekerja dari rumah, makan pun sudah selesai dan Rafa pun terlihat siap dengan tas ransel mungil di punggungnya.
Sebuah map berisi dokumen tentang Rafa kini ada di tanganku, mulai dari akta kelahiran, Kartu keluarga orangtuanya dan juga identitas orang tua Rafa yang dalam hal ini adalah Ayahnya.
"Ini beneran nggak ngerepotin kamu, Num?" Entah sudah yang keberapa kalinya Pak Duda ini bertanya hal yang sama, membuatku bosan mendengar tanya tersebut. Tapi sebagai orangtua tinggal melepaskan anaknya bersama orang lain untuk mengurus sekolahnya tentu hal yang mengkhawatirkan.
"Hanum nggak repot, Mas. Nggak perlu sungkan, bahkan kata Baginda Ratu Hetty Husada, Cucu dari sahabatnya juga cucu beliau sendiri."
Aku menepuk bahu tegap itu pelan, memenangkannya untuk tidak khawatir atau merasa telah merepotkan aku.
"Kalau orang tua kita bersahabat, kenapa kita juga nggak, Mas?"