Lima

1026 Words
"Tante Hanum datang ke rumah Rafa karena mau jadi mamahnya Rafa, ya?" Astaga, dari beberapa orang yang sudah bilang padaku jika aku mendaftar menjadi emak sambung dari anak ganteng ini, mungkin orang lain dengan mudahnya tidak aku tanggapi, mulai dari Ibuk dan Ayah, Pratu Doni barusan hingga Mbak Januar yang lemes tadi, tapi ini untuk kedua kalinya aku menggeleng sebagai penolakan atas pertanyaan Rafa, dan entah kenapa aku was-was jika harus melihat wajah kecewa dari Rafa ini. Aku terlanjur sayang dan jatuh hati pada wajah innocent-nya Rafa setiap kali melihatku dengan pandangan mata yang berbinar, hingga tidak tega untuk mengubah binar tersebut menjadi kecewa. Aku mengusap rambut tebal itu perlahan, mengeratkan pelukanku padanya yang ada di gendonganku, "Tante Hanum datang ketemu Rafa mau ajakin Rafa ke sekolah tempat Tante kerja, Rafa mau?" Sungguh aku berharap apa yang aku katakan sekarang akan mengalihkan perhatian anak ini dari tanyanya tanyanya yang tidak aku jawab, Rafa memang menanggapi apa yang aku katakan, tapi tetap saja dia menanyakan hal yang ingin aku hindari. "Tante Hanum mau ajakin Rafa ke sekolah? Kirain Tante Hanum sudah mau jadi Mamanya Rafa, ya nggak apa-apa kalau belum mau Tante, doa Rafa mungkin belum di kabulin sama Tuhan." Hatiku mencelos saat anak kecil ini mengusap pipiku waktu berucap demikian, seolah menenangkanku dan menyatakan jika aku tidak perlu khawatir telah membuatnya kecewa. Ya Tuhan, terbuat dari apa hati dan perasaan anak kecil ini. Tubuh Rafa beringsut meminta di turunkan, sembari memeluk boneka kelincinya dia kembali berbicara denganku, "Tante Hanum, bisa minta tolong siapin air hangat, Rafa mau mandi. Mau ikut Tante sekolah." Tanpa menunggu jawabanku bocah laki-laki itu berlari kembali ke kamarnya, meninggalkanku dalam kecanggungan dengan Ayahnya yang dari tadi seperti patung saat mendengarnya berceloteh dan membuatku kicep kebingungan untuk menjawab. "Rafa, dia masuk ke kamarnya bukan karena ngambek, kan?" Tanyaku khawatir sembari mengikuti Mas Dika yang berjalan menuju ke belakang tempat dapur kurasa, menyiapkan air hangat yang di minta Rafa padaku. Aku sedikit khawatir, takut-takut kalau ternyata Rafa masuk ke kamar karena ngambek, bisa jadi dia tidak ngambek di depanku tapi justru menyembunyikan perasaannya sendiri di kamarnya. Kan ngeri, ya! "Dia pergi ke kamar buat beresin kamarnya, Hanum. Nggak perlu khawatir sama Rafa, sedari kecil dia di ajarkan mandiri oleh Ibuku, nggak bisa dapatin apa yang di inginkan nggak akan buat dia merajuk." Suara ceklekan kompor membuatku menoleh ke arah Mas Dika, menatap sosok tampan seorang Tentara yang juga merupakan single parents hebat dalam menjaga anaknya, ya aku mengenal beberapa Tentara yang juga kebetulan pasangan dari teman kuliahku, tapi mengenal secara personal seperti Mas Dika, ini baru pertama kalinya. Dan saat melihat sosok yang juga menatapku sekarang, mau tidak mau aku kagum dengannya, dia bukan hanya tampan dari segi wajah, baik dari segi sikap, mapan dari segi karier, tapi juga caranya mendidik anak. Tuhan, tolong perbanyak spesies laki-laki idaman seperti dia ini, biar aku kebagian satu yang sebaik Mas Dika ini. "Ada yang salah dengan wajahku?" Teguran dari Mas Dika membuatku terkekeh, menertawakan diriku sendiri karena memperhatikan seorang selekat ini hingga mendapatkan teguran dari orang yang aku pandang. Melihat bagaimana Mas Dika mengusap wajahnya sendiri karena merasa aku memperhatikannya karena ada yang salah dengan wajahnya membuatku semakin tertawa. "Nggak ada yang salah, Mas Dika. Aku justru kagum dengan cara Mas Dika dan Tante Aini dalam mendidik Rafa." Yah, aku banyak menemui anak kecil, melihat banyak sikap yang beragam karena mereka tumbuh di lingkungan keluarga yang berbeda, mulai dari keluarga yang lengkap dengan Ayah dan Ibu, lengkap tapi kedua orangtuanya sibuk bekerja, hingga yang broken home karena bercerai, atau ada juga yang seperti Rafa, hidup bersama Ayah atau Ibu mereka karena salah satu tiada. Tapi dari semua yang aku temui tidak ada yang semanis Rafa baik sikap maupun perilakunya. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan hal ini pada Ayahnya, "sepertinya aku jatuh hati pada putramu, Mas. Jatuh cinta dengan sikap manisnya. Mas Dika keberatan kalau aku sayang sama anak, Mas?" Jika tadi Mas Dika yang salah tingkah karena aku yang menatapnya maka sekarang dia yang beringsut menatapku, memperhatikanku dengan seksama seolah ingin melihat jauh ke dalam hatiku, mencari tahu kejujuran dan kesungguhan ucapanku barusan. Dan percayalah mendapatkan tatapan dari seorang yang kelewat ganteng seperti Pak Duda satu ini adalah ujian terberatku, tidak sadarkah Mas Dika jika dia mempunyai wajah yang bisa membuat orang menjadi khilaf, nasib baik aku bukan bagian dari ciwi-ciwi yang terpesona hingga gila padanya, jika iya, habis sudah dia aku serang duluan. Dengan telunjukku aku mendorongnya agar mundur, mencegahnya semakin mendekat padaku, aku tidak yakin bisa bertahan lebih lama dari pesona Mas Duda, dan tetap waras jika di pandang selekat ini. "Sepertinya bukan hanya kamu yang jatuh hati pada Rafa, tapi anak itu yang jatuh cinta terlebih dahulu ke kamu, Hanum. Ikatan apa yang takdir berikan pada kalian berdua hingga sedekat ini walaupun tidak pernah bertemu?" Aku mengerjap mendengar kalimat panjang dari Mas Duda ini yang bertanya satu hal yang tidak aku mengerti juga jawabannya. Tanya yang membuatku membisu hingga desisan air dari panci yang mendidih membuat perhatianku teralih. "Airnya sudah hangat, Mas. Tolong bawain buat Rafa." Seolah tidak ada percakapan dan tanya yang berat sebelumnya di antara kami. Mas Dika menurut pada ucapanku, membawa panci kecil itu menuju kamar mandi sembari memanggil Rafa, dan benar saja tanpa di panggil dua kali bocah menggemaskan itu sudah datang dengan handuk kecilnya lengkap dengan senyum di bibir mungilnya dan melambaikan tangan padaku. "Tante Hanum, Rafa mandi dulu! Tungguin, ya." Ya Tuhan, kenapa dia bisa semanis ini, sih. Dan seperti yang di katakan Ayahnya jika Rafa adalah seorang anak yang mandiri, begitu Ayahnya keluar, suara kecipak air mandi terdengar, melihat Ayahnya yang tampaknya pergi menyiapkan ganti untuk Rafa membuatku melihat berkeliling dapur mini ini, sederhana tapi lengkap, Tante Aini benar-benar memperhatikan anak dan cucunya saat akan meninggalkan mereka, dan hal yang sama pun ada di kulkas dengan bahan makanan yang lengkap. Tidak meminta izin pada Mas Duda aku meraih beberapa sayur, mengambil peralatan yang terlihat baru dan mulai memasak sesuatu untuk Rafa. Astaga, aku benar-benar seperti perempuan yang sedang jatuh cinta dan bucin akut pada crush-ku. "Orang lain jatuh cinta pada Bapaknya, laaah ini malah aku yang jatuh cinta sama anaknya. Hanum... Hanum."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD