Empat

1032 Words
"Makasih sudah jagain tamu saya, Don!" Di saat aku menunggu Mas Dika di samping motor aku bisa mendengar Mas Dika mengucapkan terimakasih pada Pratu yang dari tadi menemaniku, ucapan terimakasih yang di balas anggukan jempol dan senyuman dari Pratu tersebut. Yaa, ternyata masuk ke dalam lingkungan Militer ini memang harus izin dan meninggalkan catatan identitas, sama saja sih seperti berkunjung ke instansi besar. Tapi tetap saja, rasanya canggung berada di tempat yang terasa asing untukku ini, beberapa orang melihat Mas Dika dengan hormat, dan beberapa orang lainnya mendapatkan tatapan dan hormat dari Mas Dika. Astaga, pagi-pagi sudah di buat lieur dengan apa yang aku lihat. "Jadi Mas Dika tadi jalan kaki?" Tanyaku saat motor ini mulai melaju pelan, menyusuri jalanan komplek Batalyon yang ternyata tampak rapi dan mulai terlihat penghuninya yang mulai beraktivitas, beberapa wanita tampak menyiram tanaman dan juga berbelanja sayuran, oooh, sama seperti komplek pada umumnya, bedanya suami mereka yang seorang prajurit membuat komplek asrama militer ini lebih homogen, aku jadi penasaran apa saat berbelanja sayur mereka juga ngerumpi seperti Ibu-ibu di komplek pada umumnya? Dan beberapa orang yang melihatku di bonceng Mas Dika langsung melayangkan tatapan penasaran saat Mas Dika menyapa mereka, ternyata sosok yang aku kira bisu ini ramah juga pada setiap orang yang di kenalnya, tapi kenapa dia pendiam sekali terhadapku, berbicara sepatah dua patah kata itupun harus aku yang berbicara panjang lebar lebih dahulu. Aku menatap sosok tinggi, tegap, dengan bahu lebarnya yang ada di depanku ini, menunggunya menjawab pertanyaanku, dan mungkin melihatku memperhatikannya membuat Mas Dika sedikit menoleh ke belakang. "Iya, saya tadi jalan kaki. Rencananya mau jogging sebentar, tapi keduluan di telpon Doni karena ada yang nyamperin. Takut Rafa bangun karena suara motorku ya sudah jalan kaki saja sekalian." Aku terdiam kagum, agak salut dengan jalannya yang cepat, karena walaupun dekat, tetap saja membayangkan berjalan kaki dari tempat motorku berhenti hingga di Pos Jaga tadi cukup membuatku terengah-engah, dan laki-laki yang ada di depanku ini begitu santai. Memang ya, stamina seorang prajurit sepertinya berbeda denganku yang merupakan soulmate dari ranjang kamar yang empuk. "Ayo masuk, Rafa masih tidur sepertinya." Ajakan dari Mas Dika membuatku tersentak dari lamunanku yang asyik memperhatikan rumah-rumah mungil yang juga di sebut barak ini, walaupun terlihat sama, tapi aku bisa melihat jika berbeda pemilik berbeda pula mereka mengaturnya, d******i warna hijau dan juga beberapa pot yang ada di depan rumah mereka membuatku bertanya apa mereka di wajibkan menanam tanaman di depan rumah? Menyenangkan sekali sepertinya hidup di sini. Aku hendak mengikuti Mas Dika masuk ke dalam rumah Mas Dika saat aku mendengar sapaan penuh rasa ingin tahu dari rumah sebelah kiriku. "Om Dika, bawa siapa tuh? Adiknya, ya?" Aku memandang Mas Dika memintanya yang menjawab karena aku bingung mau menjawab bagaimana. Seulas senyum ramah terlihat di wajah Mas Dika, senyum yang membuatku terpaku untuk sekian detik, senyum yang membuatnya tampan tapi jarang sekali terlihat. Mahal sekali senyuman Pak Duda ini. "Namanya Hanum, Mbak Januar. Dia Ibu gurunya Rafa nanti, sekaligus anak sahabat keluarga saya, Mbak. Yang bantuin saya ngurus sekolah Rafa." Aku turut tersenyum melihat wajahnya Mbak Januar, beliau sepertinya ingin bertanya lagi, type-type tetangga kepo dan julid, dan benar saja celetukan beliau selanjutnya sangatlah membagongkan. "Owalah, kirain saya Mama barunya Rafa, siapa tahu kan Om Dika tempat tugas baru jodoh baru juga. Ternyata cuma Ibu Guru toh." Aku melirik Mas Dika yang ada di sebelahku tapi di luar dugaanku dia hanya terdiam, tidak ada ekspresi apapun di wajahnya yang membuatku bisa menyimpulkan celetukan orang yang di panggil Mbak Januar ini mengganggu atau tidak, dan tanpa rasa berdosa sama sekali karena sudah julid, Mbak Januar melenggang begitu saja masuk ke dalam rumah karena suara anak kecil yang berteriak memanggil beliau. "Bisa Hanum samperin Rafa, Mas?" Tanyaku padanya, membuat Mas Dika yang tadi termenung sedikit tersentak, tubuh tegap tersebut sedikit menyingkir, memberikanku jalan untuk masuk ke dalam rumah yang terkesan minimalis khas seorang yang hidup sendiri. Mungkin yang menjadi warna yang berbeda adalah beberapa mainan anak-anak yang terlihat di beberapa sudut ruangan, mainan anak laki-laki yang pastinya milik Rafa, aku sempat melihat berkeliling, mendapati beberapa potret Mas Dika saat menerima penghargaan dan juga pendidikan, beberapa potret Rafa lah yang mendominasi, aku ingin tahu bagaimana wajahnya Ibundanya Rafa, tapi sayangnya aku sama sekali tidak melihat foto yang aku cari. Aku ingin tahu, jika anaknya seganteng Rafa, lalu secantik apa Ibundanya, ya? Yang aku lakukan mungkin lancang, tapi bagaimana lagi, aku juga tidak tahan dengan rasa penasaranku yang sudah ada di ujung hidungku. "Rumahnya berantakan, Num. Maklum di sini adanya aku cuma sama Rafa." Aku menggeleng cepat, tidak ingin dia mengira aku yang celingukan barusan karena tidak nyaman dengan rumahnya. Baru saja aku ingin menanyakan di mana Rafa tidur, saat sesosok anak kecil yang aku cari tengah berjalan sempoyongan khas orang yang baru bangun tidur keluar dari kamar, sama seperti Ayahnya yang memang tampan, anak kecil dalam balutan piyama kelinci lengkap dengan boneka rabbids yang ada di tangannya, Rafa pun tampak menggemaskan. Astaga, kenapa dia manis sekali, sih. Aku berjongkok, mendekatinya yang sepertinya nyawa Rafa belum terkumpul dari alam mimpi. Tuhan, aku ini normal kan saat mengagumi wajah dan sikap menggemaskan anak kecil yang ada di hadapanku ini, orang lain atau wanita lain boleh jatuh hati pada Ayahnya, tapi anaknya ini loh, wajahnya minta di sayang banget. "Rafa, baru bangun, Nak?" Tanyaku padanya, pertanyaan yang membuat Rafa membuka mata sepenuhnya dan melihatku dengan bingung untuk sebentar, mungkin dia heran kenapa aku bisa ada di rumahnya saat dia membuka mata, tapi itu hanya sebentar karena detik berikutnya wajah tampan ini tersenyum memamerkan giginya yang rapi saat bergantian menatapku dan Ayahnya, seperti bertanya apa aku yang ada di hadapannya ini benar nyata atau hanya bagian dari mimpinya. Aku melihat Mas Dika, si pemilik wajah tanpa ekspresi itu tersenyum kecil pada Putranya sembari mengusap rambut Rafa, laaaaah, jika tadi aku berkata Ayahnya tidak cukup menarik hatiku, maka sekarang saat melihat bagaimana Mas Dika bersikap pada anaknya, aura kebapakannya langsung tumpah-tumpah dan bikin meleyot-leyot. "Iya, Rafa. Ini beneran Tante Hanum yang kemarin." Aku tersenyum menganggukkan kepalaku mengiyakan jawaban Ayahnya yang langsung membuat Rafa menghambur mendekatiku, memintaku untuk menggendongnya yang langsung aku lakukan dengan senang hati. "Tante Hanum datang ke rumah Rafa karena mau jadi Mamanya Rafa, ya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD