Satu

1146 Words
Namaku Hanum Mentari, nama sederhana tapi menurut Ayah beliau ingin aku bersinar terang secerah dan sehangat matahari pagi, mungkin sugesti dari harapan Ayah ini membuatku murah senyum pada siapapun. Kebiasaan yang sangat sesuai untukku yang kini berprofesi sebagai Guru di sebuah lembaga PAUD dan TK, ya aku memang menyukai anak kecil, sebagian orang mungkin merasa anak kecil berisik dan merepotkan, tapi untukku tawa mereka yang begitu tulus, dan tatapan hangat mereka yang berbinar membawa kebahagiaan tersendiri. Ya, aku sangat menyukai profesiku, dan pekerjaanku ini di dukung sepenuhnya oleh Ayah dan Ibu. Ya mungkin karena aku juga berasal dari keluarga dengan profesi pendidikan, Ayah yang merupakan Staff Kemendikbud, dan Ibu yang merupakan Guru di sebuah SMA Negeri, mungkin hanya adikku, Saga, yang kini tengah menempuh pendidikan di Akpol yang mengambil profesi berbeda. Ayah dan Ibu memang mendukungku, tapi saat usiaku sudah genap 25 tahun, dengan pekerjaan yang sudah mapan di sebuah Yayasan Pendidikan yang cukup ternama, pertanyaan mengganggu mulai datang dari kedua orangtuaku, apalagi kalau bukan tanya tentang kapan aku membawa calon suami atau setidaknya pacar datang ke rumah. Tapi bagaimana lagi, dalam hal cinta aku belum berminat, bukan berarti aku tidak pernah pacaran sama sekali, beberapa kali aku menjalin hubungan tapi saat mendengar gombalan dari mereka yang selalu menonjolkan betapa hebatnya mereka dan meremehkanku yang kata mereka Guru TK dan PAUD hanya mengurus anak kecil tidak lebih dari Baby Sitter aku langsung illfeel sendiri. Dan entah kenapa, setelah satu tahun sendirian pasca hubunganku percintaanku kandas, aku lebih nyaman dengan kesendirianku, merasa jika tawa dan senyuman anak-anak didikku lebih menyenangkan di dengarkan dari pada gombalan para laki-laki yang merajuk meminta perhatian, jika boleh aku meminta ingin rasanya mendapatkan jodoh yang tiba-tiba klik dan tidak buang-buang waktu, lelah rasanya mengenal orang baru dan berakhir di kecewakan. Tapi jalan hidup tidak ada yang tahu bukan, aku tidak memikirkan semua hal yang berkaitan dengan cinta dan perasaan, apalagi sampai pernikahan dalam waktu dekat ini, tapi jika Takdir sudah menyodorkan jodoh itu ke depan mataku, memangnya aku bisa menolak? Takdir rupanya selalu mempunyai cara tidak terduga dalam bekerja dan memainkan peran setiap pionnya, beberapa kali aku menjawab hal tersebut dengan jawaban di atas, dan takdir seolah menyimak apa yang aku ucapkan. Sama seperti pagi ini, rasanya aku baru lima menit memejamkan mataku, baru saja merasakan nyamannya ranjangku yang empuk dan selimutku yang hangat saat suara Ibu terdengar. "Num.. Bangun deh, Nak." Dengan malas aku menggeliat, alarm-ku belum berbunyi hal yang menandakan jika hari masih pagi buta dan suara Ibu sudah terdengar, hal yang sangat tidak biasa sebenarnya Ibu sampai menggangguku. Berusaha mengabaikan Ibu, berharap melihatku yang masih ingin berkencan dengan selimut Ibu akan pergi meninggalkanku. Tapi nyatanya aku keliru, Ibu justru menarik selimut yang membungkus tubuhku dan berkacak pinggang saat aku ingin protes. "Ini anak perawan susah banget di bangunin!" Aku meringis, kesal sekali rasanya, ingin rasanya protes tapi ngeri dengan kemarahan Ibu. "Buk, Hanum begadang sampai jam 2, nyiapin materi buat anak-anak yang masuk tahun ajaran ini, Hanum pengen istirahat bentar, Buk. Ini matahari saja belum kelihatan, biarin Hanum istirahat sebentar." Aku memejamkan mata kembali, ingin sekali merebahkan tubuhku pada ranjang yang sangat empuk, tapi Ibuk kembali menarik tanganku untuk bangun. "Justru karena hari ini hari pertama tahun ajaran baru, kamu cepetan siap-siap gih, pergi samperin Rafa. Kata Neneknya anak itu harus sekolah tahun ini. Ayahnya sama sekali nggak tahu apa-apa soal anak yang mau sekolah, Num. Malahan Ibu curiga kalau tuh bocah belum di daftarin sama Bapaknya saking Bapaknya nol pengetahuan soal kayak gini. " Mataku yang tadinya menutup bersiap untuk terpejam kini terbuka sepenuhnya mendengar apa yang di ucapkan oleh Ibuk, "apa Ibu bilang? Rafa siapa, Buk? Rafa anaknya Mas Dika kemarin?" Aku berharap jika Ibu menggeleng, berharap jika Rafa yang di maksud oleh Ibu adalah Rafa cucu teman Ibu yang lain, teman arisan kek atau teman Ibu senam, pokoknya siapa saja asalkan bukan Rafa anaknya Pak Tentara yang kemarin. Bukan, bukan aku tidak menyukai Rafa, siapa saja pasti akan jatuh hati pada bocah ganteng tersebut, tapi bagaimana ya, aku ngeri-ngeri sedap dengan Ayahnya yang pendiam, kaku, dan terlihat menyeramkan. Sangat kontras dengan Rafa yang antusias murah senyum. Tapi dari banyak hal yang di dengungkan Ibuk barusan membuatku tahu jika Rafa yang di maksud adalah anaknya Mas Dika, Mahardika Kusuma, Serka yang terlalu muda untuk mendapatkan sematan gelar duda di depan namanya. Ibuk turut duduk di sebelahku, wajah Ibu tampak berbinar saat menceritakan Rafa dan Ayahnya, entah Ibu menyukai Rafa, atau malah terpikat dengan pesona Duren-nya Mas Dika. Membayangkan opsi yang kedua membuatku bergidik, dalam hati aku tidak berhenti bergumam. Eling, Buk. Eling, walaupun Mas Dika Duda dan gantengnya sampai bikin lutut lemes, tapi Ayah masih jauh lebih ganteng, buktinya aku secantik ini, dan Saga gantengnya pol-polan. Tapi mana berani aku mengucapkan hal ini langsung pada Ibuk, bisa di sambit kepalaku. "Rafa yang mana lagi, Num. Ya Rafa anaknya si Dika, lah. Tuh anak ganteng banget ya, Num. Udah ganteng, baik, imut, mana baik lagi tuh bocah, kamu inget kemarin waktu ketemu Ibuk dia langsung cium tangan Ibuk sama Ayah. Duuuuhhh Ibuk jadi kepengen Cucu kayak Rafa. Si Dika pinter banget ngajarin anaknya." Aku bertopang dagu, manggut-manggut tanpa menanggapi apa yang di ucapkan Ibuk, memilih menyimak angan-angan Ibuk tersebut tanpa ada niat menginterupsinya. "Kasihan banget ya si Rafa itu, anak sekecil itu sudah kehilangan sosok seorang Ibu, mana bentar lagi Neneknya juga balik, kesini cuma nganterin Dika yang pindah tugas. Nggak bisa Ibuk bayangin gimana Dika ngurus Rafa sendiri, mana Dika aktif lagi di Batalyon." Kembali aku mengangguk, mengiyakan apa yang di katakan oleh Ibuk, masih kuingat bagaimana kemarin anak kecil itu menubruk kakiku dan menanyakan apa aku adalah Ibu pengganti dari Mamanya yang sudah meninggal untuknya. Yah, jika di pikirkan memang kasihan anak sekecil itu yang sangat membutuhkan seorang Ibu untuk menjadi pengajar pertama dalam kehidupannya justru harus kehilangan sosok Ibu tersebut untuk selamanya. Benar yang kalian pikirkan, Mahardika Kusuma kemarin yang bertandang ke rumah bersama Ayah dan Ibunya adalah seorang Duda cerai mati, bukan duda karena Mas Dika kebanyakan tingkah atau parahnya istrinya selingkuh. Hal yang sangat menyedihkan jika di pikirkan. "Manggut-manggut bae, tanggapin kek omongan Ibuk, berasa ngomong sama tembok." Aku merengut mendengar apa yang di katakan Ibu, memangnya aku harus menanggapi bagaimana, jika di minta menolong soal pendaftaran Rafa dan sekolahnya OK saja, tapi selain itu aku harus menanggapi bagaimana kehidupan Mas Dika yang sama sekali tidak aku kenal. "Ya gimana, Bu? Kalau Ibu khawatir sama Mas Dika bisa nggak ngerawat Rafa, ya suruh saja Mas Dika kawin lagi. Urusan beres, ada yang ngurus Mas Dika, ada yang urus anaknya. Mas Dika kan paket hemat, buy 1 get 1." Aku beranjak bangun, bersiap untuk pergi sesuai perintah Ibu untuk menemui Rafa, sayangnya celetukan Ibu membuatku nyaris terjungkal oleh kakiku sendiri. "Kalau kawinnya sama kamu gimana, Num? Dika dan orang tuanya datang kerumah ini bukan tanpa tujuan. Kalau kamu di jodohin sama dia mau nggak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD