"Matahari belum kelihatan kamu udah rapi amat, Num."
Aku mengikat rambutku tinggi-tinggi, menjalin rambut panjangku menjadi satu dan dengan cepat memakai sepatu ketsku saat Ayah melihatku dengan pandangan heran, bagi beliau yang pagi buta sudah mengurus tanaman kesayangan dan banyak burung peliharaan ini, melihatku bangun sepagi ini adalah hal yang mengherankan.
"Ibuk yang nyuruh Hanum buat bangun pagi ke tempat Rafa." Jawaban Ibuk membuat Ayah mengangguk paham, tapi sedetik kemudian beliau tampak terkejut dan dengan cepat duduk di sebelahku dengan tatapan penasaran.
Astaga, kenapa sih dengan kedua orang tuaku ini.
"Kamu setuju Num buat sama Dika?"
Untuk kedua kalinya pertanyaan yang sama terucap, membuatku yang sudah selesai mengikat tali sepatu menatap kedua orang tuaku bergantian. "Siapa yang setuju sama siapa sih, Yah? Bu? Setuju apanya juga? Jangan terlalu ngarep Mas Dika jadi Mantu Ibuk, wong Mas Dika datang kesini paling ya cuman bertamu silaturahmi ngikut orangtuanya yang nemuin Ibuk sama Bapak kok bisa-bisanya Ayah sama Ibuk mikir kejauhan."
Sebuah toyoran kecil aku rasakan di kepalaku, siapa lagi yang akan menoyorku jika bukan Ibuku sendiri, jika tadi hanya Ayah yang duduk di sebelahku, maka kini Ibuk turut duduk di sebelah yang lainnya.
"Laaah memangnya kamu nggak mau sama Dika, Num? Dia orangnya baik loh Num, jadi Tentara pula, pekerjaannya terjamin, Negara saja dia jaga, apalagi kamu!"
Yailaaah, Ibuk! Ini anaknya aku apa Mas Dika sih? Sebegitunya promosiin anak orang. Ibuk ini paham nggak sih arti ucapanku barusan. Bisa-bisanya orang yang datang ngintil orang tuanya buat bertamu temu kangen malah di incar jadi mantu. Sebegitunya ya Ibuk sama Ayah pengen aku segera kawin, ada satu biji orang nongol di depanku dan sudah langsung di cecar buat di gebet jadi mantu.
Ya Tuhan, Ayah Ibuk. Perasaan anakmu ini juga belum tua-tua banget sampai harus di sodorin kesana kesini.
Tidak di berikan kesempatan menjawab atau menanggapi Ayah juga turut menambahkan.
"Cocok banget Dika sama kamu, Num. Dika orangnya sabar, pas banget sama kamu yang kelakuannya kayak anak-anak yang kamu asuh. Ayah juga mau kalau punya mantu kayak Dika."
Aku menepuk kedua paha orang tuaku ini, gemas sendiri dengan Ayah dan Ibuk yang berputar-putar membicarakan hal ini terus menerus, andaikan mereka berdua bukan orang tuaku, maka aku tidak akan berpikir dua kali untuk menyemprotnya.
Tidak bisa marah pada mereka berdua membuatku hanya bisa meringis saat menatap kedua orang tuaku bergantian.
"Ayah! Ibuk! Jangan ngomongin Mas Dika, kasihan dia kalau keselek karena Ayah sama Ibuk ghibahin. Lagian, Ayah sama Ibuk mau jadi mantu kalian berdua, tapi belum tentu juga Mas Dika mau sama anak kalian. Ayah sama Ibuk lupa kalau pasangan klopnya cowok-cowok berseragam itu Nakes, dokter atau Ners? Almarhum istrinya Mas Dika kata Ibuk seorang Bidan, ya pasti cari gantinya ya yang sejenis lah."
Aku beranjak, merasa sudah penat bahkan sebelum beraktivitas karena pembahasan berat tentang masa depan bersama kedua orang tuaku.
Baru kali ini aku merutuki kehadiran seorang tamu yang datang ke rumahku, datang cuma setor muka, minum teh sambil nyuapin anaknya sebentar, tapi bikin masalah berhari-hari. Ini saja duda, apalagi kalau bujangan, beeeeh, Jangan-jangan sama Ibuk langsung di tahan di tembak jadi mantu langsung.
"Kamu ini kok bebal banget sih, Num. Sudah Ibu bilang, orangtuanya si Dika nggak datang tanpa maksud sama sekali. Kalau kamunya mau sama Dika, baru di seriusin, masa iya datang kucluk-kucluk nggak kenal mau langsung di lamar. Di kira uang kaget!"
Aku tetap melangkah, melambaikan tanganku pada Ibuk yang kembali berteriak membahas yang sama lagi, bisa-bisa aku tidak jadi menemui Rafa jika harus mendengarkan obsesi Ibuk dan Ayah pada Ayahnya Rafa tersebut.
"Iyain aja deh ucapan baik Ibuk. Siapa tahu memang jodohnya Hanum. Tapi Hanum nggak mau ngarep aaah, takutnya Hanum yang naksir duluan eee ternyata dia ngelamar yang lain. Anak Ibuk udah nggak pantes buat nangis patah hati."
Sembari berjalan aku hanya bisa menggeleng tidak habis pikir dengan kedua orangtuaku yang sepertinya tampak girang dengan jawabanku, bukan tanpa alasan aku menjawab demikian, bagiku dari pada berkata yang tinggi hati dan menampik dan malu satu waktu nanti, lebih baik berkata yang baik saja, bukan?
Kita tidak pernah tahu bagaimana jalan hidup kedepannya, siapa tahu memang benar dia jodohku, siapa tahu juga saking kepengennya Ayah dan Ibuk punya mantu seperti Mas Dika, doa beliau berdua di kabulkan sama Tuhan?
Siapa tahu, bukan? Aku tidak mau berharap terlalu tinggi, tetapi aku juga tidak mau menampik apa yang di bawakan Takdir.
❤❤❤
Batalyon tempat Mas Dika ini bertugas ini bukan tempat yang asing untukku, bukan karena aku sering bertandang ke tempat ini, tapi karena tempat ini selalu aku lewati untuk pulang dan pergi ke tempat bekerja, dan sekarang saat aku tiba di Pos penjagaan, tentu saja aku kebingungan bagaimana caranya menemui Rafa.
Dan bodohnya aku saking mumetnya aku dengan obrolan Ayah dan Ibu, aku sama sekali tidak meminta kontak Ayahnya Rafa, hal yang sebenarnya sepele dan sekarang membuatku kebingungan di depan gerbang Batalyon yang berdiri dengan gagahnya ini.
Beberapa orang yang melintas melihatku dengan pandangan aneh, bagaimana tidak aneh, matahari saja masih enggan untuk bersinar dan sekarang aku yang nol besar tentang tatacara berkunjung dan mengunjungi orang-orang dari Instansi Militer justru sudah ngejogrok di sini.
Ini kalau mau masuk, ninggalin KTP di Pos Jaga terus masuk atau bagaimana? Tapi aku juga nggak tahu di mana tempatnya Mas Dika? Ya Tuhan, kenapa ujug-ujug datang sih aku ini.
Hingga akhirnya seorang Pratu mendekatiku, mungkin dia penasaran sendiri melihatku celingak-celinguk kebingungan.
"Ada yang bisa di bantu, Mbak? Mau nyari alamat atau bagaimana?"
Aku segera turun dari motorku, menyingkirkan rasa malu dan berpegang teguh pada prinsip malu bertanya sesat di jalan aku segera mengutarakan niatku datang ke sini untuk pertama kalinya.
"Saya mau ketemu sama Ayahnya Rafa, eeehhh salah!" Aku buru-buru mengkoreksi kalimatku melihat dahi mengernyit lawan bicaraku ini. "Maksud saya, saya mau ketemu Mas Dika, Mahardika Kusuma. Itu namanya kalau nggak salah."
Pratu yang hanya mengenakan kaos lorengnya tersebut menatapku dengan heran. "Kok nggak salah, memangnya Mbak nggak kenal pasti, coba Mbak telpon dulu orangnya, suruh jemput Mbak kesini."
Kembali aku di buat meringis, kalau aku punya kontaknya Ayahnya si Rafa, mana mungkin aku kayak orang ilang sekarang. "Saya nggak punya nomornya, Pak." Kembali dahi lawan bicaraku ini mengernyit mungkin dia mengira aku salah satu cabe-cabean yang sengaja nongkrong di sini buat ngegebet salah satu dari cowok idaman ini. Tidak ingin membuatnya salah sangka aku berucap dengan cepat, "bisa tolong hubungi beliau, saya datang buat daftarin anaknya sekolah kok, beneran deh, saya nggak bohong. Pak Dika punya anak kecil usia 4 tahun kan, yang namanya Rafa, nah saya datang buat itu."
Pratu tersebut mengeluarkan ponselnya membuatku sedikit lega karena dia mau membantuku setelah aku menjelaskan panjang lebar dan meyakinkannya jika aku datang memang dengan maksud yang pasti bukan sekedar menggoda atau mencari peruntungan, tapi seperti Ibuk, celetukannya membuatku melotot terkejut.
"Ini yang di maksud Serka Dika yang duda, kan? Selain jadi guru buat anaknya, nggak apa-apa juga kalau ngelamar jadi Emaknya!"
"........... "
"Itu kalau Serka Dika-nya mau."