"Pak, rumah sakit yang sedang bapak rancang peluasannya, sekarang penuh sekali, karena penduduk disana terkena wabah,"
Leindra langsung melihat tablet gadget yang ditunjukkan oleh bawahannya.
"Saya rasa kita harus membuat penampungan disana, saya benar-benar ingin membantu mereka, kita kesana sekarang,"
Ucap Leindra sambil membenahi jasnya.
"Tapi pak, perusahaan bapak juga...,"
belum sempat bawahannya menjelaskan lebih lanjut, tapi Leindra sudah memotong,
"Kita akan bahas lebih lanjut saat perjalanan, saya yakin kondisi perusahaan sekarang tidak membutuhkan tinjauan segera seperti ini, lebih baik kita mengutamakan ini terlebih dahulu,"
Setelah benar-benar sampai beberapa jam kemudian, Leindra ikut menolong dengan cara memeriksa beberapa pasien yang tidak kebagian pengobatan.
Dan tenda juga digelar menyeluruh untuk penduduk yang membutuhkan.
Leindra memang bukan dokter, tapi ia pernah belajar cara memeriksa dan cara penanganan selama kerja sama membangun rumah sakit dengan para dokter, dan saat ini pun ia hanya ikut membantu membaringkan dan membersihkan luka saja.
"Namamu, Askara...,"
Bisik kakek tua yang sedang diobati lukanya oleh Leindra, dan ia hanya tersenyum, paham bahwa kakek ini bisa membaca dan telah melihat name tag yang dikalungkan dilehernya ketika ia sampai tadi.
"Iya pak,"
Jawab singkat Leindra.
"Terimakasih ya sudah baik kepada kampung kami, padahal kamu bukan orang asli sini lek, teruslah menjadi askara bagi semua orang, kamu orang yang baik."
Askara memang berarti cahaya, memang itu doa yang disampirkan juga di namanya. Lagi-lagi Leindra hanya tersenyum sambil ikut mengamini perkataan kakek tersebut dalam hati.
....
Elang sangat bosan di rumah, hari ini ia hanya ada les musik dari pukul 4 hingga pukul 6 sore.
Sedangkan sekarang baru mau pukul 1.Daddynya juga tidak pulang hari ini, dan bahkan daddynya tidak menjanjikan apapun kepadanya.
Elang menghelas nafasnya pelan.
Ia berlari ke ruang tamu, dimana telepon rumah tergeletak di salah satu meja disana.
Lalu ia mengambil buku telepon yang berada di laci meja Telepon rumah.
Setelah itu ia pun menekan tombol telepon rumah itu pelan-pelan. Hampir menunggu beberapa detik, telepon pun tersambung.
"Halo? Kenapa bi?"
Jawab seorang wanita tua dari seberang line telepon itu, yang wanita itu kira yang meneleponnya adalah bibi di rumah Elang, tapi bukan. Elanglah yang menelponnya.
"Oma, Elang bosan..."
Ucap Elang dengan manja pada nenek dari pihak ayahnya itu.
"Loh? Bibi sama...,"
Belum selesai Oma berbicara tapi Elang sudah menyelanya.
"Mereka ada, tapi Elang bosan."
Jawab Elang dengan jenuh.
Neneknya ini tidak mengerti apa? Elang bosan dan harus jalan-jalan.
"Oma masih di jalan nih, sebentar lagi oma sampai kok, Elang tunggu aja ya disitu, nanti kita jalan-jalan deh."
Elang paham bahwa Oma memang repot membawanya kemana-mana, tapi oma juga terlalu aktif. Oma suka jalan-jalan bersama teman-temannya.
Entah wisata ke Kerinci, ke Muaro Bungo, Merangin dan daerah lainnya di Provinsi Jambi.
Pasti sebulan, ada tiga sampai empat kali bisa jalan-jalan begitu.
Dan Elang kesepian.
Seketika Elang mengingat bahwa ia menyimpan nomor Handphonenya Feby.
Langsung saja Elang memutuskan panggilan kepada neneknya. Karena memang percuma menelpon neneknya yang sibuk.
Sibuk dengan teman-temannya.
...
Empat puluh lima menit lagi Feby pulang, tidak ada bimbel hari ini.
Karena jika ada bimbel, Feby pasti akan pulang pukul tiga sore.
Dan, entah karena ada apa. Guru kimia bimbel sekolah sakit seketika, jadi... Feby akan pulang dan istirahat saja dirumah, sebelum ada jadwal mengajar lagi.
Baru saja selesai mengerjakan latihan dari LKS sejarah, tiba-tiba ponsel Feby yang selalu tergeletak di atas meja menyala.
Langsung saja Feby mengecek.
Tapi nomornya tidak diketahui.
Feby sangsi menjawab telepon itu, tapi penghubung itu seperti nomor telepon dari telepon rumah.
Feby takut jika ternyata ini adalah nomor tetangga nya yang menelepon ibunya terjadi sesuatu.
Jadi, langsung saja Feby mengangkat telepon itu.
"Halo?"
Dengan cemas Feby menjawab telepon itu.
Bahkan tanpa ia sadar ia mencengkeram tangannya sendiri.
Tapi seketika semua itu luntur saat ia mendengar orang yang menelepon itu bersuara.
"Ibu.. Ini Elang."
Feby langsung lega untuk bernafas.
"Iya El, ada apa?"
Tanya Feby sambil membereskan buku-bukunya untuk masuk ke dalam tas. Sambil sesekali melirik ke arah guru yang ternyata di kerubuni oleh murid-murid. Jadi tidak akan ada yang menyita Handphone nya kalau begitu.
"Ibu bisa ke rumah tidak bu?"
Feby mengerutkan sedikit dahinya. Dan melihat hari yang tertulis di papan tulis.
Rasa-rasanya hari ini bukanlah hari rabu dan sabtu. Jadi untuk apa Feby kesana?
"Ada apa El?"
Tanya Feby sedikit bingung.
"Elang rindu sama ibu,"
Zahhh, sudah macam Dilan beneran saja kita berdua ini.
"Tapi..,"
"Elang sendirian bu di rumah.. Daddy keluar kota, oma pergi, bibi sama bapak juga lagi istirahat."
Feby terdiam mendengar suara layu Elang.
Bagaimana bisa ia tega dengan anak kecil ini?
Kalau saja Feby berada di depan Elang sekarang, pasti ia akan memeluk anak ini.
Jelas sekali karena Feby anak bungsu dan ia memang ingin memiliki adik laki-laki.
Tapi sewaktu ia meminta pada mamaknya saat kecil, mamaknya berkata: kau? Nak punyo adek? Sempat mamak punya anak lagi, mamak buang kaunyo, tengoklah,"
(Nak:mau)
Sejak saat itu Feby tidak pernah menanyakan soal itu lagi walaupun ia tahu mamanya sedang bercanda waktu itu.
"Lima belas menit lagi ibu kesana ya, El, tunggu aja,"
Elang langsung menganggukkan kepalanya yang padahal anggukkannya tidak terlihat oleh Feby.
Setelah itu sambungan telepon antara keduanya pun resmi di putuskan oleh keduanya.
Dan Elang langsung berpikir.
Bagaimana kalau El telepon papa juga? Pasti rame dehh!!!