LIMA BELAS : Our Hot Tea Filled with Gossip

1871 Words
“Hey, babe! How’s your date?” tanyaku pada Mila ketika sambungan kami sudah tersambung. “Date apaan! Ini gue lagi sibuk banget ngurusin restoran yang baru buka cabang lagi di Bali. Gila sih pusing gue karena terkendala pegawai. Masa gue cuma ada tiga pegawai sedangkan itu restoran harus dijalanin sama paling nggak tujuh pegawai. Gila, gue harus ambilin pegawai dari pegawai di Jakarta sama Surabaya dan cariin kontrakan buat mereka. Pusing gue, parah banget ini manager di kantor gue cuma bisa bacot doang kerja nggak bener. Eh, katanya Candra baru keluar kantor. Nanti gabung kalo udah sampe ke kosan dia.” Di sela sesi curhatnya, ia masih sempat-sempatnya sekilas info untuk mengabarkan kehadiran orang yang paling vokal dan konyol di antara kami. “Loh, malah harusnya kalo lagi pusing itu istirahat sejenak dan jalan date sama Emil. Dia udah chat elo kan paling nggak?” Mila mengangguk dua kali agak malas, “udah, dia baik. Kita ngobrol enak, tapi gue posisinya lagi di Bali ini tuh. Udah dua minggu gue di sini jadi kasir di restoran gue sendiri. Date apaan gue jauhan begini. Tapi kayaknya dia lagi sibuk juga atau entah bosen sama gue sampe nggak hubungin gue semingguan, gue nggak gerti deh. Ya udahlah, emang bukan jodoh date gue kali.” “Tapi lo pernah ketemuan kan paling nggak sama dia? At least, makan siang bareng sebelum elo ke Bali.” Tanyaku penuh harap. “Sekali, itu juga karena gue kebetulan belum sibuk dan lagi ada di daerah SCBD, gue mau ke Pacific Place buat belanja ke Lafayette. Ya udah, kami makan siang bareng.” Mataku berbinar ketika Mila mengatakan apa yang ingin sekali aku dengar. “Trus? Dia orangnya kayak gimana? Sifatnya dulu deh, first impression elo ke dia gimana? Kayak Tio kah atau kayak Rendi, Zaki, atau Candra mungkin? Pak Budi atau Mas Reza, Akmal, Harris?” “Iya, lo sebutin aja deh semua cowok yang lo tau sampai klien aja lo jabarin.” Mila tertawa. “Ya kan gue penasaran! Gue nggak bisa buntutin lo date sama laki dan jaga-jaga deket lo yang kalo kode lo itu, garuk hidung, gue harus nelepon lo dan pura-pura entah jadi siapa buat selamatin lo dari cowok antah berantah.” Kami tertawa bersama mengingat kenangan dan kebiasaan kami ketika salah satu dari temanku ini sedang blind date dengan orang asing yang mukanya saja baru pertama kali aku lihat. Biasanya mereka bertemu di bar atau ketika sedang tidak bergerombol di mana lawan jenis atau dalam kasus Candra, sejenis, akan mendekat dan mulai tebar pesona dan mengajak untuk berkenalan dilanjut dengan makan siang biasanya. “Duh, kepo banget sih lo. Kalo mukanya okelah ganteng gue akuin, dan rapi banget tau manner. Seengaknya dia nggak malu-maluin gue ajak makan di Hard Rock. Dia pesen burger. Rapi, nggak belepotan kayak Candra.” “Untung anaknya belum nongol, kalo nggak pasti dia ngamuk lo bilang makannya berantakan.” “Emang kenyataannya gitu, kan? Nggak usah sok nggak setuju dan bela si Candra, deh!” “Nggak, gue nggak belain Candra. Emang si Mami Tiri itu kalo makan yang harus pake tangan berantakan sih. Tapi bukan itu yang jadi persoalan dis sini. Jadi okelah ya, si Emil ini. Balik dari bali bakalan ada next, upcoming, apa pun lah itu dong?” tanyaku berharap. “Beb, kenapa lo malah yang ngegas banget pengan gue ada apa-apanya sih?” “Iyalah! Kan dulu elo yang minta segala ada taruhan. Gue sih udah keturutan, udah jalan deh apa yang dibuat taruhan sama elo. Nah sekarang gue yang nagih porsi lo yang buat gue mumet banget dulu. Beb, you reap what you sow.” Aku bisa melihat ekspresi Mila yang muram karena ku tagih janjinya dulu di taruhan yang ia buat sendiri. Kena batunya, dulu aku juga sampai pusing dibuat Mila dan tantangan taruhan yang bukannya aku yang ikut atas pilihanku sendiri, tapi karena dipaksa dan diteror sampai membuat pusing bukan main. Kini aku yang membalas Mila biar ia tahu rasanya. Ting! Satu kotak mucul di layar dan di sana terpampang wajah Candra yang lelah karena habis pulang dari kantor. Ia masih mengenakan kemeja, dan menaruh piring berisi makan malamnya dan air mineral di meja. Aku bisa melihat nasi goreng dengan telur dadar di atas piring yang akan menjadi makanan penutup di hari ini. “Sori ya gue baru balik nih tadi beli makan dulu sebelum balik. Gila sih, lembur di kantor tuh sekarang udah jadi kayak keharusan dan gila banget hampir tiap hari gue balik di atas jam pulang normal. Duh udah nggak betah banget gue.” Cerocosnya sementara aku dan Mila memerhatikan Candra yang baru muncul. “Ya resign dong, cari kerjaan lain di kantor mana gitu, Can. Lo sih bisa cepet dapet kerja deh.” Kata Mila. “Iya, yang ngomong gitu ke gue orang yang punya bisnis sendiri, bukan b***k korporat lagi. Mana bisa valid dan dipercaya?” balas Candra yang selalu bisa mengelurkan pendapat sampai membuat lawan bicara diam. “Nggak usah salty lah, Can. Lo coba aja ngelamar kerjaan yang baru. Lo benerin Linkedin lo, ya kali dari sekian banyak temen-temen di berbagai grup lo nggak ada yang kasih tau kalo ada lowongan di kantornya.” Kini giliranku yang mencoba mengompori Candra untuk resign. “Gue masih mikir sih, mau pindah pun harus cari yang lebih baik. Gajinya lah, lingkungannya, bosnya, kerjaannya. Kalo lo ada rekomendasi atau bisa merekomendasikan gue sih malah lebih bagus lagi. Kan jalur orang dalam lebih dipertimbangkan sama perusahaan dari yang pakai jalur normal.” Aku dan Mila tertawa dan mengangguk paham karena apa yang diataan oleh Candra itu seratus persen benar adanya. Jalur orang dalam memang selalu menjadi referensi pilihan dan lebih dipertimbangkan dari lamaran biasa yang masuk tanpa rekomendasi dari siapa-siapa, apa lagi kalau yang merekomendasikannya itu orang yang memiliki jabatan, itu tentu akan jadi lebih baik lagi. “Tuh di kantor Mila, jalur orang dalam yang punya di depan mata.” Kataku. “Kalo Mila mau gaji gue dua digit sih nggak masalah.” “Lawak banget lo, itu mah namanya bagi hasil.” Jawab Mila yang setengah sewot. Aku pun menyimak keributan antara Mila dan Candra, dengan sesekali mengompori karena aku sungguh rindu dengan keributan kecil yang ujung-ujungnya membuat tawa. “Lo udah tau kalo si Mila punya gandengan, atau soon to be gandengan deh yang baru.” Tanyaku pada Candra agar obrolan makin panas. “Hah? Kok gue baru tau sekarang? Jangan bilang kalo lo balikan sama salah satu mantan lo yang sakit jiwa, ya, Mils!” Mila mendelik dan meletakkan tangannya di dagu, “apaan deh! Gue nggak balikan sama mantan gue. Nggak usah lebay, gue juga nggak gila kali balikan sama orang-orang yang udah gue tending karena nggak punya perasaan.” “Lo tau kan dulu si Mila pernah ngjak gue taruhan pas gue masih pacaran sama Rendi? Dulu dia bilang kan kalo gue nikah sama Rendi dua bakalan cari cowok dan bakalan ngelawan  keluarganya kalo nggak disetujuin? Nah gue nagih janji dia karena taruhannya udah berlaku di gue. Biar dia tau perasaan gue dulu didesak mulu tuh gimana.” Jelasku yang membuat Candra mengernyitkan dahi. “Emang deh ya, kalian itu absurd banget jadi orang. Trus cowok yang lagi jalan sama lo siapa, Mils? Anak mana? Jabatannya apa? Kira-kira bakalan di setujuin sama bokap nyokap lo nggak tuh?” tanya Candra. “Duh kenapa lo nanyanya udah kayak pegawai kecamatan sih? Itu gue dikenalin sama si Chaca, temennya Rendi itu cowok namanya Emil kerja di Le Mars, brand sepatu cowok gitu deh jadi asisten manager.” Candra pun diam dan khusyuk mendengar penjelasan dari Mila. “Kok bisa temennya Rendi? Ketemu di mana?” “Gue nanya ke Rendi, ada nggak temennya yang masih single dan eligible buat Mila ajak jalan. Si Mila udah gerah soalnya dibawa ke kondangan mamaknya mulu, trus di pasarin di antara ibu-ibu bersasak tinggi buat jodoh anaknya.” Jawabku. Candra tertawa. “Adek gue sampe ngira kalo gue ini nggak suka sama cowok! Prah banget kan, dikira gue trauma sama laki-laki.” “Wow! Kelakuan keluarga lo ini emang ajaib banget, ya. Imajinasinya kadang suka over.” Balas Candra masih sambil tertawa. “Puas banget lo ketawanya, ya, Can.” Kata Mila kesal. “Tapi bener deh, kok bisa-bisanya nganggep lo ini trauma lah, nggak laku lah sampai dipasarin dari arisan ke arisan. Padahal yang suka sama lo sih ya ada aja, tuh si Zaki contohnya, mantan lo Fabian.” Kata Candra. “Plis jangan ingetin gue lagi sama cowok satu itu.” “Can.” Tegurku ketika cowok itu ingin mengatakan sesuatu lebih jauh dan kembali akan menimbulkan perang dunia. “Oke, trus si Emil itu gimana tampangnya? Menjual? Standar muka anak SCBD?” “Muka standar anak SCBD itu gimana sih? Kalo lo tanya muka anak PIK itu gue masih paham.” Jawab Mila kebingungan. “Duh, jangan rasis, Mils.” Balas Candra. “Kok gue? Kan elo duluan yang nanyain tampangnya gimana. Dan gue balik nanya karena gue nggak paham tampang anak SCBD normalnya gimana. Orang di kantor aja mukanya beragam, kecuali lo nanya gayanya. Baru bisa gue jabarin dan gue bilang sama atau nggak sama anak-anak di sekitaran kantor.” “Udah-udah jangan berantem.” Kataku yang mencoba melerai perdebatan tidak penting ini, namun sebenarnya menyenangkan juga akhirnya mendengar orang yang ebrdebat dengan menggunakan Bahasa Ibu sendiri. “Oke, gue rombak nih ya, ini laki punya medsos apa ya biar bisa gue kepoin?” tanya Candra yang kali ini melunak. “Nggak ada, dia nggak punya medsos. Orangnya suka kerja sama olahraga dibanding main medsos.” Jawab Mila. “Cowok zaman sekarang nggak main medsos itu satu kelebihan nggak sih? Nggak gitu terlalu peduli sama citra dia gimana di masyarakat, nggak pencitraan.” Tambahku. “Kayak laki lo gitu?” tanya Candra yang niatnya ingin menyindir. “Ya gitu deh.” Jawabku tersenyum. “Iyalah, apa lagi sekarang dia bisa main di ranjang sama istrinya, makin nggak peduli dia sama media sosial.” Mila pun kini bergantian meledekku. “Udah deh, kenapa malah bahas gue sama Rendi? Kalo lo mau tau orangnya kayak gimana, nanti gue kirimin fotonya di grup. Rendi ada sih fotonya meski nggak terlalu jelas banget soalnya itu foto rame-rame. Kata Rendi dia juga nggak terlalu suka di foto.” “Buronan itu orang sampai keberadaanya nggak pengen diketahui orang?” tanya Candra yang membuatku dan Mila tertawa. “Dulu gue juga mikir gitu, tapi setelah sadar kalo suami gue sendiri gitu, meski dia kalo cuma difoto aja nggak masalah malah suka banget, gue jadi merasa keberadaan orang dengan sifat begitu ya wajar aja. Malah kalo Rendi bilang, orang-orang kayak dia itu punya privilege yang zaman sekarang susah buat didapatin orang lain yang data pribadi mereka ada di media sosial sampai gimana kelakuan dan cara pandang mereka terhadap sesuatu. Meski pilpres udah selesai aja, masih kelihatan panasnya dua kubu di medsos, kan?” Candra dan Mila yang sedarinya diam, kini tersenyum. “Nih bukan golongan kita Mils.” Kata Candra terlebih dahulu. “Udah bijak banget abis nikah.” Tambah Mila kemudian. “Makanya lo berdua nikah biar bisa bijak dan tidur nggak sendirian secara halal!” balasku yang lantas diwarnai tawa kami bersama. -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD