ENAM BELAS : Delay

1552 Words
Rendi ternyata bangun lebih awal dariku. Ketika aku bangun dan ingin ke toilet untuk buang air kecil, sisi kiri dari kasurku sudah kosong. Aku pun segera membuka pintu kamar dan melihat ada orang di dapur yang sedang membuka lemari dan mengeluarkan beberapa bahan entah apa. Aku kembali menutup pintu kamar pelan, dan menuju toilet cepat-cepat. Selesainya aku dari toilet, baru aku membuka menuju dapur. Ternyata Rendi sedang membuat sarapan berupa roti denga nisi sayuran dan telur serta kopi yang selalu kami minum di setiap pagi dan juga untuk kami bawa ke kantor masing-masing. “Wah, ada yang lagi masak.” Sapaku pada Rendi yang tersenyum ketika aku merangkulkan tanganku di pinggangnya, “pakai apron pula.” Tambahku. “Biar kamu bisa buat bekal makan siang.” Katanya. “Aku bingung mau buat makan siang apaan. Buat tumis sosis, buat sayur buncis sama tauge, goreng tahu aja ya? Simpel aja. Aku lagi males masak yang ribet-ribet, lagi males makan juga soalnya.” Tanyaku langsung menatap Rendi. “Boleh, kamu goreng telur buat makan siang juga aku makan.” “Nggak lah, kasian banget kamu seharian kerja makannya cuma nasi sama telur. Otaknya meledak nanti makan itu aja, aku kalo masak kan harus ada sayur. Kamu makan pake telor mending kamu makan di luar sekalian.” “Wah baik sekali istriku ini.” “Iyalah. Nggak baik sih nggak ku kasih makan.” Aku hanya tertawa dan mengambil apron yang diberikan Rendi dan kini posisi kami berubah. Aku langusng mengeluarkan semua bahan-bahan untuk di masak ke atas meja pantry. Namun sebelum aku ingin memulai memotong bahan makanan, Rendi sudah menggiringku ke kursi untuk menikmati sarapan terlebih dahulu. “Makan dulu sedikit, biar ada energi buat masak.” Katanya. Ia duduk di sebelahku sembari menuang kopi ke cangkir. “Makasih, tiap pagi gini aja ya. Kamu buat sarapan aku buat makan siang, yah yang simpel-simpel aja nggak usah yang bikin capek masaknya.” Kataku memandang Rendi berharap. “Boleh, bisa. Paling aku buat roti, oatmeal, omlet. Gak pa-pa, ya?” “Ya nggak masalah, yang penting sarapan jalan.” “Oke kalo gitu, deal ya kita?” ia mengulurkan tangan dan mengajakku untuk bersalaman. Aku tertawa kecil dan menyambut tangan Rendi, “deal. Mulai hari ini ya.” “Deal.” Jawabnya. Kami pun menikmati sarapan berdua dan aku mengabaikan persiapan membuat makan siang untuk sekarang ini karena titah untuk sarapan sudah meluncur langsung dari suamiku sendiri. Dulu, sewaktu aku belum menikah, aku tidak pernah berpikir kalau akan memasakkan makan siang untuk suamiku nanti. Masak saja sebenarnya aku tidak terlalu percaya diri kecuali membuat kue. Aku yakin akan kemampuanku untuk baking, tapi kalau untuk masak masakan berat, aku tidak terlalu jago karena setiap aku minta diajari tentang bumbu-bumbu, pasti jawabannya secukupnya. Garam yang secukupnya, lada secukupnya, air secukupnya, tidak ada takaran pasti harus sekian sendok dan sendok apa, sendok makan atau sendok teh? Berbeda dengan baking yang semuanya memiliki takaran karena kalau tidak bisa gagal. Tapi sejak menikah, mau tak mau rasa insekyur itu harus ku buang jauh-jauh. Berbekal semua resep yang banyak terdapat di internet dan Youtube, aku lama-lama bisa masak juga. Selesai menghabiskan roti yang tadi disiapkan oleh Rendi, aku pun memulai untuk memasa makan siang seperti biasa. Rendi menyalakan televisi dan membuka gorden. Inilah our slow pace life. Hidup yang tenang, tidak terlalu di gas seperti saat di Jakarta dulu dimana kami harus berjuang dari pagi di jalan raya melawan macet dan berada di antara ratusan kendaraan yang sama-sama menuju tujuan yang sama, tempat kerja. Dari pagi saja sudah sangat melelahkan ketika hendak pergi ke kantor, sampa kantor sekian persen tenaga sudah terkuras, belum lagi keika macet total. Namun di sini, ke kantor tak jauh, masing-masing dari kami naik kendaraan umum dengan nyaman dan tak perlu bermacet-macetan. Tapi mungkin karena darah kami Indonesia jadi semua yang dilakukan terkesan dan terasa santai dan tak perlu di gas. Karena beberapa orang di kantor masih terlihat dikejar-kejar waktu. Rendi duduk di depan televisi sambil bersandar dan mengenakan alas sofa untuk ia jadikan selimut. Biasanya, sambil bersandar begitu, nanti ia akan ketiduran sampai aku harus membangunkannya untuk mandi dan bersiap ke kantor. Akutak pernah mempermasalahkannya, apa lagi hari ini ia sudah bangun lebih awal untuk membuatkan sarapan. Aku pun memasakan secepat yang aku bisa agar aku bisa cepat mandi dan kalau masih ada sisa waktu, biasanya aku dan Rendi akan duduk di beranda apartemen sambil mengobrol sebentar menghabiskan kopi. “Ren, mandi.” Kataku menepuk lembut bahunya karena benar seperti tebakanku, ia tertidur dengan alas sofa yang ia jadikan selimut. “Hm? Oh.” Katanya dengan mata yang masih menyipit padahal ia hanya tidur selama setengah jam saja tapi ternyata pulas sekali. “Mandi, nanti gantian aku udah mau selesai.” “Bareng aja.” Katanya. “Nggak mau, nanti jadi lama.” Tolakku. Rendi tertawa dan menuju kamar mandi, menurut. Karena kalau dibantah malah akan bertambah panjang perdebatan dan kami bahkan tidak ada waktu untuk mengobrol ringan di beranda, satu tempat yang ku anggap sangat sakral karena terlalu indah kalau hanya dijadikan tempat untuk tanaman dan dua ayunan kayu yang sengaja ku beli dan ku taruh di beranda karena terlihat indah dan nyaman. Selesai Rendi mandi, kini giliranku yang buru-buru bersiap. Tak seperti Rendi yang mandinya cepat, aku bisa satu jam sendiri di kamar mandi apa lagi ketika sedang banyak pikiran. Mandi pun sambil melamun. Tapi kali ini aku sedang senang, mandi pun jadi tak lama. “Mila gimana sama Emil? Udah ketemu?” tanya Rendi ketika aku menghampirinya di beranda dengan mug di tangan berisi kopi sisa tadi. “Mila lagi di Bali, katanya dia buka cabang baru di sana dan lagi sibuk banget soalnya belum dapet karyawan. Dia jadi kasir sementara cari karyawan di sana. Katanya dia udah sekali makan siang sama Emil.” Rendi menoleh ke arahku sambil tersenyum, “cocok?” “Step awal sih lolos, tapi karena belum ketemu lagi karena Mila di Bali dan kata Mila si Emil ini sibuk jadi jarang komunikasi, selanjutnya belum tahu gimana perkembangannya. Baru juga ketemu satu kali.” “Masih panjang dong ya perjalanan.” “Ya gitu. Kamu nggak tanya-tanya Emil? Menurut dia Mila gimana orangnya? Apa dia tertarik atau nggak? Atau obrolan cowok yang lagi ngomongin cewek deh.” Tanyaku penasaran. Siapa tahu ternyata Emil sering membicarakan Mila tapi Rendi tidak mau menceritakannya padaku. “Emil nggak pernah cerita apa-apa sih. Cuma sekali waktu katanya dia ada janji mau ketemu sama Mila, tapi aku nggak tanya lagi perkembangannya gimana.” “Dia bilang apa dulu itu?” “Hmm… aku agak lupa, pokoknya intinya dia bilang kalau dia ada janji mau ketemu Mila buat makan siang. Itu aja sih dia bilangnya. Habis itu aku tanya jadi nggak ketemuan makan siang sama Mila? Katanya jadi, udah pulang sekarang. Gitu aja sih.” “Obrolan apaan itu, sama sekali nggak memberi informasi jelas gimana perkembangannya.” Protesku yang disambut dengan tawa dari Rendi. “Kamu salah kalau tanya aku gimana Emil cerita tentang kehidupan pribadinya. Dia anaknya nggak suka cerita hal-hal yang bersifat pribadi. Dan sebenernya nggak harus juga sih buat diumbar.” Aku diam sejenak dan mencoba memahami apa yang dikatakan oleh Rendi. “Berarti dia bukan tioe yang akan ngomongin orang atau mantan ketika habis putus, ya?” Rendi menggeleng, “Emil nggak gitu anaknya. Dia kalem, ngomong seperlunya aja dan bisanya paling yang diomongin ya bola, olahraga, film, kerjaan. Kerjaan juga yang dibahas tipis-tipis aja, sekadang ngomongin flow kerja gimana.” “Semoga mereka bisa ketemu lagi. aku cuma pengen Mila ketemu cowok yang nggak aneh-aneh, yang bisa ngertiin dia dan baik sama dia tanpa perlua ada drama selingkuh atau jadian sama sahabat pas lagi pacaran. Sampah banget itu.” Kataku sedikit naik darah. “Semoga. Emil tahu kalau Mila di Bali?” “Harusnya sih tahu, ya.” “Hmm… oke.” “Kamu mikir apa?” “Nggak, kalau aku jadi Emil dan aku lagi ngejar kamu pasti aku bakalan susul ke Bali kalau nggak sibuk. Tapi kan Emil katanya lagi sibuk, ya jadi agak mustahil kalau mau susul ke sana juga.” Aku hampir tertawa senang ketika mendengarnya, namun aku berhasil menahan tawaku dan bersandar di ayunan dan memandang kota Sydney yang mulai sibuk. “Ren, kalau dulu seandainya aku balik ke Arya dan Arya putus sama Renata, kamu gimana?” aku melikikkan mataku tanpa menoleh. “Selama kamu belum nikah, kesempatan aku buat nyalip kan masih ada.” Aku tersenyum senang mendapati kalau Rendi sebenarnya tidak pernah ada niatan untuk mundur meski aku tetap tancap gas untuk memperjuangkan Arya yang sampai akhir tidak bisa aku perjuangkan dan malah menikah dengan Renata dan anak yang ia kandung dari pria entah siapa. Hidup itu aneh, kita tidak bisa tahu kapan akan berbelok ke jalur yang lain, yang tidak pernah diprediksi karena selalu menjadi jalur cadangan kalau jalur utama ternyata macet atau tidak bisa dilewati. Dan dalam kasusku, Rendi adalah si jalur cadangan, jalur alternatif yang akan membawaku ke jalur utama namun ternyata jalur alternatif ini ternyata adalah jalur utama dan Arya adalah jalur alternatif sesungguhnya sebelum aku kembali ke jalur yang seharusnya. Karena aku percaya, yang namanya jalan bebas hambatan atau lebih dikenal sebagai jalan tol itu, hanya bisa berlaku hanya pada beberapa orang saja. kadang hidup adil, namun lebih banyak tidaknya. -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD