EMPAT BELAS : Pillow Talk

1425 Words
“Gimana hari ini?” tanya Rendi yang sedang duduk di depan televisi ketika aku baru saja sampai dari kantor. Aku meletakkan semua barang bawaanku ke atas meja pantry dan ikut duduk di sebelah Rendi yang penasaran. Aku mendesah karena lelah dan akhirnya bisa duduk dengan nyaman di sofa dengan udara yang tak sedingin di luar meski aku sudah mengenakan mantel tebal dan syal yang melilit di leher agar tenggorokanku baik-baik saja. Rasa dingin karena AC dan angin itu memang berbeda, aku bisa langsung flu kalau tidak melindungi leherku dengan syal. “Oke, semua yang kerja di sana kayak dikejar kereta. Cepet banget kerjaannya, hari ini aku udah dapet itu,” aku menunjuk tas lain yang pagi ini tidak ada dalam bawaanku, “aku dapet laptop, hari ini juga komputer di meja aku udah langsung di pasang udah siap buat kerjain kerjaan. Udah ada tumpukan berkas juga di meja yang isinya data klien, daftar vendor, contoh resepsi pernikahan yang pernah ditanganin, dan yang lainnya. Banyak banget yang harus aku pelajarin dulu, dan ternyata kerjaan aku itu adalah jadi tangan kanan Zoe kalau dia lagi nggak pengen kerja dan bet sama klien.” Jelasku dengan kepala yang menengadah memandang plafon apartemen. “Bakalan capek banget dong?” tanya Rendi dengan suara yang sedikit khawatir. “Mungkin, tapi kayaknya akan seru. Aku udah tanda tangan kontrak dan akhirnya aku ngerasa kalau aku udah benar-benar kerja dan di terima di komunitas.” Rendi yang sedari tadi diam menyimak pun akhirnya memeluk dan mencium pipiku lama dan berkali-kali sampai aku mendorongnya karena jengah. “Jangan bete-bete lagi ya kan udah kerja, udah nggak di rumah aja bosen. Aku yakin kok kamu punya bakat di bidang ini, jadi konsultan lah, nyiapin event, udah kamu banget ini sih.” Katanya yang tak membiarkanku untuk pergi ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian sebelum makan makan malam. “Iya, aku mau mandi dulu trus makan nih. Laper, kita makan gimana?” “Di mana kali bukan gimana?” “Iya, itu maksud aku. Mau makan di luar? Nggak pesen aja?” tanyaku dengan wajah yang agak lelah. “Kamu capek? Mau makan di rumah aja aku pesenin sekarang? Terserah kamu.” “Makan di rumah aja kali ya, aku tadi pulang jalan kaki soalnya penasaran sama lingkungan sini.” Mata Rendi melotot kaget, “kamu jalan?” “Iya. Makanya lepasin dulu aku mau mandi ini, badan udah nggak enak banget udah lepek gini, ih.” Rendi pun tak lagi melingkarkan tangannya di badanku dan tertawa kecil. “Mau makan apa biar aku pesenin. Chinese food mau? Apa mau pizza atau apa?” tanya Rendi yang ingin mengambil ponselnya. “Chinese aja, aku mau nasi goreng sama ayam szechuan juga boleh, nanti aku buat salad. Dimsum ceker juga boleh banget.” “Banyak ya.” Rendi yang sibuk dengan ponselnya pun berkomentar. “Aku laper banget.” Kataku yang berjalan masuk ke kamar. “Oke.” Terdengar suara Rendi yang agak setengah berteriak karena menyadari bahwa istrinya ini sudah menghilang dari pandangan karena sudah masuk ke kamar.   ***             Rendi sedang membaca laporan entah apa di kasur ketika aku baru masuk ke kamar setelah membersihkan dapur setelah makan malam. Tak banyak yang harus dibersihkan sebenarnya karena kami memesan makanan bukan memasak sendiri tapi tetap saja ada barang-barang kotor yang harus di cuci dan dibersihkan. Rasanya agak tidak nyaman kalau membiarkan piring kotor menumpuk dan menunggu pagi datang untuk membersihkan semuanya. “Kamu baca apa?” tanyaku yang baru saja naik ke kasur dan menarik selimut sampai ke d**a karena AC di kamar sangat dingin. “Laporan yang tadi aku kerjain, aku mau cek lagi ada yang salah atau nggak sampai besok aku kirim ke klien.” Katanya dengan kacamata baca yang bertengger manis di hidung dan antara matanya. “Jangan lama-lama, tidur udah jam berapa ini.” kataku pada Rendi. Ia pun akhirnya melepaskan kacamata bacanya dan mematikan tablet dan ditaruhnya tablet itu di atas nakas. Kedua lampu tidur yang berada di kedua sisi nakas pun sudah dimatikan. Tapi biasanya sebelum tidur, aka nada pillow talk dulu disetiap harinya, tak terkecuali malam ini. “Kamu seneng kerja di sana?” Rendi menggeser tubuhnya jadi mendekat denganku dan memandangku saat ia sudah membaringkan badan dan selimut sudah ia tarik sampai pinggang. “Belum tahu sih, tapi beberapa orang di sana bisa diajak ngobrol enak. Beberapa ramah juga dan mau jelasin kerjaan bahkan kadang ada yang inisiatif jelasin tanpa aku perlu tanya. Dan kayaknya ada yang kayak Candra gitu deh, agak vokal dan suka banget ngomongin orang. Bos sendiri diomongin ke pegawai baru. Lucu aja gitu ketemu yang sifatnya nggak jauh beda sama temen-temen aku di Jakarta. Ya semoga aku bisa dapet temen. Nggak perlu sampai yang deket banget, temen ngobrol yang enak aja udah cukup soalnya buat dapet temen yang bisa deket banget itu kan susah.masa temen ngobrolku di sini kamu aja dan Zoe yang sekarang bahkan jadi bos aku. Sepi banget, aku jadi kangen sama geng rumpi di Jakarta.” Rendi mengelus-elus kepalaku sembari mendengarkan ceritaku tentang kantor hari ini. satu kebiasan yang selalu ia lakukan “Nanti kalau udah bisa libur, kita ke Indonesia deh. Aku juga kangen sama temen-temenku di sana, kangen main futsal buat taruhan.” Aku tergelak, “enak kalo kamu menang, kalo kamu kalah… yah, apes deh apa yang dijadiin taruhan.cowok kok demen banget sih taruhan gitu? Temenku waktu kuliah, pernah taruhan bola yang kalah cuti satu semester, dan uang satu semester buat traktiran satu Angkatan. Gila sih, kenapa sih orang suka banget taruhan tuh gila-gila objeknya? Pleasure apa yang didapetin sih dari taruhan itu? Nggak logis tau nggak. Katanya cowok itu mahluk yang paling logis dibanding cewek, tapi aku sangsi jadinya liat banyak temen cowokku dan kamu sendiri suka taruhan.” “Kenapa nggak logis? Bedanya perempuan dan laki-laki kan dari hobi yang mendatangkan pleasure khususnya tersendiri. Taruhan sama kayak kalo cewek shopping till credit limit bahkan ada yang sampai kredit macet dan dikejar debt collector. Nggak bagus dua-duanya, tapi ada pleasure-nya tersendiri.” Aku mendesah karena tahu apa yang dikatakan oleh Rendi itu benar adanya. Semuanya masuk akal dan aku tak bisa membalas apa yang dikatakan oleh suamiku ini. “Yah, tau sih. Masuk akal, tapi aku masih nggak suka kalo kamu tuh taruhan gitu. Dulu aja taruhannya klien, gila kalian tuh. Temenku di kantor ada yang pakai pinjaman online gitu nunggak bayar, satu kantor diteror dan diteleponin mulu. Sampai malu banget itu yang pakai pinjaman online. Dan itu cowok, bukan cewek. Dia pake jasa itu buat gonta-ganti gadget mengikuti perkembangan zaman. Pas iPhone 12 Pro baru keluar di Singapura, dia jalan ke sana buat antre beli. Indonesia kan masuknya belakangan. Udah gila.” Rendi tertawa sambil merubah badannya jadi menghadap ke langit-langit dan melipat kedua tangannya jadi di belakang kepala. “Kalo sekarang sih mau taruhan nggak akan se-ekstrim itu lagi. kan aku udah punya keluarga, harus punya tabungan keluarga, dana darurat, dana pensiun, dana anak juga. Banyak yang harus dipersiapkan dari sekarang, harusnya sih dari sebelum nikah.” Aku menonjok pelan lengan Rendi karena kembali teringat dengan apartemen yang sekarang ini kami tempati. Rasanya aku ingin kembali membahas tentang apartemen yang ia beli ini, namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Kalau ku bahas juga tetap saja apartemen di Jakarta tidak bisa kembali karena harga belinya pasti sudah naik dan kalau apartemen ini kami jual atau sewakan rasanya sangat mustahil sekali bisa laku dengan cepat kalau harganya sesuai pasar. “Awas ya kamu taruhan nggak jelas, slip gaji aku yang pegang nanti! Sehari aku cuma kasih ongkos sama jajan satu dollar yang ada.” Ancamku. Dan dengan suaranya yang dalam, Rendi tertawa ketika aku menyampaikan ancamanku. Ia tidak membalas ancamanku dengan ancaman versinya atau pun kembali melemparkan candaan. Ia hanya mengelus kepalaku dan menciumnya sekilas. “Udah, tidur aja ayo. Udah malem besok kerja lagi, kamu mungkin mau masak bangun lebih pagi. Nggak masak juga nggak masalah aku sih, yang penting dapet uang jajajan.” “Baru aja bahas tabungan, udah mau jajan aja. Emang nih bener kata orang punya suami tuh kayak punya anak cowok.” Rendi yang sepertinya sudah memejamkan matanya jadi tergelak dan bangun kembali. “Ih, tidur. Udah malem jangan debat terus nggak akan selesai-selesai.” Ia pun akhirnya membuatku jadi gulingnya dengan niat agar aku tidak bisa berkutik, namun nyatanya malah kebalikan. Niat Rendi yang menyuruhku langsung tidur malah baku hantam--yang mana aku yang lebih sering iseng memukul dan menonjoknya pelan untuk bercanda, terlebih dahulu sambil tertawa-tawa sebelum kami kelelahan dan akhirnya tertidur.  -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD