SEBELAS : Finished the Task Before Start the New One

1624 Words
Jika aku ditanya hal apa yang mungkin akan ku perbaiki dari Wedding Organizer Zoe, maka yang pertama akan ku ubah adalaharsitektur di dalam ruangannya, dan kedua aku akan memecat Beth dan memasang iklan di website job seeker yang sekarang sudah sangat menjamur. Ketiga… aku belum menemukan apa yang salah dari kantor milik Zoe kecuali caranya yang memaklumi apa pun. Setelah pulang dari kantor milik Zoe, aku segera memikirkan tugas yang diberikan Zoe padaku. Minggu depan aku sudah mulai bekerja, sebelumny aku bilang pada Zoe kalau aku harus menyelesaikan pekerjaanku dengan bisnis Rendi yang sedang ku pegang saat ini. Dan setelah sampai ke apartemen, hal pertama yang aku lakukan adalah mengurus laporan bulanan untuk bisnis Rendi sebelum membuat makan malam. Aku mengumpulkan semua laporan beberapa bulan terakhir, mengecek ledger kembali dan mencocokkannya dengan laporan orang merchandising agar tidak salah, dan kemudian membuatnya satu bundel setelah ku print ulang. Bosku, yang mana adalah suamiku sendiri, pasti akan senang bsia mendapatkan laporan yang bukan hanya berupa data mentah, namun juga data fisik. Selama aku mengerjalan laporan dan mengecek flow kerja di perusahaannya, tidak aku sangka Rendi dapat mengajarkan hal-hal basic pada semua orang yang bekerja di sana meski pendidikannya tidak tinggi. Mereka akhirnya dapat mengerti sistem pekerjaan yang mereka lakukan dan melakukan improvement dan menaikkan standarisasi sistem kerja yang awalnya memang sudah baik. Klien yang dimiliki oleh Rendi juga bukan sembarangan, tentu saja background pekerjaan yang dijalani oleh Rendi adalah satu modal untuk mendapatkan banyak kenalan dan kolega yang bisa dijadikan aset dan rekan kerja yang baik. Sistem kontrak pun dipikirkan dengan amat matang dan tidak merugikan pihak mana pun. Belakangan Rendi bilang ia ingin menerapkan sistem bagi hasil sebagai bonus tambahan yang aku yakin akan membuat semua pekerjanya akan senang dan semakin rajin dan giat mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik. Meski begitu, aku masih sangsi dengan belum adanya sistem control yang benar-benar mumpuni. Bukannya aku ingin meragukan para pekerja yang bekerja di sana, tapi aku hanya ingin berjaga-jaga saja dari pada ada hal yang tidak menyenangkan akan terjadi. Aku baru mengerjakan se per tiga dari semua laporan yang harus selesai karena hari sudah sore. Aku buru-buru merapikan semua pekerjaanku, mandi, dan berganti pakaian. Setelah itu aku harus menyiapkan makan malam. Aku hanya membuat makanan yang simpel saja, nasi goreng contohnya. Aku punya sisa ayam yang kemarin aku goreng kuning, ku campurkan saja sisa ayam it uke nasi goreng dan setelah itu aku menggoreng tahu dan membuat salad. Dan saat aku sudah selesai masak, Rendi belum pulang. Sembari menunggu, aku kembali menyelesaikan pekerjaanku dan menyalakan televisi. Aku memutar youtube dan mencari music klasik yang bisa menemaniku untuk berkonsentrasi. Tak lama, suara pintu terbuka membuatku menengokkan kepala ke pintu. Rendi sudah pulang, aku pun segera meninggalkan pekerjaanku dan menyambut Rendi yang terlihat kelelahan. “Gimana kantor?” tanyaku. “Kayak biasa, anak-anak bilang masakan kamu enak. Soalnya pas makan siang aku suruh temen-temenku cobain makanan Indonesia. Masakan kamu kan nggak terlalu pedes, jadinya semuanya pada suka soalnya temen-temenku lidahnya pada awam banget sama cabe.” “Bagus deh, ya udah kamu mandi sama ganti baju dulu. Habis itu kita makan malem bareng, aku sekalian nyelesain kerjaanku dulu selagi nunggu kamu.” Kataku mendorong Rendi menuju kamr. “Kerjaan apa?” tanyanya bingung. “Kerjaan sayuran kamu, aku nggak mau ninggalin itu gitu aja tnpa aku beresin semua laporannya nanti kamu bingung trus jadi berantakan.” Jelasku. “Padahal semua laporan yang kamu kasih ke aku nggak ngebingungin, loh. Semuanya rapi.” Katanya lagi. Aku menghela napas, “udah mandi dulu buruan. Aku udah laper.” Rendi pun menurut dan segera bersiap untuk mandi sementara aku kembali ke ruang tengah di dekat Pantry yang biasa ku jadikan sebagai sebagai tempat untukku bekerja. Aku sengaja membeli meja portable kecil yang bisa ku sesuaikan tingginya, tergantung di ana aku memutuskan untuk duduk dan menyelesaikan semua pekerjaanku. Printer bluetooth yang ku taruh di sebelah rak televisi pun mempermudah pekerjaan dari rumah ini. Aku pun segera kembali menyelesaikan pekerjaanku selagi menunggu Rendi selesai mandi. Lumayan, aku bisa menyelesaikan se per tiga dari pekerjaan yang belum selesai tadi. Rendi bukan tipikal orang yang butuh waktu sangat lama hanya untuk mandi saja. setengah jam, Rendi sudah keluar dari kamar dengan handuk yang ia canglong di kedua bahunya. “Nasi goreng, kesukaanku.” Katanya senang begitu duduk di kursi. Aku meletakkan piring di depan Rendi, dan menuang air putih di gelasnya. Selagi ia mengambil nasi goreng, aku mengambil salad untukku sendiri dan begitu pun sebaliknya. Kami makan dengan suara music klasik masih mengalun agar suasana di apartemen ini tidak terlalu sepi. Biasanya Rendi yang akan menyalakan entah itu music player atau televisi kalau aku sedang sibuk memasak di dapur. “Gimana tadi ke kantor baru?” tanya Rendi yang meyuap penuh nasi goreng ke mulutnya. “Kantornya aneh.” Kataku yang kembali terbayang dengan kantor Zoe yang arsitekturnya sangat bertabrakan. “Aneh gimana?” “Masa gedung luarnya arsitekturnya modern, dalemnya kayak baroque, klasik gitu. Trus pas masuk lagi, itu udah kayak arsitektur minimalis. Kantor Zoe di lantai dua juga gitu, minimalis. Aneh banget deh pokoknya. Mana resepsionisnya itu juga nggak jelas banget, nggak punya manner. Basic manner, loh nggak ada.” “Basic manner gimana?” Rendi terlihat bingung. “Nih, kamu kalo dateng ke perusahaan, atau gini deh, ke rumah orang. Apa kamu langsung kasih air putih? Biasanya pasti tanya dulu kan mau minum apa. Ini sekelas perusahaan loh, meski pun cuma Wedding Organizer aja, tapi kan udah masuk lini bisnis dan usaha.” Rendi terlihat menatapku sambil mengangguk. “Trus, pas dia disuruh buat bawain minum ke ruangan Zoe, dia aal masuk aja gitu, nyelonong. Nggak ada ngetuk pintu dulu. Wah mind blowing banget, sih.” Kataku sampai menggeleng tak percaya dengan apa yang baru saja aku alami. “Trus Zoe gimana?” “Dia marah sih, tapi ya udah gitu aja. Itu kayak bukan hal yang aneh lagi buat Zoe, aku sampai bingung loh. Kok bisa-bisanya dia memaklumi hal kayak gitu, kalo aku sih wah, mending aku ganti karyawan aja yang bisa lebih sopan. Bukan sopan cuma ke orang yang gaji dia, tapi sopan ke tamu juga. Buatku manner itu nomor satu kalo soal pekerjaan.” “Hmm… kalau itu jelas nggak sopan, sih.” Kata Rendi. “See?!” aku yang senang karena Rendi setuju dengan apa yang aku sampaikan. “Aku aja agak bingung kenapa yang kayak gitu tetap dimaklumin. Padahal apa yang dia lakuin itu menurutku agak menganggu.” “Dia nggak dikasih tau mungkin, nggak di training dulu.” Kata Rendi yang kali ini bersikap lebih positif thinking. “Mungkin, tapi ya masa basic manner kayak gitu nggak paham. Anak kecil aja tahu, kok.” Kataku. “Trus selain itu, kamu udah mulai kerja di sana?” “Belum, minggu depan aku baru mulai. makanya mumpung masih ada waktu, akum au beresin kerjaan sayuran kamu dulu. Dan kayaknya kalau aku udah mulai kerja, aku jadi agak susah buat masak makan malam.”            “Nggak pa-pa, kita kan bisa beli makanan. Kamu jangan kecapekan semua dikerjain. Kalau kamu misalnya nggak bisa masak sarapan juga kita kan bisa makan sereal atau roti. Nggak harus buat bekal makan siang juga nggak pa-pa. Kamu santai aja.” Aku melirik Rendi, “kalo buat makan siang sih aku masih bisa, tapi kalau makan malam kayaknya susah karena aku pulang dari sana aja kira-kira jam tujuh kalau lagi rame banget event yang dibuat.” “Kamu nanti kerjain apa? Kayak Fitri yang waktu itu bantuin kita pas nikahan?” “Nah, Zoe bilang dia itu agak susah komunikasi sama klien, katanya banyak banget mempelai perempuan yang tingkahnya kayak bridezilla yang kalau udah mau dekat waktu nikahan jadi rese dan mau semuanya berjalan sempurna meski kadang nggak masuk akal. Jadi sejauh yang aku tahu, aku yang bakalan ngobrol-ngobrol sama klien-klien itu sebelum di mapping acara resepsi pernikahannya itu mau kayak gimana.” “Nggak jauh-jauh dari kerjaan kamu sebelumnya, ya. Kamu pinter banget kan ngobrol sama klien. Maunya gimana, bikin portofolionya gimana dan realisasinya gimana. Kalau kamu sibuk banget sampai harus bawa banyak barang, mending kita beli mobil aja buat mobilitas kamu.” “Nanti kalau aku udah butuh banget, aku bilang kok. Kamu tenang aja. Kalo sekarang sih aku belum merasa butuh, kalo jalan kaki dari sini juga nggak terlalu jauh sekitar dua puluh menit. Itu kan sama aja aku jalan bolak balik dari rumah ke coffee shop yang biasa aku datengin.” Rendi tertawa kecil, “oke deh kalau itu mau kamu. Yang penting jangan sampe kamu kecapekan aja, kan kamu baru banget pindah ke sini. Masa langusng sakit karena kecapekan kan nggak lucu, Hon.” Aku mengisi mangkukku lagi dengan salad yang masih tersisa, “ih, aku nggak gampang sakit ya anaknya kalau masalah fisik. Kecuali kerjaannya bikin stress dan buat pikiran aku jadi capek, baru tuh aku akan sakit. Udah ah, jangan bahas soal sakit terus.” “Oke, oke. Mumpung kamu belum kerja, buat Yorkshire pudding legendaris kamu dong. Aku dari kapan tahu pengen banget makan itu.” Aku tertawa, “legendaris? Lebay banget kamu. Iya, nanti aku buatin kalau aku udah kerjain semua laporan. Kamu mau aku buatin apa lagi biar nggak pake ada acara ngidam segala.” “Hmm… kalau buat rawon susah nggak di sini? Rawon resep Mama kamu juga aku kangen.” “Harusnya sih ngak susah kalau pake bumbu instan. Soalnya kalau buat pakai bumbu sendiri, dimana aku bisa cari kluweknya? Bumbu instan nggak masalah, ya?” “Nggak pa-pa, asal enak pasti aku makan.” “Oke kalo gitu.” Kami pun melanjutkan makan malam sambil mengobrol ringan. Rasanya menyenangkan menghabiskan malam dengan mengobrol begini ditemani musik klasik. Makanan yang ku buat simpel, jadi terasa mewah. -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD