SEPULUH : Unmatched, but Eccentric

1554 Words
Sepatu yang biasa ada di dalam rak kini sudah keluar dan kelihatan mulus karena sudah dibersihkan. Begi pula dengan hand bag kesayanganku yang jarang sekali aku bawa ke mana-mana selain ke kantor, kini sudah berisibarang-barang keperluan sehari-hari. Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Memasak makanan lebih banyak untuk bekal makan siangku dan Rendi, serta sarapan yang juga lebih banyak untukku. Biasanya aku menyiapkan makan siang hanya untuk satu porsi saja karena setiap siang aku biasa menumis makanan sedikit agar makan siangku terasa fresh dan panas. Kali ini aku membuat dua porsi dengan modal tumis buncis daging sapi, telur puyuh balado, dan tahu goreng. Aku juga memotong apel serta jeruk yang ku masukkan ke tempat makan kecil untukku dan Rendi. Sarapan kali ini aku menyiapkan telur dadar, tumis bayam dan tempe goreng. Rendi yang sama sempertiku tidak terlalu menyukai makanan pedas, merasa tak perlu menambahkan menu yang pedas apa lagi di pagi hari. Akhirnya kebiasaanku sejak dulu kembali. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyiapkan bekal. Bahkan kadang waktu aku belum menikah, membawa bekal pun hanya sesekali kalau sedang ingin. Tapi kalau ingin membantu Rendi membeli lahan tambahan untuk bisnisnya, kami harus benar-benar menghemat. Karena selain menambah lahan, otomatis Rendi juga harus menambah karyawan dan itu akan membuka lapangan pekerjaan baru untuk orang-orang. Sekarang pegawai yang ia miliki   Selesai menyiapkan makan siang, Rendi sudah selesai mandi. Aku pun bergantian mandi sekarang, sementara Rendi menyiapkan kopi untuk pagi ini dan untuk di bawa ke kantor dengan tumblr ukuran sedang. Aku sudah suka dengan kopi hitam gara-gara Rendi, namun masih aku berikan sedikit gula dan krimmer agar rasanya tidak terlalu pahit. “Kamu masak banyak banget.” Kata Rendi ketika aku sudah keluar dari kamar mandi dan hanya mengatakan bathrobe karena aku ingin sarapan terlebih dahulu dan tak ingin pakaianku nanti terkena noda makanan.        “Biar kenyang. Aku juga bawa bekal biar bisa nabung banyak.” Kataku. Rendi hanya tertawa menanggapi. “Hemat pangkal kaya.” Katanya. Kami pun sarapan di meja makan sambil mendengarkan berita dari televisi. Hari ini cuaca cerah, aku dan Rendi tak perlu menyiapkan payung dan mengenakan jaket tebal untuk keluar. Musim dingin di sini sudah sangat menyebalkan, apa lagi kalau hujan dan angin kencang. Rasanya ingin meringkuk saja di dalam rumah dengan pemanas dan mie rebus. Setelah selesai sarapan, aku pun bersiap dengan Rendi. Kami berangkat bersama-sama meski arah kantor kami berbeda. Aku menuju O’Conner Street, sedangkan Rendi menuju George Street. Dari apartemen kami aku hanya perlu berjalan selama dua puluh menit saja, atau kalau naik bus memerlukan waktu lima belas menit. Karena hari pertama aku tidak ingin terlihat lusuh, aku pun memutuskan untuk naik bus dengan mencangklong tote bag berisi bekal makan siang. Mungkin pulang nanti aku ingin berjalan kaki agar bisa mengenal wilayah di sini dengan lebih baik lagi. Atau bahkan aku bisa lari pagi di sekitar sini saat aku sudah paham betul job desk yang aku kerjakan seperti apa dan aku bisa mengatur olahraga apa yang harus aku lakukan. Selama diperjalanan menuju kantor Zoe, aku lumayan khawatir. Jantungku berdegup lebih kencang dari pada biasanya, dan tanganku yang sudah mulai basah tak henti-hentinya ku lap dengan tisu. “Calm down, Bianca.” Kataku pada ririku sendiri dengan suara sangat pelan karena tidak ingin dilihat oleh penumpang lain. Tak terasa pejalanan lima belas menit harus selesai.  Bus berhenti di Broadway at Buckland Street dan aku harus berjalan menuju kantor Zoe sekitar lima menit dari pembenhentian bus. Kata Zoe, kantornya persis menghadap ke Chippendale Green Park. Aku pun mencari tempat yang dimaksud dengan maps di ponsel. Dan sampailah aku di bangunan modern berwarna putih dan abu-abu, dengan kaca-kaca tinggi yang menghadap langsung ke area taman yang dimaksud. Gedung ini indah dan terlihat masih baru dengan arsitektur modern. Tidak terlihat seperti namanya, Louloúdi yang dalam Bahasa Yunani berarti bunga. Bangunan ini jauh dari indahnya bunga. Aku pun bergegas berjalan ke arah bangunan dan disambut oleh petugas security yang tersenyum ramah. Dan ketika aku masuk, barulah aku sadar kalau arsitektur di dalam sini berbeda sangat jauh dengan penampilan luarnya. Bagian dalam gedung terlihat bergaya Baroque dengan banyaknya lampu gantung atau chandelier besar, ukiran-ukiran rumit dengan perpaduan cat berwarna putih, emas dan rose gold. Beberapa bagian dinding pun dipenuhi oleh lukisan-lukisan indah yang membuat ruangan terlihat elegan dan ramai dengan lantai marmer putih bercorak. Well damn, rasanya aku seperti masuk ke museum-museum di Eropa atau St Paul’s Cathedral. Se per sekian detik aku kagum dengan interior dalam gedung, seorang wanita dengan pakaian yang terlihat sangat kontras dengan arsitektur di dalam sini berjalan ke arahku dengan senyum manisnya. Ia mengenakan rok satin berwarna hitam, dengan blouse merah yang lengannya transparan. “Hai, selamat pagi, ada yang bisa aku bantu?” tanyanya dengan suara sangat indah seperti cicit burung Murai di pagi hari. “Oh, hai! Namaku Bianca, aku ada janji dengan Zoe Giannatou jam sembilan ini.” kataku pada si perempuan yang sepertinya adalah seorang resepsionis di sini. “Silakan menunggu dulu, Zoe sedang dalam perjalanan dan sebentar lagi ia akan sampai.” Kata sang resepsionis. Aku duduk di sofa panjang besar yang kontras dengan desain interior di dalam ruangan. Aku tidak mengerti selera Zoe yang senang sekali menabrak interior dengan arsitektur yang ada di dalam ruangan. Terlihat sangat aneh dan eksentrik. Selagi menunggu, aku melihat-lihat pemandangan di dalam ruangan ini. kaca besar yang berada di bagian depan dari gedung memperlihatkan pemandangan hijau yang menyegarkan mata. Bangunan ini sengaja dibangun lebih tinggi dengan dasar yang dijadikan tempat parkir karena lahan yang terbatas. Andaikan aku duduk di meja panjang yang ditempati oleh sang resepsionis pun, rasanya aku tidak akan sepenuhnya bosan karena aku bisa melihat seluruh kegiatan di luar sana. Berada di ruangan ini seperti sedang menjadi Daphne Brigerton dengan kopi Starbucks di tangan. Aneh, dan aku merasa kalau aku sedang berada di tempat yang berbeda dimensi. Lukisan-lukisan yang ada di dinding terlihat indah meski aku tahu bahwa itu hanyalah wallpaper yang ditempel penuh agar terlihat serasi dengan ukiran-ukiran gypsum dan tiang pondasi yang berliuk di ujungnya. Sang resepsionis membawakan gelas berisi air putih ke hadapanku tanpa menanyakan apa yang ingin aku minum. Bukan satu hal yang wajar dilakukan, dan aku tidak terkesan. Biasanya orang akan menanyakan ingin minum apa sebelum langsung memberikan minuman. Tapi aku tidak ingin complain dan mendikte apa yang harus atau tdak harus dilakukan. Aku hanya bisa berdaham saja, ingin melegakkan tenggorokan sekaligus memberi tahu sang resepsionis kalau aku kurang tekesan hanya dengan gestur. Dari sini saja aku bisa melihat kalau bisnis yang dijalani oleh Zoe ini benar-benar eksentrik. Ulai darigedung, sampai pegawainya. Aku jadi agak sangsi bagaimana aku bisa bekerja di sini, dan bagaimana Zoe bisa mendapatkan sepuuh klien untuk pernikahan dekat-dekat ini. Suara sepatu hak tinggi membuatku melongokkan kepala menuju pintu masuk gedung. Zoe datang dengan jumpsuit kuning motif lily besar. Ia tersenyum saat mendapatiku tengah duduk di sofa kantornya dan berjalan ke arahku dengan tangan terbuka.  “Hai, Bianca! Aku senang kau datang!” kata Zoe yang lnagsung menicum kedua pipiku dan memegang lenganku. “Ya, aku sudah janji denganmu. Terima kasih sudah mengundangku.” “Tentu, tentu. Ayo masuk ke ruanganku.” Ajak Zoe. Namun sebelum ia melangkah masuk ke rungan di dalam, ia berhenti sejenak di dekat meja resepsionis. “Beth, tolong bawakan wine di cellar ke ruanganku. Rose wine, jangan sampai salah.” Katanya agak ketus dan aku mengekori Zoe yang berjalan ke lantai dua menuju ruangannya yang berbeda lagi arsitekturnya. Kali ini lebih minimalis dnegan kaca-kaca tinggi yang dijadikan sebagai pembatas ruangan. Ia duduk di mejanya yang dipenuhi dengan tumpukan buku, map dan Macbook kecil yang berada persis di depan kursi seakan di kelilingi dinding tinggi berupa buku dan map. “Duduk, Bianca.” Katanya mempersilakanku untuk duduk di sofa panjang berwarna putih. “Trims.” Kataku sambil tersenyum. “Oke, bagaimana? Kau tertarik dengan tawaranku? Pekerjaannya mudah, kau akan jadi asistenku dan menangani beberapa pekerjaan sepele yang sangat sulit untukku. Yakni, mengobrol dengan klien dan menenangkan mereka kalau pernikahan itu bukanlah satu event besar yang menakutkan. Beberapa kali aku menemui Bridezilla yang ingin semua hal di resepsi pernikahannya berjalan sempurna, yang bahkan terkadang tidak masuk akal.” Ia menggeleng dramatis seakan sedang mengingat beberapa kejadian yang membuatnya pusing. Suara pintu dibuka pun membuatku dan Zoe menoleh. Beth yang masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu pun menaruh wine di dalam wadang dengan es di atas meja. Dua gelas tinggi pun ia taruh dihadapan kami. “Sudah ku bilang kau harus mengetuk pintu terlebih dahulu, kan, Beth?” tanya Zoe agak kesal dengan kelakuan resepsionisnya itu. Beth tidak menyahut dan langsung keluar begitu saja. Ternyata bukan aku saja yang tidak menyukai kelakuan perempuan satu itu. Kelakuannya jauh dari basic manner yang harus dilakukan siapa saja meski pun ia bukan seorang respsionis dan tidak bekerja di sini. Aku hanya bisa melihat kea rah si respsionis yang hilang di balik pintu kaca dan turun ke lantai dasar. “Maaf akan kelakuan pegawaiku yang bikin sakit kepala itu.” Kata Zoe. “Iya, tidak apa-apa.” Jawabku. “Oke, bagaimana, kau tertarik?” tanya Zoe tersenyum seakan sudah melupakan kekesalannya tadi. “Akan ku coba, terima kasih, Zoe.” Ia memegang kedua tanganku dan menggoyangkannya dua kali, “aku sangat senang kau menerima tawaranku. Aku yang harusnya berterima kasih, ayo kita bangun Wedding Organizer ini jadi jauh lebih baik lagi.” Katanya. Aku tersenyum.  -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD