DUA BELAS : The Matchmaker in Duty

1568 Words
“Gimana kabar Tante di Sydney? Di sana enak?” Hana tengah menatapku dari layar. Aku pun melambaikan tangan dengan Rendi yang ada di sebelahku sambil merangkul pinggangku. “Seru, musim dingin buat masuk angin.” Kataku yang langsung disambut dengan tawa Hana yang riang. “Nanti lama-lama juga terbiasa, Tante. Aku dulu waktu di Saudi, panasnya nggak ada obat, tapi lama-lama terbiasa.” Kata Hana mencoba untuk menenangkanku. “Iya, udah mulai terbiasa, kok. Udah mulai tahu nih kalau lagi ujan nggak akan keluar soalnya dinginnya nggak ada ampun.” Jawabku. “Kamu gimana sekolahnya?” tanya Rendi. Hana mendorong kursinya ke belakang sedikit dan mendongakkan kepala, “habis ujian, aku pusing.” Katanya. Otomatis aku dan Rendi pun tertawa kecil melihat tingkah laku keponakan satu ini yang kelihatannya malas membahas tentang sekolah. Aku pun menyikut Rendi pelan untuk memberikan kode kalau tidak perlu membahas tentang soal sekolah karena Hana terlihat tidak mau membahasnya karena kelelahan karena habis ujian. “Kata Oma katanya kamu mau ada recital piano?” tanyaku mencoba mengubah arah pembiacaraan. “Iya, aku pusing bassnget, habis selesai ujian sekolah masih ada latihan buat recital piano. Emang sih aku ambil les piano kan karena suka, tapi kepalaku kayak mau meleduk pusing banget kebanyakan ujian. Kira-kira kalau aku recital, Om sama Tante bisa dateng nggak?” tanyanya dengan penuh harap. “Kayaknya nggak bisa.” Jawab Rendi. “Om lagi sibuk banget, tante baru dapet pekerjaan di sini. Maaf ya, Hana. Semoga kalo ada recital lagi kita bisa liat.” Sebenarnya aku tahu kalau Hana paham aku dan Rendi tidak bisa pulang ke Jakarta secara mendadak. Tapi mungkin ia ingin lebih menegaskan lagi apakah kami bisa datang atau tidak. Selama kami pindah ke Sydney, banyak sekali event yang terlewat dan kami tidak bisa berpartisipasi untuk datang. Tapi inilah enak dan tidak enakya tinggal di luar negeri sendirian tanpa saudara dan teman dekat. Tapi inilah hidup. “Iya, aku paham kok. Tapi aku cuma mau ngecek aja. Siapa tahu bisa, lagi nggak pada sibuk.” Kata Hana. “Lain kali, ya. Semoga bisa, tapi nggak janji.” Kata Rendi. “Iya, aku ngerti kok. Kan jauh, ya udah ya Om sama Tante, aku udah dipanggilin Oma buat makan malem nih. Nanti lagi ngobrolnya. Dadah!” Hana melambaikan tangan dan kami pun membalas lambaian tangannya dengan senang. Sambungan sudah terputus, obrolan dengan Hana pun selesai. “Aku baru sadar kalau selama kita tinggal di sini, kita ketinggalan banyak momen di Jakarta. Ulang tahun, selebrasi entah apa, ya, banyak banget ternyata.” Kataku sambil mengaduk dudu hangat yang aku baru saja keluarkan dari microwave. “Dulu aku bahkan ketinggalan momen ngerayain ulang tahun kamu secara langsung. Dan minta izin buat nikahan kamu pertama kalinya secara formal aja pake Skype.” Tambah Rendi. Aku tertawa mengingat bagaimana dulu Rendi meminta izin ke Ayahku dengan wajah pucat, omongan kaku, dan bagaimana ia terlihat sangat gugup di hadapan semua keluarga yang hadir. Bagaimana tidak, satu orang di hadapkan banyak sekali orang sedang menontonnya dan mengharapkan suatu hal yang di sampaikan oleh Rendi akan membuat semua orang senang. Ekspektasi yang tinggi membuat beban tersendiri bagi Rendi. “Dulu kamu tuh tegang banget tau nggak. Aku sampe pengen ketawa aku tahan-tahan soalnya nanti malah ngerusak momen.” Aku tertawa kecil sambil berniat untuk menjahili dan menggoda Rendi. “Aku liat kamu nangis kok, nahan ketawa gimana?” baliknya yang langsung membuat wajahku bersemu merah. “Iya, tapi sebelum itu aku tuh nahan ketawa liat kamu. Udah kayak mau interview kerjaan pertama kali soalnya.” “Ya kan emang mau mengabdikan diri buat anaknya, sama kayak pegawai yang diharuskan untuk mengabdikan diri buat perusahaan.” Aku menggeleng pelan, “emang ya hubungan kit aini ternyata kapitalis loh.” Rendi tertawa kencang dan menggelegar sampai membuatku kaget. “Ya nggak gitu. Aduh kamu tuh lucu banget sih.” “Kamu tuh ketawanya bikin kaget tau, nggak!” aku memukul Rendi yang langsung membuatnya memelukku gemas. “Cuma kamu yang bilang omongan aku lucu, biasanya aku selalu dibilang garing soalnya ada Candra yang jadi badutnya.” Lanjutku. “Kamu lucu kok, aku aja ketawa.” “Iya, kamu doang yang ketawa. Kan kamu doang yang anggep aku ini lucu.” Rendi kembali tertawa tapi kali ini tidak kencang seperti yang pertama. “Oh iya aku hampir lupa, soal Mila waktu itu. Ada temenku di Jakarta yang namanya Emil, aku belum pernah cerita apa-apa sama kamu tentang Emil, tapi mungkin dia masuk  ke kriteria yang kamu dan Mila mau.” Aku menoleh tertarik, “Emil? Kerja di mana, bagian apa?” tanyaku penasaran. “Emil kerja di Le Mars, brand sepetu cowok dari Paris yang baru masuk Indonesia. Dia kerja di cabang Jakarta, kok, bagian Marketing, asisten manager.” Aku segera mengambil ponselku di meja begitu Rendi menjelaskan tentang temannya yang bernama Emil itu. Segera ku googling perusahaan Fashion yang baru berkembang itu dan berdiri lima tahun yang lalu. Kalau dilihat dari engagement di sosial media, brand itu cukup terkenal meski pun baru saja lahir. Oke, berikutnya aku mencari tahu tentang si Emil ini di Linkedin, profilnya bagus, tapi fotonya tidak ada. “Kamu punya foto Emil? Aku cari di Linkedin nggak ada masa. Kok nggak ada ya? Dia nggak pede sama penampilannya apa gimana?” “Kamu langsung cari Emil?” tanya Rendi tidak percaya. “Iyalah! Aku kan harustau juga Emil itu tampangnya kayak gimana, dia itu…?” “Emil ganteng kok,” Rendi menertawai pertanyaanku yang menyangsikan kalau temannya itu tampangnya tidak meyakinkan. “Cuma emang orangnya nggak terlalu suka publikasi aja. Dia nggak main sosial media.” Rendi memberikan ponselnya padaku. Foto sekumpulan orang yang terlihat sedang makan siang bersama membuatku meneliti foto itu dengan seksama. “Yang mana? Ini kamu fotonya ramean gini.” Aku mengernyitkan dahi. Rendi ikutan melongokkan kepala dan tersenyum, “yang pakai kemeja abu-abu muda hem hitam itu oh, bagian kanan.” “Kamu nggak ada foto jelas dia dari deket gitu? Ini jauh banget. Tapi mukanya okelah.” “Hmm… ada nggak ya. Soalnya dia itu nggak suka di foto juga anaknya.” “Kok udah nggak suka media sosial, nggak suka di foto juga? Dia nggak dikejar-kejar rentenir atau apa, kan?” tanyaku agak panik. “Kamu tuh imajinasinya liar banget, kejauhan kalo mikir. Dia nggak dikejar-kejar rentenir atau pernah ngelakuin tindak kejahatan, kok. Emang dari dulu dia nggak suka di foto dan nggak main sosial media. Anaknya kalem banget sukanya tuh baca buku, nonton, main game, normal kok. Tapi kan setiap orang itu suka dan nggak sukanya itu beda-beda, jadi nggak suka di foto nggak bikin dia kayak alien, dong.” “Iya sih bener, tapi heran aja zaman sekarang masih ada orang yang idealis kayak gitu. Tapi nggak terlalu heran juga, cowok soalnya. Kalau misalnya cewek yang kayak gitu sih aku jelas amat sangat heran sekali.” Rendi hanya tersenyum dan kembali mencari foto yang sekiranya lebih dekat dan lebih jelas lagi. dan ketika ia sudah menemukan foto yang dikiranya pas, ia pun kembali memberikan ponselnya kepadaku. “Ini kayaknya lebih jelas.” Katanya. Aku kembali melirik ponsel Rendi dan tersenyum lebar. “Grade A, mission accomplished.” Ujarku senang.   ***   Aku mencoba mencari tahu lagi tentang Emil. Yang kalau dalam istilah perdagingan, bisa diibaratkan dengan grade A5, contohnya Wagyu. Yang dagingnya terlihat marbling, dengan lemak dan tekstur yang menggoda. Aku jadi ingin makan steak setelah membahas tentang perdagingan ini. Meski pun Emil tidak memiliki sosial media, namun mau tak mau, kalau ia sudah bekerja dan terjun ke masyarakat, mustahil tidak menemukan beberapa info tentang pria satu ini. aku bahkan sampai bersulang untuk diriku sendiri karena mampu untuk menemukan info dari si misterus yang wajahnya terlihat seperti Chris Pine versi asia. Bagaimana mungkin yang seperti ini bisa lewat dari mesin pencarian Google? Berkat kehebatanku dalam mencari info, aku menemukan beberapa artikel yang semuanya berhubungan dengan pekerjaannya yang lalu. Sebelum bekerja di Le Mars, Emil pernah bekerja di perusahaan tambang batu bara sebagai Corporate and Strategic Manager. Satu jabatan yang sangat mentereng apa lagi ia bekerja di perusahaan elit yang kalau mau masuk saja rasanya sulit kalau tidak dapat rekomendasi dari orang lain yang jabatannya mumpuni. That’s a life, a real life, yang kalau mau masuk ke perusahaan bergensi kalau tidak memiliki kemampuan dan prestasi rasanya mustahil. Selain pernah bekerja di perusahaan tambang, ia mengawali karir di perusahaan investasi sepertiku. Aku yakin kalau pengalamannya sudah sangat banyak, ia juga sudah sangat mahir rasanya mengetahui berbagai macam sifat orang-orang. Tapi yang membuatku heran bukan main adalah, bagaimana orang seperti ini masih single? Mau tak mau pikiranku kembali bekenala, yang kalau kata Rendi, imajinasiku sangat tinggi sekali sampai bisa berpikir macam-macam tanpa batas. Anggap saja Emil ini adalah jenis pria yang sangat mencintai pekerjaan sampai lupa kalau ia memiliki kehidupan pribadi yang juga harus diurus. Telalu asik mengejar karir, hidup untuk bekerja, bukan malah sebaliknya, kerja untuk bisa hidup. Jenis orang yang entah bisa cocok atau tidak dengan Mila yang bekerja hanya untuk mengisi waktu luang saja. Aku mengetik pesan singkat untuk Mila meski yang dikirimi pesan dan yang akan memiliki acara sedang tidak online.               Bianca - Mils, found the IT man, a dreamboat version of you Bianca - Emil Hutapea Brown, bule lokal, kerja di Le Mars bagian marketing Bianca - A5, Wagyu. Lo cek linkedin-nya! Bianca - Kalo oke telepon gue!   Send.   -Continue-   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD