SEMBILAN : New Life and Opportunity

1673 Words
Dalam bukunya yang berjudul A Place Called Here, Cececlia Ahern menceritakan tentang seorang perempuan yang memiliki obsesi mencari barang yang hilang. Sampai pada akhirnya ia berhasil menemukan semua barang yang selama ini hilang darinya meski hanya berupa sebelah kaus kaki, buku tua, jam tangan dan barang-barang lain yang mungin nilainya tak seberapa di tempat antah berantah yang ada di dunia parallel lain. Dan kini aku sudah merasa seperti Sandy Short yang memiliki obsesi untuk mencari kewarasan untuk orang-orang yang pernah terjebak masa lalu seperti diriku dulu. Mungkin karena aku pernah ada di posisi di mana harus berpisah saat perasaan sedang sayang-sayangnya, aku jadi merasa simpati pada orang-orang yang juga merasakannya. Entah apa yang akan dikatakan oleh Rendi jika ia tahu kalau aku, sekarang ini, sedang membantu seorang Zoe yang sama sekali tidak aku kenal untuk bisa move on. Bukan hanya dari perasaannya, namun juga dari kebiasaan-kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika ia masih bersama mantan tunangannya yang ia bilang sudah didepaknya dan dituntut oleh orang tuanya karena penipuan. “Mum menuntut Ben atas tindakan penipuan.” Katanya ringan ketika ia sibuk memotong-motong salmon menjadi potongan kecil. “Penipuan?” tanyaku bingung. “Ya, dia sekarang sedang sibuk mencari pengacara.” Kini aku paham bagaimana kuatnya uang, kekuasaan, dan tingkat sosial seseorang. Coba dipikir sekarang, dalam pasal apa ia dituntut? Kalau aku yang menjadi Zoe, tanpa semua privilege yang dimilikinya, mungkin ketika aku datang ke kantor polisi untuk melaporkan kelakuan Ben, aku akan ditertawakan dan dianjurkan untuk move on saja, lanjuti hidup, karena hubungan ini akhirnya sudah selesai. Je suis fini, finished, end, selesai, selamat tinggal! Tapi aku memang tidak tahu tentang bagaimana hukum disini. Mungkin memang ada pasal penipuan pasangan? Entahlah, aku juga tidak mau mencari tahu lebih lanjut karena aku sudah terperangah dengan carab alas dendam Zoe yang lebih ke financial destroyed dari pada aku yang lebih ke… fisik? Ya, aku lebih memilih untuk benar-benar berduel di ring sekalian dan membuatnya babak belur meski aku tahu aku akan mendapatkan satu atau dua tonjokan, dan mungkin salah satu mataku akan biru. Tapi tidak mengapa asalkan aku bisa menghajar pria itu. Oh, aku hanya mengemukakan versiku saja. “Oke, semoga dia bisa mendekam di penjara, atau seper sekian hidupnya hancur karena sudah menipu dirimu dan berselingkuh darimu.” Kataku benar-benar bersimpati. “Aku sungguh-sungguh berterima kasih padamu. Kalau kau tidak mengatakan padaku apa yang Ben sialan itu lakukan, mungkin hidupku akan hancur.”  Zoe tersenyum getir, “sebagian orang yang ku pikir adalah temanku, sama sekali tidak bersimpati padaku. Mereka hanya datang ketika aku mengadakan pesta, namun diam ketika aku sedang diterjang badai. Betapa sempurnanya hidupku ini. Dan lihatlah dirimu ini, Bianca. Kau orang asing yang sama sekali tidak mengenalku, namun menolongku tanpa pernah tau siapa aku.” Senyum simpul terukir dari bibirku yang dipoles oleh lipstik berwarna rogue velvet keluaran Bourjois. “Bukankah menolong orang membutuhkan itu adalah sebuah keharusan? Aku tak perlu tahu kau siapa kalau kau membutuhkan bantuan.” “Terima kasih.” Katanya singkat namun bersungguh-sungguh. Kami kembali menikmati makan siang setelah berbicara cukup banyak. Aku menyuruh Zoe untuk makan banyak agar ia tidak perlu lagi ada sugesti untuk tetap kurus agar gaun pengantinnya muat. Aku paham, untuk bisa move on bukanlah perkara yang mudah. Pelan-pelan harus dibiasakan, meninggalkan kebiasaan apa lagi. Aku paham benar rasanya. “Ngomong-ngomong, kau sudah bertunangan ya?” tanya Zoe yang sadar akan cincin yang aku kenakan. Aku ikut memandang cincin di jari manisku, “aku sudah menikah. Di Indonesia, ketika kau sudah menikah, cincinnya ada di tangan kanan. Berbeda dengan di sini yang memakai cincin di tangan kiri.” Jelasku yang membuat Zoe agak kaget. “Begitu kah? Aku senang kau sudah menemukan orang yang cocok.” Tambahnya. “Terima kasih.” Kataku singkat, tak ingin menjelaskan lebih jauh bagaimana ceritaku bisa menikah dengan Rendi. “Kau bekerja di mana?” tanya Zoe lagi. Aku diam sejenak karena agak kaget mendapatkan pertanyaan yang sangat pribadi karena aku tahu, semua teman-temanku yang sama-sama ‘bule’ biasanya engan menanyakan pertanyaan yang lebih private. Status, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Entah kenapa Zoe sudah seperti orang lokal yang baru saja bertemu tapi obrolannya sudah ke mana-mana. “Sekarang aku belum bekerja, sedang mencari-cari pekerjaan.” Jawabku. “Oh, mau kerja bersamaku? Aku punya Wedding Organizer, dan kebetulan dua orang karyawanku keluar dan dua bulan depan akan ada banyak pasangan yang menikah karena udara sudah menghangat, musim semi yang paling disukai banyak orang untuk melangsungkan pernikahan mereka. Dan payahnya sudah ada sepuluh klien yang memakai jasaku. Itu kalau kau mau.” Katanya yang memandangku penuh harap. Aku tidak ingin terlalu berburuk sangka. Tapi aku sangsi apa yang dikatakan tentang pegawainya yang keluar itu benar, aku rasa itu adalah satu rasa terima kasihnya padaku sehingga ia ingin membantuku memberikan pekerjaan. “Kau serius? Begitu mudahnya percaya padaku dan memberikanku pekerjaan?” tanyaku meyakinkan Zoe. “Aku lebih baik mempekerjakanmu dari pada yang katanya temanku tapi ketika aku kesulitan mereka tidak pernah ada.” Katanya enteng. “Hmm… boleh aku konsultasikan pada suamiku dulu?” tanyaku. “Tentu. Komunikasikan dulu saja ke suamimu.” Jawabnya. Kami pun berpisah setelah makan siang selesai. Aku memaksa Zoe menghabiskan makanan yang banyak ku pesan meski aku sendiri kewalahan untuk menghabiskannya. Tapi untungnya kami mampu. Zoe juga meminta pelayan memesan beberapa makanan untukku yang Zoe bilang bisa dimakan untuk makan malam. Aku yang menolak pun langsung disemprot oleh Zoe yang sudah ku buat kekenyangan. Sampai rumah pun aku hanya bisa duduk diam memandang kosong ke arah televisi yang mati. Rasanya mengambil remote di keranjang kecil di atas meja sudah seperti satu pekerjaan yang sangat sulit saja. Dan karena kekenyangan ditambah sinar matahari sore yang hangat bayak masuk dari jendela-jendela tinggi di apartemenku, aku tertidur di sofa.             ***                         Aku bisa merasakan ada yang menempel di pipiku. Aku yang baru saja bangun dan mencoba menyesuaikan mata akan sinar lampu yang terang benderang, mengerjap selama beberapa saat dan menemukan Rendi duduk disebelahku dengan pakaian kantor lengkap dan masih berbalut jas juga tengah merangkul dan menciumi pipiku. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan suara serak karena baru bangun dari tidur. “Iya, kamu pules banget tidurnya.” Kata Rendi yang wangi parfumnya membuatku tenang. “Aku ada makanan dikasih sama Zoe. Aku panasin dulu buat makan malem kamu.” Kataku. Aku berjalan menuju dapur, dan mengeluarkan makanan dari kulkas dan menaruhnya di piring kemudian ku masukan ke microwave. “Kamu ganti baju, deh. Mandi trus makan.” Kataku yang masih berdiri di dapur dan menunggui makanan. Rendi pun menurut dan masuk ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Rencananya, setelah ia sudah keluar dari kamar, aku ingin membahas tawaran dari Zoe dengan Rendi sembari kami makan malam. Dan ketika sadar kalau aku belum berganti pakaian setelah pulang dari makan siang, aku pun masuk ke kamar dan berganti pakaian. Aku sempat mencuci muka di wastafel sementara Rendi ada di kubik kaca shower. Jujur saja, mungkin karena baru menikah, aku kadang agak malu melihat pemandangan Rendi yang seperti itu. Aku bubu-buru keluar dari kamar mandi sembari menenteng handuk kecil setelah selesai mencuci muka. Wajahku sedikit bersemu, dan aku segera mengeluarkan makanan dari microwave sembari menunggu Rendi yang masih mandi. Karena aku sedikit salah tingkah, aku pun menyalakan televisi dan menyetel Bridgerton di Netflix. Sebenarnya ini bukan tontonan yang biasa aku tonton atau aku baca ceritanya di n****+. Aku bahkan tidak memiliki satu pun historical romance n****+ ala Harlequin, namun karena sudah gugup, ku putar saja serial itu setelah berhenti menonton di episode tiga. Untungnya semua pemain dan pakaian yang muncul di serial itu sungguh memanjakan mata. Aku juga bisa melihat Regé-Jean Page shirtless saat sedang bermain boxing di sana. Tak lama untungnya Rendi keluar dari kamar dengan mengenakan kaus dan celana pendek. Makanan pun masih panas sehingga kami bisa menikmatinya sembari menonton serial di televisi agar pembicaraanku tidak jadi terlalu serius. “Kamu tumben beli makan malem di luar bukannya masak sendiri.” Celetuk Rendi. “Tadi tuh kan aku ketemu sama Zoe buat makan siang bareng. Terus pas aku pulang dia pesenin ini buat aku bawa pulang.” Jawabku. “Baik banget dipesenin makanan juga.” Komentar Rendi yang memegang piring berisi Fish and Chips. “Ya gitu. Dia nggak cuma beliin makanan juga, tapi dia juga nawarin kerjaan ke aku.” Rendi menoleh ke arahku sambil tersenyum, “kerja apa?” tanyanya. “Dia punya Wedding Organizer tenyata. Dan katanya ada dua karyawannya yang keluar, sementara dua bulan lagi musim nikahan dan pasti rame. Dia udah ada sepuluh klien yang lagi dia persiapkan buat musim semi nanti, kekurangan orang katanya. Tapi akua gak sangsi sih.” “Kamu sangsi karena lagi butuh orang?” aku mengangguk. “kamu masih mikir dia berasa ada hutang budi makanya awarin kamu kerjaan, Hon?” “Iya.” Aku memandang Rendi dengan tangan tergantung di udara, dan garpuku menusuk potongan Calamari. “Nggak pa-pa kalau kamu mau terima. Anggap aja itu rezeki kamu karena udah nolongin dia. Kebetulan kan kamu suka banget buat event kecil-kecilan buat temen sama keluarga. Bisalah kamu aplikasiin di Wedding Organizer dia.” Kata Rendi dengan suaranyayang menenangkan. Aku mengunyah Calamari lamat-lamat, dan memandang televisi yang memperlihatkan Penelope Featherington dan Eloise Bridgerton sedang menggosipkan kehamilan Marina Thompson yang diperankan oleh Ruby Barker.  “Kamu nggak pa-pa aku kerja di sana dan kemungkinan nggak bisa bantuin kamu secara maksimal sama bisnis sayuran kamu?” tanyaku memandang wajah Rendi dengan rambut yang masih setengah basah. “Nggak pa-pa, kan aku kasih kerjaan ke kamu biar kamu nggak merasa bosen aja di rumah. Seenggaknya ada yang bisa kamu kerjain bukan cuma pakai tenaga aja. Terima aja aku nggak masalah. Sebenernya kamu nggak perlu tanya ke aku kok kalau kamu mau kerja, itu kan hak kamu, Hon.” Aku bersandar ke bahu Rendi sambil menikmati makanan. “Makasih banyak, ya. Kamu kan udah jadi suami aku, jadi apa-apa harus aku omongin dan diskusiin ke kamu juga.” Rendi tertawa kecil dan mencium puncak kepalaku. Kami akhirnya fokus menonton sambil makan malam ini. -continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD